28 April 2015

Presiden Keji

Pria bertubuh kurus itu mengeras hati. Di depan sejumlah kamera televisi dan alat perekam milik para jurnalis ia dengan lantang menekankan: ancaman hukuman mati merupakan bentuk ketegasan Pemerintah Indonesia dalam memerangi kejahatan luar biasa tersebut. Sikap yang jauh berbeda, kalau kita bandingkan dengan sikapnya saat Komisi Pemberantasan Korupsi tengah menghadapi serangan demi serangan tempo hari. Sikap yang jauh berbeda, kalau kita bandingkan saat ia harus menghadapi orang-orang di Koalisi Indonesia Hebat. Pria itu meminta ancaman hukuman mati yang diterapkan di Indonesia dapat dimengerti sebagai salah satu cara untuk menekan jatuhnya korban jiwa yang lebih banyak akibat penyalahgunaan narkotika.

Ya, ia adalah Joko Widodo. Orang yang saya dan 70.997.832 (53,15%) orang lain pilih dalam pemilu presiden tahun lalu. Pria yang padanya tersemat sebuah tanggungjawab untuk menjadi pemimpin bagi bangsa besar bernama Indonesia.

Ia sungguh gelap mata. Ia lebih mendengarkan kelompok yang ingin menghilangkan nyawa orang lain. Ia bukan hanya mendengarkan kelompok itu. Dalam nada bicaranya tersirat sebuah keyakinan, bahwa sikapnya tak keliru. Sama sekali.

Aneh benar bangsa ini. Pembunuhan yang melenyapkan mungkin tiga jutaan orang sepanjang tahun 1965-1966 aktornya tak kunjung ditemukan apalagi diadili. Aktor dalam kasus Tanjung Priok, Talangsari, pembantaian rutin di Papua, di Timor Leste dulu, Aceh, pembantai para mahasiswa pejuang reformasi, dan sebagainya tak kunjung ditemukan. Sampai hari ini. Entah sampai kapan.

Saya lelah dan enggan berurusan dengan jumlah nyawa yang telah dicabut oleh para jahanam nan biadab itu. Menghilangkan satu atau sejuta nyawa secara tetaplah tak bisa dibenarkan. Ini bukan soal angka. Ini soal kemanusiaan.

Seandainya, sekali lagi seandainya, para aktor biadab itu ditemukan, saya pun tak mau mereka dihukum mati. Meski kekejaman mereka sungguh di luar akal sehat manusia normal.

Saya bersikap demikian, bukan karena saya menganggap mereka tak bersalah. Bukan karena saya tak berempati pada keluarga korban yang nyawanya melesat. Bukan. Sama sekali bukan.

Saya mau mereka tetap hidup dan buka suara alias mengakui setiap kesalahan yang mereka lakukan. Sehingga rekonsiliasi yang diteriakkan tak bergema di ruang hampa udara dan menjadi slogan kosong. Bagaimana api rekonsiliasi bisa dihidupkan kalau nyawa tak dikandung badan?

Kali ini ada sejumlah orang yang akan menghadapi regu tembak. Ajal mereka akan ditentukan Joko Widodo, yang sejak 20 Oktober 2014 menjadi penghuni istana. Tandatangan yang ia bubuhkan akan membawa dampak pada banyak orang. Termasuk nyawa mereka yang sudah dan akan dieksekusi.

Saya tak menyetujui eksekusi mati pada siapapun dalam kasus apapun. Dalam hal eksekusi mati para terpidana kasus narkotika, menghentikan nafas mereka tak ubahnya menghentikan setiap usaha untuk mengusut tuntas kasus perdagangan narkotika. Mereka tak lebih dari sekadar pemain lapangan, bahkan ada yang dijebak dan tak tahu-menahu soal narkotika yang ada dalam kopernya. Mereka akan meregang nyawa di depan regu tembak, saat para gembong mungkin tengah menghamburkan duit di hotel, kasino atau entah di mana.

Tapi, satu hal yang saya tak pahami adalah: mengapa penolakan terhadap eksekusi mati selalu disamakan dengan sikap yang mendukung peredaran narkotika? Logika yang premis mayor-minornya kerap dipaksakan sejumlah teman saya yang pro hukuman mati, karena pengalaman teman mereka yang mati atau sakit karena narkotika.

Saya meyakini, bahwa hidup ini bukanlah milik kita manusia. Ada Dia yang lebih berhak mengambil nyawa manusia. Bukan saya, bukan Anda, bukan sang presiden keji bernama Joko Widodo itu. Bukan!!!

29 September 2014

Setelah Sepuluh Tahun

Buat sebagian orang, kalau tulisannya dimuat di media massa tentu adalah hal biasa saja. Tapi bagi saya, apa yang saya alami pada 25 September 2004, sungguh menggembirakan. Naskah saya dimuat di Harian Kompas Edisi Jawa Tengah - DIY. Tulisan itu berjudul Pilkada Langsung: Peluang dan Tantangan.

Malam sebelumnya, saya menginap di sekretariat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia di Kayuputih, Purwokerto Timur. Seperti biasa, ada loper koran yang mengantarkan harian Kompas tiap pagi. Hari itu saya menunggu dengan harap-harap cemas, setelah tanggal 23 September 2004 saya mengirimkan naskah untuk rubrik Akademia itu. Hampir tiap pekan saya mengirim naskah untuk rubrik itu, dan tak pernah dimuat. Sampai akhirnya 25 September penantian saya itu berujung.

Tulisan saya menyoroti secara khusus peluang dan tantangan yang harus dihadapi kalau opsi pilkada langsung diambil. Saya tulis dalam artikel itu, Pilkada langsung akan membuka peluang untuk “mengurangi praktek politik uang dan korupsi yang sudah begitu subur di banyak DPRD. Begitu banyak praktek korupsi yang melibatkan pihak eksekutif dan legislatif di daerah, seperti dalam pembacaan laporan pertanggungjawaban bupati/walikota, lobi-lobi antar anggota dewan untuk menggolkan calon bupati/walikota dari partai tertentu, atau korupsi bupati/walikota dengan DPRD dalam proyek-proyek di daerah.”

Dalam tulisan itu, saya juga menegaskan bahwa praktek-praktek itu tentu tidak bisa ditolerir. Pilkada secara langsung akan dipantau oleh masyarakat sehingga dapat mengikis sedikit demi sedikit praktek money politics.

Peluang kedua jika pilkada langsung dapat segera dilaksanakan, adalah semakin terbukanya kemungkinan rakyat untuk dapat menyatakan secara langsung kehendak politiknya. Hal itu akan berimbas pada rasa memiliki warga pada daerahnya, sehingga bupati/walikota yang terpilih secara langsung dapat didukung sekaligus dikontrol oleh masyarakat setempat sebagai konstituennya.

Selain peluang, ada juga beberapa tantangan yang harus diwaspadai. Pertama adalah, kemungkinan akan semakin menguatnya semangat kedaerahan yang jika tidak dipahami secara komprehensif dapat terjerumus ke dalam fanatisme yang sangat sempit. Hanya menghendaki putra daerah setempat sebagai pemegang kekuasaan tanpa mempertimbangkan aspek kompetensi adalah salah satu contohnya. Ancaman kedua, adalah peluang akan meruncingnya konflik antara DPRD dan kepala daerah yang bersangkutan. DPRD dan kepala daerah memiliki legitimasi yang sama-sama kuat karena dipilih secara langsung oleh rakyat, sehingga kepala daerah tidak dapat dijatuhkan oleh DPRD seperti sering terjadi selama ini. Sekitar sepuluh tahun kemudian, kita melihat bagaimana dinamika ini terjadi di DKI Jakarta bukan?

