30 December 2007

Benazir Bhutto dan Dua Kata Sakti

Lampu kamar telah saya padamkam. Mata saya terasa berat untuk terus dipaksa berjaga. Waktu itu, Kamis 27/12 sekitar pukul 21.30 sewaktu bapak saya menggedor pintu kamar saya dan berkata, “Benazir Bhutto tertembak !”. Dari berita teks berjalan di Metro TV dikabarkan Benazir tewas setelah kepala dan dadanya ditembus peluru.

Di Stasiun Pasar Senen keesokan paginya, saya langsung merogoh kocek untuk membeli Kompas. Saya ingin segera mendapatkan berita yang lebih lengkap daripada yang telah saya dapat semalam. Foto utama di Kompas pagi itu, yang agak kabur, menggambarkan detik-detik terakhir Benazir sebelum timah panas menembus tubuh dan kepalanya. Ia tewas beberapa saat setelah menyampaikan pidato kampanye bagi Partai Rakyat Pakistan (PPP) di Lapangan Liaqat Bagh, Rawalpindi.

Wanita kelahiran Provinsi Sindh, Pakistan, 21 Juni 1953 itu tewas ditembak pelaku yang lalu meledakkan bom yang terlilit di tubuhnya. Selain tentu saja sang pelaku, dikabarkan 20 orang tewas di lokasi dan sekitar 56 orang menderita luka.

Wanita nekad

Jika kita tarik ingatan kita mundur ke tanggal 18 dan 21 Oktober 2007, tentu kita tidak akan terlalu terkejut dengan pembunuhan sadis itu. 18 Oktober2007, ia kembali dari pengasingan dan disambut puluhan ribu pendukungnya di Karachi. Sorak-sorai pertanda kebahagiaan sontak berubah menjadi teriakan histeris saat insiden bom bunuh diri terjadi. Setidaknya 136 nyawa melayang dan 387 orang terluka. Namun, Benazir beruntung dan lolos dari maut.

Tiga hari setelah insiden itu, Benazir menunjukkan nyalinya dengan menyatakan akan tetap tampil di depan publik. Entah ada hubungannya atau tidak, tanggal 23 Oktober 2007 ia menerima surat ancaman yang dikirim oleh kelompok yang mengaku sebagai Al- Qaeda, yang menyatakan akan membunuhnya “di mana pun dan kapan pun ada kesempatan”.

Tetapi, nyalinya tak kunjung ciut. Keesokan harinya ia malah menyatakan akan segera memulai kampanye untuk memperebutkan kursi parlemen bagi partainya, PPP, ke berbagai daerah di Pakistan. Melalui PPP yang dipimpinnya, ia memutuskan untuk menggunakan strategi ‘menjemput bola’.

Awal November tahun ini, Presiden Pervez Musharraf menyatakan negara dalam keadaan darurat. Tetapi, lagi-lagi wanita yang tetap terlihat cantik di usia 54 tahun dan tengah berada di Dubai, UAE, menyatakan tidak takut dan akan segera kembali ke Pakistan untuk sementara. Akhirnya, di Kamis sore yang kelabu itu ia menghadap penciptanya dengan cara yang menggenaskan.

"Masih ada ancaman serangan, tetapi Allah melindungi siapa saja. Jadi saya tidak takut," ujar Benazir saat ziarah ke makam ayahnya di Naudero, Provinsi Sindh di selatan. Ini setelah dia lolos dari bom bunuh diri yang menewaskan 150 orang saat kembali ke Pakistan, Oktober lalu. (Kompas, 29/12)


Bukan pertama

Benazir bukanlah tokoh politik pertama di dunia yang harus bernasib tragis akibat kekerasan politik. Ayahnya sendiri, Zulfikar Ali Bhutto (Presiden tahun 1971-1973, PM tahun 1973 -1977), juga tewas karena latar belakang yang sama, intrik politik.

Sekitar 28 tahun yang lalu, 4 Januari 1979, di tengah dinginnya udara penjara Rawalpindi –tak jauh dari lokasi Benazir ditembak– Ali tewas di tiang gantungan atas perintah Mohammed Zia Ul Haq, seorang jenderal yang ketika menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Bersenjata Pakistan menggulingkan Ali dari kursi PM pada 5 Juli 1977. Saat itu, Ali dikenai dakwaan tendensius: terlibat dalam konspirasi pembunuhan –yang gagal– atas ayah politisi Ahmed Reza Kasuri.

Mungkin kita hanya mengetahui atau mengingat sebagian kecil nama petinggi negara di dunia yang tewas karena kiprah politiknya, seperti John F Kennedy (Amerika Serikat) dan Indira Gandhi (India). Tetapi, berikut daftar yang dibuat kantor berita Associated Press dan dikutip oleh P. Swantoro dalam buku Masalalu Selalu Aktual (Kompas, 2007):

  1. Amerika Serikat, Amerika Utara dan Amerika Latin
    1. Presiden AS John F Kennedy, tewas 22 November 1963 di Dallas, Texas.
    2. Presiden AS William McKinley (1901).
    3. Presiden Meksiko Francisco Madero (1913).
    4. Presiden Meksiko Jenderal Venustiano Carranza (1920).
    5. Presiden-terpilih Meksiko Alvaro Obregan (1928).
    6. Presiden Nikaragua Anastacio Somoza GarcĂ­a (1956).
    7. Presiden Nikaragua Anastacio Somoza Debayle (1980).
    8. Presiden Guatemala Carlos Castillo Armas (1957).
    9. Diktator Dominica Leonida Trujillo Molina (1961).
    10. Presiden Cile Salvador Allende (1973).
    11. Mantan PM Grenada Maurice Bishop (1983).

  1. Eropa
    1. Raja Umberto (Italia, 1900).
    2. Raja George (Yunani, 1913).
    3. Pangeran Franz Ferdinand (Austria-Hongaria, 1914).
    4. Bekas Tsar Rusia Nikolas II (1918).
    5. Kanselir Engelbert Dolfuss (Austria, 1934).

  1. Asia
    1. PM Sri Lanka Solomon Bandaranaike (1959).
    2. Presiden Vietnam Selatan Ngo Dihn Diem (1963).
    3. PM Iran Hassan Ali Mansour (1965).
    4. Presiden Iran Mohammed Ali Rajai dan PM-nya Mohammed Bahonar (1981)
    5. PM Yordania Wasti Tal (1971).
    6. Raja Arab Saudi Faisal (1975).
    7. Presiden Bangladesh Sheik Mujibur Rahman (1975).
    8. Presiden Bangladesh Zia ur-Rahman (1981).
    9. Presiden-terpilih Lebanon Bashir Gemayel (1982).
    10. Presiden Korea Selatan Park Chung-Hee (1979).
    11. Presiden Afghanistan Nur Mohammed Taraki (1979).
    12. PM India Indira Gandhi (1984).
    13. PM India Rajiv Gandhi (1991).

  1. Afrika
    1. Mantan PM Kongo Patrice Lumumba (1961).
    2. Presiden Republik Kongo Marien Ngouabi (1977).
    3. PM Afrika Selatan Hendrik Verwoerd (1966).
    4. Presiden Madagaskar Richard Ratismandrava (1975).
    5. Kepala Negara Nigeria Jenderal Murtala Ramat Mohammed (1976).
    6. Presiden Liberia William Tolbert (1980).
    7. Presiden Mesir Mohammed Anwar Al Sadat (1981).

Daftar yang sangat panjang itu baru mencakup mereka yang ketika tewas tengah atau telah menyandang jabatan publik. Ada pula tokoh besar lain yang walau tidak menjadi tokoh puncak di negerinya, namun turut tewas karena pertikaian politik. Berikut sebagian di antaranya.


1. Mohammad Karamchand Gandi alias Mahatma Gandhi Politikus utama dan pemimpin spiritual India (1948).

2. Anna Politkovskaya, 7 Oktober 2006 tewas ditembak. Diduga kuat ia dibunuh oleh kaki tangan Vladimir Putin, terkait kritik yang ia lontarkan seputar kebijakan Kremlin di Chechnya.

3. Alexander Litvinenko, 21 November 2006 tewas diracun dengan thallium dan mungkin juga bahan-bahan lain yang mengandung radio aktif. Ia adalah mantan agen dinas rahasia Rusia KGB, yang lalu menjadi FSB. Ia tewas saat menyelidiki kematian Anna Politkovskaya.

