08 May 2007

Membolos Demi Demonstrasi

Tentu pembaca masih ingat dengan peristiwa ketika Majalah Der Spiegel terbitan Jerman edisi 14 Oktober 1996 memuat hasil wawancara wartawan mereka, Juergen Kremb, dengan Uskup Dili Mgr Carlos Filipe Ximenes Belo SDB. Kontroversi merebak karena hasil wawancara itu dinilai menghina bangsa Indonesia.

Beberapa hari setelah kejadian itu, saya bersama beberapa teman yang asli Timor Leste membolos dari sekolah untuk menuju Wisma Keuskupan yang terletak berseberangan dengan Pelabuhan Dili, yang tiap hari selalu disibukkan dengan bongkar muat barang dan penumpang. Di sebelah kiri wisma itu ada Hotel Mahkota, yang sepertinya adalah penginapan terbaik yang pernah dimiliki Timor Leste ketika masih menjadi provinsi ke-27 di Indonesia.

Menggunakan mobil Suzuki Katana, entah milik siapa, saya dan teman-teman itu yang adalah simpatisan Fretilin, bergerak dari Becora (saya bersekolah di SMA 1, yang terletak di Kecamatan Becora, bagian Timur kota Dili) menuju Wisma Keuskupan. Setiba di sana, ternyata lautan massa sudah terbentang di hadapan mata. Barangkali, ada ratusan, atau bahkan mencapai angka 1000 demonstran yang meneriakkan yel-yel antipemerintah RI dan mendukung Uskup Belo, pemimpin rohani yang sangat dihormati di sana.

Jantung saya berdegup sedikit lebih kencang dari biasanya. Ya, biar bagaimanapun saya adalah warga pendatang yang kebetulan bersimpati pada apa yang diperjuangkan oleh teman-teman saya, warga asli Timor Leste. Dan, masih ada warga Timor Leste saat itu yang masih terjangkit xenophopbia. Saya tidak berbicara soal nasionalisme dalam hal ini, tapi soal kemanusiaan! Karena, berkeyakinan, "Kemanusiaan jauh lebih penting dari nasionalisme. It's beyond borders !!!"

Barangkali sekitar satu jam kami berdiri di depan Wisma Keuskupan itu, untuk lalu bergerak pulang. Kepulangan saya ke rumah membawa hati yang sempat was-was karena ada isu, bahwa ada aparat intelijen yang menyusup di antara kami, dan mencatat beberapa nama yang siap diciduk. Dua hari berturut-turut setelah aksi demonstrasi itu, saya tidak masuk sekolah. Uffff....

Tetapi, untunglah. Saya tidak sampai terciduk aparat intelijen, karena aksi itu.

Rentetan Tembakan di Malam Itu

Waktu itu saya sudah terdaftar di Seminari Don Filipe Rinaldi di Venilale. Sebuah kota kecamatan di Kabupaten Baucau (selain Baucau Kota, Vemasse, Quelicai,Baguia dan Laga) yang terletak sekitar 30 km arah selatan (lihat peta).

Kejadian itu terjadi bulan Oktober 1992, beberapa bulan setelah saya diterima di seminari. Bapak saya saat itu sedang menjalani tugas kantor di Dili, yang berjarak sekitar 130 km arah barat Baucau. Jadi, di rumah hanya ada ibu saya, tiga adik perempuan saya (Siska 11 tahun, Maria 9 tahun dan Yuli 7 tahun) serta adik bungsu saya, Arief, 4 tahun.

Entah sejak kapan, setiap bulan Oktober diadakan pameran pembangunan selama lima hari di Baucau. Dan, penutupannya diadakan setiap tanggal 5 Oktober, tepat pada hari ABRI. Mengapa seperti itu, saya pun tak tahu persis. Setiap instansi pemerintah maupun swasta yang ada di kota (terbesar) kedua setelah Dili itu membuka satu stand yang bisa digunakan untuk memamerkan produk-produknya, kegiatan-kegiatannya. Tak ketinggalan juga, beberapa panggung hiburan dan sejumlah permainan untuk menarik pengunjung, tersedia di beberapa stand.

Kejadian menegangkan itu, terjadi, kalau tidak salah, di hari terakhir: 5 Oktober 1992. Ibu saya, dan juga keempat adik saya berangkat ke lokasi bersama tetangga kami. Ketika sedang bercanda ria, sambil menikmati makanan ringan seadanya, tiba-tiba dari bangunan yang agak tinggi terdengar bunyi letusan senjata api.

Daarr .... daarrr ..... darrr....

Ibu dan keempat adik saya, seperti juga pengunjung pameran yang lain spontan berteriak histeris. Mereka berlari tak karuan ke sana-ke mari. Entah bagaimana ceritanya, mereka tiba di sebuah pos tentara yang tengah berjaga. Konon, tembakan terjadi karena terjadi perebutan senjata antara gerilyawan pejuang kemerdekaan, yang sering disebut tentara sebagai Gerakan Pengacau Keamanan (GPK).