Ancaman selanjutnya, adalah terbukanya kemungkinan konflik horizontal antar pendukung calon kepala daerah.Jika ini tidak diwaspadai, masyarakat tidak dapat secara bersama-sama menikmati hasil dari proses demokratisasi di daerahnya, tetapi justru akan menuai perpecahan di daerah sehingga pada akhirnya stabilitas masyarakat jugalah yang akan terganggu.

Seusai wisuda tanggal 9 Oktober 2004, saya mengajak beberapa teman untuk makan siang untuk syukuran kecil-kecilan. Kami makan di sebuah warung makan di daerah Grendeng, Purwokerto Utara. Seluruh honor saya di Kompas Jateng DIY itu ludes. Tapi saya senang dan sama sekali takmenyesal. Tapi, tepat sepuluh tahun setelah naskah saya dimuat, para wakilrakyat merampas kembali kedaulatan yang sudah dengan susah payah diperjuangkan. Bertahun-tahun. Itulah yang sudah selayaknya saya, atau kita sesalkan bersama.

Kita nantikan episode selanjutnya di Mahkamah Konstitusi!

Sumber foto: http://beritadaerah.co.id/2013/10/23/pilkada-deli-serdang-di-desa-tanjung-gusta-sumut/

07 September 2014

Liburan Mencekam di Kefamenanu

Apa yang anda bayangkan soal liburan? Bersenang-senang di tempat wisata? Mengunjungi sanak saudara di kampung halaman? Intinya: liburan pada umumnya adalah momen untuk menyingkir sejenak dari kepenatan yang dijumpai dalam keseharian.

Tapi masa libur kuliah seorang mahasiswa tahun 1999 di Kefamenanu sungguh jauh dari gambaran 'ideal' itu. Tentu saja, ia senang karena bisa bertemu dengan bapak, ibu dan keempat adiknya. Tapi beberapa kali dalam dua pekan liburan ia di sana, bunyi dentum senjata terdengar pada malam hari.

Pernah juga ia berada dalam mikrolet di Kefamenanu bersama dengan seorang milisi bercambang yang membawa senjata rakitan. Aroma minuman keras menguar dari mulutnya. Anda tentu bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau orang itu mengamuk di dalam mikrolet itu kan?

Oya, soal Kefamenanu. Ia adalah sebuah kecamatan yang juga merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur. Kota mungil yang hanya kerap diramaikan oleh pasar di pagi hingga siang hari. Setiap matahari surut, perlahan tapi pasti keramaian pun segera beringsut.

***

Ia punya seorang ayah. Tubuhnya kini lumayan berisi. Banyak celana yang sudah tak lagi muat untuknya. Kulitnya sawo matang, cenderung hitam. Dari foto-foto lama terlihat jelas, dulu tubuhnya kurus. Ceking. Kerempeng.

Setelah berkarya di Kantor Departemen Agama Kabupaten Baucau -salah satu distrik di Timor Leste- sejak 1988, ia dipindahtugaskan ke Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Timor Timur. Tahun 1993 mereka hijrah ke ibukota Dili, sementara si anak muda kelahiran Jakarta tahun 1980 itu hidup di asrama seminari Venilale. Sebuah kota kecamatan di Baucau yang suhunya barangkali lebih dingin daripada kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat.

Enam tahun berkarya di Dili, si Bapak mendapat penugasan baru. Ia diberi kepercayaan untuk mengepalai Kantor Departemen Agama Kabupaten Oecussi-Ambeno, atau Oecussi, yang bersinggungan langsung dengan wilayah Nusa Tenggara Timur. Daerah ini merupakan eksklave pesisir di bagian barat pulau Timor, terpisah dari negara Timor Leste oleh kawasan Timor Barat milik Indonesia. Ibu kota Oecussi-Ambeno ialah Pante Makasar (Kota Oecussi).

Keluarga mereka meninggalkan kota Dili sekitar Februari 1999, saat suhu politik di sana mulai memanas. Kaum pro kemerdekaan mulai unjuk kekuatan dengan pawai-pawai kendaraan, di sejumlah ruas kota Dili. Sedikit banyak hal itu mulai membuat cemas warga pendatang di sana.

Bapak, ibu dan keempat adiknya pun mengontrak sebuah rumah di Kefamenanu, di kawasan yang biasa disebut warga lokal dengan sebutan Kilo 2. Si bapak sebenarnya mendapat fasilitas rumah dinas di Oekussi. Tapi karena pendidikan adik-adiknya juga harus dipikirkan, mereka memilih untuk menetap di Kefamenanu.

Ia tengah memasuki tahun kedua kuliah di Purwokerto, Jawa Tengah saat itu. Di masa liburan semester, ia pun berlibur ke Kefamenanu. Ia berangkat naik kapal laut hingga Kupang, dan melanjutkan dengan bis menuju Kefamenanu. Sekitar tujuh jam.

***

Tanggal 30 Agustus 1999, seorang pria berbalut jas warna abu-abu itu berada di sebuah Tempat Pemungutan Suara jajak pendapat di Oekussi. Ia kebagian tugas sebagai pembawa doa di sana. Ia adalah si bapak yang kerap mendapat tugas semacam itu. Ia sempat berfoto dengan salah satu personil PBB yang tak ia ingat lagi namanya.

Perserikatan Bangsa-Bangsa akhirnya mengumumkan hasil jajak pendapat pada tanggal 4 September 1999. Seluruh dunia pun tahu apa hasilnya. Rien Kuntari dalam buku Timor Timur Satu Menit Terakhir: Catatan Seorang Wartawan mencatat, tanggal 7 September 1999 Timor Timur luluh lantak. Pemerintah Indonesia menerapkan darurat militer. Mayjen Kiki Syahnakri diangkat sebagai Panglima Penguasa Daerah Militer dan Letkol Laut (P) Willem Rampangilei, Komandan Satgas Penerangan PDM.

Pada tanggal 7 September itu, atau beberapa hari sesudahnya, si bapak mengajak anak sulungnya untuk ikut dengannya mengambil beberapa barang dari kantornya di Oekussi. Tapi si anak –yang belum pernah sama sekali bertandang ke Oekussi– urung berangkat, karena sang ibu melarang.

“Ah, ngapain sih? Situasi lagi kayak gini,” ujar sang ibu mengacu pada kondisi keamanan saat itu.

Walhasil, sang bapak pun berangkat sendiri. Ia menyewa satu truk, berikut satu sopir dan pengawal milisi bersenjata laras panjang. Jadilah ia duduk di tengah, diapit kedua orang itu.

Kepada si sopir, sang pengawal berkata, “Kalau ada yang halangi di jalan, tabrak saja!”

Beberapa kilometrer jelang tiba di Oekussi si bapak melihat api tengah membara di banyak sekali rumah. Asap pun mengepul di sana-sini. Banyak ternak yang berkeliaran ke sana ke mari, beberapa mati tergeletak begitu saja.

