31 December 2008

Here Comes The New Year

Gembira. Sedih. Bangga. Marah. Kecewa... Semua datang silih berganti di tahun ini. Semua manusia pasti mengalaminya.

Tahun 2008, tahun yang misterinya sudah tersingkap ...

Tahun 2009, semoga ku dapat membaca pertanda-pertanda misterimu ...

here comes the new year...
Gracias a Dios

aries,
penulisyangtaktahuapayangharusditulisdisaatsaatsepertiinientahkenapa

30 August 2008

Dili, Lain Dulu Lain Sekarang

“Nilai kami di tangan guru, keselamatan guru di tangan kami”. Kubaca tulisan itu di papan tulis di salah satu ruang kelas di SMA Negeri 1 Dili. Cerita di masa SMA itu kembali terngiang ketika sohib seperjuangan saya semasa di Dili, Timor Leste, Hendrikus Rarang, menelpon saya pada Minggu, 13 April 2008. Ia bukan teman sembarang teman. Hendrik, Made Endra Wiguna, dan Iryanto Sirait adalah sebagian teman yang pernah merasakan bagaimana kerasnya hidup sebagai pendatang di Timor-Timur, yang sekarang sudah berdiri sebagai negara sendiri bernama Republik Demokratik Timor Leste (RDTL).

Saya mengenal “Si Flores (begitu saya, Iryanto dan Endra biasa memanggilnya) ketika dia pindah sekolah dari tanah leluhurnya di Ende, Flores tahun 1997. Ia langsung ditempatkan di kelas 2C dan dikenal sebagai jagoan menggambar. Kebetulan, ia tinggal bersama kakaknya di daerah Bebonuk, Dili Barat, yang hanya berjarak sekitar satu kilometer dari tempatku tinggal di Pantai Kelapa, Dili Barat. Jadilah ia teman semikroletku setiap hari.

Hendrik datang 10/4 lalu untuk menjalani pelatihan selama tiga hari di sebuah instansi pemerintah, di Jakarta. Mengikuti jalan Iryanto sudah menjadi aparat pemerintah di Papua, bapak dua anak ini akan menjadi PNS di sebuah instansi pemerintah di tanah kelahirannya. Obrolan kami serasa tak lengkap. Biasanya – sepuluh tahun lalu – bersama Endra dan Iryanto kami kerap jalan-jalan di Dili, termasuk ke Patung Kristus Raja di Fatucama, yang berada di luar kota sisi timur kota Dili. Tetapi, apa lacur, jarak dan (barangkali) nasib memang memisahkan kami berempat. Seperti layaknya teman yang tak berjumpa, kami mengobrolkan banyak hal lucu, menegangkan, menakutkan, selama menetap di Dili. Dalam beberapa hal, tulisan ini barangkali sangat subyektif. Entah, apakah pengalaman yang saya tuliskan ini bisa memberi secuil gambaran bagaimana keadaan Dili pada waktu itu, dan membandingkannya dengan kondisi terkini di sana. Semoga saja...

Ibarat anak kecil yang kerap terkena demam, ‘suhu’ kota Dili juga sangat fluktuatif. Pagi hari, ketika berangkat sekolah, mungkin kondisi ‘aman dan terkendali’. Tapi, bukan tidak mungkin siang hari kami kebingungan mencari jalan aman untuk bisa sampai di rumah dengan nyawa dan raga yang utuh. Ungkapan yang sedikit hiperbolik, tapi begitulah adanya. Pertengkaran dan atau perkelahian antara pedagang pribumi dan pedagang di pasar, misalnya, hampir bisa dipastikan akan meluas menjadi aksi pencegatan dan razia terhadap kaum pendatang, termasuk siswa sekolah. Pada masa itu, belum ada teknologi SMS via telepon seluler. Tapi, kejadian di pasar tadi dalam hitungan jam akan segera menyebar ke seantero kota. Apalagi, jika perkelahian itu sampai memakan korban jiwa. Kerap kali, razia di sekolahku – yang terletak di Becora, Dili Timur – dilakukan beberapa jam setelah info perkelahian di pasar itu. Saya sendiri tak pernah merasa takut jika masih berada di lingkungan sekolah. Saya bisa memastikan para sahabat seperti João Paulo, Natalino, Tauro, Arthur Garcia, Benicio, Mario Mesquita, dan lain-lain akan mati-matian melindungi. Bahkan, saya masih ingat dengan pasti, bagaimana João Paulo secara terbuka di depan siswa-siswa pribumi berkata, “Imi bele baku sira seluk. Maibe, imi baku Aries, hare deit!.” (Tetun: Kalian boleh pukul mereka (pendatang) yang lain. Tapi, kalian pukul Aries, lihat saja!). Dengan mimik serius, ia melontarkan ancaman itu sambil mengarahkan jari telunjuknya ke muka siswa-siswa pribumi yang kerap memukuli siswa pendatang. Tentu, tidak semua siswa pribumi ‘gemar’ melakukan aksi pemukulan seperti itu.

Mungkin di sini perlu saya jelaskan, apa arti kata ‘razia’ itu. Kalau sudah ada yang memulai (selalu berlangsung spontan, tidak ada ‘koordinator’ resmi dalam setiap operasi ‘razia’), aksi itu akan berlangsung dari kelas ke kelas. Ada dua ‘jenis’ razia. mereka ‘hanya’ meminta sejumlah uang, yang biasanya berkisar antara Rp 100 hingga Rp.1000 per siswa, untuk membeli minuman keras, atau sekadar makan di kantin. Mereka bisa ‘hanya’ mendatangi satu hingga dua kelas, atau hampir semua kelas di SMA 1, yang berjumlah 10 – 12. Sekadar perbandingan, ongkos bis dan mikrolet di sana pada waktu itu Rp.100 untuk pelajar. Satu potong gorengan di kantin sekolah dihargai Rp.100. Kalau mereka mengadakan ‘operasi’ di lima kelas, yang masing-masing berisi 30 orang, dan masing-masing memberi Rp.100 saja, maka jumlah uang yang didapat adalah Rp.15.000. Itu angka minimal., mereka tidak meminta uang, melainkan memukuli setiap anak laki-laki pendatang di semua kelas. Biasanya, mereka basa-basi bertanya pada si ‘korban’, “Kamu pendatang ya?” Sebelum dijawab, bogem segera melayang ke pipi atau dada. Di satu sisi, saya merasa miris setiap kali melihat kejadian itu.

Namun, di sisi berbeda saya, yang tidak pernah dipukul selama tiga tahun bersekolah di sana, tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah. Biasanya, setelah kejadian itu tanpa dikomando, dan tanpa bisa dicegah oleh para guru, siswa-siswa pendatang segera ambil langkah seribu, pulang! Suatu ketika, seorang adik kelas bernama Agusto hampir saja mendaratkan bogem mentahnya ke rahangku. Siswa kelas 1 di SMA 1 – saat itu saya di kelas tiga – itu adalah seorang petinju yang menurut teman-temanku pernah mengikuti seleksi Pekan Olah Raga Daerah (Porda). Peristiwa terjadi di saat usai jam sekolah. Hati berdegup kencang. Sekitar 30 meter dari gerbang sekolah, terlihat segerombolan siswa pribumi tengah berteduh di bawah pohon. Entah kenapa, firasatku mengatakan satu dari mereka akan datang dan menyerangku.

Saya sengaja memperlambat langkah, sembari menunggu João Paulo, Natalino, Tauro, Arthur Garcia, Benicio, Jose Maria, dan beberapa teman di belakang. Tak lama kemudian, beberapa siswa (entah dari sekolah mana) di bawah pohon itu menunjuk ke arahku. Agusto yang ternyata ‘diutus’ untuk menyerangku, segera berlari kecil dan mendekat. Kuatur sedemikian rupa, sehingga jarak antara saya dan teman-teman lain tidak lebih dari dua meter. Saya hanya melirik ke arah Agusto yang telah berdiri sekitar dua meter di depanku untuk sekadar bersiap-siap., rupanya ia baru saja menenggak minuman keras. Aroma alkohol terasa kencang menyengat hidungku. Ia hanya mengenakan kaos oblong karena baju seragam telah ia ikatkan ke pinggangnya. Dalam beberapa detik, ia mengayunkan tinju kanannya ke arah pipi kiriku. Karena sudah siap menghadapi serangan itu, saya segera menundukkan kepala dan mundur sekitar dua langkah.

João Paulo dan kawan-kawan yang tengah bercanda sendiri kontan terkejut. Secara spontan, mereka membentuk lingkaran dan melindungiku. Saya tak tahu persis siapa yang lalu berbicara dengan Agusto, mungkin João Paulo. Agusto diberitahu agar jangan memukulku. Setelah ditenangkan, Agusto mendekat ke arahku. Jika sebelumnya ia melayangkan tangan untuk meninjuku, kali ini ia menyodori tangannya untuk menyalami, bahkan merangkulku dan meminta maaf. “Desculpa, hau la hatene”. (Tetun: Maaf, saya nggak tahu –kalau kamu temannya João Paulo dan kawan-kawan). Saya hanya menjawab, “La iha buat ida”, yang artinya “nggak apa-apa”. Jantungku yang sempat berdegup kencang, akhirnya berdetak normal. Saya tidak tahu persis, apakah ia benar-benar berniat memukulku karena tidak mengenalku sebagai bagian dari ‘gang’ João Paulo, atau ia hanya pura-pura dan lalu diperalat entah oleh siapa untuk memukulku. Memang, ada beberapa adik kelas yang penasaran dan bertanya-tanya, kenapa mereka bisa dengan bebas memukul siswa pendatang yang lain, sementara João Paulo dan kawan-kawan selalu membela saya. Sejak saat itu, Agusto tak pernah berniat memukulku. Bahkan ia selalu menyapa saya dengan akrabnya. Entah bergurau atau serius, suatu hari ia pernah mengajakku untuk menjadi warga negara Timor Leste jika kelak mereka merdeka dan berdaulat. Ungkapan yang membuatku tertawa, dan berkata “Orsida mak ita hare deit” (Kita lihat saja nanti).

Tidak ada yang berani menyerangku di sekolah. Tetapi, di luar sekolah? Tidak ada yang bisa menjamin. Seperti satu kejadian di perempatan arah Taibesi (tak jauh dari pemakaman Santa Cruz yang menjadi terkenal karena tragedi berdarah 12 November 1991) suatu siang. Saya tak ingat persis, di tahun berapa itu dan duduk di kelas berapa saya waktu itu. Yang saya ingat, siang itu saya pulang bersama temanku Nivio Leite Magalhaes (wakil Timor Timur dalam Paskibraka tahun 1996). Kami memilih tempat duduk di sebelah sopir mikrolet.

Tak ada kejadian apapun yang bisa memicu terjadinya kekerasan di Dili siang itu. Namun, mata saya terbelalak ketika mikrolet yang kami tumpangi berbelok ke arah Taibesi. Segerombolan anak muda menunjuk ke arah saya. Batinku berkata, “Habis lah...” Saya tidak bisa berbuat apa-apa, selain bertanya, “ Hau sala saida?"(Tetun: Apa salahku?). Namun, mereka hanya berkata satu sama lain, “ Bapa ne, baku deit!"("Bapa", sebutan mereka untuk pendatang).” Artinya, “pendatang nih, pukul saja”. Satu-satunya yang bisa saya lakukan hanya ‘mengunci’ lengan kiriku, agar bisa sedikit meredam rasa sakit. Saya hanya berusaha sebisa mungkin agar mereka, yang berjumlah sekitar sepuluh orang, tidak menghantam pipiku. Saya hanya membatin,”Kalau kalian cuma mau mukul lengan, silahkan. Tapi, jangan di pipi.”