"Bu, sini aja bu...," kata seorang tentara di situ.

Spontan ibu saya menggandeng keempat anaknya yang tengah menangis dicekam ketakutan, masuk ke ruangan itu. Tetapi, sekian detik berdiri di situ, ada orang yang berteriak, "Bu, jangan di situ. Bisa jadi sasaran tembak !!! "

Ibu saya bertambah panik, juga keempat anaknya. Terlebih sewaktu di ruangan itu ia melihat seorang tentara membuka sebuah kotak amunisi dan mengokang senapan berlaras panjang di depan matanya.

Krek....krekkk....krekkk....krekkk...

Tentara itu menyiapkan senapan laras panjangnya. Tanpa basa-basi, segera ibu saya menarik keempat anaknya ke luar. Segera ia bergabung dengan beberapa tetangga kami untuk mencari tumpangan menuju ke rumah. Setelah mencari ke kiri-kanan, mereka menemukan sebuah mobil bak terbuka milik PLN melintas. Mereka segera naik ke atas mobil itu sambil setengah tiarap, untuk menghindari peluru nyasar yang bisa datang sewaktu-waktu.

Melintasi jalan aspal menanjak, mobil PLN itu meraung-raung melaju dengan kecepatan cukup tinggi. Sepanjang jalan yang gelap itu, beberapa kali masih terdengar bunyi tembakan dan dentuman granat. Sepertinya ada aksi kejar-mengejar dan baku tembak antara pihak keamanan dan pihak yang disebut GPK, atau Gerakan Pengacau Keamanan itu .

Akhirnya, ibu dan keempat adik saya tiba dengan selamat di rumah setelah harus menumpang kendaraan dengan bertiarap atau merunduk. Begitu juga beberapa tetangga saya. Mereka segera mematikan semua alat penerangan di rumah, dan beranjak ke tempat tidur masing-masing.

Rentetan tembakan masih terdengar hingga beberapa jam. Malam itu pun mereka lalui dengan kecemasan ...

04 May 2007

Jakarta-Dili-Baucau, Perjalanan Nan Menegangkan


Baru sekitar tiga bulan saya memasuki bangku kelas tiga di SD St.Fransiskus III, Kampung Ambon, Jakarta Timur. Tetapi, kepindahan bapak saya dari Jakarta ke Dili 'menyeret' saya untuk beranjak dari Jakarta, yang penuh dengan hingar-bingar dan hiruk pikuk metropolis, ke Timor-Timur yang pada waktu itu (Oktober 1988) masih merupakan provinsi ke-27 di Indonesia, dan belum seramai ketika saya tinggalkan tahun 1998 untuk mengecap bangku kuliah di Purwokerto.


Hari itu, 2 Oktober 1988, sekitar pukul 10 pagi, dengan pesawat Garuda Indonesia yang berbadan lebar, kami melintasi samudera dan transit di Denpasar untuk lalu meneruskan penerbangan ke Dili. Sayang, di Denpasar kami harus berganti pesawat yang berbadan lebih langsing, sehingga kenyamanan selama perjalanan Jakarta-Denpasar terasa lenyap.


Sebenarnya tubuh saya sedang tidak sehat. Sekitar dua hari saya harus istirahat di rumah Bude saya di bilangan Halim Perdanakusumah, dan tidak hadir dalam acara perpisahan dan doa lingkungan di rumah saya yang terletak di Jalan Pemuda IV No.15 Rawamangun, Jakarta Timur. Rumah kontrakan kami terasa menjadi semakin sempit kala itu. Bagaimana tidak, ada sekitar 30 orang yang biasa aktif di lingkungan Gereja harus duduk lesehan dan di luar. Hal itu bukan tanpa alasan. Bapak saya dikenal aktif dalam persekutuan doa di lingkungan bahkan juga di Paroki St.Bonaventura Pulomas, yang lalu dimekarkan ke Paroki Keluarga Kudus Rawamangun.


Kami pun bertolak dari Rawamangun ke Bandara Soekarno Hatta di Cengkareng. Beberapa mobil dari kerabat dan sanak-saudara turut melepas kepergian kami. Saya yang kala itu baru berumur delapan tahun belum bisa membantu mengangkat tas berukuran besar. Apalagi adik saya yang juga masih kecil: Sisca (7 tahun), Maria (5), Yuli (3) dan Arief (7 bulan). Beruntung, kru maskapai Garuda Indonesian Airways dengan ramahnya memberikan pelayanan.


Diumumkan bahwa sebelum tiba di Bandara Comoro di Dili, kami akan singgah di Bandara Ngurah Rai. Selama penerbangan Jakarta-Denpasar, selalu ada saja pengalaman-pengalaman kocak yang hingga kini masih saja lekat menempel di otak saya.