Mereka bertiga pun tiba di kantor si bapak. Kantor yang baru ia renovasi itu pun sudah kacau balau. Berantakan. Kotor. Korden yang baru ia ganti pun telah robek tak jelas kenapa. Brankas berisi uang sudah tak jelas siapa yang menggondolnya. Ia hanya mengambil meja dan beberapa barang yang memungkinkan untuk dibawa.

Ia pun pulang dengan selamat ke Kefamenanu bertemu kembali dengan istri dan kelima anaknya.

Si mahasiswa dan keluarganya dalam kisah itu masih beruntung. Lima belas tahun setelah peristiwa itu terjadi, ia bisa tetap hidup dan menuliskan kisah masa liburannya yang mencekam itu. Sayalah si mahasiswa itu. Sumber Foto 1: http://geosite.jankrogh.com/images/Oec1.GIF Sumber Foto 2: https://thomaspm.files.wordpress.com/2010/02/peta-ntt.jpg

23 July 2014

Pelayan

Usai sudah hingar bingar kampanye. Selesai sudah hiruk pikuk itu. Presiden dan Wakil Presiden yang baru telah secara resmi diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum semalam. Mereka berdua akan menjalankan pemerintahan hingga setidaknya tahun 2019.

Kini sudah ada dua orang yg kita minta untuk menjalankan mandat: Jokowi dan Jusuf Kalla. Mereka bukan atasan kita, rakyat yang berdaulat ini, sama sekali bukan. Mereka adalah sepasang warga negara yang kita percaya untuk menjadi pelayan. Ya, pelayan. Pelayan untuk mengurusi negara yang carut marut ini. Mereka tak berada dalam posisi yang lebih tinggi dari kita. Kita tak layak memuja mereka bak pahlawan. Kita tak boleh membuai mereka dalam euforia berkepanjangan.

Tugas sepasang pelayan itu tak ringan. Sungguh. Mereka kita beri waktu lima tahun untuk membereskan yang semrawut, membersihkan yang kotor, menuntaskan yang tak kunjung selesai. Jadi, tugas kita pun sama sekali belum tuntas. Kita baru pada tahap awal: menghantarkan Jokowi dan Jusuf Kalla ke kursi eksekutif. Dari kamus Oxford, executive, berarti "relating to or having the power to put plans or actions into effect". Sehingga, jabatan pada hakikatnya adalah menjabarkan rencana ke dalam tindakan yang berefek.

Tugas kita selanjutnya adalah mengontrol mereka berdua, agar tak melakukan hal-hal konyol bin bodoh yang akan merugikan kepentingan bangsa dan negara secara keseluruhan.

Jokowi dan JK harus melindungi kalangan yang kerap ditempatkan secara hina dina sekian lama di republik ini, karena kerap ditindas atas nama perbedaan aliran kepercayaan. Mereka harus menjaga dan memastikan, agar tak ada aparat yang main pukul dan tembak dengan senjata yang dibeli dari pajak masyarakat. Mereka wajib mencari orang-orang yang diculik dalam prahara 1998.

Kita tentu senang, kalau mengetahui bahwa pajak yang kita sisihkan dari gaji kita, pajak yang kita bayar setiap kali kita makan di restoran dan berbelanja, bisa dimanfaatkan sebanyak-banyaknya untuk kemakmuran masyarakat. Jokowi dan JK harus bisa meyakinkan kita semua, takkan ada lagi pelemahan pada Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK harus dikondisikan agar bisa bekerja dengan jaminan bahwa siapapun sama posisinya di hadapan hukum.

Secara ringkas, Jokowi dan JK harus mengurai dan menyelesaikan tiga problem pokok bangsa, sebagaimana sudah mereka sampaikan dalam visi misi pencapresan mereka. Pertama, ancaman terhadap wibawa negara. Kedua, kelemahan sendi perekonomian bangsa. Ketiga, intoleransi dan krisis kepribadian bangsa.

Jangan kita mengucapkan selamat pada Jokowi JK karena sudah meraih kursi tertinggi dalam jajaran eksekutif. Kita harus mengucapkan selamat bekerja pada sepasang pelayan itu. Kita berharap, mereka tak mengecewakan kita. Mereka berdua harus mampu dan mau bekerja keras, untuk semua orang dan kalangan, termasuk kalangan yang tak mendukung mereka berdua pada 9 Juli 2014 lalu. Mereka harus bekerja juga untuk siapapun yang pernah mengumbar jutaan fitnah dalam rupa-rupa hal. Mereka harus bisa membuktikan, bahwa mereka berdua adalah sepasang pelayan yang bekerja untuk semua.

Sekian. Ini saatnya mereka berdua bekerja!

Foto: TRIBUNNEWS/HERUDIN

06 June 2014

Dialog dan Rekonsiliasi

Surat Terbuka untuk Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Uskup Agung Keuskupan Agung Semarang, Mgr Johannes Maria Trilaksyanta Pujasumarta.

Sri Sultan yang baik,

Saya bukan warga Yogyakarta. Saya juga bukan orang terpandang di negeri ini. Saya hanya warga negara biasa. Seumur hidup saya, tak lebih dari hitungan jari saya menyambangi Yogyakarta yang baru saja untuk kesekian kalinya diacak-acak oleh kaum intoleran. Saya kira, saya hanya satu dari entah berapa banyak orang yang merasa nyaman berdiam di sana meski hanya sebentar. Entah untuk berlibur atau berkegiatan lain.

Saya senang dengan pernyataan Anda yang dikutip media massa bahwa,
"Bagi saya (kini), yang penting tindakan hukum, bukan dialog."

Saya, dan tentu saja siapapun yang ingin kota Gudeg itu menjadi aman, berharap pernyataan itu mewujud dalam aksi. Tindakan hukum perlu dijabarkan dalam realitas, bukan dalam pidato atau jumpa pers.

Kelompok-kelompok yang ditengarai pelaku kekerasan tersebut pernah melakukan dialog dengan Anda pada 4 Juni 2013 di Polda DIY di Sleman. Hadir pula dalam dialog tersebut antara lain Kapolda DIY Brigadir Jenderal Haka Astana, Komandan Korem 072 Pamungkas Brigjen Adi Widjaja, Kepala Kejaksaan Tinggi DIY Suyadi, dan Kepala Badan Intelijen Daerah DIY Ruswanta.

Tapi faktanya, setahun kemudian, mereka khianati dialog itu. Dialog itu kontan berubah menjadi bualan.

Monsinyur yang baik,

Saya membaca pernyataan Anda yang juga dikutip media massa. Anda akan mengupayakan rekonsiliasi dengan kelompok yang melakukan kekerasan dan intoleran di Sleman pada 29 Mei 2014 itu.

Kepada wartawan Anda juga bilang,

"Peristiwa itu mencederai Yogyakarta sebagai city of tolerance."

Anda benar, Monsinyur.

Tanpa bermaksud untuk menggurui, izinkan saya untuk mengingatkan Anda soal rekonsiliasi yang Anda sebut itu.

Kita harus jernih dalam memahami kata rekonsiliasi yang beberapa hari ini menyeruak media. Satu kata itu cukup sering berseliweran setiap kali ada dua kubu berseberangan ide, tak terkecuali dalam kasus penyerangan terhadap umat Katolik di Yogyakarta yang diserang saat berdoa rosario itu.

Banyak orang bicara soal rekonsiliasi, sembari secara (tidak) sadar mengaburkan maknanya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia online, rekonsiliasi berarti “perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula; perbuatan menyelesaikan perbedaan”. Sedangkan menurut Oxford Dictionary, reconciliation berarti “the restoration of friendly relations; the action of making one view or belief compatible with another”.