4. Lev Davidovitch Bronstein, yang lebih kondang disebut Leon Trotsky. Ia tewas di Meksiko 21 Agustus 1940 sehari setelah ditembak oleh Jaume Ramon Mercader del Rio Hernadez, seorang komunis Catalan, yang “menerima order” dari Leonid Eitington, seorang perwira Dinas Rahasia Rusia saat itu NKVD.

Trotsky dikenal sebagai lawan tangguh bagi Stalin, pejuang revolusi Bolshevik, teoritikus Marxis kelas wahid, politikus ulung di masa awal berdirinya Uni Soviet, pendiri dan komandan Tentara Merah, pendiri Politbiro.

Konteks Indonesia

Kamis malam 27/12, atau beberapa jam setelah Benazir tertembak, Presiden Yudhoyono menyatakan akan mengeluarkan instruksi resmi kepada Polri dan dan aparat keamanan lainnya, seperti intelijen dan TNI yang menjalankan tugas keamanan khusus, untuk meningkatkan kewaspadaan dan melakukan langkah-langkah efektif dan proporsional.

“Ini supaya tidak terjadi di negeri kita. Kompetisi di negeri kita terus berlangsung. Sekarang ini baru pilkada. Tahun 2009 dan tahun depan sudah mulai ada kegiatan dan kompetisi politik,” kata presiden kepada wartawan sebelum menerima calon KSAD dan KSAU di kantornya.

Memang, di negeri ini sangat jarang terjadi peristiwa pembunuhan politik terbuka seperti di Pakistan dan negara-negara lain. Walau tentu kita semua tahu bagaimana Presiden Soekarno “dibunuh secara perlahan” sebelum meninggal karena sakit tahun 1970.

Kita juga tak mungkin menutup mata atas pembunuhan konspiratif kelas atas yang menelan korban sejumlah perwira tinggi dan perwira menengah ABRI tahun 1965. Belum lagi pembunuhan massal sepanjang tahun 1965 lainnya. Selain karena perkara politik-kekuasaan, adakah alasan lain yang mendorong pembunuhan itu ?

Selamat jalan, Benazir Bhutto. Kita memang tak pernah saling kenal. Bahkan, ribuan kilometer jarak membentang antara kita. Tetapi, dari semua yang telah kau lakukan dan ucapkan, kau mengajariku dua kata sakti: “Tidak Takut !”. Tentu, itu berbeda dengan slogan iklan sabun Lifebuoy, “Kotor ? Tidak Takut !”. Berbeda pula dengan slogan iklan Rinso, “Kalau nggak kotor, ya nggak belajar”. Semua karena, nyawa manusia terlalu berharga untuk digadaikan.

Kau mengajari saya, bahwa ketakutan bukan bukanlah alasan untuk menghentikan perjuangan. Saya yakin, darahmu yang tertumpah dan membasahi Rawalpindi –juga darah para pemimpin dunia lain seperti tersebut di atas– tidak akan pernah sia-sia.

Meminjam istilah Goenawan Mohammad perihal kematian sejarawan Ong Hok Ham, “... Ia tidak mati. Ia hanya pergi entah ke mana”.

Benazir, Rest In Peace ...

Keterangan foto (dari atas):
1. Benazir Bhutto dalam sebuah kampanye
2. Detik-detik penembakan Presiden Anwar Sadar, di Kairo 6 Oktober 1981. Ia tengah duduk di
podium kehormatan pada upacara parade militer Mesir, saat diberondong peluru Khaled
Ahmed dan kelompoknya.

Biodata singkat Benazir Bhutto

Lahir di Sindh, Pakistan, 21 Juni 1953

  1. Tahun 1969-1973 menempuh kuliah politik hingga meraih gelar BA di Harvard, AS.
  2. Tahun 1973-1977 menempuh kuliah filsafat, politik dan ekonomi di Oxford, Inggris. Lalu kembali ke Pakistan.
  3. Tahun 1979 ayahnya, Zulfikar Ali Bhutto, tewas digantung.
  4. Tahun 1980 saudara laki-lakinya, Shahnawaz, tewas dibunuh di Prancis.
  5. Tahun 1988 pertama kali terpilih menjadi PM Pakistan.
  6. Tahun 1990 dipecat presiden Farooq Leghari karena dituduh korupsi.
  7. Tahun 1993 kembali ke kursi PM, setelah Nawaz Sharif, suksesornya dipaksa mundur karena berselisih paham dengan presiden Farooq Leghari.
  8. Tahun 1996 saudaranya yang lain, Mir Murtaza, tewas dibunuh.
  9. Tahun 1999 didenda dan dikenai hukuman lima tahun penjara. Saat tuduhan dijatuhkan ia berada di luar negeri dan memilih untuk tidak kembali ke Pakistan. Hukuman itu lalu dibatalkan, namun ia tetap mengasingkan diri.
  10. Tanggal 18 Okt 2007 kembali ke Pakistan dari pengasingan. Penyambutan atas dirinya diwarnai aksi bom bunuh diri yang menewaskan sekitar 136 orang dan 387 menderita luka.
  11. Tanggal 27 Des 2007 tewas ditembak di Rawalpindi

03 September 2007

Ontosoroh, Korban Lapindo dan Kemerdekaan (seonggok lamunan agustusan)

“Kita telah melawan, Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya!”
====

Kalimat itu terucap dari bibir artis cantik Happy Salma, pemeran utama pementasan teater “Nyai Ontosoroh”. Tiga hari berturut-turut, ia tampil di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki (GBB TIM) Jakarta, 12-14 Agustus 2007. Saya hadir di hari kedua, Senin 13/8.


Di adegan terakhir pementasan itu ditampilkan Ontosoroh dan Minke melepas kepergian Annelies, putri Ontosoroh, yang dipaksa pulang ke negeri Belanda. Kalimat itu terlontar setelah Minke berkata,” Kita sudah kalah.” Namun, Ontosoroh digambarkan sudah melakukan segala daya dan kecerdasannya untuk mempertahankan Annelies. Jalur pengadilan tak terkecuali.

De javu! Ontosoroh juga mengalami hal serupa ketika pada usia 14 tahun dijual seharga 25 gulden oleh orangtuanya pada Williem Bivers, seorang pengusaha Belanda di Surabaya. Sebelum menjadi gundik Bivers, namanya adalah Sanikem.


Jujur saja, salah satu motif yang mendorong saya untuk menonton teater itu adalah melihat paras ayu dara kelahiran Sukabumi, 4 Januari 1980 itu, Happy Salma. Motif naluriah seorang lelaki. Sementara motif lainnya, barangkali sedikit heroik, adalah mencoba memaknai kata kemerdekaan dari seorang Nyai Ontosoroh, yang diangkat dari roman sejarah karya begawan sastra Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia.


Saya bukan pelahap karya-karya Pram, memang. Tetapi, saya bisa meraba-raba semangat yang senantiasa menyuluh dalam Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca) dan juga yang lainnya.

Tiket hibah
Pertunjukan hasil kolaborasi Institut Ungu, Jaringan Nasional Perempuan Mahardika dan Perguruan Rakyat Merdeka itu terdiri dari 31 adegan. Perpindahan antaradegan berlangsung rata-rata 5-10 detik, di tiga panggung: satu panggung besar di tengah dan dua panggung kecil di sisi kiri dan kanan.


Mata saya berkelana dari sisi kiri belakang tempat duduk saya ke segenap penjuru ruang berpendingin itu. Tak ada bangku kosong tersisa di GBB yang berkapasitas sekitar 800 orang itu. Dari kantor saya di Kebon Jeruk, Jakarta Barat, bergegas saya pacu Yamaha Vega-R saya guna menembus kemacetan antara kawasan Batusari, Kemanggisan, Tanah Abang. Saya memilih untuk berputar di bawah jembatan tak jauh dari Hotel Peninsula, untuk menghindari kemacetan yang begitu menyiksa. Ternyata, pilihan saya tak salah. Dengan melewati terminal dan Pasar Tanah Abang, laju motor saya bisa jauh lebih cepat. Tak lagi merayap bagai cicak di dinding.