Tapi, upssss.... ada yang membuka pintu mobil sebelah kiri. Jantungku serasa berhenti. Semula saya menduga, dia akan menyeret dan menghajar saya habis-habisan. Tapi, ternyata saya salah. Orang yang membuka pintu mobil itu justru menyuruh saya untuk bergeser sedikit ke tengah, sehingga kabin depan yang hanya untuk tiga orang (termasuk sopir), harus diisi empat orang. Entah siapa dia, tapi yang jelas tidak ada yang berani menghalanginya. Saya hanya bisa berkata,” Obrigado, maun” (Tetun: makasih, bang). Dia yang membela saya, bukan Nivio ! Keesokan harinya, Nivio dimarahi habis-habisan oleh João Paulo dan kawan-kawan, karena tak membela saya. Saya pun ikut marah, karena sikapnya itu. Mereka marah, karena biasanya mereka selalu membela jika ada pemuda Timor Leste yang berniat memukulku di bis kota atau di perjalanan pulang ke rumah.

Ada begitu banyak pengalaman kekerasan lain di Dili, yang tak akan cukup diceritakan di sini. Tapi, saya bersyukur hanya kejadian itu yang membuatku merasakan bagaimana dipukuli. Tiga tahun, satu penyerangan ? Tak terlalu jelek...Jika diberi kesempatan untuk bertemu João Paulo dan kawan-kawan, ingin rasanya saya berterimakasih pada mereka yang telah melindungiku selama tiga tahun itu. Tanpa mereka, entah apa jadinya. Tulisan ini saya buat di saat hubungan diplomatik antara RI dan RDTL sedikit menegang. Di Kompas edisi Sabtu 19/4 diberitakan bagaimana Presiden SBY terkejut mendengar pernyataan Presiden Timor Leste Ramos Horta mengenai pihak yang terlibat dalam kasus penembakan terhadap dirinya pada 11 Februari lalu.

Dalam jumpa pers 18/4 Presiden SBY menyatakan,”Saya terkejut. Saya beritahukan kepada para menteri dan seluruh pihak terkait untuk tidak memublikasikan masalah ini agar pencarian (pelaku) dapat berlangsung dengan efektif.” Seiring dengan berlangsungnya investigasi untuk mengusut kasus penembakan terhadap Presiden Horta dan PM Xanana Gusmao, Presiden SBY mengatakan telah berkomunikasi melalui telepon dengan Presiden Horta pada 10/4. Dibahas hasil investigasi untuk mengusut kasus penembakan itu. “Ada sejumlah informasi terkait percakapan telepon antara Alfredo Reinado (yang tewas tertembak dalam aksi penyerangannya ke kediaman Horta), dan berbagai pihak. Namun, kemudian saya tahu, pihak-pihak yang dimaksud bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di Australia dan negara-negara lainnya,” kata Presiden SBY. Tetapi, kita juga harus ingat beberapa media menyebutkan Reinado beristrikan seorang Flores, yang ia ‘ungsikan’ ke Australia sejak beberapa tahun lalu. Presiden SBY menambahkan, ia dan Horta bersepakat untuk bekerjasama dalam mengungkap dan menangkap siapa pun yang terlibat dalam usaha pembunuhan kedua petinggi negara jiran itu. Presiden lantas mengutus Kapolri untuk mengambil langkah-langkah kerjasama dengan Timor Leste. Pada 13 dan 15 April 2008, Polri mengirim dua pejabat seniornya untuk bertemu dengan Jaksa Agung Timor Leste.

Pertemuan itu, dijelaskan Presiden, membuahkan hasil positif. Pada 18/4 Polri berhasil membekuk tiga warga negara Timor Leste yang terlibat dalam kasus penembakan itu. Mereka adalah Egidio Lay Carbalho, Jose Gomes, dan Ismail Sansao Moniz Soares. “Ketiga-tiganya adalah oknum tentara Timor Leste, bukan warga negara Indonesia,” ungkap Presiden. Di Kompas artikel yang sama, juga dikatakan bahwa situasi yang sempat memanas itu setidaknya dipicu oleh pemberitaan di dua media, yaitu The Sydney Morning Herald, edisi 15/4 dan Kantor Berita Associated Press The Sydney mengutip penyidik kasus pembunuhan Horta, mengatakan, Reinado melakukan 47 kontak telepon dari dan ke Australia pada malam sebelum penembakan. Laporan ini berkaitan dengan pernyataan Horta dalam wawancaranya dengan CNN yang mengakui adanya “elemen luar” di balik upaya pembunuhan dirinya. Sementara AP memberitakan pernyataan Horta yang mengaitkan “elemen luar” itu dengan Indonesia.

Dua hari setelah tulisan itu terbit, Kompas menurunkan ‘perimbangan’ dengan mengutip pernyataan Horta yang menuduh media telah salah dalam mengutip pernyataannya soal keterlibatan Indonesia dalam upaya pembunuhan terhadap dirinya. Dia menyatakan tidak berniat menuduh Indonesia. “Ini penafsiran yang keliru oleh media. Saya menegaskan, individual di Indonesia. Individu ini bisa saja orang Timor Timur atau barangkali yang sudah menjadi warga Indonesia,” ujar Horta.

Entahlah. Polemik ini berada di wilayah politik, sehingga sama sekali tidak mudah untuk menentukan mana yang benar-benar berkata jujur, atau sebaliknya. Media turut menjadi pemain penting dalam hal ini. Pengalamanku selama menetap di sana sejak 1988 hingga 1998, mengajarkan bahwa ‘jangan mudah percaya pada media’. Dulu, setiap kali terjadi kerusuhan di Dili, pemerintah dan ABRI beberapa hari kemudian menyatakan bahwa kondisi ‘aman dan terkendali’. Padahal, saya sering muak membaca koran yang baru bisa kami baca sore hari, karena pesawat yang membawa paket koran dari Jakarta baru tiba sekitar jam 15.00 setiap harinya. Berangkat dari pengalaman itu, saya tidak bisa menduga-duga bagaimana kondisi faktual di Timor Leste, khususnya di Dili, saat ini

Entah bagaimana hubungan antara Metro TV dengan Alfredo Reinado. Di edisi 24 Mei 2007 Kick Andy menayangkan wawancara Andy F Noya dengan Mayor Alfredo di suatu tempat yang dirahasiakan. Waktu itu, Reinado masih berstatus ‘buronan’ negara. Belakangan, salah satu wartawannya, Desi Anwar, dituduh Ramos Horta turut berada di belakang percobaan itu. Tuduhan yang berbuntut pengelakan dan somasi terhadap Presiden Timor Leste itu. Entah bagaimana, kapan dan di mana drama politik ini akan berujung.

Kalau kita ingat, saat itu pihak Metro TV melalui Andy Noya mengatakan wawancara dilakukan di satu tempat rahasia. Kita pantas bertanya-tanya, mengapa hal itu dilakukan secara ‘kucing-kucingan’. Kalau diadakan di Indonesia, siapa yang memfasilitasi kedatangan Alfredo? Kalau diadakan di Dili, bisakah semudah itu Metro TV mengadakan kontak dengan buronan negara?

Di Kompas 25/4/08 dikutip apa yang sudah diangkat di beberapa media internasional. Beberapa kejanggalan terjadi dalam peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Horta dan Xanana. Arsenio Ramos Horta, adik Ramos Horta, menuding ada konspirasi untuk membunuh abangnya. “Polisi PBB bukannya segera bereaksi mengejar pelakunya, tetapi hanya berdiri sambil memblokir jalan dan merintangi ambulans masuk,” Bahkan João Carascalao, ipar Ramos Horta, mengungkapkan bahwa ia ragu Mayor Alfredo bermaksud menuduh iparnya. Ia lebih yakin bahwa Alfredo dijebak untuk dibunuh di kediaman Presiden. Pelaku kemudian bermaksud membunuh Ramos Horta. Dengan demikian, seolah-olah peristiwa ini didalangi kelompok Alfredo. Masyarakat Dili sendiri tidak percaya pada penjelasan resmi di atas. Terlebih-lebih Horta justru akan memberi amnesti kepada kelompok militer pembangkang pada HUT kemerdekaan Timor Leste, Mei mendatang.

Budaya Kekerasan
Meski pernah mengalami tiga tahun menegangkan di Dili, saya tak pernah menyesal pernah menetap di sana. Apalagi berkenalan dengan Hendrik, Endra, Iryanto, João Paulo, Natalino, Tauro, Arthur Garcia, Benicio, Jose Maria, Mario Mesquita, dan lain-lain. Biarlah ketegangan dan kekerasan yang terjadi menjadi sejarah. Satu yang pasti, saya ingin bertandang kembali ke sana. Saya ingin bermain lagi di pantai pasir putihnya yang indah. Saya ingin mengenang bagaimana kami dulu bergelayut di mikrolet dan bis kota dan kemudian merasakan bagaimana betis kami dipukul dengan tongkat polisi lalu lintas. Bukannya marah, kami malah ngakak. Ha..ha...ha, atau kadang ngompori si polisi, dengan berkata, “Ya tuh Pak, pukul aja.”

Menurutku, kita harus mencoba untuk berpikir proporsional dalam mengamati Timor Leste. Tidak bisa dengan alasan nasionalisme kita dengan serta-merta mengutuk mereka, tanpa pernah mencoba untuk melakukan introspeksi sebagai bagian dari bangsa ini. Bolehlah kita mencaci maki kalangan ABRI (saya tidak mau menggunakan kata ‘oknum’ yang kerap ‘menyesatkan’) yang dulu melakukan kelaliman di sana. Saya sering melihat bagaimana kesewenang-wenangan militer di sana. Tetapi, fakta bahwa setelah menjadi provinsi ke-27 dari republik ini pembangunan infrastruktur publik begitu pesat, juga tidak bisa ditampik. Sarana transportasi (bandara, terminal, jalan raya), listrik, air, dan sebagainya cukup bisa dijadikan contoh bahwa pembangunan sarana-sarana fisik itu benar adanya. Bahkan, konon Lanud di Baucau – kota kabupaten termaju kedua setelah Dili yang berjarak 130 kami arah timur Dili – adalah bandara dengan landasan berstandar internasional yang bisa disinggahi pesawat tertentu.
Walau memang, masih cukup banyak dari 13 kabupaten (sekarang mereka menyebutnya distrik) yang belum merasakan manfaat pembangunan. Tetapi, seperti yang dikatakan Uskup Belo saat kuwawancara untuk majalah HIDUP sekitar satu tahun lalu kini mereka benar-benar kesulitan untuk sekadar hidup damai dengan sesama warga pribumi sendiri. Banyak anak muda yang hanya berdiri di jalan tanpa berbuat apa-apa selain kekerasan.

Minimnya lapangan kerja, menurut Uskup Belo, membuat anak-anak muda itu dengan mudahnya menerima bayaran orang-orang tertentu – entah siapa – untuk merusak ini dan itu. Memang, kekerasan demi kekerasan masih saja terjadi di Timor Leste. Zaman demi zaman berganti, namun kekerasan terus saja menghantui Timor Leste. Dari zaman Portugis, pendudukan Indonesia sejak tahun 1975, yang berpuncak pada peristiwa pembunuhan pasca-jajak pendapat 1999, bahkan hingga saat ini.

Timoreses, peace be with you all ... God, please bless all my friends there



26 May 2008

In Memoriam Oey Hay Djoen (18 April 1929 - 18 Mei 2008): Siapa Mau Jadi Penerjemah ?