Tapi, Monsinyur. Bangsa ini kerap dibohongi dan dikadali banyak pemimpinnya, yang ingin menutupi kebohongan dengan rekonsiliasi. Isu rekonsiliasi kerap dibahas, sambil mengajak kita untuk melupakan masa lalu dan menatap masa depan. Terdengar baik memang. Tapi kalau dicermati lagi, itu tak lebih dari usaha pembodohan.

Rekonsiliasi sejatinya mensyaratkan asas “forgive not forget” atas praktek-praktek pelanggaran di masa lalu, juga "pengungkapan kebenaran" seperti prinsip Komisi Kebenaran dan Rekonsilasi. Kebenaran tidak boleh ditutupi, sehingga rekonsiliasi harus mendasarkan diri pada semangat belajar dari kesalahan masa lalu dan menemukan komitmen baru.

Ilustrasinya, kalau ada seseorang yang datang pada kita untuk minta maaf, tanpa ia menjelaskan apa salahnya, tentu kita akan heran. Kita akan mengerti maksudnya, kalau orang itu menjelaskan kesalahannya dengan bilang, misalnya, ”Maaf, ya. Minggu lalu akungambil buku di kamarmu, ga bilang-bilang. Dan sekarang buku itu hilang. Besok saya ganti ya…”

Meski skalanya berbeda, kita bisa belajar dari bangsa Jerman dan Timor Leste, dan juga saya rasa, Afrika Selatan. Sebagai contoh terdekat, perkenankan saya menyodorkan Timor Leste.

Pada tahun 2005 Timor Leste mencetak sejarah, setelah mendirikan Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi (CAVR) dan menghasilkan laporan setebal kira-kira 2500 halaman, Chega!, satu kata dalam bahasa Portugis yang artinya: jangan lagi, stop, cukup.

Selama masa kerjanya, CAVR menggelar sejumlah Proses Rekonsiliasi Komunitas (PRK). Dalam situs www.cavr-timorleste.org disebutkan, program ini adalah baru dan belum pernah diuji sebelumnya untuk memajukan rekonsiliasi dalam masyarakat.

Prosedur PRK berpijak pada keyakinan bahwa cara terbaik untuk mencapai rekonsiliasi komunitas ialah melalui mekanisme partisipatif di tingkat desa. Mekanisme ini menggabungkan praktek keadilan tradisional, arbitrasi, mediasi, dan aspek hukum pidana serta perdata. Dalam pertemuan ini, para korban, pelaku kejahatan, dan masyarakat luas bisa berpartisipasi secara langsung dalam mencari penyelesaian agar pelaku pelanggaran bisa diterima kembali oleh masyarakat.

Indonesia sebagai bangsa harus diakui masih minim pengalaman dalam hal rekonsiliasi akar rumput ini. Selain Lakpesdam NU yang pada awal tahun 2000-an mengadakan rekonsiliasi dengan kalangan korban kekerasan tahun1965, setahu saya belum ada inisiatif serupa lagi sejauh ini.

Sri Sultan dan Monsinyur,

Anda berdua begitu dihormati di Yogyakarta. Modal politik, ekonomi, dan kultural yang Anda berdua miliki, selayaknya dimaksimalkan untuk melindungi warga sesuai amanat konstitusi. Warga Yogyakarta yang berkehendak baik, entah asli atau pendatang, tentu berharap banyak dari Anda berdua. Mereka berharap agar Anda berdua bisa menjadi pimpinan yang mengayomi mereka.

Semoga Anda berdua tak mematikan harapan itu. Harapan siapapun yang berkehendak baik. Harapan bahwa toleransi tetap hidup dan dihidupi. Tak hanya di Yogyakarta, tapi juga di Indonesia Raya.

Balikpapan, Kalimantan Timur, 5 Juni 2014.

26 February 2014

Rokok dan Sabun Untuk Falintil

Pada hari kedelapan bulan Februari 2014 lalu, saya berada di ketinggian Skydining, Plaza Semanggi, Jakarta Selatan. Saya menemui Lexy Rambadeta, seorang film maker yang kenyang pengalaman. Di antara gedung-gedung pencakar langit di sekitarnya –di sisi utara Kampus Universitas Atma Jaya berdiri dengan tegaknya, di sisi selatan, dipisahkan dengan jalan raya yang selalu sibuk setiap hari ada Markas Besar Polda Metro Jaya– Lexy menceritakan kisahnya saat tiga kali bertandang ke Timor Leste tahun 1999.

Lexy mulai tertarik dengan Timor Leste sejak sekitar tahun 1994 ketika masih mengenyam pendidikan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Saat itu di tengah sebuah aksi demonstrasi di kampus UGM, seorang pemuda berambut gondrong berteriak dengan gagah nan lantang, “Viva Xanana Gusmão!”

“Wah, itu ngeri buanget. Aku aja deg-degan banget. Pasti ada intel kan?! Padahal aku nggak terlibat di demonstrasi itu loh. Hanya mendengar aja deg-degan,” kata Lexy mengenang peristiwa itu.

Lexy mengibaratkan tindakan itu seperti halnya orang berteriak “Hidup Lucifer” di saat ibadat misa berlangsung di dalam gereja.

“Karena, Soeharto disakralkan, Timor Leste masuk provinsi keduapuluhtujuh disakralkan. Itu suci. Itu persatuan yang kalau diganggu akan kacau,” imbuh Lexy.

Singkat kata, Lexy akhirnya berkenalan dengan pemuda gondrong itu. Lexy mengaku lupa nama lengkap pemuda asal Timor Leste. Lexy hanya ingat, pemuda itu adalah Pedro, seorang aktivis Resistencia Nacional dos Estudiantes de Timor Leste (RENETIL).

Pertemanan antara Lexy dan Pedro terus berlanjut. Tahun 1998 saat Soeharto dijatuhkan oleh gerakan mahasiswa di seluruh penjuru negeri, termasuk Yogyakarta, Pedro dan kawan-kawannya asal Timor Leste ikut mendukung pergerakan mahasiswa Indonesia di Yogyakarta.

Pedro adalah salah satu orang yang dengan gagah berani membela para mahasiswa di Fakultas Filsafat UGM yang melakukan aksi mogok makan tahun 1998.

“Para mahasiswa yang mogok makan ini mau diserang sama semacam milisi gitu. Nah, orang-orang UGM ini ketakutan, yang mengawal itu orang-orang RENETIL ini,” kata Lexy.

Di suatu malam, setelah mengawal aksi demo itu, Pedro ini ditembak oleh orang tak dikenal. Beruntung, peluru tak mencabut nyawa Pedro dari raganya. Ia tetap hidup.

Hubungan Lexy dan Pedro serta teman-temannya semakin dekat. Perjuangan melawan kediktatoran Soeharto ini berlanjut, karena perjuangan bangsa Timor Leste belumlah selesai.

Menurut Lexy, Pedro dan kawan-kawannya ikut menjatuhkan Soeharto, karena merasa bahwa rakyat Indonesia dan rakyat Timor Leste sama-sama melawan rezim diktator.

“Yang satu menindas rakyat Indonesia, yang satu menindas rakyat Timor Leste,” kata Lexy yang mempunyai banyak rekaman video aksi demonstrasi mahasiswa Timor Leste di Deplu, Gedung PBB Jakarta, dan sebagainya.