Saat saya datang sekitar pukul 19.30, GBB telah ramai oleh ratusan orang yang tengah menanti pementasan itu. Dari pakaian yang mereka kenakan, saya melihat ada karyawan swasta yang tampak necis. Ada pula orang-orang muda, sepertinya mahasiswa. Tak sedikit pula tampak kalangan generasi tua yang mengantri di depan pintu untuk masuk. Di sisi pintu ada dua meja yang sarat dengan tumpukan tiket yang telah dipesan.

Pelatihan jurnalistik di kantor, membuat saya tidak berani untuk memesan tiket beberapa hari sebelumnya. Akibatnya, saya yang datang tanpa tiket harus berharap-harap cemas, akan ada yang membatalkan tiket. Tetapi, saya beruntung. Romo Greg Soetomo SJ yang terjebak kemacetan menghibahkan tiketnya pada saya. Melalui frater-frater yesuit yang serumah dengannya, saya mendapatkan tiket itu. Alhamdulilah, setelah sekitar 30 menit menanti di depan penukaran tiket, saya masuk ke dalam ruangan itu, dan memelototi pertunjukan itu selama lebih kurang 195 menit.

Anak-anak melawan. Kita ?
Sementara itu, tanggal 13-15 Juli digelar Festival Budaya Anak Pinggiran-Ciliwung Merdeka (FBAP). Acara itu diprakarsai oleh komunitas Ciliwung Merdeka (CM), suatu komunitas kerja yang terdiri dari anak, remaja, dan warga Bukit Duri di bantaran Kali Ciliwung, Kelurahan Tebet, Jakarta Selatan, dengan Jaringan Kemanusiaan Ciliwung Merdeka sebagai pendamping.

Di depan patung sang dwi tunggal proklamator, Soekarno – Hatta, 2.150 anak dari 39 komunitas anak "pinggiran" se-Jabotabek bernyanyi, bermain musik dan juga berdiskusi. Di hari kedua, 14/7, diadakan diskusi panel, yang menghadirkan anak-anak muda. Mereka membagikan pengalaman mereka masing-masing. Ada Neni, remaja usia duapuluhan korban lumpur Lapindo, Sidoarjo. Ada Hartati, aktivis usia belasan dari Sangar Garasi. Juga Handoko, korban Lapindo, di Pasar Baru Porong, Sidoarjo; plus Suningsih, Toni dan Diana.

Neni hadir di Jakarta dengan kaki kanan yang telah melepuh karena terkena lumpur panas. Ia hadir dan beberapa kali meneriakkan dengan lantang,” Esia Untung, Korban Lapindo Buntung....”. Karena kelalaian Lapindo, ia harus mengalami cacat seumur hidup. Ia mempertanyakan, di mana keadilan yang seharusnya ia dapat dari Lapindo dan juga pemerintah yang seakan menutup mata.

Ganti rugi tak kunjung ia rengkuh. Namun, semangatnya tidak pernah runtuh untuk menuntut haknya di Jakarta. “Saya adalah tulang punggung keluarga yang harus membiayai dua adik saya. Saya ingin pemerintah mendengarkan rintihan hati saya,” ungkap Neni.


Sementara Hartati, yang tinggal di belakang kampus Universitas Negeri Jakarta (UNJ)Rawamangun, Jakarta Timur, berkisah tentang penggusuran demi penggusuran di daerahnya. ”Di tanah bekas rumahku akan dibangun mal, apa sih gunanya mal? Indonesia tidak butuh mal, Indonesia cuma butuh kesejahteraan, bebas dari intervensi negara lain, bebas dari kemiskinan,” tukas Hartati.


Maria Hartiningsih di Kompas edisi 14/7/07 meminjam penjelasan sosiolog Inggris, Pete Alcock dalam buku Understanding Poverty (1997). Dikatakan bahwa anak pinggiran adalah produk dari kebijakan sosial dan ekonomi yang diciptakan dan terus diciptakan untuk menanggapi atau mengontrolnya. Peminggiran merupakan persoalan politik karena kebijakan itu diambil dalam konteks politik tertentu.

Saya melamun di bulan Agustus ini. Benarkah bangsa saya telah benar-benar merdeka ? Akan atau telahkah ada Ontosoroh-Ontosoroh lain di negeri ini ? Semoga setiap anak bangsa ini, terutama kaum perempuannya, tersuluh oleh bara perjuangan seorang gundik itu. Ia tak pernah mengenyam pendidikan formal, namun ia belajar banyak tentang eropa, mulai dari tata niaga, bahasa Belanda, hukum, hingga wilayah sastra.

Semoga anak-anak yang telah melakukan perlawanan itu tidak bertepuk sebelah tangan. Semoga teriakan-teriakan mereka tak hanya memantul dari dinding-dinding langit karena tidak didengar oleh para pemimpin bangsa ini. Forum Warga Kota Jakarta mencatat sampai tahun 2006 terjadi 210 penggusuran permukiman dengan lebih 30.000 keluarga kehilangan tempat tinggal.

Tujuhbelas hari lalu rakyat Indonesia memperingati dibacakannya teks proklamasi. Sebuah pertanyaan menyeruak: sudahkah kita melawan dengan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya ?

31 July 2007

Alberthiene Endah: KD, Raam Punjabi, Megawati, Lalu ... ??? *)

“Sori nih... baru kelar rapat redaksi. Biasa ... deadline,” ujar Alberthiene Endah saat ditemui Maret 2007 lalu. Orang nomor satu di jajaran redaksi Majalah Prodo itu, menemui saya di ruang tamu kantor redaksinya yang berada di Jalan Mampang Prapatan Raya No.99 Jakarta Selatan.

Saya sudah tiba di kantor yang bersebelahan dengan markas Merah Putih Production itu sekitar jam 10.30. Dari resepsionis yang saya telpon sehari sebelumnya, saya mendapat info bahwa gedung berlantai dua itu berada di seberang Hotel Cipta 2.

Resepsionis nan ramah itu mempersilahkan saya duduk di ruang tamu mungil. Batin saya berkata: lumayan masuk ruang berpendingin. Maklum, dari perempatan Mampang –tepatnya di bawah jembatan layang setelah pom bensin pertama dari perempatan Kuningan– saya harus berjalan kaki, karena tak tahu persis di mana gerangan Hotel Cipta 2 yang jadi patokan. Polisi lalu lintas yang saya tanyai pun tak bisa menjelaskan. Sebelumnya saya ingin naik Kopaja P.20 jurusan Lebak Bulus. Tapi niat itu saya urungkan karena tak tahu persis di mana harus berhenti. Ya, akhirnya keterikan matahari harus saya nikmati di pagi menjelang siang itu. Letak persis kantor itu pun saya dapat dari seorang penjual bakso yang berada di pinggir jalan.

AE, begitu ia biasa disapa, lalu meminta resepsionis untuk mengambilkan teh botol Sosro untuk kami berdua. Obrolan pun mengalir dengan cukup lancar. Satu pertanyaan yang saya beri, biasanya langsung ia sambar dengan jawaban yang cukup panjang. Jika sudah agak melenceng, atau info itu saya anggap tak relevan, terpaksa saya potong. Tiga kaset yang saya siapkan pun tak terpakai semua. Hanya separuh dari kaset pertama yang ‘menjalankan tugasnya’.

Nobody to somebody
Saya ingin menyoroti secara khusus kiprahnya sebagai salah satu perempuan penulis biografi yang tengah naik daun di negeri ini. Beberapa orang ternama telah dan akan ia angkat dalam biografi.

Kiprahnya selama 12 tahun menjadi jurnalis yang mewawancarai begitu banyak orang, memantik sebuah keinginan dalam dirinya untuk bisa membuat sebuah tulisan panjang mengenai seseorang yang ia pandang layak untuk diketahui publik. “Ya udah, tahun 2003 kesempatan pertama datang dari KD (Kris Dayanti). Saya buat biografinya. Judulnya Seribu Satu KD,” ia berkisah.
Karya biografi pertamanya tersebut bermula ketika ia mewawancarai diva musik Indonesia itu untuk sebuah serial empat edisi di Femina. Istri musisi Anang Hermansyah itu merasa puas dengan karyanya dan memintanya untuk dibuatkan biografi. “Gimana kalau kamu bikinin saya biografi ? Saya pengen banget cerita banyak,” ia menirukan permintaan KD waktu itu. Tawaran itu bak gayung bersambut. Keinginannya untuk menulis sebuah kisah panjang mengenai seseorang selaras dengan niat KD untuk bercerita panjang lebar tentang kehidupan dan karirnya di panggung musik tanah air.

