03 September 2007

Ontosoroh, Korban Lapindo dan Kemerdekaan (seonggok lamunan agustusan)

“Kita telah melawan, Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya!”
====

Kalimat itu terucap dari bibir artis cantik Happy Salma, pemeran utama pementasan teater “Nyai Ontosoroh”. Tiga hari berturut-turut, ia tampil di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki (GBB TIM) Jakarta, 12-14 Agustus 2007. Saya hadir di hari kedua, Senin 13/8.


Di adegan terakhir pementasan itu ditampilkan Ontosoroh dan Minke melepas kepergian Annelies, putri Ontosoroh, yang dipaksa pulang ke negeri Belanda. Kalimat itu terlontar setelah Minke berkata,” Kita sudah kalah.” Namun, Ontosoroh digambarkan sudah melakukan segala daya dan kecerdasannya untuk mempertahankan Annelies. Jalur pengadilan tak terkecuali.

De javu! Ontosoroh juga mengalami hal serupa ketika pada usia 14 tahun dijual seharga 25 gulden oleh orangtuanya pada Williem Bivers, seorang pengusaha Belanda di Surabaya. Sebelum menjadi gundik Bivers, namanya adalah Sanikem.


Jujur saja, salah satu motif yang mendorong saya untuk menonton teater itu adalah melihat paras ayu dara kelahiran Sukabumi, 4 Januari 1980 itu, Happy Salma. Motif naluriah seorang lelaki. Sementara motif lainnya, barangkali sedikit heroik, adalah mencoba memaknai kata kemerdekaan dari seorang Nyai Ontosoroh, yang diangkat dari roman sejarah karya begawan sastra Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia.


Saya bukan pelahap karya-karya Pram, memang. Tetapi, saya bisa meraba-raba semangat yang senantiasa menyuluh dalam Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca) dan juga yang lainnya.

Tiket hibah
Pertunjukan hasil kolaborasi Institut Ungu, Jaringan Nasional Perempuan Mahardika dan Perguruan Rakyat Merdeka itu terdiri dari 31 adegan. Perpindahan antaradegan berlangsung rata-rata 5-10 detik, di tiga panggung: satu panggung besar di tengah dan dua panggung kecil di sisi kiri dan kanan.


Mata saya berkelana dari sisi kiri belakang tempat duduk saya ke segenap penjuru ruang berpendingin itu. Tak ada bangku kosong tersisa di GBB yang berkapasitas sekitar 800 orang itu. Dari kantor saya di Kebon Jeruk, Jakarta Barat, bergegas saya pacu Yamaha Vega-R saya guna menembus kemacetan antara kawasan Batusari, Kemanggisan, Tanah Abang. Saya memilih untuk berputar di bawah jembatan tak jauh dari Hotel Peninsula, untuk menghindari kemacetan yang begitu menyiksa. Ternyata, pilihan saya tak salah. Dengan melewati terminal dan Pasar Tanah Abang, laju motor saya bisa jauh lebih cepat. Tak lagi merayap bagai cicak di dinding.


Saat saya datang sekitar pukul 19.30, GBB telah ramai oleh ratusan orang yang tengah menanti pementasan itu. Dari pakaian yang mereka kenakan, saya melihat ada karyawan swasta yang tampak necis. Ada pula orang-orang muda, sepertinya mahasiswa. Tak sedikit pula tampak kalangan generasi tua yang mengantri di depan pintu untuk masuk. Di sisi pintu ada dua meja yang sarat dengan tumpukan tiket yang telah dipesan.

Pelatihan jurnalistik di kantor, membuat saya tidak berani untuk memesan tiket beberapa hari sebelumnya. Akibatnya, saya yang datang tanpa tiket harus berharap-harap cemas, akan ada yang membatalkan tiket. Tetapi, saya beruntung. Romo Greg Soetomo SJ yang terjebak kemacetan menghibahkan tiketnya pada saya. Melalui frater-frater yesuit yang serumah dengannya, saya mendapatkan tiket itu. Alhamdulilah, setelah sekitar 30 menit menanti di depan penukaran tiket, saya masuk ke dalam ruangan itu, dan memelototi pertunjukan itu selama lebih kurang 195 menit.