Sore itu Lexy juga memutarkan rekaman video. Bukan sembarang video, tapi video yang berisi perjalanan Lexy dan dua orang rekannya dari Jakarta awal tahun 1999 untuk menemui personil dan beberapa pentolan Forcas Armadas de Libertacao Nacional de Timor Leste (FALINTIL) di hutan Kabupaten Lospalos.

Di video itu terlihat beberapa sosok berambut gondrong dan berkulit legam menenteng senjata laras panjang. Mereka membabat ranting-ranting yang ada di hadapan mereka di sepanjang perjalanan di hutan belantara itu.

“Waktu itu jalan kakinya itu berapa jam begitu. Banyak duri. Di Lospalos, banyak batu dan duri. Hutannya nggak lebat, tapi ada batu duri,” ujar Lexy.

Lexy juga mewawancara beberapa orang dari para gerilyawan itu. Ia menggali kenapa mereka masuk hutan. Siapa yang membantai keluarga mereka. Macam-macam.

Sebelum masuk ke Timor Leste, Lexy membeli rokok Gudang Garam Surya sebanyak satu slop untuk dia bagikan pada para gerilyawan Falintil.

Hal itu juga Lexy ulangi lagi setelah referendum yang digelar 30 Agustus 1999 saat ia mendapat tugas peliputan dari sebuah media asing. Ia akhirnya tak hanya memasok rokok, sabun cuci dan sabun mandi, tapi juga perangkat gula, teh, kopi, minyak goreng, korek api, handy talkie dan lain-lain yang ia beli di Yogyakarta.

“Aku sudah punya uang cukup banyak, belanja sabun dan Gudang Garam Surya itu tadi. Karena aku tahu, mereka suka Gudang Garam Surya,” Lexy tertawa lebar mengisahkan itu.

Kemanusiaan sejati mampu menembus batas-batas nasionalisme dan primordialisme. Lexy sudah membuktikan itu.

31 October 2013

Bukan Jurnalis (Perempuan) Biasa

I know you are suffering. This gonna be tough for you. But you don’t let this guy colonize your soul.

Kalimat itu meluncur dari mulut seorang ibu saat anak perempuannya baru saja keluar dari sebuah rumah sakit di Meksiko. Sang anak dirawat setelah diserang dan diperkosa orang tak dikenal di sana. Sang anak berpikir ia akan segera mati. Mata sang ibu menatap tajam padanya sambil mengucapkan kalimat itu. Ada penekanan dalam kata don’t.

Sang anak adalah Lydia Cacho. Jurnalis Meksiko yang pemberani. Amat berani.

Saat mendengar kalimat dari sang ibu, Lydia merasa ada sesuatu dalam hatinya yang bergetar. Ia pun bergumam, “This is it” dan mengamini apa yang dikatakan sang ibu padanya itu.

Sungguh tak keliru dan menyesal saya menyisihkan sebagian tabungan untuk bertandang ke UWRF 2013. Di perhelatan tahun kesepuluh itu, jurnalis kelahiran 12 April 1963 ini adalah salah satu sosok yang paling menarik perhatian saya sejak jadwal UWRF dirilis.

Ia hadir dalam beberapa sesi di UWRF 2013. Tapi saya hanya hadir di dua sesi: Dangerous Ideas dan Without Fear. Di sesi Dangerous Ideas yang dipandu Michael Vatikiotis, Lydia duduk satu panel dengan Danny Morrison dari Inggris, Mona Prince dari Mesir, dan Solahudin peneliti jihad di Indonesia. Sedangkan di sesi Without Fear ia tampil seorang diri dipandu Ariel Leve.

Ancaman pembunuhan berkali-kali ia alami. Siksaan dan teror kerap ia terima. Ia bahkan pernah diperkosa di sebuah terminal di Cancun, Meksiko. Ia menduga keras, hal ini menimpanya karena ia meliput isu-isu sensitif seperti kekerasan pada perempuan. Ia juga menderita karena perlakuan kekerasan karena keberaniannya meliput para politisi yang terlibat dalam jaringan prostitusi anak internasional.

Ia terluka fisik dan mental, bahkan nyaris kehilangan nyawa. Tapi ia tak mundur. Sejengkalpun.

Ayahnya orang Meksiko. Darah pemberani yang mengalir dalam diri Lydia berasal dari nenek dan ibunya yang adalah orang Prancis. Neneknya turut berjuang untuk melindungi dan menyelamatkan sejumlah aktivis politik yang diburu serta disiksa pemerintahan diktator Oliveira Salazar di Portugal dan Franco di Spanyol. Sedangkan sang ibu yang bermigrasi dari Prancis ke Meksiko semasa perang dunia kedua, pada masanya ikut berjuang sebagai aktivis hak-hak perempuan di kantong-kantong kemiskinan di Meksiko.

Sang ibu yang feminis itu kerap mengajak Lydia turut serta dalam pekerjaannya di kalangan akar rumput di sekitar rumah mereka.

“Nenek dan ibu saya mengajari saya untuk turut bertanggungjawab dan bertindak atas apa yang saya saksikan,” ujar Lydia seperti dikutip The Independent.

Hidup ini, bagi Lydia, adalah soal memilih. Setiap bangun pagi, menurut Lydia, kita memutuskan untuk melakukan sejumlah hal.

“Kadang kita lakukan itu dengan sadar, ada kalanya justru sebaliknya. Kadang kita hanya lakukan itu dan berseru ‘Sial, aku lakukan ini!’, ” ujar Lydia.

Lydia juga berteman baik dengan Anna Politkovskaya, seorang jurnalis Rusia yang pada 7 Oktober 2006 ditembak oleh kaki tangan Vladimir Putin. Anna dibunuh karena lewat liputannya kerap melancarkan kritik seputar kebijakan Kremlin di Chechnya.

Mereka berdua sama-sama pernah menjadi penerima Penghargaan Guillermo Cano dari UNESCO. Lydia pada tahun 2008, sedangkan Anna tahun 2007. Lydia terakhir kali bertemu dengan Anna dua bulan sebelum jurnalis yang amat kritis pada Kremlin itu kehilangan nyawanya.

Anda mungkin pernah mendengar The Civil Courage Prize yang pada tahun 2005 diterima Munir dari The Trustees of The North Court Parkinson Fund, lembaga independen yang berbasis di New York. Nah, Lydia menerima penghargaan yang sama tahun 2011 atas dedikasi dan keberaniannya yang dikenal publik internasional itu.

Di ujung sesi Without Fear, setelah banyak sekali orangmuda atau mereka yang telah berumur meminta berfoto dengan Lydia, saya menemuinya. Saya sekilas bercerita tentang liputan saya soal peristiwa Timor Leste tahun 1999, dan meminta sarannya secara umum. Saya mengajaknya berbincang dalam bahasa Spanyol.

Ia bilang pada saya, perlunya pemahaman yang kuat soal motivasi yang mendorong kita meliput tema tertentu. Itu sangat penting. “Satu yang terpenting adalah pemahaman kita pada masalah dan kemampuan kita dalam meliputnya,” tegas perempuan yang tahun 2011 menjadi salah satu dari 100 perempuan berpengaruh di dunia versi majalah Newsweek ini.