Dalam menulis biografi para figur publik, AE selalu ingin menyampaikan petuah-petuah atau pengalaman hidup seseorang. Ia meyakini, ada energi luar biasa dan upaya yang sangatlah keras dalam perjalanan dari nobody menjadi somebody. Niat utamanya dalam menulis biografi adalah ‘menularkan’ energi itu pada khalayak luas. “Di antara orang-orang hebat yang kita kenal itu, sebetulnya ada jalan panjang perjuangan. Buat saya itu penting di masa sekarang. Karena inspiratif, mungkin bisa menyemangati,” tutur AE.

Kesulitannya dalam menulis biografi relatif tidak berbeda dibanding ketika ia mencari dan mewawancarai narasumber untuk majalah, misalnya. Yang berbeda, jika artikel hanya membutuhkan satu dua kali wawancara sementara biografi adalah gawe lebih besar. “Karena ini partai gede, jadwal wawancara menjadi sangat complicated dan panjang, materi wawancara menjadi sangat complicated, pengumpulan data menjadi sangat panjang. Ketelatenan menghadapi narasumber juga diperlukan lebih,” katanya lebih lanjut.
Sekadar ilustrasi, dalam menulis buku Chrisye: Sebuah Memoar Musikal ia harus mendatangi puluhan musisi. Mulai dari Titiek Puspa, Eros Djarot, Yockie Suryoprayogo, Vina Panduwinata, Guruh Soekarno Putra, Addie MS, Tohpati, para pentolan Guruh Gypsi –kelompok musik legendaris tahun ’70-an di mana beberapa tahun Chrisye bernaung sebagai vokalis sekaligus pembetot bas– hingga pentolan grup musik Peterpan, Ariel. Itu AE lakukan guna mendukung alur kisah hidup musisi legendaris yang meninggal karena mengidap kanker paru awal April 2007. Proses wawancara dan menulis ia jalani sejak Mei hingga November 2006.

AE menilai, ada beberapa hal yang melatarbelakangi penulisan sebuah biografi. Sejumlah orang memakai biografi murni untuk menceritakan perjalanan hidupnya pada orang banyak. “Artinya, ia memang pengen share. Tetapi, saya tidak menutup kenyataan bahwa bagi sebagian orang biografi bisa menjadi alat politik,” imbuhnya.

Ia membandingkan, di Hollywood banyak sekali bintang yang kisah hidupnya diangkat dalam biografi. Madonna, misalnya, beberapa kali merilis buku yang tidak pure biografi dan terbukti laku keras (Madonna: Born To Be Different karya Mick St. Michael , hanya salah satunya). Sekali waktu bintang pop kontroversial itu hanya meluncurkan buku tentang cara dia berpakaian, di lain kesempatan ia hanya bercerita bagaimana kehidupan di balik studio rekaman.

Persoalan genre
Tak hanya biografi yang ia garap. Ia juga menjadi penulis sekaligus editor naskah di ‘pabrik’ sinetron milik Raam Punjabi, Multivision Plus. Sekurangnya enam judul novel fiksi telah lahir dari tangannya, begitu juga beberapa skenario film layar lebar, sinetron dan FTV.

Karir jurnalistiknya dimulai ketika bergabung di Mingguan Hidup pada tahun 1993 seusai menuntaskan pendidikan Sarjana Sastra Belanda di Universitas Indonesia. Setahun bertahan di majalah ini, ia lalu berganti haluan dengan pindah ke Femina. Di manapun berada, ia mengaku selalu mencari kesempatan menulis. Di SMA ia terlibat di majalah dinding. Semasa kuliah di UI, ia pun terlibat di majalah KUKSA UI, Inspirasi.

Di era kapitalistik ini, dunia tulis menulis juga tidak bisa lepas dari selera pasar. Berbicara soal kapitalisme, semua penulis harus pula memiliki kepekaan dan kejelian membaca apa yang menjadi selera pasar. Dalam menulis naskah sinetron, misalnya, AE harus pula memperhatikan selera pasar itu. “Karena, sinetron itu kan dibuat dengan uang ratusan juta. Artinya, saya juga harus bertanggungjawab membuatnya laris. Cuma, di atas segala keinginan untuk ini bisa tetap laris, tetap saja ada tanggungjawab. Bagi saya yang terpenting adalah tanggung jawab. Jadi, enggak asal-asalan,” jelasnya.

Ia mengaku kerap berdebat dengan produser dan sutradara dalam profesinya selaku penulis sekaligus editor naskah. AE mengaku sudah bisa menikmati itu semua, meski sesekali harus berbentak-bentakan dengan pekerja sinetron seperti sutradara. Ia berusaha menilai itu secara positif. “Karena, kadang kita kan juga perlu mendengar apa kata orang,” kata pelahap kisah Lima Sekawan karya Enyd Blyton sejak bangku SD, novel Kabut Sutera Ungu karya Ikke Soepomo ketika kelas satu SMP, karya-karya Mira W, Motinggo Busye dan sebagainya.
AE tampaknya prihatin pada penilaian sebagian kalangan yang memandang karya-karya teenlit sebagai karya yang ‘enggak sastra’. Ia membaca sebuah kecenderungan di sejumlah kalangan, yang memandang sebelah mata pada karya-karya non sastra dan menilainya sebagai sesuatu yang mudah dibuat. Namun, ia meyakini bahwa di dalam karya teenlit itu juga ada tanggungjawab idealismenya.
“Menurut saya, itu (soal) genre. Penyanyi jazz juga belum tentu bisa bernyanyi dangdut, dan sebaliknya. Jadi, menurut saya hargai saja setiap genre, karena tiap genre itu ada pangsa pasarnya,” tegas penggemar penulis wanita India Jumpa Lahiri, Nawal El Sadawi dari Mesir dan juga Ayu Utami itu.

Obrolan siang itu pun berakhir hanya dalam waktu setengah jam. Semua pertanyaan dan target-target saya sudah tercapai. Sebotol teh Sosro itu pun telah habis saya tenggak. Saatnya mencari warteg untuk makan siang. Lapar ...

Tempat, tanggal lahir : Bandung, 16 September 19 (AE tidak menyebut, juga di bukunya)
Suami : Dio Hilaul
Karya :
A. Non Fiksi/Biografi
· Chrisye: Sebuah Memoar Musikal (Februari 2007)
· Venna Melinda: Venna Melinda Guide to Good Living - Bugar dan Cantik ala Venna Melinda (Maret 2006)
· Raam Punjabi: Panggung Hidup Raam Punjabi (Oktober 2004)
· Dwi Ria Latifa: Berpolitik Dengan Nurani (Juli 2004)
· Kris Dayanti: Seribu Satu KD (Nopember 2003)
· Tak lama lagi Biografi Anna Avantie dan Biografi Megawati Soekarnoputri terbit 2007

B. Fiksi
· I Love My Boss (Februari 2006)
· Dicintai Jo (September 2005)
· Cewek Matre (Oktober 2004)
· Detik Terakhir (Juni 2006)
· Lajang Kota: Jodoh Monica (Mei 2004)
· Jangan Beri Aku Narkoba... (Januari 2004)

C. Lain-lain
Ia juga menulis cerita/skenario untuk pergelaran drama musikal Guruh Soekarno Putra, bertajuk Mahadaya Cinta tahun 2005

D. Karir
· Wartawan Majalah Hidup (1993-1994)
· Redaktur Majalah Femina (1994-2004)
· Wartawan dan Pemred Majalah Prodo (2004 - ...)
· Dosen jurnalistik di Indonesia International Fashion Institute

Penghargaan:
Untuk novel Jangan Beri Aku Narkoba...
· Mei 2005 menjadi juara pertama Adikarya Award 2005 Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI)
· Oktober 2004 menerima penghargaan khusus dari Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Fan Campus dalam upaya pemberantasan narkoba.
=====
*) Tulisan ini telah terbit di Majalah HIDUP No.16 tanggal 22 April 2007 dalam rubrik Eksponen di halaman 20-21, dengan judul Dari Mudika, KD, hingga Megawati. Beberapa editing telah dilakukan, dengan alasan perbedaan segmen dan sebagainya.