Kalau di pesawat Garuda yang luas itu kami bisa berlari ke sana-ke sini, sementara di pesawat Merpati yang membawa kami dari Denpasar ke Dili kami hanya bisa duduk. Selain karena kursi penumpang telah terisi penuh, kabin pesawat yang ‘kurus’ tidak memungkinkan kami untuk ‘adu lari’. Kalau Tukul sudah beken dengan Empat Mata, dia pasti akan bilang: "Ndeso....ndeso...ndeso, katro !!!” Sekitar satu atau dua jam selepas Denpasar, kami tiba di Bandara Comoro di Dili. Udara terasa panas menyengat ketika kami berada di ruang tunggu kedatangan sambil menunggu bagasi. Kerabat dekat bapak saya di Kanwil Departemen Agama Dili Pakde Bandi –begitu kami biasa memanggilnya– menjemput kami. Sekitar tiga hari kami menetap di perumahan dinasnya di daerah Pantai Kelapa, Dili.


Setelah Bapak saya mengurus administrasi ini dan itu, kami beranjak dari Dili ke sebuah kota yang terletak sekitar 130 km arat timur kota Dili, Baucau. Kota ini disebut-sebut sebagai kota kedua terpenting setelah Dili. Kalau di masa setelah tahun 1990-an, perjalanan menggunakan bis Dili-Baucau dan sebaliknya bisa ditempuh 4-5 jam, jangan harap bisa menempuh jarak yang sama dalam waktu kurang dari itu di tahun 1980-an.


Kenapa bisa lama? Itu tak lain karena setiap bis harus menjalani pemeriksaan di banyak titik. Saya tak ingat persisnya berapa kali bis kami diberhentikan oleh personil militer untuk diperiksa dokumen perjalanannya. Semua penumpang diperintahkan turun dari bis dan menunjukkan surat jalan dari lurah (barangkali) beserta KTP atau identitas lain. Mereka yang tidak bisa menunjukkan dokumen yang sah, atau minimal KTP, pasti akan langsung 'diamankan'. Tidak jarang, ada di antara mereka yang harus menerima bogem mentah karena tidak bisa menunjukkan surat jalan dan atau KTP. Suasana keamanan di Timor Leste pada waktu itu masih cukup rawan karena masih ada gerombolan bersenjata Fretilin yang sesekali turun dari daerah pegunungan. Sedikit banyak hal itu membuat kami sekeluarga turut diliputi ketegangan. Belum lagi ditambah cerita-cerita dari kerabat Bapak saya yang sudah lebih dulu menetap di sana.


Bis di Timor Leste kala itu (entah sekarang) tidak ada satu pun yang menggunakan air conditioned. Rasa panas, letih dan stres tak bisa disembunyikan dari wajah kami. Suasana tegang seakan jadi langganan selama kira-kira tujuh jam perjalanan. Bayangkan, jalan beraspal yang ada hanya muat untuk dua lajur kendaraan. Kami pun harus berpacu jantung, karena terkadang jika longsor menghadang, ada saja kendaraan yang terperosok ke jurang. Atau dalam kasus lain, ada batu yang 'terjun bebas' dari atas tebing curam.


Di Kabupaten Manatuto yang berjarak sekitar 60 kami arah timur kota Dili bis kami berhenti untuk beristirahat. Kami benar-benar memanfaatkan waktu untuk menarik napas. Makan siang yang kami persiapkan ludes dalam waktu singkat. Sekitar setengah jam, bis kami pun melanjutkan perjalanan paruh kedua ke Baucau. Perjalanan dramatik dan menegangkan, serta tentu saja, bersejarah buat saya.

Kisah Supir Mikrolet dan Serbuk Maut

Tanah Abang suatu siang menjelang sore. Saya langkahkan sepasang kaki ini yang menopang tubuh kurus saya di antara teriakan para supir angkot dan calo yang tengah 'berburu' penumpang.

Saya hampiri satu mikrolet M-11 jurusan Tanah Abang-Meruya. Selang 10 menit, perlahan-lahan mobil reot itu bergerak, ketika belum ada penumpang selain saya yang duduk di sebelah supir.

Dari kolong jembatan, kami bergerak melewati Stasiun Tanah Abang. Sang supir melajukan kendaraan sembari menengok ke kiri dan kanan, siapa tahu ada penumpang yang mau menggunakan jasanya. Namun, selepas stasiun itu belum ada penumpang yang memenuhi jok belakang.

Tak ada obrolan apapun sampai mobil itu melewati Stasiun Tanah Abang. Lamunan saya terbuyarkan oleh teriakan, atau tepatnya bentakan, sang supir kepada 'petugas' yang menarik 'tips' atas jasanya mengatur lalu lintas di belokan pertama setelah Stasiun menuju Pasar Tanah Abang.