Saya sungguh tergetar dengan kata-kata Lydia yang dikutip The Independent: “Saya tidak mundur, bukan karena saya tidak menyadari bahaya yang ada di sekeliling saya. Rasa takut itu teramat nyata dan kekerasan masih terjadi untuk membungkam orang seperti saya. Kekuatan yang saya punya ini datang dari para gadis korban perkosaan. Kekuatan mereka telah merasuk ke dalam diri saya.”

Lydia Cacho memang bukan jurnalis dan perempuan biasa. Foto 1 by Irene Galuh Foto 2 dari kiri ke kanan: Danny Morrison (Inggris), Mona Prince (Mesir), Michael Vatikiotis (moderator), Solahudin (Indonesia)dan Lydia Cacho.

06 October 2013

Mahkamah Konstitusi

Banyak orang di republik ini tersentak ketika Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap lalu digelandang dari rumahnya ke gedung Komisi Pemberantasan Korupsi. Banyak pula orang marah, sedih, serta kecewa karena berita ini. Sampai-sampai ada wacana dari sejumlah politisi, tokoh nasional dan warga sipil untuk membubarkan lembaga ini, atau sekurangnya mengurangi kewenangan luar biasa yang dimiliki MK.

Tapi semudah dan sesederhana itukah untuk membubarkan atau mengurangi peran MK? Tulisan ini sedikit mau mengetengahkan sejarah dan pentingnya peran MK di sebuah negara. Tak hanya di Indonesia tapi juga di negara lain di dunia.

Tahun 2006 sebagai kontributor Majalah Hidup saya mewawancarai Benny K Harman, yang saat itu adalah anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat. Sebelumnya, pada 20 Mei 2006 Benny mempertahankan disertasi setebal 500 halaman berjudul ”Perkembangan Pemikiran Mengenai Perlunya Pengujian UU Terhadap UUD Dalam Sejarah Ketatanegaraan Indonesia (1945-2004)” di depan tim penguji Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Benny menempuh program doktor di UI sejak 2001. Pembimbing sekaligus Ketua Pengujinya adalah Prof Dr Jimly Asshiddiqie SH, Ketua Mahkamah Konstitusi RI yang pertama.

Naskah saya terbit pada edisi No. 30, tanggal 23 Juli 2006 dalam rubrik Eksponen.

Menurut Benny, ada dua hal penting yang mendorongnya menulis disertasi dengan topik ini. Pertama, berkaitan dengan posisi konstitusi dalam sebuah negara yang menganut paham demokrasi. Kedua, berkaitan dengan bagaimana menjaga dan melindungi konstitusi.

”Dalam paham negara demokrasi, konstitusi adalah norma hukum paling tinggi. Kalau dia merupakan norma hukum paling tinggi, maka segala kebijakan pemerintah, semua penyelenggaraan kekuasaan negara harus tunduk pada konstitusi,” ujar mantan wartawan bidang hukum dan politik Harian Umum Media Indonesia ini.

Yamin vs Soepomo Dalam ringkasan disertasi setebal 129 halaman Benny menjelaskan, Muhammad Yamin adalah orang pertama yang mencetuskan pemikiran tentang perlunya kekuasaan kehakiman untuk memiliki kewenangan menguji UU terhadap konstitusi atau UUD. Hal itu mengemuka dalam sidang pleno Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) atau Dokuritsu Zyunbi Tjoosakai pada 15 Juli 1945.

Yamin mengusulkan itu karena ingin menjadikan Indonesia sebagai negara kedaulatan rakyat, negara demokrasi yang mengacu pada konstitusi. Bukan negara demokrasi berdasarkan majority system, melainkan negara demokrasi yang berbasis konstitusi.

Dalam penilaian Soepomo, paham yang diusulkan Yamin mengenai pengujian UU itu adalah paham liberal yang merupakan ’anak kandung’ dari sistem demokrasi liberal. Sementara Soepomo menghendaki sebuah negara integralistik yang khas Indonesia. ”Pemikiran Yamin itu ditolak oleh Soepomo yang menginginkan negara integralistik,”jelas Benni.

Yamin berpendapat, negara khas Indonesia memang mengakui kedaulatan rakyat. Tetapi, kedaulatan rakyat itu diserahkan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melalui Pemilu, lalu MPR menyerahkan kembali kepada Presiden sebagai Mandataris.

Benny juga membandingkan pengujian UU terhadap UUD di Indonesia dengan beberapa negara di dunia, terutama Jerman yang telah belajar dari sejarah bangsanya. Di Negeri Bavaria itu, demikian Benny, pengujian dilakukan oleh sebuah lembaga semacam Mahkamah Konstitusi (MK). Tahun 1945, ketika Adolf Hitler masih berkuasa, pengadilan telah dijadikan alat oleh rezim yang berkuasa untuk menindas hak-hak asasi rakyat Jerman pada waktu itu.

”Hampir semua negara yang waktu itu mengalami transisi, dari rezim otoriter menuju demokrasi, memiliki MK sebagai salah satu institusi yang bertugas menjaga agar proses transisi itu berjalan on the right track,” Benny menambahkan.

Benny juga mengutip pandangan Sutan Syahrir 60 tahun silam. Waktu itu Syahrir menandaskan bahwa usaha untuk mengontrol UU jangan diserahkan ke pengadilan, yang sudah lama bekerja untuk rezim yang represif. Portugal (1986), Spanyol (1978) membentuk MK setelah melepaskan diri dari rezim otoriter. Pasca keruntuhan komunisme, muncul gelombang baru yang menuntut tegaknya konstitusionalisme di negara-negara lain di Eropa bagian timur dan tengah, dengan turut membentuk MK guna menguji tindakan pemerintah dan peraturan perundang-undangan terhadap UUD. Di benua itu, Luxemburg menjadi negara terakhir yang membentuk MK tahun 1998, meninggalkan Inggris dan Belanda. Sementara di Asia, Korea Selatan sudah memiliki lembaga semacam MK tahun 1988, disusul Thailand satu dekade kemudian. Indonesia menjadi negara terbaru (sampai tahun 2006 ketika wawancara ini saya lakukan) di kawasan Asia yang mendirikan MK yang ia juluki sebagai the guardian of the constitution.

MK memang tengah dihantam badai. Tapi membubarkannya tentu tak lantas menyelesaikan masalah. MK, dengan segala macam cara yang mungkin, harus kita topang.

13 May 2013

Orang Kecil dalam Peristiwa Besar

Pernah ada seorang penggali makam di Arlington National Cemetery, Negara Bagian Virginia, Amerika Serikat. Clifton Pollard namanya. Seorang yang menjalani pekerjaan dengan gembira. Terlebih saat di akhir November 1963 ia mempersiapkan sebuah liang lahat untuk orang yang disebutnya sebagai ‘orang baik’: Presiden John Fitzgerald Kennedy atau biasa disingkat JFK. Seperti kita tahu, tanggal 22 November 1963 JFK mati bersimbah darah dalam pelukan Jacqualine Kennedy sang istri, karena diberondong timah panas di Dealey Plaza, Dallas, Texas, Amerika Serikat.

Kisah Clifton Pollard di hari pemakaman itu ditulis Jimmy Breslin dalam New York Herald Tribune November 1963, dalam news feature berjudul It’s an Honour. Bahasa yang dipakai sangat renyah. Berkali-kali saya membacanya, tak bosan-bosan juga. Sungguh sebuah karya jurnalistik yang memukau. Sudut pandang yang dipilih, gaya bahasa yang mengalir bak cerpen, penuturan yang singkat namun padat, sungguh membuat saya bisa merasakan deskripsi yang coba dihadirkan Breslin. Berkali-kali saya baca naskah itu, berkali-kali pula saya terkesima.