23 July 2007

Oey Hay Djoen, Spirit Seorang Penerjemah

Sepasang kakinya melangkah perlahan. Dengan bantuan tongkat dan gandengan mesra istri tercintanya, Jane Luyke (72), ia berjalan tertatih. Sebatang cerutu yang tengah mengepulkan asap dan sesekali dihirupnya, terhimpit di antara jari telunjuk dan jari tengahnya. Lelaki sepuh itu ialah Oey Hay Djoen, mantan tahanan politik (tapol) yang dibuang rezim orde baru tahun 1969 hingga 1979 ke Pulau Buru, Maluku. Hingga kini ia aktif menerjemahkan buku-buku yang “diharamkan” selama Presiden Soeharto berkuasa.

Oey hadir dalam acara peluncuran buku termasyhur Das Kapital karya Karl Marx yang diterjemahkannya dalam bahasa Indonesia. Buku yang diterbitkan Hasta Mitra dalam tiga jilid: Kapital 1, Kapital 2, dan Kapital 3 itu total berjumlah 2700 halaman. Sekitar 60 orang mahasiswa, akademisi, dan sejumlah aktivis lembaga swadaya masyarakat hadir dalam diskusi malam itu. Tampil pula sebagai pembicara John Roosa, seorang assistant professor bidang sejarah dari University of British Columbia, yang juga adalah penulis buku Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'État in Indonesia (University of Wisconsin Press, 2006). Sementara Hilmar Farid, aktivis Jaringan Kerja Budaya (JKB), didaulat sebagai moderator.

Usai diskusi yang diadakan di kawasan Garuda Taman Mini Indonesia Indah itu, saya hampiri Oey dan istrinya untuk berkenalan. Ia tampak antusias, ketika saya meminta waktu untuk bertatap muka. Ia mempersilahkan saya untuk terlebih dulu menelpon sebelum bertandang ke rumahnya.

Bicara soal semangat kerja, sepertinya tidak salah kalau kita belajar darinya. Bagaimana tidak, di usia yang sudah menembus 77 tahun sekitar 30 buku berbahasa Inggris ia telah terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. “Kira-kira separuh dari yang saya terjemahkan adalah buku-bukunya Marx dan Engels. Kira-kira 16-18 buku,” kisah kelahiran Malang, 18 April 1929 itu saat ditemui September tahun lalu di rumahnya di bilangan Cibubur, Jakarta Timur.

Setidaknya sejak tahun 1986, sejumlah orangmuda mulai mendatangi kediamannya. Mereka adalah aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD), mahasiswa yang sedang melakukan advokasi di Kedung Ombo, dan sebagainya. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang terpelajar yang enggan tergantung hanya pada bahan dari dosen.

“Kita mesti menembus ke sumber-sumber pertama. Jangan dari sumber ketiga atau keempat. Apalagi, seperti dosen-dosen yang bikin diktat,” ujarnya menirukan sejumlah orangmuda itu.

Para aktivis mahasiswa itu ingin membaca buku-buku Karl Marx, Hox Bauer, Engels, dan lain-lain. Tetapi, mereka memiliki keterbatasan dalam berbahasa asing. “Dari situ, saya berpikir untuk mulai tawarkan pada mereka untuk menerjemahkan buku,” ujar Oey yang di Pulau Buru mengenakan baju bernomor 001, sedangkan Pramoedya 007. Ia pun bersedia membantu dan membebaskan para aktivis itu untuk menentukan, buku apa yang ingin diterjemahkan. Kebetulan, buku pertama yang ada di depan mereka itu adalah buku W.Wertheim, yang ditulis tahun 1974, High Waves of Emancipation.

Diketahui bahwa W.Werthein adalah ilmuwan yang “di-persona non grata” di Indonesia, karena (dianggap) melawan Presiden Soeharto. Oey dan para mahasiwa tahu, tidak akan ada yang bisa dan bersedia menerbitkan buku itu dalam bahasa Indonesia. Sehingga, setiap Oey menuntaskan terjemahan satu-dua bab, bahan-bahan itu langsung difotokopi untuk dijadikan materi diskusi. “Dari situ aku mulai, sampai akhirnya mereka minta sumber yang asli,” tuturnya.

Ia memilih untuk menerjemahkan buku-buku karya Marx dan Engels, karena ingin agar pembacanya dapat menggunakan metode berpikir kedua tokoh itu. Ia berprinsip untuk senantiasa berpikir kritis, tidak dogmatis. “Karena itu, aku sama sekali tidak punya rencana menerjemahkan bukunya Lenin, Mao Zedong, enggak. Karena itu sudah lebih berat doktrinnya, sudah dipatok-patok,” jelasnya.

Bukan Adam Smith
Oey memang sudah tidak muda lagi. Namun, betapa giatnya ia menerjemahkan buku-buku asing cukup menjadi bukti sahih, betapa ia ingin berbuat sesuatu untuk orangmuda di negeri ini. Buku Gejala Manusia, Anti-Duhring, Dialektika Alam, Naskah-Naskah Filsafat Ekonomi hanya segelintir dari persembahannya untuk generasi yang ia sebut baru ditumbuhi “gigi geraham kebijaksanaan”.


Masa muda, menurut Oey, adalah fase paling romantik. Kepekaan mulai merambah jiwa orangmuda. Idealismenya tengah melambung tinggi, terutama kepedulian pada masyarakat. Inilah juga yang terjadi dengan angkatan muda Indonesia itu. Kalau orangmuda sudah berada pada puncak romantisme, idealisme dan menghadapi kepedulian sosial, mereka tidak mencari bahan dari Adam Smith, melainkan dari yang "kiri", seperti marxis dan sebagainya. ”Di situlah mereka mulai bersentuhan dengan ideologi kiri. Waktuitulah, mereka mulai mencari kami. Bukan kami yang mendatangi mereka. Kami takut,” ungkapnya kian mempertegas betapa ia menaruh perhatian khusus pada generasi muda.

Kepada orangmuda ia berpesan, peduli sejarah, pada masyarakat dan nasib bangsa. “Pokoknya, kejar ilmu pengetahuan. Dan, dalam menghadapi ilmu atau apa saja, pegang satu hal: bersikaplah kritis!. Pokoknya, jangan percaya pada yang sudah dipatok-patok, pada doktrin-doktrin itu, jangan percaya. Sebab itu berarti habisnya ilmu, habisnya hidup ini. Tidak ada sesuatu yang mutlak,” katanya dengan nada tinggi.

Ia mengajak orangmuda untuk tidak percaya pada ilmu, teori, atau apa saja yang bilang: lah ini lho, puncaknya! “Sebab kalau orang bilang begitu, finished. Karena, semuanya itu kan berkembang. Yang mutlak ya perubahan itu sendiri. Semua relatif,” tuturnya.

Oey menerjemahkan buku-buku Marx, Engels, serta buku-buku klasik bukan untuk mempropagandakan Marxisme. Ia ingin agar pembacanya menggunakan metode berpikir kritis seperti yang dipakai Marx dan Engels. Marx tidak menciptakan teori, seluruh tulisannya adalah suatu polemik terhadap semua ilmu yang sudah ada. ”Jadi, ilmunya benar, tidak benar, itu yang harus dikrtisi,” tambahnya.

Ia (Marx) tidak menciptakan ilmu seperti tetes kebenaran dari langit. Semuaitu tak ubahnya polemik: tesis, antitesis, sintesis. Metode berpikir inilahyang benar-benar digandrungi Oey supaya dimiliki oleh angkatan muda. “Jauhilahepigonisme segala macam itu. Cuma menerima, mengambil, mencangkokdari segala sesuatu lainnya yang sudah mati itu. Ilmu harusberkembang terus,” tutur kakek dari tiga cucu dari putri tunggalnya Mado.

Hingga kini, ia masih aktif dalam Diskusi Bulan Purnama yang diadakan oleh Jaringan Kerja Budaya, yang menjadi tempat berdialektika sejumlah akademisi, mahasiswa, para pegiat LSM. Spirit yang tak pernah lekang ditelan waktu...

19 June 2007

Buku dan Fried Chicken

Buku adalah barang yang berbahaya. Buku membuat Anda berpikir, merasa, dan bertanya. Buku membuat Anda mengajukan banyak pertanyaan (George Suttle)
=======
Sering kita dengar wisata belanja, wisata kuliner, wisata alam, wisata ini dan itu. Tetapi, sore itu, Jumat (8/6/2007) dengan langkah-langkah ringan dan pasti kaki saya berayun ke Istora Senayan untuk menjadi satu di antara ribuan pengunjung untuk mengadakan wisata pustaka.