"Ibarat kerikil yang dilempar dalam air. Jika kita genggam kerikil dan melemparnya ke air, maka permukaan air akan kacau. Tapi jika kita melempar satu kerikil ke tengah air, maka riaknya akan terus bergelombang ke tepian" (Njoto)



Perpustakaan Nasional, Salemba, Jakarta Pusat, 25 Maret. Saya tiba di gedung yang terletak di sisi utara perempatan Pramuka-Matraman-Salemba. Saya datang guna menghadiri peluncuran dan bedah buku terbitan Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto karya John Roosa, seorang profesor sejarah dari University of British Columbia, yang juga adalah penulis buku Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'État in Indonesia (University of Wisconsin Press, 2006). Telah banyak orang tiba di aula gedung itu. Saya menuju ke meja penerima tamu, untuk menandatangani daftar hadir, dan menerima satu kotak berisi makanan ringan dan air mineral. Melangkah masuk ke arah kiri, mata saya langsung tertumbuk ke arah pria sepuh yang tengah duduk di atas kursi roda. Bukan pria yang asing di mata saya. Ia tak lain adalah Oey Hay Djoen. Spontan saya menyapanya, dan ia balas dengan jabatan erat a la 'anak muda'. Saya menanyakan kabarnya, yang ia jawab "baik...baik". Ia pun menanyakan kabarku, dan kujawab dengan kalimat serupa. Tak kulihat istrinya, Jane Luyke, yang selalu setia berada di sampingnya. Mungkin, sedang berada di bagian lain ruangan itu. Ternyata, jabatan erat dari Oey siang itu adalah jabatan erat kami yang terakhir. Sepuluh hari sebelumnya, 15/3, bersama Hera dan Awi, saya turut menghadiri peluncuran buku tentang perjuangan perempuan Malaya melawan kolonialisme, Hidup Bagaikan Mengalirnya Sungai karya Agnes Kho, yang juga diterjemahkan oleh almarhum Oey.

Saat bertemu untuk terakhir kalinya di Perpusnas itu, saya tak tahu persis apa ia benar-benar masih mengingatku dengan baik. Memang, saya pernah sedikit nekat, mendatanginya rumahnya di Cibubur, September 2006 silam. Awalnya, sekitar di awal September itu seorang sahabat, Arifadi Budiarjo, mengajakku untuk datang pada peluncuran buku Kapital yang Oom Oey - begitu Oey biasa disapa - terjemahkan, di kediaman pematung kesohor Dolorosa Sinaga di seberang Carefour Tamini Square. Ia tampil sebagai pembicara bersama John Roosa. Jujur, saya tidak menguasai sama sekali topik bahasan di malam itu. Keterbatasan pengetahuan memaksa saya untuk hanya menjadi 'pendengar yang baik'. Namun, ada satu sosok yang begitu menyita perhatianku malam itu, Oey Hay Djoen. Di mata saya, ia bukan orang sembarangan. Bagaimana tidak, di usia saat itu, 77 tahun, ia mampu menerjemahkan buku kesohor karya Karl Marx setebal 929 halaman itu. Itu baru jilid pertama, sedangkan jilid keduanya berketebalan 580, dan jilid ketiga berketebalan lebih fantastis lagi, 1100 halaman !


Kekaguman, keheranan, dan keterkejutanku bertambah saat ia memberiku tiga lembar kertas berisi daftar karya pemikir-pemikir barat yang telah ia terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Di kertas yang hingga kini masih saya simpan itu, tercantum 28 buku yang telah purna ia terjemahkan. Di luar 28 buku itu, ada empat buku yang saat saya temui tengah ia garap, yaitu: Kapital Vol III, Conditions of the Working Class in England karya F.Engels setebal 400 halaman, serta dua buku lain karya Karl Marx yaitu Civil War in France, serta Class Struggles in France. Ada daftar lain, yaitu "program berikutnya", yang memuat Grundrisse (Marx), History and Class Consciousness (Georg Lukacs), Theories of Surplus Value (Marx), dan Limits of Capital (Harvey). Jika buku Agnes Kho itu ditambahkan, berarti sudah 30 lebih buku yang ia terjemahkan. Di bagian terbawah, tertera dua baris kalimat: "Nama penerjemah: SAMANDJAJA = IRA IRAMANTO = OEY HAY DJOEN". Maklum, ia digolongkan oleh kalangan militer sebagai "orang berbahaya" sehingga dengan sejumlah cara, Oey harus menyamarkan dirinya untuk tetap bisa berkarya.


Seusai acara bedah buku Kapital September 2006 itu, saya nekat mendekati almarhum dan sang istri. Saya bersama beberapa teman seperti Dian, dan juga Alex dan adiknya, Jerry, memperkenalkan diri pada almarhum. Segera saya bertanya apa saya boleh datang menemuinya. Jawaban spontan segera terlontar dari bibirnya, "Oya, silahkan. Tapi, telpon dulu sehari sebelumnya ya..." Saya senang bukan kepalang. Kebetulan, saat itu saya dan beberapa teman termasuk Arifadi, Dian, Anita, dan Alex tengah menyiapkan sebuah jurnal online yang di edisi perdananya mengangkat persoalan Peristiwa 1965. Oey langsung kubidik untuk jadi narasumber. Dan begitulah ceritanya. Singkat kata, tanggal 6 September saya bersama Alex dan Jerry bertandang ke rumahnya. Namun, karena Oey tidak punya cukup banyak waktu untuk bercerita tentang pengalamannya, kami sepakat untuk menunda wawancara hingga keesokan harinya. Saya datang sendiri dua hari sesudahnya. Dari pukul 11.15 hingga 14.15 kami berbincang di ruang tamu rumahnya. Obrolan tak berhenti ketika harus beranjak ke meja makan. Kesanku, ia sangat menghargai orangmuda yang datang untuk menemuinya. Jadilah sebuah transkrip sepanjang 14 halaman A4 yang berisi pengalamannya dipilih menjadi anggota Konstituante/DPR, diisolir oleh militer ke Pulau Buru, dan sejumlah hal lain mengenai orang muda, dan sebagainya.


Kabar kepergian Oey dari dunia fana ini kuterima dari Arifadi melalui pesan singkat pada Minggu 18 Mei sekitar pukul 10.30 saat saya berada di Kebon Jeruk. Oey meninggal di RS Carolus beberapa menit awal dini hari Minggu itu. Sekitar pukul 15.30 bersama Yohanes Prayogo (sahabatku yang juga wartawan Mingguan HIDUP) dan Arifadi meluncur ke Cibubur. Setelah mengarungi jalan raya Jakarta yang cukup lancar sore itu, kami tiba di kediaman putri dari Oey Hay Djoen, Mado, tempat jenazah disemayamkan, yang berada satu kompleks dengan rumah almarhum. Sejumlah aktivis yang juga orang-orang terdekat almarhum seperti Hilmar Farid, Agung Putri, John Roosa, dan sebagainya telah berada di tempat itu. Segera kami bertiga masuk ke dalam rumah yang berada di kompleks yang juga didiami sejumlah jenderal TNI itu. Kami menyalami istri almarhum Jane Luyke, yang pernah saya wawancara untuk HIDUP pada September 2006 untuk Sajian Utama tentang peristiwa 1965 itu. Di ruangan tengah rumah Mado, saya juga melihat Rieke Diah Pitaloka yang matanya tampak sembab. Sepertinya, ia cukup banyak menangis. Saya tak tahu pasti apa dan bagaimana hubungannya dengan keluarga almarhum.


Bernafas panjang
Sebuah pepatah usang berbunyi Gajah Mati Meninggalkan Gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia Mati meninggalkan nama. Jika kalimat itu disematkan pada almarhum Oey, tentu kita bisa membuat daftar apa saja yang telah ia "tinggalkan" bagi Indonesia, negeri yang sangat ia cintai. Sebanyak 30 lebih buku telah ia terjemahkan, sejumlah cerpen, esai dan sebagainya telah ia hasilkan sejak tahun 1950-an. Saya membayangkan, bagaimana Oey di masa kondisi tubuh yang tentu tak lagi "sehat setiap saat" masih mampu menerjemahkan belasan ribu halaman karya filsafat, sejarah, ekonomi politik, dan gerakan sosial. Sejarawan Hilmar Farid di mailing list Jambore_Kebudayaan 22 Mei 2008 menulis: "Justru dalam sepuluh terakhir, ketika kesehatannya mulai menurun, ia (Oey) mencurahkan sebagian besar waktunya untuk menerjemahkan belasan ribu halaman karya filsafat, sejarah, ekonomi politik dan gerakan sosial. Hampir seluruhnya adalah karya-karya klasik dari Marx dan Engels, ditambah beberapa buku kunci dari Rosa Luxemburg dan G.V. Plekhanov." Saya sungguh malu pada diriku sendiri yang masih kesulitan untuk sekadar membuat dua-tiga tulisan untuk blog-ku sendiri. Saya baru berusia 28 tahun, sedangkan Oey lahir di Malang, 18 April 1929 . Artinya, ia berusia 51 tahun lebih tua dariku, walau tanggal kelahiran kami cukup berdekatan, 11 hari. Betapa panjang napas yang ia punyai untuk mengerjakan itu semua. Ia juga cukup kerap menghadiri seminar ini dan itu.


Di milis itu, Hilmar Farid juga menuliskan bagaimana ia terkesan dengan persahabatan Oey yang tulus. Hilmar Farid menulis:
"Ia selalu sedia menerima kawan yang kehabisan tenaga dan semangat menghadapi tumpukan masalah. 'Kita tidak mungkin melakukan semua hal. Kemampuan kita ada batasnya. Yang penting adalah bagaimana mengorganisasi kekuatan kita yang terbatas ini.'Sering ia menyitir ucapan Njoto, sahabat dan gurunya, 'ibarat kerikil yang dilempar dalam air. Jika kita genggam kerikil dan melemparnya ke air, maka permukaan air akan kacau. Tapi jika kita melempar satu kerikil ke tengah air, maka riaknya akan terus bergelombang ke tepian.' "

Di blog ini, 23 Juli 2007, juga sudah ku-posting sebuah tulisan berjudul Oey Hay Djoen: Spirit Seorang Penerjemah. Saya menampilkan dalam tulisan itu, mengapa Oey memilih untuk menerjemahkan karya-karya Marx dan Engels. Ia ingin agar kita menggunakan metode berpikir yang dipakai Marx dan Engels, "Critical,"katanya. Ia berpandangan, Marxisme tidak menciptakan teori. Seluruh tulisan Marx adalah suatu polemik terhadap semua ilmu yang sudah ada. Jadi, ilmunya benar, tidak benar, itu yang harus dikrtisi. Marx dan Engels tidak menciptakan ilmu seperti tetes kebenaran dari langit. "Semua itu kan polemik: tesis, antitesis, sintesis. Metode berpikir inilah yang benar-benar aku gandrung supaya kita semua punyai. Jauhilah epigonisme segala macam itu. Cuma menerima, mengambil, mencangkok
dari segala sesuatu lainnya yang sudah mati itu. Ilmu harus berkembang terus," ungkapnya.


Ingin Jadi Tapol !

Peristiwa 1965 turut menyeret Oey ke Tefaat (tempat pemanfaatan) Pulau Buru, Maluku. Oey, yang diasingkan ke Pulau Buru sejak 1969, menceritakan bagaimana penduduk di Pulau Buru 'diracuni' dengan pandangan bahwa para tapol, termasuk Oey, adalah para pembunuh yang harus dihindari. Awalnya, 'pencucian otak' itu berhasil. Namun, selang 2-3 tahun ia dan beberapa rekannya berhasil menjalin kontak dengan penduduk Pulau Buru. Ia mengajari penduduk untuk bercocok tanam, membuat minyak kayu putih, bersawah, dan beberapa keterampilan lain. Kepadanya, secara sembunyi-sembunyi tentu saja, para penduduk memberikan sebuah radio transistor. Sejumlah tapol dipergoki oleh para tentara, dan langsung dihukum siksa dan sebagainya. Namun, kelincahan Oey dan beberapa rekannya berhasil mengelabui para tentara itu. "Akhirnya, kami bisa membuat suasana begitu rupa, sehingga bukan kami yang (datang) ke rakyat, tapi rakyat yang datang. Mereka pergi ke ladang-ladang kami, kami ajari mereka bagaimana bertani, bercocok tanam. Kami lebih pada melayani mereka," ia berkisah.