"Tadi gua dah kasi. Masa mau minta lagi lu !!!"

Bentakan itu memecah lamunan saya yang berkelana entah ke mana.

"Ah, tai. Nggak usah nyolot lu !" jawab 'petugas' yang minta 'jatah' dari supir mikrolet itu. 'Petugas' itu kurang lebih sebaya dengan saya, tiga tahun menjelang 30 tahun.

Sang supir akhirnya memulai obrolan dengan saya. "Harus digituin (baca: bentak) mas. Kalo nggak, kurang ajar dia. Kita dikira takut," katanya dengan nada tinggi. Ia mengaku kesal dengan perilaku penarik pungli itu setiap hari. Ia membandingkan beberapa dari 'petugas' itu sudah bisa membeli motor, walau dengan cara menyicil. Sedangkan, ia sendiri masih kesulitan untuk sekadar membiayai hidup istri dan ketiga anaknya.

"Iya, pak..." jawab saya singkat dan lirih.

Obrolan kami pun mengalir. Supir itu -yang hingga saya turun, tak saya tahu siapa namanya- mengaku sudah menjalani banyak profesi. "Semua sudah, mas. Kecuali nyopet dan nggarong," jelasnya dengan mimik serius. Profesi supir mikrolet ini sudah ia jalani sejak sembilan tahun lalu. Ia juga pernah menjadi tukang becak, kuli bangunan dan lainnya di Tangerang.

Ia juga bercerita, bahwa sesekali memang ada polisi lalu-lintas yang menindak para pemuda yang melakukan pungli itu. 'Tapi, kayaknya mereka sudah 'dijatah'. Kalau sudah kehabisan duit, mereka akan razia lagi," katanya.

Kemacetan sore itu, seperti biasa, membuat laju mikrolet itu tersendat dan tersendat lagi. Barangkali ada sekitar satu jam kami hanya berkutat di bilangan Tanah Abang untuk menuju kawasan Slipi yang juga tak kalah ganas kemacetannya. Ya, begitulah Jakarta. Kemacetan adalah menu yang harus kita hadapi tiap hari.

Mikrolet yang ia kendarai itu ia sewa dengan biaya Rp.6O ribu per harinya bersama seorang temannya. "Lebih bebas, mas. Kalau nggak gitu, kita pulang telat dikit saja majikan dah ngomel-ngomel," tambahnya.

Seperti juga pengguna jalan raya di ibukota, ia juga tak kebal dari penyakit macet di jalan-jalan raya. Cacian dan sumpah serapah karena jalannya diserobot sudah menjadi santapan sehari-hari. Ia mengaku sering dimaki-maki pengendara motor karena menurunkan penumpang di pinggir jalan yang padat.

"Selama ini sih, karena cuma gitu-gitu, saya biarin. Kalau berani mukul, baru saya lawan!"

Ia mengaku memiliki senjata rahasia yang ia simpan di bawah jok mobilnya. Menurut ceritanya, itu ia dapat dari hasil berguru di Kebumen, Jawa Tengah. Bentuknya adalah serbuk, yang kalau mengenai mata manusia akan mengalami kebutaan total. "Nggak bakal bisa sembuh, mas. Cuma saya yang bisa ngobatin," jelasnya.

Saya langsung berpikir, ternyata begini cara kaum marginal mempertahankan hidupnya di kota metropolitan. Menurut saya, itu jauh lebih baik daripada menjadi penjahat. Ia menyiapkan itu semata untuk self defence, bukan yang lain. Kondisi ekonomi yang morat-marit di kalangan bawah memang kerap 'mengizinkan' orang berbuat seenaknya untuk mendapatkan sesuap nasi. Ia masih bisa berpikir waras, dengan tidak mau menjadi copet atau pencuri. Sesuatu yang patut saya acungi dua jempol.

Selepas Pasar Tanah Abang, saya lanjutkan lagi lamunan yang tersela tadi. Tak ada obrolan apapun karena saya pun tenggelam memikirkan apa yang sudah diceritakan supir mikrolet itu. Hingga akhirnya saya tiba di kantor redaksi Majalah HIDUP.

Ah, ternyata... apa yang sering saya klaim sebagai perjuangan tidak seberapa dengan apa yang 'diperjuangkan' oleh pak supir itu. Terkadang, saya masih mengeluhkan apa yang sudah saya dapat. Sementara, sang supir itu harus bertarung di hiruk-pikuk kemacetan Jakarta untuk menghidupi istri dan ketiga anaknya. Hari ini, 28 Maret 2007, saya mendapat satu pelajaran: hidup adalah perjuangan. Terima kasih, pak supir... Semoga para penguasa di negeri ini bisa berbuat sesuatu untukmu, untuk kita semua, rakyatnya !!!

Fransiskus Pascaries