Pameran itu digelar selama sembilan hari (2-10 /6/2007). Ada 180 stand dari puluhan penerbit, media, dan tentu saja, toko buku. Menargetkan 200.000 pengunjung, pameran itu ternyata ‘hanya’ mampu menyedot sekitar 140.000 pasang mata. Setidaknya itu yang bisa ditangkap dari wawancara detik.com dengan Humas Ikapi Jaya, R.Harry di sela-sela acara pameran Minggu (10/6). “Di hari biasa, pengunjung biasanya hanya 10.000 orang perharinya. Tapi Jumat, Sabtu dan Minggu ini pengunjung mencapai 20.000 orang," ujar R. Harry.

Sebagaimana kebanyakan jomblowan yang tidak berhasil menculik satu pun perawan untuk sekadar diajak cuci mata pustaka, mata saya ikut bertamasya ke sana ke mari. Tidak hanya tetumpukan buku di stand-stand yang ada, penunggu buku yang bisa saya kategorikan ‘Vitamin A’ turut membuat kelelahan kaki saya seakan hilang sejenak. Ya, memang dunia kita sekarang ini, suka tidak suka, sudah dan akan terus dihiasi dengan yang indah secara visual. Sebuah majalah yang melulu memperkuat jajaran redaksi dengan penulis-penulis handal, tanpa didukung bagian artistik yang punya selera seni desain yang tinggi, bisa dipastikan hanya akan menunggu lonceng kematiannya.

Tetapi, berhubung isi kantong saya harus tetap dijaga kesinambungannya hingga saatnya untuk diisi ya terpaksa hasrat untuk memiliki pustaka-pustaka bermutu harus saya pendam untuk sementara. Honor saya sebagai pustakawan yang belum ‘penuh’ memaksa saya untuk sekadar mengamati buku-buku apa saja yang bisa saya buru, begitu isi kantong saya sudah cukup aman untuk diajak ‘berburu’.

Langkah demi langkah saya ambil. Berbagai paras manusia, dari yang cantik hingga yang ekonomis sudah hinggap di mata dan otak saya. Beberapa stand toko buku sudah saya hampiri. Hingga di satu stand saya bertemu dengan seorang temanku, Xaxa. Ia adalah ‘kembang jepun’ dari sahabat karib saya yang bernama Awi. Xaxa datang ke pameran itu bersama Ignas, teman kuliahnya di Universitas Indonesia.

“Woi.... pa kabar lu ?” saya sapa mahasiswa Antropologi itu.

“Hey, baek-baek. Sendirian ?” tanyanya sambil tangan kami bertepuk satu sama lain.

“Kenalin, ini temen gua. Ignas namanya,” ia mengenalkan temannya itu pada saya. Kami pun berjabat tangan.

Rupanya, mereka tidak berbeda jauh dengan saya. Mereka juga sedang wisata pustaka di Istora ini. Mereka datang ke tempat itu, untuk melepaskan ketegangan setelah beberapa hari disibukkan dengan urusan ujian di kampus.

Saya berpikir, baguslah masih ada orangmuda seperti mereka. Orangmuda yang masih ingin mencari sesuatu di ‘luar sana’. Mencari sesuatu yang kadang tak jelas pula apa wujudnya, apa konsekuensi di balik semuanya.
“The truth is out there.” Masih ingat dengan deretan kalimat film The X-Files itu ?

Saya berjalan mendahului kedua sahabat muda itu. Saya bergerak menuju ke sebuah stand penerbit Islam. Tujuan saya satu, ingin mencari literatur tentang Ahmad Wahib, tokoh muda gerakan Islam yang lahir di Sampang, Madura, 9 Nopember 1942 dan meninggal karena tertabrak sepeda motor berkecepatan tinggi di persimpangan jalan Senen Raya-Kalilio di suatu malam 31 Maret 1973. Tetapi, ya sekadar ingin melihat saja. Karena, isi kantong saya belum memadai untuk meminang buku itu. Walaupun saya bukan muslim, aku ingin mencoba menyelami ke kedalaman pemikiran orangmuda yang meninggal dalam status sebagai calon wartawan Tempo itu.

Ponsel Motorola butut saya bergetar. Menyentak perhatian pada hamparan pustaka di stand-stand yang saya lalui. Awigra, pacar Xaxa, mengabarkan akan tiba di Istora tak lama lagi.

“Tunggu aku di stand buku yang banyak buku Pram-nya (Pramoedya Ananta Toer)”
Lebih kurang, begitu isi pesan pendek yang mampir di ponselku.

Awi memang penggila sastrawan tiga zaman itu. Ia sudah mulai melahap torehan karya Pram sejak SMP. Umurnya lebih muda setahun dariku, 26. Ia begitu terinspirasi pada sosok yang begitu menjadi momok bagi sebagian orang, sekaligus menjadi idola bagi sebagian orang lain.

Tak lama kemudian, Awi datang. Ia menyeretku ke sebuah stand yang menjajakan kamus.

“Lu dah beli kamus lom?” tanyanya.

“Belum lah. Gua belum punya duit nih...” jawabku jujur.

Semula ia akan meminjamiku uang untuk membeli Kamus Bahasa Spanyol[1]. Tetapi, karena kebetulan stok kamus itu sudah habis, kami hanya disodori sebuah kartu nama yang menunjukkan alamat toko buku itu. Di Pancoran rupanya...
Kami pun lalu beranjak ke sebuah sebuah ruang di mana Kentucky Fried Chicken membuka restoran ‘darurat’. Mengilangkan kepenatan sembari mengisi perut...

Buku.... Fried Chicken.... ya itulah dunia yang sedang aku tumpangi.




[1] Cerita soal Kursus Bahasa Spanyol, bisa dilihat di (beberapa) tulisan lain.






08 May 2007

Membolos Demi Demonstrasi

Tentu pembaca masih ingat dengan peristiwa ketika Majalah Der Spiegel terbitan Jerman edisi 14 Oktober 1996 memuat hasil wawancara wartawan mereka, Juergen Kremb, dengan Uskup Dili Mgr Carlos Filipe Ximenes Belo SDB. Kontroversi merebak karena hasil wawancara itu dinilai menghina bangsa Indonesia.

Beberapa hari setelah kejadian itu, saya bersama beberapa teman yang asli Timor Leste membolos dari sekolah untuk menuju Wisma Keuskupan yang terletak berseberangan dengan Pelabuhan Dili, yang tiap hari selalu disibukkan dengan bongkar muat barang dan penumpang. Di sebelah kiri wisma itu ada Hotel Mahkota, yang sepertinya adalah penginapan terbaik yang pernah dimiliki Timor Leste ketika masih menjadi provinsi ke-27 di Indonesia.

Menggunakan mobil Suzuki Katana, entah milik siapa, saya dan teman-teman itu yang adalah simpatisan Fretilin, bergerak dari Becora (saya bersekolah di SMA 1, yang terletak di Kecamatan Becora, bagian Timur kota Dili) menuju Wisma Keuskupan. Setiba di sana, ternyata lautan massa sudah terbentang di hadapan mata. Barangkali, ada ratusan, atau bahkan mencapai angka 1000 demonstran yang meneriakkan yel-yel antipemerintah RI dan mendukung Uskup Belo, pemimpin rohani yang sangat dihormati di sana.

Jantung saya berdegup sedikit lebih kencang dari biasanya. Ya, biar bagaimanapun saya adalah warga pendatang yang kebetulan bersimpati pada apa yang diperjuangkan oleh teman-teman saya, warga asli Timor Leste. Dan, masih ada warga Timor Leste saat itu yang masih terjangkit xenophopbia. Saya tidak berbicara soal nasionalisme dalam hal ini, tapi soal kemanusiaan! Karena, berkeyakinan, "Kemanusiaan jauh lebih penting dari nasionalisme. It's beyond borders !!!"

Barangkali sekitar satu jam kami berdiri di depan Wisma Keuskupan itu, untuk lalu bergerak pulang. Kepulangan saya ke rumah membawa hati yang sempat was-was karena ada isu, bahwa ada aparat intelijen yang menyusup di antara kami, dan mencatat beberapa nama yang siap diciduk. Dua hari berturut-turut setelah aksi demonstrasi itu, saya tidak masuk sekolah. Uffff....

