03 March 2008

Blogger, Sejarawan Era Internet


Lusi dan Heri telah terpisah hampir sembilan tahun. Keduanya pernah punya kenangan semasa SMA di Yogyakarta. Komunikasi antara keduanya mungkin tak akan pernah terjadi kalau Heri tidak 'usil' masuk ke sebuah blog milik seorang blogger amatiran. Semula, Heri mengotak-atik sebuah situs pencari dan lalu 'terperosok' dalam blog itu. Cerita punya cerita, Heri tertegun. Matanya tertuju pada salah satu link di blog itu yang ia yakini adalah milik seseorang dari 'kisah lama' bapak beranak tiga itu. Ya, Lusi.

Segera Heri mengirim e-mail pada pemilik blog itu dan bertanya, apa benar Lusi ini adalah temannya semasa di kota Gudeg dulu. Namun, entah bagaimana, e-mail itu tidak masuk ke dalam inbox dari e-mail si pemilik blog itu, melainkan di kotak spam. Beruntung, si pemilik blog itu -yang biasanya tanpa pikir panjang langsung mengosongkan spam di e-mail nya- iseng membuka e-mail itu. Dibuka dan diteruskanlah e-mail itu pada Lusi.

Tampak jelas bagaimana Lusi begitu terkejut atas pertemuannya di alam maya dengan Heri. Ia pun menulis di blognya, ..."Jadi teringat masa-masa nostalgia bersama H ini. Ia sempat mengisi hari-hariku sewaktu masa remaja saya yang kulewati di SMA tercinta yang berlokasi di Kotabaru, Yogya....Sewaktu saya tinggal di Asrama, kami pun sempat saling bertukar kisah. Saat saya menghadapi ujian SMA, saat bingung pilih kuliah, tempat tinggal... hingga sewaktu aku akhirnya kuliah di Mrican dan tinggal di Asrama di Jl. Colombo... Sayang, kesibukan kami yang berbeda membuat kami sulit bertemu dan jadi agak sulit untuk saling memahami..."

Bingo !!! Eureka !!! Terbukti internet, dalam hal ini blog, mampu mempertemukan dua anak manusia yang pernah merajut kisah sembilan tahun sebelumnya. Heri kini tengah menempuh studi doktoral di Institut Pertanian Bogor. Sementara Lusi menjadi pengajar di sebuah lembaga bahasa asing, kontributor untuk sebuah majalah ibukota, dan kini tengah merintis karir sebagai editor paruh waktu di sebuah penerbit.

Sebuah media pernah mengangkat, bahwa di zaman sekarang ini sangat "penting" buat kita untuk bisa "dilacak" di internet. Alangkah baiknya ketika orang mengetikkan nama kita di situs pencari seperti Google, Yahoo, dan sebagainya, akan ada beberapa situs yang akan mengarahkan netters ke situs itu, dan mendapatkan info ini dan itu tentang kita. Pengalaman Heri dan Lusi ini hanya satu kisah yang menjadi rujukan bahwa teknologi tidak hanya bisa dicaci-maki sebagai sebagai perusak mentalitas anak bangsa, arena cyber crime, pornografi tanpa batas, et cetera.

Coba kita bandingkan dengan contoh ilustratif ini. Di dunia sepakbola, paling tidak hingga era '90-an, kita bisa memastikan pengguna kostum nomor sepuluh di tiap klub maupun tim nasional sepakbola di dunia adalah pemain istimewa, bukan pemain kacangan. Sebut saja, Diego Maradona di Napoli dan tim nasional Argentina, Lothar Matthaus kapten timnas Jerman saat menjuarai Piala Dunia 1994, Gary Lineker di timnas Inggris tahun 1980-an, Roberto Baggio dari Italia era 1990-an, Ronaldinho di Barcelona, et cetera. Ketika "era nomor 10" redup, nomor-nomor "cantik" lainnya juga diburu oleh para bola mania. Kita bisa sebut, kostum Manchester United milik David Beckham bernomor punggung 7. Dengan kostum itu, Beckham mampu menghantarkan MU menjadi klub berprestasi di eropa, bahkan terkaya di dunia. Begitu juga ketika ia pindah ke Real Madrid dan memakai kostum nomor 23. Ia juga menjadi penyumbang terbesar bagi kas Madrid selain bintang-bintang seperti Luis Figo (nomor 10), Raul Gonzales (7), Zinedine Zidane (5), dan lain-lain. Sedangkan dari lapangan basket, ketika sang superstar Michael Jordan masih beraksi membela Chicago Bulls, jutaan merchandise kostum klub itu dengan nomor 23 -nomor yang menginspirasi Beckham untuk menggunakannya di Real Madrid- laris manis di seluruh dunia. Tetapi, apakah setiap pemain sepakbola atau basket di seluruh dunia yang menggunakan nomor 10 atau 23 akan begitu saja meraih hasil manis di lapangan dan membawa harum nama klub dan atau timnas negaranya ? Pastilah itu mustahil tanpa kerja keras, latihan, mental, fisik, dukungan tim, pelatih, et cetera.