Anak-anak melawan. Kita ?
Sementara itu, tanggal 13-15 Juli digelar Festival Budaya Anak Pinggiran-Ciliwung Merdeka (FBAP). Acara itu diprakarsai oleh komunitas Ciliwung Merdeka (CM), suatu komunitas kerja yang terdiri dari anak, remaja, dan warga Bukit Duri di bantaran Kali Ciliwung, Kelurahan Tebet, Jakarta Selatan, dengan Jaringan Kemanusiaan Ciliwung Merdeka sebagai pendamping.

Di depan patung sang dwi tunggal proklamator, Soekarno – Hatta, 2.150 anak dari 39 komunitas anak "pinggiran" se-Jabotabek bernyanyi, bermain musik dan juga berdiskusi. Di hari kedua, 14/7, diadakan diskusi panel, yang menghadirkan anak-anak muda. Mereka membagikan pengalaman mereka masing-masing. Ada Neni, remaja usia duapuluhan korban lumpur Lapindo, Sidoarjo. Ada Hartati, aktivis usia belasan dari Sangar Garasi. Juga Handoko, korban Lapindo, di Pasar Baru Porong, Sidoarjo; plus Suningsih, Toni dan Diana.

Neni hadir di Jakarta dengan kaki kanan yang telah melepuh karena terkena lumpur panas. Ia hadir dan beberapa kali meneriakkan dengan lantang,” Esia Untung, Korban Lapindo Buntung....”. Karena kelalaian Lapindo, ia harus mengalami cacat seumur hidup. Ia mempertanyakan, di mana keadilan yang seharusnya ia dapat dari Lapindo dan juga pemerintah yang seakan menutup mata.

Ganti rugi tak kunjung ia rengkuh. Namun, semangatnya tidak pernah runtuh untuk menuntut haknya di Jakarta. “Saya adalah tulang punggung keluarga yang harus membiayai dua adik saya. Saya ingin pemerintah mendengarkan rintihan hati saya,” ungkap Neni.


Sementara Hartati, yang tinggal di belakang kampus Universitas Negeri Jakarta (UNJ)Rawamangun, Jakarta Timur, berkisah tentang penggusuran demi penggusuran di daerahnya. ”Di tanah bekas rumahku akan dibangun mal, apa sih gunanya mal? Indonesia tidak butuh mal, Indonesia cuma butuh kesejahteraan, bebas dari intervensi negara lain, bebas dari kemiskinan,” tukas Hartati.


Maria Hartiningsih di Kompas edisi 14/7/07 meminjam penjelasan sosiolog Inggris, Pete Alcock dalam buku Understanding Poverty (1997). Dikatakan bahwa anak pinggiran adalah produk dari kebijakan sosial dan ekonomi yang diciptakan dan terus diciptakan untuk menanggapi atau mengontrolnya. Peminggiran merupakan persoalan politik karena kebijakan itu diambil dalam konteks politik tertentu.

Saya melamun di bulan Agustus ini. Benarkah bangsa saya telah benar-benar merdeka ? Akan atau telahkah ada Ontosoroh-Ontosoroh lain di negeri ini ? Semoga setiap anak bangsa ini, terutama kaum perempuannya, tersuluh oleh bara perjuangan seorang gundik itu. Ia tak pernah mengenyam pendidikan formal, namun ia belajar banyak tentang eropa, mulai dari tata niaga, bahasa Belanda, hukum, hingga wilayah sastra.

Semoga anak-anak yang telah melakukan perlawanan itu tidak bertepuk sebelah tangan. Semoga teriakan-teriakan mereka tak hanya memantul dari dinding-dinding langit karena tidak didengar oleh para pemimpin bangsa ini. Forum Warga Kota Jakarta mencatat sampai tahun 2006 terjadi 210 penggusuran permukiman dengan lebih 30.000 keluarga kehilangan tempat tinggal.

Tujuhbelas hari lalu rakyat Indonesia memperingati dibacakannya teks proklamasi. Sebuah pertanyaan menyeruak: sudahkah kita melawan dengan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya ?

Fransiskus Pascaries