Saya bersyukur bisa mengikuti kursus narasi di Pantau dengan Andreas Harsono dan Budi Setiyono sebagai mentor. Naskah It’s an Honour yang diterjemahkan menjadi Ini Sebuah Kehormatan bisa saya baca, karena naskah itu menjadi salah satu dari sejumlah naskah bagus lainnya yang harus kami lahap. Ada naskah lain: Hiroshima karya John Hersey, The Silent Season of A Hero besutan Gay Talese, The Soccer War torehan Ryszard Kapuściński, Orang-Orang Ditiro liputan Linda Christanty, Panglima, Cuak, dan RBT tulisan Chik Rini, dan masih banyak lagi.

Wikipedia mencatat, kolom itu menunjukkan gaya Breslin, yang sering menyoroti bagaimana peristiwa besar atau tindakan mereka yang dianggap "berita" mempengaruhi "orang biasa".

Breslin tidak mewawancara menteri. Tidak juga Wapres Lyndon B Johnson yang kemudian dilantik sebagai presiden pengganti JFK. Tidak janda mendiang JFK, Jacqualine Kennedy. Tak ada petinggi Gedung Putih yang Breslin wawancarai terkait pemakaman JFK. Breslin menyingkir dari keramaian dan hiruk pikuk Arlington National Cemetery itu, untuk mendatangi keluarga Pollard di apartemen tiga kamar di Corcoran Street.

“Dia (JFK) orang yang baik,” kata Pollard pada John Metzler sang mandor.

“Ya, memang,” sahut Metzler.

“Sekarang dia akan datang ke sini dan berbaring di liang lahat yang saya gali. Kau tahu, ini benar-benar sebuah kehormatan buat saya, mengerjakan semua ini,” imbuh Pollard yang digaji $3.01 per jam untuk pekerjaanya itu.

Pollard tak hadir saat upacara pemakaman berlangsung. Dia berada jauh di balik bukit itu, menggali kubur lain. Entah kubur untuk siapa.

Di antara peluhnya, Pollard bergumam: “Tadi saya mau melihat ke sana. Tapi ada terlalu banyak orang, kata tentara tadi, saya tak boleh mendekat. Jadi, ya saya tetap di sini dan menggali. Tapi nanti saya akan ke sana sebentar. Cuma melihat sebentar, ya kan? Seperti kata saya padamu tadi, ini sebuah kehormatan.”

Membaca kisah brilian itu, selayaknya kita tak perlu kaget-kaget amat kalau tahu profil penulisnya. Terang saja, Jimmy Earl Breslin ini sama sekali bukan penulis kacangan. Dari wikipedia, saya tahu ia pernah meraih dua penghargaan bergengsi: Georg Polk Award dan Pulitzer Prize, masing-masing tahun 1985 dan 1986. Pria kelahiran Jamaica, New York, 17 Oktober 1930 itu menjadi kolumnis untuk New York Herald Tribune, the Daily News, the New York Journal American, Newsday, dan lainnya.

Dari Indonesia, sejarawan almarhum Sartono Kartodirdjo juga pernah menulis tentang pemberontakan kaum petani di Banten. Bukan tulisan sembarang tulisan, melainkan sebuah karya disertasi berjudul The Peasant’s Revolt of Banten in 1888, Its Conditions, Course and Sequel: A Case Study of Social Movements in Indonesia. Disertasi itu dibuat almarhum saat menempuh studi doktoral di Universtas Amsterdam, Negeri Belanda tahun 1966.

Begitulah. Ada banyak hal, kisah, dan orang kecil di balik peristiwa-peristiwa besar. Orang-orang itu kerap tenggelam di balik gegap gempita seremoni. Mereka nyaris selalu luput dari kilau jepretan kamera para jurnalis foto.

Tapi kita selayaknya tak lupa, bahwa sejarah umat manusia memang selalu hadir karena peluh, bahkan darah, dari orang-orang kecil itu. Clifton Pollard pada tahun 1963 dan para petani di Banten tahun 1888 itu hanya dua di antaranya.

Sumber foto teratas: http://www.findagrave.com/cgi-bin/fg.cgi?page=pv&GRid=33858642

Sumber foto Breslin: http://www.cityandstateny.com/the-new-yorker-an-interview-with-jimmy-breslin/

22 April 2013

Media Massa dan Pembodohan Massal

Satu kasus pembunuhan menyedot perhatian publik Boston, Amerika Serikat tahun 1989. Harian The Boston Globe memberitakan peristiwa tertembaknya seorang wanita dalam mobil yang berhenti di sebuah bagian suram kota Boston. Sang suami yang juga berada di mobil itu tak ikut tewas, meski menderita luka. Polisi turun tangan memeriksa tempat kejadian perkara, sebuah daerah yang dicap rawan karena dihuni orang-orang hitam dan miskin. Persoalan obat bius, kriminalitas dan kekerasan begitu lekat dengan daerah itu. Polisi menggelar penggeledahan dan interogasi. The Boston Globe mengarahkan liputan ke para penghuni kawasan itu.

Singkat kata, investigasi polisi pun usai. Tapi terbukti kemudian, sang suamilah yang menembak mati sang isteri, dan lalu, melukai diri sendiri, dengan harapan bisa mengelabui polisi. The Boston Globe memberitakan semuanya, tapi tampak bahwa dalam investigasinya awak redaksi mereka ikut memulai praduga bahwa si pembunuh berasal dari kawasan miskin yang dihuni orang-orang hitam itu.

Kisah itu ditulis oleh pendiri majalah Tempo Goenawan Mohammad (GM) dalam kata pengantar buku Sembilan Elemen Jurnalisme: Apa yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan Diharapkan Publik yang diterbitkan Yayasan Pantau tahun 2006. Buku itu adalah karya terjemahan dari dua wartawan senior Amerika Serikat Bill Kovach dan Tom Rosentiel: The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect. Buku asli ini terbit pertama kali tahun 2001.

GM hadir dalam sebuah diskusi di Harvard dalam program Nieman Fellowship saat itu. Kovach sebagai mentor menyampaikan kesimpulannya pada GM. Kata Kovach, para wartawan The Boston Globe tak menyadari prasangka-prasangka yang merasuk dalam diri mereka sendiri –yang datang antara lain karena kelas sosial yang berjauhan bahkan bertentangan. Para wartawan itu sudah hidup terlalu jauh dari kalangan miskin. Andai ada wartawan yang tinggal atau bekerja di kawasan kumuh itu, tentu akan lebih bisa merasakan bagaimana sewenang-wenangnya tuduhan awal itu kepada warga kulit hitam di tempat kejadian perkara.

***

Dua puluh tiga tahun kemudian kisah serupa masih terjadi. Bukan di negeri Paman Sam, tapi di Indonesia. Bukan soal pembunuhan, tapi soal tuduhan penggunaan ilmu hitam semacam santet. Kemiripan terjadi, ketika media turut berperan menghakimi orang yang belum tentu salah, sekaligus belum tentu benar.