Menurut cerita Oey, penduduk asli di sana masih primitif. Hidupnya hanya dari mukul sagu, bikin tepung sagu. Seminggu, misalnya, atau untuk beberapa lama, mereka menganggur tidak bekerja. Paling-paling, mereka nawuh ikan di rawa-rawa. "Bukan dengan memancing. Ikannya kan bersembunyi di bawah. Itu dikeringkan, untuk makan mereka," lanjut Oey.
 Keterampilan demi keterampilan yang Oey dan kawan-kawan ajarkan terbukti mampu mendekatkan mereka dengan penduduk Buru waktu itu. Ia menceritakan, bagaimana ia mengajari penduduk setempat untuk memetik cabai. Oey bercerita, bahwa sebelum ia ajari, para petani cabai tidak memetik bahan baku sambal itu, melainkan mencabut pohon beserta seluruh akar-akarnya. Setelah Oey ajari, para penduduk bisa memetik cabai berkali-kali dalam setahun.

Demikian juga halnya dalam pembuatan minyak kayu putih. Sebelum ia berinteraksi dengan penduduk setempat dan mengajari mereka, dalam semalam hanya mampu dihasilkan sebotol minyak kayu putih. Setelah Oey 'turun tangan', mereka mampu menghasilkan tiga hingga empat botol ! Dalam hal penanaman padi pun setali tiga uang. Di surat-surat kabar tahun 1970-an kita bisa temukan bahwa mendadak Indonesia Timur, Maluku, menjadi lumbung padi. Darimana ? Dari Pulau Buru. Seperti sekarang juga. Waktu Pulau Buru ditinggalkan oleh para tapol tahun 1979, ribuan ternak telah mereka piara. Ribuan hektar sudah kami jadikan sawah. "Itu semua dimanfaatkan oleh militer, dijadikan daerah trasmigrasi dsb," kata Oey. 
 Begitu dekatnya para tapol 'berideologi' (begitu Oey mengidentifikasi dirinya dan teman-temannya yang 'licin' itu) dengan penduduk setempat, sehingga sejumlah anak kecil ketika ditanya, "Ale, besok mau jadi apa?" Mereka hampir bisa dipastikan akan menjawab, "Jadi tapol !". Oey menceritakan itu pada saya sembari terbahak.


Bukan Selebriti

Penerjemah bernafas panjang itu telah tiada. Perjalanan hidupnya yang sarat dengan tekanan, hantaman dari kalangan militer, telah terhenti. Saya bertanya-tanya dalam hati, siapa kira-kira yang akan menekuni penerjemahan teks-teks "berat" di masa-masa mendatang ini. Butuh lebih dari sekadar kemampuan berbahasa asing. Diperlukan lebih dari sekadar kecerdasan untuk mempu membaca belasan ribu halaman karya filsafat, sejarah, ekonomi politik, dan gerakan sosial. Di atas itu semua, diperlukan cinta yang mendalam. Dalam pertemuanku dengan almarhum pada September 2006 itu, diceritakan bahwa sekitar tahun 1986 silam, ia didatangi sejumlah anak muda yang, menurut Oey, kemampuan berbahasa Inggrisnya "jongkok". Spontan Oey bertanya, "Apa yang bisa aku bantu ?" Di hadapan mereka saat itu tergeletak sebuah buku High Waves of Emancipation karya W.Wertheim, ilmuwan yang pernah menjadi momok bagi rezim Orde Baru. Buku itu ia terjemahkan secara 'mencicil' untuk lalu ia beri pada para mahasiswa aktivis itu, sampai buku setebal 670 halaman itu ia selesaikan. Peristiwa itu coba saya rekonstruksi dalam alam pikirku. Hanya cinta yang bisa mendorong Oey melakukan hal itu. Bisa dipastikan, ia melakukan itu tanpa mendapat bayaran.

Oey terbukti telah memainkan peranannya bagi umat manusia, sekurangnya bagi sejumlah aktivis muda di negeri ini, negeri yang para penguasanya pernah membuang Oey ke Pulau Buru. Tetapi, mungkin karena ia digolongkan "berbahaya", tidak cukup banyak media yang mengangkat peran yang telah dimainkan Oey. Bahkan, sejauh yang saya tahu, media besar Kompas atau TEMPO sama sekali tak menurunkan tulisan obituari saat ia wafat. Mungkin juga, Oey sendiri enggan untuk menjadi "ilmuwan selebriti" yang begitu kerap menjadi "banci tampil" alias haus publikasi, dengan mengisi halaman dan reportase media massa.

Oom Oey, beristirahatlah dalam damai ! Kami, generasi sekarang ini, berutang padamu. Berutang janji, untuk melanjutkan perjuanganmu. Berjuang melawan kebodohan, melawan tirani a la neo-imperialisme di negeri yang 100 tahun lalu mencanangkan Kebangkitan Nasional-nya. Tulisan ini saya buat dua hari setelah pada tengah malam 24/5 pemerintah menaikkan harga BBM hingga 29 persen. Melihat kondisi Indonesia saat ini, bisa jadi, Oey menangis di 'sana'.




















Mengabdi Tanpa Sorotan


Untuk mendapatkan nuansa serta suasana bersahaja di Sekolah Melania itu, tidak perlu bantuan Doraemon untuk meneriakkan, “Mesin Pemutar Waktu”. Kalender telah berganti 81 kali, kebersahajaan masih saja mewarnai setiap karya pelayanan YMJ di bidang pendidikan, kesehatan, serta Panti Wredha.

Selasa, 20/5 di Cibitung. Hari yang cukup emosional buat saya. Pukul 04.30 saya bangun tanpa harus menunggu ibuku menggedor pintu kamar, sebagaimana biasanya. Bergegas kubuka pintu kamar dan meraih handuk biru tebal yang menggantung di tali jemuran di sisi belakang rumahku. Segera kumandi di pagi yang tak terlalu dingin itu. Dalam waktu satu jam saya berpakaian, menyantap sarapan, dan tiba di Stasiun (tepatnya, perhentian) Kereta Api Cibitung, tapi ternyata saya tak mampu mengejar kereta yang telah bergerak perlahan tapi pasti. Terpaksa, saya harus menggunakan jasa supir bus untuk mengantar ke Gedung Aneka Bhakti I, Departemen Sosial RI, yang letaknya bersebelahan di Salemba, kurang 500 meter dari SMA 68 dan RS Carolus yang tersohor itu.
Bukan tanpa alasan, saya begitu excited dan agak emosional pagi itu. Hari ini adalah resepsi peringatan 50 tahun Yayasan Melania Jakarta (YMJ). Kusebut emosional karena hasil kerja kerasku dalam mewawancarai sejumlah orang sejak November 2006 akhirnya berbuah. Bagaimana rasa “buah” itu, persoalan lain. Malam sebelumnya, hatiku tak tenang karena sang desainer yang berurusan dengan pihak percetakan buku itu mengabarkan via SMS bahwa baru antara pukul 20-21 tanggal 19/5 malam, buku akan tiba di kantor YMJ di Rawasari. Saya membatin, semoga tak ada sesuatu menimba mobil pengangkut, yang bisa menghalangi tibanya buku itu. Keesokan paginya, Joseph dan Manto, dua karyawan YMJ yang selalu dengan ramah menyapa saya menceritakan mereka harus lembur menunggu buku yang tiba sekitar 30 menit sebelum tanggal 19/2 berakhir, alias 23.30. Namun, alhamdulilah, buku yang diberi judul Karya Cinta: Lima Puluh Tahun Peziarahan Melania Jakarta itu tiba dengan selamat di Jakarta, dan bisa dibagikan secara simbolis kepada beberapa ‘orang penting’ di acara syukuran di Depsos itu.
Keterlibatanku dengan para Melanian itu berawal ketika Romo Greg Soetomo SJ (Pemimpin Redaksi Majalah HIDUP) sekitar bulan November 2006 menawariku untuk membantu A.Sandiwan Suharto (Pemimpin Perusahaan Majalah HIDUP) dalam penulisan buku Melania. Dalam hitungan detik, tawaran Romo Greg via pesan pendek itu segera kubalas dengan “Ya”. Tanpa basa-basi, tanpa berpikir berapa honor yang bakal kutangguk dari situ. Motifku hanya satu, mencari pengalaman menulis buku. Itulah mengapa, buku ini sedikit punya makna emosional, karena ... maklum, pertama nih booo...
Ibarat proses memasak, dalam proyek ini saya bertugas untuk “berbelanja”. Saya mewawancara para pengurus dan mantan pengurus yayasan, sejumlah pribadi yang bekerja di unit-unit layanan, serta sejumlah pemangku kepentingan lainnya. Setelah “berbelanja” saya menyerahkan hasil pekerjaanku pada sang “chef” , Sandiwan Suharto, untuk dimasak. Bersyukur, saya diberinya kepercayaan untuk turut “meramu” sejumlah bahan yang telah saya “beli”. Setelah saya “masak”, akan diberi penyedap dan sebagainya oleh bos-ku itu.

Tak perlu Doraemon
Membuka buku Kenangan 50 Tahun Karya Melania di Jakarta yang dicetak tahun 1977, tak ubahnya mereka-reka kembali kepingan-kepingan peristiwa cikal-bakal karya YMJ. Sejumlah foto hitam putih menampilkan murid-murid beserta guru di masa-masa itu. Tertulis pula di situ, tanggal 12 Mei 1927, Perkumpulan Sosial St.Melania Cabang Batavia (Jakarta) memulai usahanya yang pertama, dengan membuka Sekolah Melania pertama khusus puteri, di daerah Weltevreden (Standaardschool, Kebon Jeruk). Bangunannya masih terbuat dari gedek (anyaman bambu) dan berada di tengah-tengah kampung. Di bangunan nan sederhana itulah 40 murid dan seorang guru berada.
Di tahun 1927 itu pula, Yayasan Melania didirikan oleh ibu-ibu Belanda bersama dengan ibu-ibu alumni Normaalschool (SGB) Mendut Jawa Tengah. Hal itu ditandai dengan membuka Volkschool (SD kelas 1 hingga 3) pertama di Kebun Jeruk Mangga Besar disusul Voekschool yang kedua di Kramat tahun 1933 kemudian dipindah ke Salemba.
Pada masa pendudukan Jepang, kegiatan sekolah ini dikelola oleh Keuskupan Agung Jakarta/Strada. Dan pada tahun 1958 kembali dikelola oleh ibu-ibu pengurus Melania. Ciri khas yang masih dipertahankan hingga kini adalah, semua pengurus di YMJ adalah Wanita-Awam-Katolik. Kaum adam "hanya" dilibatkan di posisi-posisi lain di luar yayasan.
Pada tahun 17 Mei 1958, YMJ resmi mendapatkan status badan hukum sipil Indonesia sebagai kelanjutan dari "Het Melania Werk voor Java" atau Karya Santa Melania untuk Jawa, yang pada 1928 didirikan di Yogyakarta oleh ibu-ibu Katolik lulusan sekolah Mendut. Sejatinya, sudah sejak 1921 ibu-ibu Katolik berkebangsaan Belanda merintis karya itu dengan tujuan untuk meningkatkan derajat dan kemampuan perempuan pribumi dalam mempersiapkan diri berumah tangga.
Untuk mendapatkan nuansa serta suasana bersahaja di Sekolah Melania itu, tidak perlu bantuan Doraemon untuk meneriakkan, “Mesin Pemutar Waktu”. Kalender telah berganti 81 kali, kebersahajaan masih saja mewarnai setiap karya pelayanan YMJ di bidang pendidikan, kesehatan, serta Panti Wredha.
Tengoklah TK-SD-SMP Melania yang berada tak jauh dari Jembatan Serong, Rawasari, Jakarta Pusat. Sangat kontras, jika kita membandingkannya dengan Kolese Kanisius di Menteng, yang juga didirikan pada 1927 oleh para Yesuit. Atau dengan sekolah-sekolah yang dikelola para biarawati Ursulin di Jakarta, dan berbagai kota lain. Jika di sekolah yang disebut pertama, halaman mereka melulu diisi oleh belasan motor, bandingkan dengan Kolese Kanisius di Menteng yang setiap hari selalu “memajang” belasan mobil milik orangtua murid, tamu dan atau guru. Yah, sudah bukan rahasia lagi kalau Kolese Kanisius sudah menghasilkan sejumlah ‘orang’ di republik ini. Sebut saja: Akbar Tanjung, Fauzi Bowo, Rhenald Kasali, Sarwono Kusumaatmadja, Wimar Witoelar, dan sederet nama beken lain. Artinya, hanya murid dari kalangan A (kelas 1) yang bisa mendapat kursi di sekolah yang bermarkas di Menteng Raya itu. Diferensiasi diangkat di sini semata untuk memotret sekilas profil dua institusi pendidikan Katolik yang berusia “sebaya”, namun “berbeda wajah”.
Lebih miris lagi, YMJ pada 1998 terpaksa harus menutup SMA Santa Melania di Rawasari yang telah berjalan delapan tahun. Pada tahun itu, jumlah murid yang terdaftar tak memenuhi syarat yang ditentukan pemerintah, kurang 16 orang per kelas. Setelah semua murid kelas 3 lulus, murid kelas 1 dan kelas 2 dipindahkan ke sekolah lain. “Dengan berat hati, sekolah pun ditutup,” kata Theresia Sri Lestari Sadiman, Ketua Bidang Pendidikan YMJ saat itu. Setali tiga uang, dengan Sekolah Rawasari, kesederhanaan juga masih menjadi warna mencolok di Sekolah Mangga Besar, TK-SD-SMP. Bisakah kita membayangkan, bagaimana perasaan para pengurus YMJ saat memutuskan itu. Pastilah sangat emosional: sedih, malu, merasa bersalah, dan entah apa lagi.