Tetapi, untunglah. Saya tidak sampai terciduk aparat intelijen, karena aksi itu.

Rentetan Tembakan di Malam Itu

Waktu itu saya sudah terdaftar di Seminari Don Filipe Rinaldi di Venilale. Sebuah kota kecamatan di Kabupaten Baucau (selain Baucau Kota, Vemasse, Quelicai,Baguia dan Laga) yang terletak sekitar 30 km arah selatan (lihat peta).

Kejadian itu terjadi bulan Oktober 1992, beberapa bulan setelah saya diterima di seminari. Bapak saya saat itu sedang menjalani tugas kantor di Dili, yang berjarak sekitar 130 km arah barat Baucau. Jadi, di rumah hanya ada ibu saya, tiga adik perempuan saya (Siska 11 tahun, Maria 9 tahun dan Yuli 7 tahun) serta adik bungsu saya, Arief, 4 tahun.

Entah sejak kapan, setiap bulan Oktober diadakan pameran pembangunan selama lima hari di Baucau. Dan, penutupannya diadakan setiap tanggal 5 Oktober, tepat pada hari ABRI. Mengapa seperti itu, saya pun tak tahu persis. Setiap instansi pemerintah maupun swasta yang ada di kota (terbesar) kedua setelah Dili itu membuka satu stand yang bisa digunakan untuk memamerkan produk-produknya, kegiatan-kegiatannya. Tak ketinggalan juga, beberapa panggung hiburan dan sejumlah permainan untuk menarik pengunjung, tersedia di beberapa stand.

Kejadian menegangkan itu, terjadi, kalau tidak salah, di hari terakhir: 5 Oktober 1992. Ibu saya, dan juga keempat adik saya berangkat ke lokasi bersama tetangga kami. Ketika sedang bercanda ria, sambil menikmati makanan ringan seadanya, tiba-tiba dari bangunan yang agak tinggi terdengar bunyi letusan senjata api.

Daarr .... daarrr ..... darrr....

Ibu dan keempat adik saya, seperti juga pengunjung pameran yang lain spontan berteriak histeris. Mereka berlari tak karuan ke sana-ke mari. Entah bagaimana ceritanya, mereka tiba di sebuah pos tentara yang tengah berjaga. Konon, tembakan terjadi karena terjadi perebutan senjata antara gerilyawan pejuang kemerdekaan, yang sering disebut tentara sebagai Gerakan Pengacau Keamanan (GPK).

"Bu, sini aja bu...," kata seorang tentara di situ.

Spontan ibu saya menggandeng keempat anaknya yang tengah menangis dicekam ketakutan, masuk ke ruangan itu. Tetapi, sekian detik berdiri di situ, ada orang yang berteriak, "Bu, jangan di situ. Bisa jadi sasaran tembak !!! "

Ibu saya bertambah panik, juga keempat anaknya. Terlebih sewaktu di ruangan itu ia melihat seorang tentara membuka sebuah kotak amunisi dan mengokang senapan berlaras panjang di depan matanya.

Krek....krekkk....krekkk....krekkk...

Tentara itu menyiapkan senapan laras panjangnya. Tanpa basa-basi, segera ibu saya menarik keempat anaknya ke luar. Segera ia bergabung dengan beberapa tetangga kami untuk mencari tumpangan menuju ke rumah. Setelah mencari ke kiri-kanan, mereka menemukan sebuah mobil bak terbuka milik PLN melintas. Mereka segera naik ke atas mobil itu sambil setengah tiarap, untuk menghindari peluru nyasar yang bisa datang sewaktu-waktu.

Melintasi jalan aspal menanjak, mobil PLN itu meraung-raung melaju dengan kecepatan cukup tinggi. Sepanjang jalan yang gelap itu, beberapa kali masih terdengar bunyi tembakan dan dentuman granat. Sepertinya ada aksi kejar-mengejar dan baku tembak antara pihak keamanan dan pihak yang disebut GPK, atau Gerakan Pengacau Keamanan itu .

Akhirnya, ibu dan keempat adik saya tiba dengan selamat di rumah setelah harus menumpang kendaraan dengan bertiarap atau merunduk. Begitu juga beberapa tetangga saya. Mereka segera mematikan semua alat penerangan di rumah, dan beranjak ke tempat tidur masing-masing.

Rentetan tembakan masih terdengar hingga beberapa jam. Malam itu pun mereka lalui dengan kecemasan ...

04 May 2007

Jakarta-Dili-Baucau, Perjalanan Nan Menegangkan


Baru sekitar tiga bulan saya memasuki bangku kelas tiga di SD St.Fransiskus III, Kampung Ambon, Jakarta Timur. Tetapi, kepindahan bapak saya dari Jakarta ke Dili 'menyeret' saya untuk beranjak dari Jakarta, yang penuh dengan hingar-bingar dan hiruk pikuk metropolis, ke Timor-Timur yang pada waktu itu (Oktober 1988) masih merupakan provinsi ke-27 di Indonesia, dan belum seramai ketika saya tinggalkan tahun 1998 untuk mengecap bangku kuliah di Purwokerto.


Hari itu, 2 Oktober 1988, sekitar pukul 10 pagi, dengan pesawat Garuda Indonesia yang berbadan lebar, kami melintasi samudera dan transit di Denpasar untuk lalu meneruskan penerbangan ke Dili. Sayang, di Denpasar kami harus berganti pesawat yang berbadan lebih langsing, sehingga kenyamanan selama perjalanan Jakarta-Denpasar terasa lenyap.


Sebenarnya tubuh saya sedang tidak sehat. Sekitar dua hari saya harus istirahat di rumah Bude saya di bilangan Halim Perdanakusumah, dan tidak hadir dalam acara perpisahan dan doa lingkungan di rumah saya yang terletak di Jalan Pemuda IV No.15 Rawamangun, Jakarta Timur. Rumah kontrakan kami terasa menjadi semakin sempit kala itu. Bagaimana tidak, ada sekitar 30 orang yang biasa aktif di lingkungan Gereja harus duduk lesehan dan di luar. Hal itu bukan tanpa alasan. Bapak saya dikenal aktif dalam persekutuan doa di lingkungan bahkan juga di Paroki St.Bonaventura Pulomas, yang lalu dimekarkan ke Paroki Keluarga Kudus Rawamangun.


Kami pun bertolak dari Rawamangun ke Bandara Soekarno Hatta di Cengkareng. Beberapa mobil dari kerabat dan sanak-saudara turut melepas kepergian kami. Saya yang kala itu baru berumur delapan tahun belum bisa membantu mengangkat tas berukuran besar. Apalagi adik saya yang juga masih kecil: Sisca (7 tahun), Maria (5), Yuli (3) dan Arief (7 bulan). Beruntung, kru maskapai Garuda Indonesian Airways dengan ramahnya memberikan pelayanan.


Diumumkan bahwa sebelum tiba di Bandara Comoro di Dili, kami akan singgah di Bandara Ngurah Rai. Selama penerbangan Jakarta-Denpasar, selalu ada saja pengalaman-pengalaman kocak yang hingga kini masih saja lekat menempel di otak saya.


Kalau di pesawat Garuda yang luas itu kami bisa berlari ke sana-ke sini, sementara di pesawat Merpati yang membawa kami dari Denpasar ke Dili kami hanya bisa duduk. Selain karena kursi penumpang telah terisi penuh, kabin pesawat yang ‘kurus’ tidak memungkinkan kami untuk ‘adu lari’. Kalau Tukul sudah beken dengan Empat Mata, dia pasti akan bilang: "Ndeso....ndeso...ndeso, katro !!!” Sekitar satu atau dua jam selepas Denpasar, kami tiba di Bandara Comoro di Dili. Udara terasa panas menyengat ketika kami berada di ruang tunggu kedatangan sambil menunggu bagasi. Kerabat dekat bapak saya di Kanwil Departemen Agama Dili Pakde Bandi –begitu kami biasa memanggilnya– menjemput kami. Sekitar tiga hari kami menetap di perumahan dinasnya di daerah Pantai Kelapa, Dili.