Saya tak tahu siapa nama tokoh di Boston yang diceritakan ulang oleh GM itu. Tapi untuk kasus di Indonesia ini, tokoh sentralnya tentu tak asing di telinga kita akhir-akhir ini: Eyang Subur. Tentu, ini bukan satu-satunya kasus yang menunjukkan betapa jurnalisme negeri ini begitu rendah mutu dan tidak –atau belum– memainkan peran secara maksimal bagi pencerdasan masyarakat.

Berminggu-minggu sudah media memborbardir masyarakat dengan berita soal Eyang Subur. Kebencian diumbar di televisi. Pemirsa disuguhi raut muka merah, sambil mengacungkan jari telunjuk dan sesekali mengepalkan tangan penuh amarah di layar kaca. Ada pula artis yang mengaku disantet Eyang Subur. Mereka mengumpat sang Eyang.

Saya tak ingat persis nama narasumber yang diwawancara acara infotainment itu. Seingat saya, acara itu menghadirkan tiga wawancara. Wawancara pertama berisi kisah seorang pria yang menuduh Eyang Subur telah mengguna-guna putrinya, karena menolak dijadikan istri kesekian dari sang Eyang.

Pria berusia sekitar 50 tahun itu bertutur, kisah bermula ketika lamaran Eyang Subur ditolak sang gadis. Gadis itu lantas menikah dengan pria pilihannya lantas hamil namun terkena kista. Selang beberapa waktu setelah keguguran, perut sang ibu dioperasi. Ditemukan gigi dan rambut di dalam rahimnya. Spekulasi lalu merebak: Eyang Suburlah telah melampiaskan amarah pada wanita muda itu karena lamarannya dulu ditolak.

Saya ceritakan kisah itu pada pacar saya. Ia tegas menolak ‘teori’ itu. Seorang dokter, yang kebetulan adalah ayah dari teman pacar saya bilang, bahwa ditemukannya gigi dan rambut dalam rahim itu dimungkinkan dalam dunia medis, ketika seorang perempuan pernah terkena kista. Apalagi jika usia kandungan sudah cukup tua. Gigi dan rambut itu tertinggal ketika sang janin keluar dalam kondisi meninggal.

Singkatnya, ‘teori’ tentang dendam sang Eyang terpatahkan dengan dalil ilmiah.

Terkait ini, saya jadi teringat kembali pada Bill Kovach dan Tom Rosentiel. Dari sembilan (kemudian menjadi sepuluh) elemen jurnalisme yang disodorkan duet itu, saya coba kaitkan kasus Eyang Subur dengan penjelasan mereka berdua tentang elemen ketiga, disiplin verifikasi dalam jurnalisme.

Bill dan Tom mengatakan, disiplin verifikasi itu adalah esensi dari jurnalisme. Nah, dalam kasus pemberitaan Eyang Subur ini, verifikasi sama sekali diabaikan. Kalau mau sedikit usaha, mengapa tidak ada wawancara dengan dokter kandungan? Tayangan itu –dan juga tayangan infotainment dan berita lain– menurut saya sudah melakukan pembodohan besar-besaran, karena masyarakat hanya disodori aspek mistis yang tak jelas ukurannya dalam kasus Eyang Subur. Tak ada penjelasan ilmiah yang coba dihadirkan di situ.

Dalam resensinya soal buku karya dua jurnalis kawakan itu, Andreas Harsono (salah satu murid mereka di Indonesia selain Goenawan Mohammad, Ratih Hardjono dan Sabam Siagian) menulis begini: “Disiplin mampu membuat wartawan menyaring desas-desus, gosip, ingatan yang keliru, manipulasi, guna mendapatkan informasi yang akurat. Disiplin verifikasi inilah yang membedakan jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi atau seni.

Mereka (Bill dan Tom) berpendapat, “saudara sepupu” hiburan yang disebut infotainment (dari kata information dan entertainment) harus dimengerti wartawan agar tahu mana batas-batasnya. Infotainment hanya terfokus pada apa-apa yang menarik perhatian pemirsa dan pendengar. Jurnalisme meliput kepentingan masyarakat yang bisa menghibur tapi juga bisa tidak
.”

Seingat saya, ada seorang pria lain yang diwawancara infotainment itu. Sayang sekali, saya lupa namanya. Saya hanya ingat, dengan mata melotot dengan jari yang berkali-kali ditunjuk ke meja, ia mengutuk Eyang Subur. Kalimat-kalimat penuh kebencian ia umbar. Kamera pun berkali-kali menyorotnya secara close up dengan gerakan yang diperlambat alias slow motion. Seorang pria lain yang diwawancara tampil sebagai pembela Eyang Subur.

Saya makin bingung, ketika Adi Bing Slamet membawa-bawa kasus ini ke Senayan, tempat para wakil rakyat bekerja. Saya tak habis pikir, kasus yang menurut saya tak jelas ukurannya, bisa dibawa-bawa ke ranah politik. Apakah DPR kekurangan beban pekerjaan? Target Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2012 hanya tercapai 30 Undang-Undang, baik UU baru maupun UU revisi. Sementara 39 sisanya terbengkalai begitu saja. Tahun 2011 cuma ada 24 UU yang berhasil disahkan, dari target Prolegnas sebanyak 93 UU maupun revisi UU. Sedangkan tahun 2010, dari 70 target Prolegnas, hanya 16 UU yang kelar dibahas dan disahkan.

Kegerahan itu bertambah ketika, entah kebetulan atau tidak, muncul wacara untuk memasukkan isu santet ke dalam KUHP. Bahkan ada anggota DPR RI yang studi banding ke Inggris, Prancis, Belanda dan Rusia khusus untuk ihwal ini. Saya jadi menggaruk-garuk kepala sendiri, yang sebenarnya tak gatal.

Saya sendiri, merasa sedih setiap kali melihat keluarga saya di rumah menonton tayangan infotainment. Mereka kerap menelan mentah-mentah informasi yang belum tentu benar. Kadang saya berdebat dengan mereka, kadang saya biarkan karena enggan bersitegang terus-menerus. Tapi ada jutaan orang lain di Indonesia yang tingkahnya seperti keluarga saya itu.

Beginilah hidup di negeri di mana rasionalitas masih kerap diabaikan. Parahnya lagi, media turut mendorong kemunduran ini.

Kenapa media begitu getolnya mengangkat kasus ini secara serampangan? Mengapa rasionalitas dilecehkan sedemikian parahnya hanya demi sensasi yang mendongkrak rating? Acara infotainment itu tayang sekian jam dalam sehari. Pagi, siang dan sore hari. Tentu banyak anak kecil yang menyaksikan. Tidak adakah yang memikirkan bagaimana dampak dari tayangan itu pada masyarakat terutama anak kecil?

Kasus kejahatan beralaskan kebohongan di Boston akhirnya terungkap tuntas. Tapi entah bagaimana kelanjutan kasus Eyang Subur ini. Saya meragukan ada media di Indonesia yang bisa tuntas membongkar kasus ini, atau kasus-kasus lain seperti bailout Bank Century, skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Trisakti, Semanggi, Cicak versus Buaya, Hambalang, atau yang terbaru: serangan sadis anggota Kopassus ke penjara Cebongan, Yogyakarta.

Satu dua media mendaku diri sebagai jagoan investigasi, tapi toh hanya hal-hal di permukaan yang mencuat di permukaan. Tak pernah ada yang membahas tuntas ... tas... tas...

Pembodohan massal lewat media sudah sering dan masih berlangsung. Entah sampai kapan.

Sumber foto: banjarmasin.tribunnews.com

Fransiskus Pascaries