Bukan Selebriti
“Melania ? Apaan, tuh ?” Hampir setiap orang menanyakan pertanyaan ‘singkat tapi dalam’ itu, setiap kali saya bercerita bahwa saya tengah menulis buku sejarah YMJ. Tak terlalu mengherankan, karena saya sendiri mungkin tak akan pernah tahu ada YMJ, sekiranya tak terlibat dalam penulisan buku itu.
Bagiku, hal itu merefleksikan satu hal bahwa kita kerap membelalakkan mata saat melihat sesuatu yang dibangun dengan penuh kemewahan, fasilitas yang first class, dikelola oleh para pejabat, selebriti, atau tokoh masyarakat. Media cenderung untuk mengedepankan ‘who’ ketimbang ‘what’ untuk hal-hal di ranah publik. Singkatnya, “Siapa yang menggarap ?”, lebih dianggap penting, ketimbang “Apa yang digarap ?”.

Konservatisme versus Progresivitas
Saya sungguh mengacungkan dua jempol pada para srikandi yang bersedia meluangkan waktu tanpa dibayar di YMJ, selama bertahun-tahun. Kalender sudah berganti 81 kali, ‘cuaca’ dan ‘musim’ sosial politik, sosial ekonomi, sosial budaya, berulang kali berubah, sejak para mephreuw merintis karya mulia ini. Namun, YMJ masih tetap berdiri dengan segala keterbatasannya.
Peran sekurangnya tiga Uskup Agung Jakarta, Mgr. Adrianus Djajasepoetra SJ, Mgr.Leo Soekoto SJ, dan Yulius Kardinal Darmaatmadja SJ, benar-benar menjadi warna bagi Melania. Tantangannya, para melanian harus menghidupi tegangan antara konservatisme dan progresivitas. Mempertahankan nilai-nilai inti adalah wajib hukumnya. Sementara kita juga harus menatap maju menghadapi tantangan zaman yang tak akan pernah mudah.
Melanian, terima kasih. Dari mereka saya belajar tentang kesederhanaan. Dari mereka saya menimba spirit man/woman for others. Di tengah dunia yang sangat narsistik, Melania tetap tampil low profile. Saya percaya, dan semoga memang demikian, jika ada orang yang mau mengabdikan dirinya tanpa sorotan media massa, sesungguhnya itulah makna pengabdian yang hakiki. Bandingkan dengan para politisi yang kerap kehausan publikasi setiap kali memberi sumbangan bagi rakyat kecil. Bandingkan dengan sejumlah tokoh yang tengah bersiap menyongsong perhelatan politik 2009 atau 2004 lalu. Saya hanya bisa bilang, caaapeee deh...


03 March 2008

Blogger, Sejarawan Era Internet


Lusi dan Heri telah terpisah hampir sembilan tahun. Keduanya pernah punya kenangan semasa SMA di Yogyakarta. Komunikasi antara keduanya mungkin tak akan pernah terjadi kalau Heri tidak 'usil' masuk ke sebuah blog milik seorang blogger amatiran. Semula, Heri mengotak-atik sebuah situs pencari dan lalu 'terperosok' dalam blog itu. Cerita punya cerita, Heri tertegun. Matanya tertuju pada salah satu link di blog itu yang ia yakini adalah milik seseorang dari 'kisah lama' bapak beranak tiga itu. Ya, Lusi.

Segera Heri mengirim e-mail pada pemilik blog itu dan bertanya, apa benar Lusi ini adalah temannya semasa di kota Gudeg dulu. Namun, entah bagaimana, e-mail itu tidak masuk ke dalam inbox dari e-mail si pemilik blog itu, melainkan di kotak spam. Beruntung, si pemilik blog itu -yang biasanya tanpa pikir panjang langsung mengosongkan spam di e-mail nya- iseng membuka e-mail itu. Dibuka dan diteruskanlah e-mail itu pada Lusi.

Tampak jelas bagaimana Lusi begitu terkejut atas pertemuannya di alam maya dengan Heri. Ia pun menulis di blognya, ..."Jadi teringat masa-masa nostalgia bersama H ini. Ia sempat mengisi hari-hariku sewaktu masa remaja saya yang kulewati di SMA tercinta yang berlokasi di Kotabaru, Yogya....Sewaktu saya tinggal di Asrama, kami pun sempat saling bertukar kisah. Saat saya menghadapi ujian SMA, saat bingung pilih kuliah, tempat tinggal... hingga sewaktu aku akhirnya kuliah di Mrican dan tinggal di Asrama di Jl. Colombo... Sayang, kesibukan kami yang berbeda membuat kami sulit bertemu dan jadi agak sulit untuk saling memahami..."

Bingo !!! Eureka !!! Terbukti internet, dalam hal ini blog, mampu mempertemukan dua anak manusia yang pernah merajut kisah sembilan tahun sebelumnya. Heri kini tengah menempuh studi doktoral di Institut Pertanian Bogor. Sementara Lusi menjadi pengajar di sebuah lembaga bahasa asing, kontributor untuk sebuah majalah ibukota, dan kini tengah merintis karir sebagai editor paruh waktu di sebuah penerbit.

Sebuah media pernah mengangkat, bahwa di zaman sekarang ini sangat "penting" buat kita untuk bisa "dilacak" di internet. Alangkah baiknya ketika orang mengetikkan nama kita di situs pencari seperti Google, Yahoo, dan sebagainya, akan ada beberapa situs yang akan mengarahkan netters ke situs itu, dan mendapatkan info ini dan itu tentang kita. Pengalaman Heri dan Lusi ini hanya satu kisah yang menjadi rujukan bahwa teknologi tidak hanya bisa dicaci-maki sebagai sebagai perusak mentalitas anak bangsa, arena cyber crime, pornografi tanpa batas, et cetera.

Coba kita bandingkan dengan contoh ilustratif ini. Di dunia sepakbola, paling tidak hingga era '90-an, kita bisa memastikan pengguna kostum nomor sepuluh di tiap klub maupun tim nasional sepakbola di dunia adalah pemain istimewa, bukan pemain kacangan. Sebut saja, Diego Maradona di Napoli dan tim nasional Argentina, Lothar Matthaus kapten timnas Jerman saat menjuarai Piala Dunia 1994, Gary Lineker di timnas Inggris tahun 1980-an, Roberto Baggio dari Italia era 1990-an, Ronaldinho di Barcelona, et cetera. Ketika "era nomor 10" redup, nomor-nomor "cantik" lainnya juga diburu oleh para bola mania. Kita bisa sebut, kostum Manchester United milik David Beckham bernomor punggung 7. Dengan kostum itu, Beckham mampu menghantarkan MU menjadi klub berprestasi di eropa, bahkan terkaya di dunia. Begitu juga ketika ia pindah ke Real Madrid dan memakai kostum nomor 23. Ia juga menjadi penyumbang terbesar bagi kas Madrid selain bintang-bintang seperti Luis Figo (nomor 10), Raul Gonzales (7), Zinedine Zidane (5), dan lain-lain. Sedangkan dari lapangan basket, ketika sang superstar Michael Jordan masih beraksi membela Chicago Bulls, jutaan merchandise kostum klub itu dengan nomor 23 -nomor yang menginspirasi Beckham untuk menggunakannya di Real Madrid- laris manis di seluruh dunia. Tetapi, apakah setiap pemain sepakbola atau basket di seluruh dunia yang menggunakan nomor 10 atau 23 akan begitu saja meraih hasil manis di lapangan dan membawa harum nama klub dan atau timnas negaranya ? Pastilah itu mustahil tanpa kerja keras, latihan, mental, fisik, dukungan tim, pelatih, et cetera.

Setali tiga uang dengan internet, bukan? Di tangan orang "benar" ia akan menjadi "penyalur rahmat" bagi orang lain di muka bumi. Di tangan orang "salah" ia akan menjadi monster yang akan menghancurkan peradaban dan umat manusia sendiri. Ambillah contoh Amerika Serikat, yang begitu digjaya dengan teknologi nuklir. Negara itu paham betul bagaimana memanfaatkannya untuk ilmu pengetahuan dan juga, perang ! Mereka bisa memanfaatkan teknologi nuklir untuk dunia kedokteran sekaligus untuk perang, bukan ?! Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak karena teknologi itu. Tak hanya luka-luka, jutaan nyawa melayang di sana, sementara jutaan orang lainnya merasakan manfaat dari teknologi itu.

Kembali ke kisah pertemuan "maya" Lusi dan Heri. Pemilik blog itu turut bahagia. Ia bahagia, karena blog yang ia isi di sela-sela kesibukan, dan kadang rasa jenuhnya, berhasil mempertemukan Heri dan Lusi. Maka, para blogger, jangan pernah berpikir untuk berhenti menulis. Kisah ini membuktikan mereka bisa bertemu, berkat perantaraan sebuah blog. Pengalaman itulah yang coba dibagikan kali ini oleh pemilik blog itu, saya sendiri.