Setelah Bapak saya mengurus administrasi ini dan itu, kami beranjak dari Dili ke sebuah kota yang terletak sekitar 130 km arat timur kota Dili, Baucau. Kota ini disebut-sebut sebagai kota kedua terpenting setelah Dili. Kalau di masa setelah tahun 1990-an, perjalanan menggunakan bis Dili-Baucau dan sebaliknya bisa ditempuh 4-5 jam, jangan harap bisa menempuh jarak yang sama dalam waktu kurang dari itu di tahun 1980-an.


Kenapa bisa lama? Itu tak lain karena setiap bis harus menjalani pemeriksaan di banyak titik. Saya tak ingat persisnya berapa kali bis kami diberhentikan oleh personil militer untuk diperiksa dokumen perjalanannya. Semua penumpang diperintahkan turun dari bis dan menunjukkan surat jalan dari lurah (barangkali) beserta KTP atau identitas lain. Mereka yang tidak bisa menunjukkan dokumen yang sah, atau minimal KTP, pasti akan langsung 'diamankan'. Tidak jarang, ada di antara mereka yang harus menerima bogem mentah karena tidak bisa menunjukkan surat jalan dan atau KTP. Suasana keamanan di Timor Leste pada waktu itu masih cukup rawan karena masih ada gerombolan bersenjata Fretilin yang sesekali turun dari daerah pegunungan. Sedikit banyak hal itu membuat kami sekeluarga turut diliputi ketegangan. Belum lagi ditambah cerita-cerita dari kerabat Bapak saya yang sudah lebih dulu menetap di sana.


Bis di Timor Leste kala itu (entah sekarang) tidak ada satu pun yang menggunakan air conditioned. Rasa panas, letih dan stres tak bisa disembunyikan dari wajah kami. Suasana tegang seakan jadi langganan selama kira-kira tujuh jam perjalanan. Bayangkan, jalan beraspal yang ada hanya muat untuk dua lajur kendaraan. Kami pun harus berpacu jantung, karena terkadang jika longsor menghadang, ada saja kendaraan yang terperosok ke jurang. Atau dalam kasus lain, ada batu yang 'terjun bebas' dari atas tebing curam.


Di Kabupaten Manatuto yang berjarak sekitar 60 kami arah timur kota Dili bis kami berhenti untuk beristirahat. Kami benar-benar memanfaatkan waktu untuk menarik napas. Makan siang yang kami persiapkan ludes dalam waktu singkat. Sekitar setengah jam, bis kami pun melanjutkan perjalanan paruh kedua ke Baucau. Perjalanan dramatik dan menegangkan, serta tentu saja, bersejarah buat saya.

Kisah Supir Mikrolet dan Serbuk Maut

Tanah Abang suatu siang menjelang sore. Saya langkahkan sepasang kaki ini yang menopang tubuh kurus saya di antara teriakan para supir angkot dan calo yang tengah 'berburu' penumpang.

Saya hampiri satu mikrolet M-11 jurusan Tanah Abang-Meruya. Selang 10 menit, perlahan-lahan mobil reot itu bergerak, ketika belum ada penumpang selain saya yang duduk di sebelah supir.

Dari kolong jembatan, kami bergerak melewati Stasiun Tanah Abang. Sang supir melajukan kendaraan sembari menengok ke kiri dan kanan, siapa tahu ada penumpang yang mau menggunakan jasanya. Namun, selepas stasiun itu belum ada penumpang yang memenuhi jok belakang.

Tak ada obrolan apapun sampai mobil itu melewati Stasiun Tanah Abang. Lamunan saya terbuyarkan oleh teriakan, atau tepatnya bentakan, sang supir kepada 'petugas' yang menarik 'tips' atas jasanya mengatur lalu lintas di belokan pertama setelah Stasiun menuju Pasar Tanah Abang.

"Tadi gua dah kasi. Masa mau minta lagi lu !!!"

Bentakan itu memecah lamunan saya yang berkelana entah ke mana.

"Ah, tai. Nggak usah nyolot lu !" jawab 'petugas' yang minta 'jatah' dari supir mikrolet itu. 'Petugas' itu kurang lebih sebaya dengan saya, tiga tahun menjelang 30 tahun.

Sang supir akhirnya memulai obrolan dengan saya. "Harus digituin (baca: bentak) mas. Kalo nggak, kurang ajar dia. Kita dikira takut," katanya dengan nada tinggi. Ia mengaku kesal dengan perilaku penarik pungli itu setiap hari. Ia membandingkan beberapa dari 'petugas' itu sudah bisa membeli motor, walau dengan cara menyicil. Sedangkan, ia sendiri masih kesulitan untuk sekadar membiayai hidup istri dan ketiga anaknya.

"Iya, pak..." jawab saya singkat dan lirih.

Obrolan kami pun mengalir. Supir itu -yang hingga saya turun, tak saya tahu siapa namanya- mengaku sudah menjalani banyak profesi. "Semua sudah, mas. Kecuali nyopet dan nggarong," jelasnya dengan mimik serius. Profesi supir mikrolet ini sudah ia jalani sejak sembilan tahun lalu. Ia juga pernah menjadi tukang becak, kuli bangunan dan lainnya di Tangerang.

Ia juga bercerita, bahwa sesekali memang ada polisi lalu-lintas yang menindak para pemuda yang melakukan pungli itu. 'Tapi, kayaknya mereka sudah 'dijatah'. Kalau sudah kehabisan duit, mereka akan razia lagi," katanya.

Kemacetan sore itu, seperti biasa, membuat laju mikrolet itu tersendat dan tersendat lagi. Barangkali ada sekitar satu jam kami hanya berkutat di bilangan Tanah Abang untuk menuju kawasan Slipi yang juga tak kalah ganas kemacetannya. Ya, begitulah Jakarta. Kemacetan adalah menu yang harus kita hadapi tiap hari.

Mikrolet yang ia kendarai itu ia sewa dengan biaya Rp.6O ribu per harinya bersama seorang temannya. "Lebih bebas, mas. Kalau nggak gitu, kita pulang telat dikit saja majikan dah ngomel-ngomel," tambahnya.

Seperti juga pengguna jalan raya di ibukota, ia juga tak kebal dari penyakit macet di jalan-jalan raya. Cacian dan sumpah serapah karena jalannya diserobot sudah menjadi santapan sehari-hari. Ia mengaku sering dimaki-maki pengendara motor karena menurunkan penumpang di pinggir jalan yang padat.

"Selama ini sih, karena cuma gitu-gitu, saya biarin. Kalau berani mukul, baru saya lawan!"

Ia mengaku memiliki senjata rahasia yang ia simpan di bawah jok mobilnya. Menurut ceritanya, itu ia dapat dari hasil berguru di Kebumen, Jawa Tengah. Bentuknya adalah serbuk, yang kalau mengenai mata manusia akan mengalami kebutaan total. "Nggak bakal bisa sembuh, mas. Cuma saya yang bisa ngobatin," jelasnya.

Saya langsung berpikir, ternyata begini cara kaum marginal mempertahankan hidupnya di kota metropolitan. Menurut saya, itu jauh lebih baik daripada menjadi penjahat. Ia menyiapkan itu semata untuk self defence, bukan yang lain. Kondisi ekonomi yang morat-marit di kalangan bawah memang kerap 'mengizinkan' orang berbuat seenaknya untuk mendapatkan sesuap nasi. Ia masih bisa berpikir waras, dengan tidak mau menjadi copet atau pencuri. Sesuatu yang patut saya acungi dua jempol.

Selepas Pasar Tanah Abang, saya lanjutkan lagi lamunan yang tersela tadi. Tak ada obrolan apapun karena saya pun tenggelam memikirkan apa yang sudah diceritakan supir mikrolet itu. Hingga akhirnya saya tiba di kantor redaksi Majalah HIDUP.

Ah, ternyata... apa yang sering saya klaim sebagai perjuangan tidak seberapa dengan apa yang 'diperjuangkan' oleh pak supir itu. Terkadang, saya masih mengeluhkan apa yang sudah saya dapat. Sementara, sang supir itu harus bertarung di hiruk-pikuk kemacetan Jakarta untuk menghidupi istri dan ketiga anaknya. Hari ini, 28 Maret 2007, saya mendapat satu pelajaran: hidup adalah perjuangan. Terima kasih, pak supir... Semoga para penguasa di negeri ini bisa berbuat sesuatu untukmu, untuk kita semua, rakyatnya !!!

Fransiskus Pascaries