Setali tiga uang dengan internet, bukan? Di tangan orang "benar" ia akan menjadi "penyalur rahmat" bagi orang lain di muka bumi. Di tangan orang "salah" ia akan menjadi monster yang akan menghancurkan peradaban dan umat manusia sendiri. Ambillah contoh Amerika Serikat, yang begitu digjaya dengan teknologi nuklir. Negara itu paham betul bagaimana memanfaatkannya untuk ilmu pengetahuan dan juga, perang ! Mereka bisa memanfaatkan teknologi nuklir untuk dunia kedokteran sekaligus untuk perang, bukan ?! Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak karena teknologi itu. Tak hanya luka-luka, jutaan nyawa melayang di sana, sementara jutaan orang lainnya merasakan manfaat dari teknologi itu.

Kembali ke kisah pertemuan "maya" Lusi dan Heri. Pemilik blog itu turut bahagia. Ia bahagia, karena blog yang ia isi di sela-sela kesibukan, dan kadang rasa jenuhnya, berhasil mempertemukan Heri dan Lusi. Maka, para blogger, jangan pernah berpikir untuk berhenti menulis. Kisah ini membuktikan mereka bisa bertemu, berkat perantaraan sebuah blog. Pengalaman itulah yang coba dibagikan kali ini oleh pemilik blog itu, saya sendiri.

Sekarang, untuk Anda yang belum memiliki blog, apakah Anda masih ragu untuk memulai ? Bagi Anda yang sudah memiliki blog, tentu sudah merasakan manfaat dari salah satu entitas globalisasi ini, bukan ? Satu istilah, yang disebut sosiolog Amerika Serikat kelahiran Spanyol Manuel Castells, bahwa dunia sekarang bagaikan nodes yang dihubungkan satu sama lain. Tesis yang hendak diajukan Castells terkait dengan transformasi media dan masyarakat adalah bahwa pada masyarakat jaringan yang saling terhubung dalam skala global, media tak lagi merupakan media ‘massa’, melainkan bertransformasi menjadi media jaringan, atau jaringan interaktif multimedia, yang menjadikan komunikasi dunia suatu jaring-jaring raksasa, suatu dunia yang saling terhubung, interconnected dan networked—dunia dengan satu budaya yang seragam, mono-multiculture. Sebuah blog bisa "ringan" atau "berat", tergantung dari pemilik dan juga pembacanya. Ia bisa berisi curahan hati seseorang yang sangat personal, meski juga bisa berisi kritik yang bersifat sosial. Blog bisa melatih orang untuk menulis dan berpikir dengan "sistematis". Kok bisa ? Ya bisa dong ! Anda cukup memilih gaya seorang penulis fiksi yang alurnya bisa maju-mundur-maju, dst. Atau menggunakan gaya para ilmuwan yang "pasti-pasti aja deh". Atau bisa juga memilih gaya lain, yang sesuai selera Anda. Bebas, toh blog itu milik Anda. Anda bebas memasukkan apa pun...

Blog, di sekian (puluh/ratus) tahun ke depan juga bakal menjadi catatan pemikiran, perjalanan hidup setiap pemiliknya. Kita yang hidup di era internet ini tentu jauh lebih beruntung, jika dibandingkan dengan orang-orang seperti Tan Malaka, Ahmad Wahib, serta Soe Hok Gie. Mereka tak pernah bersentuhan dengan komputer, apalagi internet dan blog yang sedang kita bicarakan ini. Tapi, lewat pena dan buku harian yang mereka tulis kita bisa, sedikit banyak, merasakan suasana zaman pada saat mereka hidup dulu. Kita yang pernah menonton film Gie karya Riri Riza pasti tahu bahwa salah satu sumber yang dipakai sebagai materi film itu adalah catatan harian Soe Hok Gie, yang telah dibukukan, Catatan Harian Seorang Demonstran. Andaikan (menurut sejarawan P.Swantoro, tidak ada kata "seandainya" dalam sejarah) Soe Hok Gie tidak tekun menuliskan catatan hariannya, pasti tak akan banyak dari kita yang tahu sosok intelektual yang mati muda itu.

Maka, setujukah Anda kalau saya menjuluki blogger sebagai "sejarawan era internet" ? Tentu, bukan sejarawan dalam batasan ketat. Melainkan, orang yang menulis sesuatu yang bakal -meminjam judul lagu grup musik Sheila on 7- menjadi "kisah klasik untuk masa depan". Kita bisa merujuk pada buku Kampus Kabelnaya karya Koesalah Soebagyo Toer. Buku itu berisi cuplikan catatan harian Koesalah selama menempuh studi di Moskow tahun 1960-an. Buku Tahun yang Tak Pernah Berakhir (kumpulan sejarah lisan korban peristiwa tahun 1965) yang diedit John Roosa, Agung Putri, dan Hilmar Farid, juga merupakan salah satu genre yang ampuh untuk pembelajaran sejarah: oral history alias sejarah lisan.

Terakhir, coba ketikkan nama Anda di situs pencari. Adakah situs yang memuat nama Anda (bukan nama orang lain, yang sama dengan Anda) berikut komentar atau gagasan-gagasan Anda? Jika belum, Anda boleh coba mengetikkan nama saya, Fransiskus Pascaries. He ... he ...he... Narsis !!!

Fransiskus Pascaries