Sekarang, untuk Anda yang belum memiliki blog, apakah Anda masih ragu untuk memulai ? Bagi Anda yang sudah memiliki blog, tentu sudah merasakan manfaat dari salah satu entitas globalisasi ini, bukan ? Satu istilah, yang disebut sosiolog Amerika Serikat kelahiran Spanyol Manuel Castells, bahwa dunia sekarang bagaikan nodes yang dihubungkan satu sama lain. Tesis yang hendak diajukan Castells terkait dengan transformasi media dan masyarakat adalah bahwa pada masyarakat jaringan yang saling terhubung dalam skala global, media tak lagi merupakan media ‘massa’, melainkan bertransformasi menjadi media jaringan, atau jaringan interaktif multimedia, yang menjadikan komunikasi dunia suatu jaring-jaring raksasa, suatu dunia yang saling terhubung, interconnected dan networked—dunia dengan satu budaya yang seragam, mono-multiculture. Sebuah blog bisa "ringan" atau "berat", tergantung dari pemilik dan juga pembacanya. Ia bisa berisi curahan hati seseorang yang sangat personal, meski juga bisa berisi kritik yang bersifat sosial. Blog bisa melatih orang untuk menulis dan berpikir dengan "sistematis". Kok bisa ? Ya bisa dong ! Anda cukup memilih gaya seorang penulis fiksi yang alurnya bisa maju-mundur-maju, dst. Atau menggunakan gaya para ilmuwan yang "pasti-pasti aja deh". Atau bisa juga memilih gaya lain, yang sesuai selera Anda. Bebas, toh blog itu milik Anda. Anda bebas memasukkan apa pun...

Blog, di sekian (puluh/ratus) tahun ke depan juga bakal menjadi catatan pemikiran, perjalanan hidup setiap pemiliknya. Kita yang hidup di era internet ini tentu jauh lebih beruntung, jika dibandingkan dengan orang-orang seperti Tan Malaka, Ahmad Wahib, serta Soe Hok Gie. Mereka tak pernah bersentuhan dengan komputer, apalagi internet dan blog yang sedang kita bicarakan ini. Tapi, lewat pena dan buku harian yang mereka tulis kita bisa, sedikit banyak, merasakan suasana zaman pada saat mereka hidup dulu. Kita yang pernah menonton film Gie karya Riri Riza pasti tahu bahwa salah satu sumber yang dipakai sebagai materi film itu adalah catatan harian Soe Hok Gie, yang telah dibukukan, Catatan Harian Seorang Demonstran. Andaikan (menurut sejarawan P.Swantoro, tidak ada kata "seandainya" dalam sejarah) Soe Hok Gie tidak tekun menuliskan catatan hariannya, pasti tak akan banyak dari kita yang tahu sosok intelektual yang mati muda itu.

Maka, setujukah Anda kalau saya menjuluki blogger sebagai "sejarawan era internet" ? Tentu, bukan sejarawan dalam batasan ketat. Melainkan, orang yang menulis sesuatu yang bakal -meminjam judul lagu grup musik Sheila on 7- menjadi "kisah klasik untuk masa depan". Kita bisa merujuk pada buku Kampus Kabelnaya karya Koesalah Soebagyo Toer. Buku itu berisi cuplikan catatan harian Koesalah selama menempuh studi di Moskow tahun 1960-an. Buku Tahun yang Tak Pernah Berakhir (kumpulan sejarah lisan korban peristiwa tahun 1965) yang diedit John Roosa, Agung Putri, dan Hilmar Farid, juga merupakan salah satu genre yang ampuh untuk pembelajaran sejarah: oral history alias sejarah lisan.

Terakhir, coba ketikkan nama Anda di situs pencari. Adakah situs yang memuat nama Anda (bukan nama orang lain, yang sama dengan Anda) berikut komentar atau gagasan-gagasan Anda? Jika belum, Anda boleh coba mengetikkan nama saya, Fransiskus Pascaries. He ... he ...he... Narsis !!!

01 February 2008

Melawan Sesat Pikir Anarkisme


"Aksi Anarkis Mahasiswa". Begitu tajuk sebuah berita di sebuah stasiun televisi. Berita mengangkat kasus perusakan yang dilakukan mahasiswa sebuah perguruan tinggi di Medan. Anarkis, ya anarkis...

-----

Apa yang terlintas di benak kita kala mendengar dan atau membaca kata "anarkis" atau "anarkisme" ? Tak sekali dua kali, melainkan hampir tiap hari, kita bisa menyimak di media massa pejabat yang selalu berkata,"Kita serahkan kasus ini pada aparat keamanan. Masyarakat diminta tidak bertindak anarkis." Tetapi, apa betul anarkis bisa disederhanakan atau tepatnya disalahkaprahkan begitu saja ?

Sebelum membaca buku Anarkisme: Perjalanan Sebuah Gerakan Perlawanan karya Seán M.Sheehan, yang diterbitkan Penerbit Marjin Kiri, saya menjadi satu di antara 200-an juta orang Indonesia yang mengalami kekacauan ontologis dalam memahami kata itu, anarkisme. Dalam kata pengantar buku itu Daniel Hutagalung -peneliti di Institut Riset Sosial dan Ekonomi (Inrise) dan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)- menjelaskan bahwa sebagai konsep dalam ilmu sosial maupun filsafat, anarkisme sering disalahartikan -atau bisa jadi sengaja disalahartikan- sebagai suatu prinsip yang berhubungan dengan hal-hal yang bernuansa destruktif, chaotic, dan ketidakteraturan (disorder). Tidak jarang, kata itu ditempatkan berseberangan dengan demokrasi. Pemahaman yang keliru itu, menurut Daniel, mencuat karena masih minimnya literatur mengenai anarkisme di Indonesia, baik mengenai sejarah perkembangannya, filsafatnya, maupun perdebatannya dengan berbagai aliran pemikiran dalam filsafat dan ilmu-ilmu sosial.

Kata "anarki" berasal dari bahasa Yunani kuno "άυαρχoς" (huruf υ dilafalkan n dan ρ dilafalkan r) yang tersusun dari άυ yang berarti "tidak", dan αρχoς yang artinya "pemimpin" atau "ketua". Sehingga, anarkisme berarti "tidak ada pimpinan, tidak adanya pemerintahan". Etimologi kata ini menandai hal yang khas dari anarkisme, yaitu penolakan terhadap kebutuhan akan otoritas tersentral atau negara tunggal, satu-satunya bentuk pemerintahan yang kita kenal sampai saat ini.

Sejumlah nama mustahil untuk dihindari saat membahas yang namanya anarkisme ini. Sederet nama seperti Pierre-Joseph Proudhon, Mikael Bakunin, Peter Kropotkin, Max Stirner, Levnikolaevich (Leo) Tolstoy, Enrico Malatesta, Emma Goldman, dan lain-lain, sungguh memainkan perannya masing-masing dalam proses dialektika seputar "anarkisme". Proudhon adalah orang pertama yang menggunakan istilah anarkisme sebagai filsafat politik.

Noam Chomsky mengacu pada konsepsi Rudolf Rocher (seorang sejarawan anarkis) saat diminta menulis Kata Pendahuluan dalam buku Daniel Guerin, Anarchism From Theory to Practice (London, 1970), bahwa anarkisme "bukan suatu sistem sosial yang baku dan tertutup, melainkan sebuah tren pasti dalam perkembangan sejarah umat manusia yang berkebalikan dengan penjagaan intelektual oleh semua lembaga pemerintah dan keagamaan..."

Kaum anarkis tidak menolak bahwa ada orang yang pendapatnya lebih otoritatif dalam bidang-bidang tertentu. Ini adalah pilihan atau pertimbangan moral yang didasarkan pada nalar. Sean M.Sheehan mengutip apa yang ditulis oleh Bakunin dalam God and The State (London, 1883) bahwa ia tidak bermaksud menolak semua otoritas. Tidak. Bakunin mengaku tak pernah sedikitpun berpikir demikian. Tulisnya:

Apakah ini berarti saya menolak otoritas ? Pemikiran demikian sama sekali tak terbersit pada diri saya. Untuk urusan sepatu saya patuh pada pendapat tukang sepatu; soal rumah, kanal,atau rel kereta, saya bertanya pada arsitek atau insinyur.Tapi saya tidak mengizinkan tukang sepatu maupun arsitek itu memaksakan otoritasnya pada saya. Saya menyimak pendapat mereka secara bebas dan dengan segala hormat [tetapi] saya tidak pernah mutlak mempercayai siapapun. Kepercayaan mutlak macam itu akan memadamkan nalar dan kebebasan saya, bahkan memadamkan keberhasilan jerih payah saya; hal itu akan langsung mengubah saya menjadi budah belian, alat bagi hasrat dan kepentingan orang lain

Sementara bagi Emma Goldman, salah seorang ilmuwan anarkis dalam Anarchism and Other Essays (1963) memahami anarkisme sebagai "kekuatan yang menggerakkan keseluruhan hidup manusia, yang terus-menerus menciptakan keadaan-keadaan baru, berjuang dalam keadaan apapun untuk menolak segala sesuatu yang bisa menghambat perkembangan manusia".

Dua anarkisme

Disebutkan di buku itu, bahwa secara umum ada dua tendensi dominan dalam tradisi anarkisme, yaitu anarkisme individual dan anarkisme kolektif (komunis). Anarkisme-individualis, antara lain digaungkan oleh Max Stirner, sementara anarkisme-kolektif/komunal diteriakkan sekurangnya oleh Mikhail Bakunin dan Peter Kropotkin. Beberapa perbedaan membentang antara dua aliran itu. Namun, yang menjadi pengikat antara keduanya adalah bahwa mereka memiliki sebuah prinsip penolakan dan kritik fundamental terhadap otoritas politik dan seluruh bentuk-bentuknya. Bakunin dalam tulisannya yang berjudul The Paris Commune and the Idea of the State, dan berada dalam buku yang diedit Sam Dolgoff, Bakunin on Anarchism (2002) mengatakan:

Negara itu seperti rumah jagal raksasa atau kuburan mahaluas, di mana semua aspirasi riil, semua daya hidup sebuah negeri masuk dengan murah hati dan suka hati dalam bayang-bayang abstraksi tersebut, untuk membiarkan diri mereka dicincang dan dikubur.

Marx dan Bakunin pernah berdebat keras dalam sidang Internasionale pertama di Den Haag 1872. Perdebatan itu membawa kaum anarkis abad ke-19 pada konflik yang tajam dengan kaum marxis. Kaum marxis meyakini bahwa pada saat Negara bersifat represif dan eksploitatif, hal itu tak lebih merupakan refleksi dari eksploitasi ekonomi dan instrumen dari kelas yang berkuasa, yang mana kekuatan politik direduksi oleh kekuatan ekonomi. Di pihak berbeda, Bakunin dan Kropotkin melihat Negara lebih dari sekadar ekspresi kekuatan kelas dan kekuatan ekonomi. Negara memiliki logika dominasinya sendiri dan merawat dirinya sendiri (self-perpetuation), sehingga Negara menjadi otonom terhadap kepentingan kelas. Negara menciptakan penindasan fundamental dalam masyarakat, dan eksploitasi ekonomi datang dari penindasan politik seperti itu. Karena Negara memiliki logika ekonominya sendiri, maka Negara tidak pernah dapat dipercaya sebagai alat revolusi sebagaimana argumen kaum marxis.

Meski demikian, anarkisme menolak dengan tegas Negara bukan dalam artian "administrasi sistem politik", tetapi yang paling pokok adalah penolakan tegas terhadap gagasan tentang suatu tatanan berkuasa yang menuntut dan menghendaki kepatuhan warganya dalam otoritas sentral yang disakralkan dalam wujud Negara. Anarkisme membedakan antara "pemerintah" (mengacu pada Negara) dengan "pemerintahan" (mengacu pada administrasi sistem politik).

Daniel Hutagalung juga menjelaskan bahwa dalam hal ontologi sosial, keduanya sama-sama menolak keberadaan subyek yang terpisah dari dunia yang obyektif. Artinya, sebagaimana marxisme, anarkisme pun menolak anggapan adanya dunia "di luar" subyek yang berdiri terpisah dari subyek yang memahami (knowing subject). Secara aksiologis, keduanya sama-sama menolak otoritas sentral yang memaksakan kepatuhan warganya. Sedangkan secara epistemologis, ada perbedaan prinsipil dalam melihat posisi subyek dalam tatanan masyarakat.

