19 June 2007

Buku dan Fried Chicken

Buku adalah barang yang berbahaya. Buku membuat Anda berpikir, merasa, dan bertanya. Buku membuat Anda mengajukan banyak pertanyaan (George Suttle)
=======
Sering kita dengar wisata belanja, wisata kuliner, wisata alam, wisata ini dan itu. Tetapi, sore itu, Jumat (8/6/2007) dengan langkah-langkah ringan dan pasti kaki saya berayun ke Istora Senayan untuk menjadi satu di antara ribuan pengunjung untuk mengadakan wisata pustaka.

Pameran itu digelar selama sembilan hari (2-10 /6/2007). Ada 180 stand dari puluhan penerbit, media, dan tentu saja, toko buku. Menargetkan 200.000 pengunjung, pameran itu ternyata ‘hanya’ mampu menyedot sekitar 140.000 pasang mata. Setidaknya itu yang bisa ditangkap dari wawancara detik.com dengan Humas Ikapi Jaya, R.Harry di sela-sela acara pameran Minggu (10/6). “Di hari biasa, pengunjung biasanya hanya 10.000 orang perharinya. Tapi Jumat, Sabtu dan Minggu ini pengunjung mencapai 20.000 orang," ujar R. Harry.

Sebagaimana kebanyakan jomblowan yang tidak berhasil menculik satu pun perawan untuk sekadar diajak cuci mata pustaka, mata saya ikut bertamasya ke sana ke mari. Tidak hanya tetumpukan buku di stand-stand yang ada, penunggu buku yang bisa saya kategorikan ‘Vitamin A’ turut membuat kelelahan kaki saya seakan hilang sejenak. Ya, memang dunia kita sekarang ini, suka tidak suka, sudah dan akan terus dihiasi dengan yang indah secara visual. Sebuah majalah yang melulu memperkuat jajaran redaksi dengan penulis-penulis handal, tanpa didukung bagian artistik yang punya selera seni desain yang tinggi, bisa dipastikan hanya akan menunggu lonceng kematiannya.

Tetapi, berhubung isi kantong saya harus tetap dijaga kesinambungannya hingga saatnya untuk diisi ya terpaksa hasrat untuk memiliki pustaka-pustaka bermutu harus saya pendam untuk sementara. Honor saya sebagai pustakawan yang belum ‘penuh’ memaksa saya untuk sekadar mengamati buku-buku apa saja yang bisa saya buru, begitu isi kantong saya sudah cukup aman untuk diajak ‘berburu’.

Langkah demi langkah saya ambil. Berbagai paras manusia, dari yang cantik hingga yang ekonomis sudah hinggap di mata dan otak saya. Beberapa stand toko buku sudah saya hampiri. Hingga di satu stand saya bertemu dengan seorang temanku, Xaxa. Ia adalah ‘kembang jepun’ dari sahabat karib saya yang bernama Awi. Xaxa datang ke pameran itu bersama Ignas, teman kuliahnya di Universitas Indonesia.

“Woi.... pa kabar lu ?” saya sapa mahasiswa Antropologi itu.

“Hey, baek-baek. Sendirian ?” tanyanya sambil tangan kami bertepuk satu sama lain.

“Kenalin, ini temen gua. Ignas namanya,” ia mengenalkan temannya itu pada saya. Kami pun berjabat tangan.

Rupanya, mereka tidak berbeda jauh dengan saya. Mereka juga sedang wisata pustaka di Istora ini. Mereka datang ke tempat itu, untuk melepaskan ketegangan setelah beberapa hari disibukkan dengan urusan ujian di kampus.

Saya berpikir, baguslah masih ada orangmuda seperti mereka. Orangmuda yang masih ingin mencari sesuatu di ‘luar sana’. Mencari sesuatu yang kadang tak jelas pula apa wujudnya, apa konsekuensi di balik semuanya.
“The truth is out there.” Masih ingat dengan deretan kalimat film The X-Files itu ?

Saya berjalan mendahului kedua sahabat muda itu. Saya bergerak menuju ke sebuah stand penerbit Islam. Tujuan saya satu, ingin mencari literatur tentang Ahmad Wahib, tokoh muda gerakan Islam yang lahir di Sampang, Madura, 9 Nopember 1942 dan meninggal karena tertabrak sepeda motor berkecepatan tinggi di persimpangan jalan Senen Raya-Kalilio di suatu malam 31 Maret 1973. Tetapi, ya sekadar ingin melihat saja. Karena, isi kantong saya belum memadai untuk meminang buku itu. Walaupun saya bukan muslim, aku ingin mencoba menyelami ke kedalaman pemikiran orangmuda yang meninggal dalam status sebagai calon wartawan Tempo itu.

Ponsel Motorola butut saya bergetar. Menyentak perhatian pada hamparan pustaka di stand-stand yang saya lalui. Awigra, pacar Xaxa, mengabarkan akan tiba di Istora tak lama lagi.

“Tunggu aku di stand buku yang banyak buku Pram-nya (Pramoedya Ananta Toer)”
Lebih kurang, begitu isi pesan pendek yang mampir di ponselku.

Awi memang penggila sastrawan tiga zaman itu. Ia sudah mulai melahap torehan karya Pram sejak SMP. Umurnya lebih muda setahun dariku, 26. Ia begitu terinspirasi pada sosok yang begitu menjadi momok bagi sebagian orang, sekaligus menjadi idola bagi sebagian orang lain.

Tak lama kemudian, Awi datang. Ia menyeretku ke sebuah stand yang menjajakan kamus.

“Lu dah beli kamus lom?” tanyanya.

“Belum lah. Gua belum punya duit nih...” jawabku jujur.

Semula ia akan meminjamiku uang untuk membeli Kamus Bahasa Spanyol[1]. Tetapi, karena kebetulan stok kamus itu sudah habis, kami hanya disodori sebuah kartu nama yang menunjukkan alamat toko buku itu. Di Pancoran rupanya...
Kami pun lalu beranjak ke sebuah sebuah ruang di mana Kentucky Fried Chicken membuka restoran ‘darurat’. Mengilangkan kepenatan sembari mengisi perut...

Buku.... Fried Chicken.... ya itulah dunia yang sedang aku tumpangi.




[1] Cerita soal Kursus Bahasa Spanyol, bisa dilihat di (beberapa) tulisan lain.






Fransiskus Pascaries