Individu dan Massa

Max Stirner, pemikir dan anarkis individualis asal Jerman, menyatakan bahwa setiap individu memiliki kebebasan untuk menentukan yang terbaik bagi dirinya sendiri, apa yang diinginkan, dan hanya individulah yang bisa menetukan apakah ia benar atau salah. Itu didasari sebuah prinsip bahwa individu memiliki keunikan sebagai nilai intrinsik. Kata Stirner, "kebebasan yang diberi atau dinisbahkan bukan kebebasan, melainkan 'barang curian'".
Sehingga, Stirner juga berprinsip bahwa hanya pada kedirian masing-masinglah setiap individu harus tunduk, bukan pada Negara, atau masyarakat.

Namun, jangan terburu-buru memberi cap 'egois' pada Stirner. Stirner tidak mengabaikan bahwa individu memerlukan bantuan dan juga orang lain sebagai teman. Itu bisa dibaca dalam kalimat ini:

Kalau di belakang anda ada sekian juta orang lain untuk melindungi, secara bersama-sama kalian bisa menjadi sebuah kekuatan besar dan menang dengan mudah. Dengan satu syarat: hubungan dengan orang lain itu harus bebas dan sukarela dan senantiasa bisa ditinggalkan.

Sementara itu, massa juga bisa menjadi sumber inspirasi bagi anarkisme. Tokoh penggagasnya adalah Pierre-Joseph Proudhon yang percaya bahwa gerakan anarkisme harus disandarkan pada kekuatan gerakan massa. Ia memetik pelajaran dari Revolusi 1848 bahwa massa merupakan sumber kekuatan revolusi. Tidak seperti para marxist, Proudhon percaya bahwa revolusi berlangsung atas suatu tindakan spontan dari rakyat. Ia juga berprinsip revolusi tidak memerlukan kepemimpinan atau kenabian. Bukan kerja satu orang, melainkan produkdari suatu bentuk universalitas, revolusi harus dilakukan dari bawah, bukan dari atas. Hal yang juga diamini oleh Bakunin.

Format gerakan

Lalu, bagaimana gagasan ini bisa dijalankan atau 'dibadankan' dalam konteks masyarakat ? Sub-judul ini sedikit coba mengangkat bagaimana yang namanya konsep bisa mewujud dalam gerakan yang tercatat dalam sejarah berhasil membuat sebuah perubahan. Kita angkat dua contoh, yaitu gerakan Ejercito Zapatista de Liberacion Nacional (EZLN) di Meksiko (yang juga memiliki Ya Basta ! [Bahasa Spanyol: sudah cukup] sebagai kelompok pendukung di Italia) dan gerakan para demonstran di Seattle, Amerika Serikat, November 1999 saat World Trade Organization menggelar konferensi. Dalam bahasa sederhananya, para anarkis tidak cuma NATO, no action talk only.

Pada 1 Januari 1994, sejumlah petani di Chiapas, Meksiko, secara konkrit melakukan perlawanan terhadap globalisasi neoliberal. Ya, petani. Bukan aktivis pro-demokrasi yang justru kerap ditunggangi kepentingan pemodal di balik "aksi mulia" mereka. Para petani itu menyebut diri mereka EZLN atau Tentara Pembebasan Nasional Zapatista yang mengangkat senjata melawan pemerintah Meksiko, dan dalam waktu singkat sukses menduduki Chiapas. Mereka mendorong 11 tuntutan, antara lain:

1. pekerjaan

2. tanah

3. perumahan

4. makanan

5. perawatan kesehatan

6. pendidikan

7. kemerdekaan

8. kebebasan

9. demokrasi

10. keadilan

11. perdamaian

Pemberontakan itu pertama kali direpresentasikan sebagai perlawanan terhadap gagasan-gagasan neoliberal atau ekonomi pasar bebas. Di hari pertama tahun 1994 itu, bertepatan dengan dimulainya Kesepakatan Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA), para pemberontak menunjukkan fakta bahwa mayoritas pedesaan miskin di Meksiko tidak sesuai dengan model neoliberal. Pemberontakan yang tak cuma berdampak secara nasional, karena akhirnya memberikan harapan baru bagi banyak gerakan sosial di masa depan dalam perjuangan anti-kapitalisme di tingkat internasional. Terlebih, kaum Zapatista berhasil mencuatkan pertanyaan-pertayaan mengenai masa depan masyarakat adat (indigenous people) di hadapan globalisasi ekonomi dan budaya.

Salah besar, kalau kita menduga Zapatista berniat untuk merebut kekuasaan. Mereka semata ingin mempromosikan demokrasi partisipatif yang memungkinkan wargaNegara menentang tatanan ekonomi yang berlaku, di mana masyarakat ada Chiapas begitu menderita akibat kebijakan neoliberal pemerintah pusat Meksiko. Secara politik, EZLN mengorganisir dan mendorong program reformasi agraria secara radikal, memperluas konstituen, dan berkeras untuk menerapkan bentuk pemerintah desentralis. Mereka menggalang dan mengorganisir dukungan internasional lewat internet, yang terbukti mendatangkan dukungan yang masif. Terbukti, Agustus 2006 EZLN berhasil menggelar Pertemuan Internasional Demi Kemanusiaan dan Melawan Neoliberalisme yang dihadiri 3.000 delegasi dari sekurangnya 50 Negara dan melahirkan gerakan anti-kapitalis global.

Itu di Meksiko. Sementara di Seattle November 1999 terjadi pula sebuah aksi yang melibatkan tak kurang dari 75.000 demonstran dari beberapa negara. Arak-arakan pertama di sepanjang Seattle dimulai 30 November pagi. Mereka memblokade jalan hingga menjelang senja, dengan teater jalan dan pesta-pesta kaki lima. Jumat, 1 Desember 1999 para demonstran anti-kekerasan ini membentuk kelompok-kelompok besar untuk melakukan aksi duduk di depan penjara kota, tempat demonstran lainnya ditahan. Sejumlah perwakilan mengadakan diskusi seputar strategi gerakan setiap sore. Bangunan gudang tempat pertemuan dilakukan berhari-hari sampai 29 November adalah tempat dilaksanakannya kursus aksi tanpa-kekerasan dan bengkel solidaritas bagi kawan-kawan mereka yang ditahan dalam aksi "Karnaval Melawan Modal" itu.

Prinsip-prinsip anarkis tampak begitu sukses dijalankan. Merebaklah suatu struktur yang tak mengenal kewenangan tersentral atau hirarki birokratis, namun yang koordinasi antar kelompoknya berlangsung sangat kompak saat menjalankan aksi berskala besar (aksi turun ke jalan, blokade rantai manusia, pengibaran spanduk, pertunjukkan dan teater jalanan) secara rapi.

Aksi damai ini terbukti membuat polisi di jalan-jalan Seattle kebingungan dan panik. Media massa merekam bagaimana demonstrasi damai ini diserbu oleh polisi anti huru-hara. Polisi menembakkan gas air mata, mengacungkan pentunggan, menyemprotkan semprotan pedas, dan melontarkan granat getar. Aksi ini juga membuat polisi terpaksa melakukan tindakan ilegal, sebagaimana terbukti bahwa dari 631 demonstran yang ditahan, hanya 14 orang yang sah untuk diajukan ke pengadilan. Saat aksi di Seattle itu meletus -dengan keberhasilan awal menggagalkan pembukaan sidang WTO- protes masyarakat juga membahana dari seantero Prancis, Amsterdam (Belanda), Berlin (Jerman), Buenos Aires (Argentina), Kolombo (Sri Lanka), Jenewa (Swiss), India, Manila (Filipina) dan Milan (Italia).

Media massa banyak mengangkat soal perusakan terhadap simbol-simbol kapitalis seperti Starbucks, Planet Hollywood, dan Nike. Media dinilai Sheehan berkesempatan membangkitkan kembali momok anarkisme dan menjelek-jelekkan para demonstran sebagai orang-orang sinting dan berbahaya. Namun, media massa kurang memberi porsi secara memadai pada kaum anarkis lainnya, seperti kaum pecinta damai, petani, serikat-serikat dagang, dan aktivitas lingkungan dan sebagainya, yang selama lima hari bergerak dengan amat terorganisir itu.

Pencerahan

Tulisan ini tak lebih dari semacam 'remah-remah' (bisa terasa gurih, bisa juga tidak) dari buku Anarkisme: Perjalanan Sebuah Gerakan Perlawanan karya Seán M.Sheehan, yang diterbitkan Penerbit Marjin Kiri. Semoga setelah membaca buku itu, atau sekurangnya kupasan singkatnya di sini, pengunjung blog sekalian bisa sedikit tercerahkan bahwa "anarkisme" yang sering disalahartikan oleh media massa dan para tokoh, tak lain adalah salah satu wilayah kajian tersendiri dalam tradisi ilmu filsafat.

Saya sendiri -yang hanya belajar filsafat secara 'eceran'- sekadar ingin berbagi pencerahan, agar kita tak serta merta percaya pada apa yang disebut oleh media massa, yang kadang justru menyesatkan pemirsanya. Bagi pembaca yang pernah belajar filsafat secara akademis, tentu itu tak menjadi masalah. Tetapi, bagi yang tidak atau belum ? Semoga tulisan ini bisa sedikit memberikan sumbangsihnya. Agar semangat yang coba diusung dalam tulisan ini yaitu "melawan sesat pikir anarkisme" bisa ditularkan ke sebanyak mungkin orang. Jangan terlalu mudah percaya pada media massa yang kerap "tidak tahu di tidak tahunya". Kekritisan adalah kuncinya !

29 January 2008

Jenderal Besar Itu Telah Pergi

Gandaria, Jakarta Selatan sekitar pukul 13.30, Minggu 27/1. Tangan saya tengah memijit-mijit stick Playstation 2, bertarung sepakbola dengan Daniel Awigra di kosnya di bilangan Gandaria, Jakarta Selatan. Satu meter di belakang saya, di atas sebuah meja kecil, ponselnya bergetar. "Kamu sudah tahu kabar terbaru ?" kata orang di seberang sana, yang ternyata adalah Daryadi, Kepala Biro Jakarta Riau Mandiri, atasannya.


Awi menjawab, "Ya, Soeharto kritis kan ?".

"Udah meninggal di RSPP! " ujar Daryadi.

Segera kami mematikan player PS 2 itu dan beralih ke sejumlah stasiun televisi yang tengah menayangkan secara langsung kondisi mantan penguasa Orde Baru itu, yang nafas dan denyutnya telah berhenti pukul 13.10. Usai sudah 87 tahun perjalanan hidup cah ndeso yang akhirnya berhasil menaklukkan tidak hanya Jakarta, tetapi Indonesia ! Bahkan ia pernah menjadi salah satu kepala negara yang paling disegani di kancah internasional, sekurangnya Asia Tenggara. Tidak cuma satu atau dua tahun, namun 32 tahun !

Setelah mencatat informasi-informasi penting ini dan itu dari layar televisi, Awi pun bersiap untuk melaksanakan tugas -tepatnya panggilan- jurnalistiknya. Semula, saya berniat untuk segera pulang ke rumah saya di Cibitung. Namun, setelah menimbang-nimbang bahwa ini adalah momentum bersejarah saya memutuskan untuk ikut bersamanya ke Rumah Sakit Pertamina (RSPP) Jakarta Selatan, tempat tokoh yang dijuluki 'Bapak Pembangunan' itu berbaring sejak 4 Januari lalu.

Sekitar pukul 14.00, dengan sepeda motornya, kami tiba di RSPP. Sebelumnya, kami menyusuri eks lokasi Pasar Barito yang belum lama ini digusur oleh Pemprov DKI Jakarta. Berbelok di sebelah Gereja St.Yohanes Pemandi Blok B, kami menyusuri Jalan Mahakam, Warung Apresiasi Bulungan, hingga tiba di RSPP.

Masuk dari gerbang timur RSPP, sembari menunjukkan kartu pers pada petugas keamanan, kami pun masuk ke lahan parkir tak jauh dari Instalasi Gawat Darurat RS langganan Soeharto itu. Ratusan orang, terutama wartawan, tengah berkerumun di depan pintu keluar IGD. Puluhan petugas keamanan, yang pelan tapi pasti terus didatangkan untuk berjaga-jaga.

Menggotong wartawan

Sebuah mobil jenazah bergerak mundur dan menempatkan 'pantatnya' tiga meter dari pintu keluar IGD. Para juru kamera dan fotografer mulai berancang-ancang. Mereka masing-masing mulai mencari lokasi strategis, untuk bisa membidikkan lensa mereka dengan nyaman dan mendapat hasil yang seeksklusif mungkin.

Sekitar pukul 14.35, setelah terjadi proses dorong-mendorong antara puluhan wartawan, anggota Kopassus, polisi, dan warga sipil, mobil jenazah yang membawa Soeharto ke Jalan Cendana pun bergerak perlahan. Kekacauan tak terelakkan. Di antara kilauan blitz puluhan kamera, aksi dorong-mendorong itu membuat seorang petugas keamanan harus mendaratkan bogem mentahnya ke dada seorang wartawan. Saya mengetahui itu dari Awi, yang kebetulan berada di samping korban dan ikut menggotongnya ke ruang IGD untuk mendapat perawatan.

Lebih kurang pukul 14.54, kami menuju tempat parkir yang terletak sekitar 100 meter dari IGD. Di tengah hiruk-pikuk warga dan aparat keamanan, di depan tiang yang benderanya telah diturunkan setengah, motor kami berlalu dari RSPP melewati sisi utara Kejaksaan Agung, yang tak pernah mampu menyeret Soeharto ke pengadilan. Kami pun lalu menyisir Jalan Sisimangaraja, Depdiknas, Senayan, dan seterusnya untuk menuju Cendana.

Lima belas menit berlalu dari pukul 15.00, kami tiba di Jalan Teuku Umar. Kondisi jalan sudah ramai dengan motor dan kendaraan yang lalu lalang. Kebingungan mencari tempat parkir, membuat kami harus memarkir motor di Jalan Suwiryo sebelah timur. Kami pun melewati bundaran air mancur antara Jalan Teuku Umar dan Jalan Suwiryo, lalu berjalan menuju rumah Soeharto dan keluarga sekitar 300 meter dari situ.

Ratusan orang ternyata telah berada di sana. Puluhan wartawan telah berada dalam posisinya masing-masing guna mendapatkan sudut pandang yang pas ke dalam rumah Soeharto, maupun ke sisi jalan ketika ada pejabat yang hilir-mudik keluar masuk. Seorang kameramen -entah dari stasiun teve mana- nekat memanjat pohon setinggi sekitar empat meter untuk mendapat gambar ekslusif. Bagaimana tidak, dari pohon itu ia bisa membidikkan kameranya ke sisi dalam pekarangan rumah Soeharto, tamu yang keluar dan masuk, dan sebagainya. Ketika ada satu wartawan foto yang ikut-ikutan memanjat pohon lain, orang di sekitar pun segera menyorakki seraya tertawa lebar.

Sepertinya aparat segera belajar dari pengalaman di RSPP tadi. Pagar betis diperkuat. Puluhan personil Kopassus bersenjata laras panjang segera membentuk barikade yang menghalangi masyarat dan wartawan untuk melintasi jalan. Pukul 16.10, mantan Gubernur DKI Jakarta yang baru 'turun tahkta,' Sutiyoso, datang disusul sejumlah pejabat dan mantan pejabat negara. Sekitar lima menit kemudian, rombongan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan sejumlah menteri pun tiba di rumah duka. Suara sirene motor patroli Polisi Militer meraung-raung menembus kerumunan.

Mereka berdoa di dalam rumah duka selama lebih kurang 30 menit. Presiden SBY segera menaikki mobil kepresidenan dari dalam rumah, sedangkan beberapa menteri yang mendampinginya bergegas menuju sejumlah mobil yang akan beriringan dengan mobil Presiden SBY.

Lima menit menjelang pukul lima sore, tenda mulai didatangkan entah dari mana ke dalam rumah Soeharto. Saya dan Awi berjalan perlahan mencari air minum. Tepat di sisi selatan mulut Jalan Cendana kami membeli dua botol air mineral. Tenggorokan kami -yang sempat dibasahi air putih di rumah seberang kediaman Soeharto- kembali terbasahi.

Awi kemudian mencatat apa-apa saja yang telah ia temui dalam liputan kali ini. Kami pun lalu bergerak ke Cikini untuk mencari warnet, agar ia bisa mengirimkan segera berita terkini ke Kantor Riau Mandiri di Riau sana.

Bahasa Langit

Percaya atau tidak, suka atau tidak, bangsa ini ditinggal pergi salah satu pemimpin besar, yang dibenci sekaligus dicintai rakyatnya. Trilogi pembangunan (stabilitas, pemerataan, dan pertumbuhan) yang ia jadikan pegangan selama memerintah menjadi pisau bermata dua. Tetapi, banyak pakar yang bisa memberi analisis akan hal itu di banyak media, bukan di blog ini.

Di pelataran parkir RSPP, beberapa saat setelah iring-iringan mobil jenazah meninggalkan RSPP, Dwi Anggia dari SCTV mewawancarai seorang ibu separuh baya yang dengan mata berkaca-kaca mengaku telah kehilangan tokoh yang disebut Bapak Pembangunan itu. Komentar khas kaum ibu di Indonesia, bahwa di masa Soeharto harga-harga kebutuhan pokok begitu terjangkau, tidak seperti sekarang.

Tetapi, kita yang (mau) belajar sejarah bangsa ini juga tidak bisa menutup mata terhadap kelaliman yang dilakukan Soeharto selama 32 tahun. Coba tanyakan pada orang Aceh, Timor-Timur (sekarang Timor Leste), Irian Jaya (sekarang Papua), korban kekerasan sepanjang tahun 1965, tragedi Tanjung Priok, dan lainnya: apa pandangan mereka tentang Soeharto ? Dialah yang dituding paling bertanggungjawab atas hilangnya ratusan ribu hingga jutaan anak bangsa, karena pertikaian politik. Hingga peredaran darah di tubuh Soeharto terhenti, tak satu pun presiden -Habibie, Gus Dur, Megawati, dan sekarang SBY- yang bisa mendudukkan Soeharto di kursi pengadilan.

Nafas dan denyut nadi Si Jenderal itu telah terhenti untuk selamanya. Sang Jenderal pergi tanpa pernah menduduki kursi pengadilan seperti sejumlah mantan presiden di luar negeri. Bangsa ini gagal menunjukkan bahwa hukum adalah untuk semua warga negara. Gagal membuktikan bahwa dalil 'semua warga negara setara di hadapan hukum' itu benar adanya. Padahal, betapa sering kita mendengar pejabat yang dengan berbusa-busa selalu berbasa-basi dan berkata, "Kita serahkan saja pada aparat hukum. Negara kita kan negara hukum."

Mungkin itu kiranya yang membuat langit di Jakarta -sekurangnya Bulungan, Radio Dalam, dan Gandaria- tampak pucat dan memilih untuk cemberut di hari Minggu sore itu. Gumpalan awan, meski tak terlihat begitu gelap, enggan menunjukan kecerahannya. Ia tampak kompak dengan sang mentari yang biasanya begitu galak memanaskan Jakarta. Kiranya langit bukan bersedih karena Soeharto berlalu dari dunia ini. Langit bermuram durja, karena bangsa ini tak pernah bisa memberikan keadilan, tidak hanya bagi para korban kekerasan tersebut di atas, melainkan juga bagi Soeharto sendiri. Tak berlebihan kiranya, apa yang ditulis Baskara T Wardaya di Kompas 17/1 bahwa Soeharto bukan seorang pengecut. Yang pantas dituduh sebagai pengecut adalah orang-orang dekatnya yang bakal ikut terseret, jika Soeharto duduk di hadapan meja hijau.

Ada pepatah latin yang berbunyi de mortuis nihil nisi bene, yang lebih kurang berarti 'tentang orang yang sudah meninggal, tak ada dikatakan kecuali yang baik'. Entah siapa yang pertama kali mengucapkan kalimat itu, dan diucapkan dalam konteks apa. Tetapi, seperti kita bisa simak di media, ketika Soeharto meninggal, bahkan ketika ia masih menderita sakit, wacana untuk mikul duwur mendem jero (pepatah Jawa yang juga bisa diartikan sebagai: 'ingat yang baik-baik saja') selalu didengungkan para Soehartois.

Kita tidak perlu sewot karena Soeharto mendapat perawatan kesehatan kelas satu. Itu adalah tanggungjawab negara, sekaligus hak setiap mantan presiden yang dilindungi Undang-Undang negeri ini. Meminjam istilah Budiarto Shambazy saat diwawancara Meuthia Hafid di Metro TV 28/1, itu semua adalah wajar adanya. Tetapi, sebagaimana kita bisa lihat di beberapa media akhir-akhir ini, ketika Soekarno tahun 1970 sakit dan akhirnya meninggal, ia tak pernah mendapatkan perawatan serupa, itu yang tak wajar. Saat itu Soekarno hanya mendapat perawatan dar dokter biasa (ada yang menyebut dokter hewan), yang tidak pernah stand-by menungguinya. Ia bahkan dipersulit untuk bersua dengan anak-anak dan istri-istrinya. Entah bagaimana pemerintah akan memperlakukan Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY, jika mereka meninggal suatu saat.

Kita juga tak perlu memprotes, jika ada jutaan ibu rumah tangga di republik ini yang menangis setelah mengetahui Soeharto meninggal. Mereka adalah orang-orang biasa yang di masa orde baru tak pernah kesulitan mendapatkan minyak tanah, beras, dan sembako dalam harga murah. Toh, terbukti hingga saat ini kita seperti bangsa yang kehilangan orientasi pembangunan. Minyak tanah mahal dan langka, gas sering ditimbun para spekulan sehingga harganya terus naik, dan sebagainya. Bahkan, akhir-akhir ini kita semua tahu harga kedelai melonjak tak terkendali, sehingga banyak pengusaha tahu dan tempe yang sekarat tak berdaya.

Saya teringat dengan apa yang ditulis Ahmad Wahib dalam buku hariannya. Pada 1 Desember 1969 ia menulis " .... aku bukan Wahib. Aku adalah me-Wahib. Aku mencari dan terus mencari, menuju dan menjadi Wahib. Ya, aku bukan aku. Aku adalah meng-aku, yang terus menerus berproses menjadi aku. Aku adalah aku pada saat sakratul maut". Kiranya, itu juga bisa menjadi catatan kita atas diri Soeharto. Ibarat neraca keuangan dalam perusahaan, ia sudah tutup buku. Laba atau rugi telah diketahui.

Air hujan pun tertumpah dengan derasnya dari langit saat kuberada dalam bis Agra Mas yang membawa saya dari UKI. Hujan mulai melebat diringi petir sejak kami melalui tol Bekasi Barat. Saya pun harus berteduh sekitar 15 menit di sekitar lampu merah tol Cibitung, sebelum melanjutkan perjalanan ke rumahku.

Ternyata, saat manusia terlalu banyak berbasa-basi hingga mulutnya berbusa, sang langit punya bahasanya sendiri...

Fransiskus Pascaries