03 July 2009

Tiga Jenderal itu Bertarung

Sepuluh tahun (1988-1998) adalah waktu yang lebih dari cukup buat saya untuk mengetahui bagaimana militer Indonesia melakukan kekejaman, penistaan dan politik adu domba di antar warga Timor Leste sendiri. Selama masa jajak pendapat 1999 kebetulan saya berlibur ke Kefamenanu, ibukota dari Kabupaten Timor Tengah Utara, yang berbatasan dengan Kabupaten (sekrang distrik) Ambeno, Timor Leste. Maklum, orangtua saya dipindahtugaskan dari Dili ke Ambeno, Februari 1999. Ambeno sendiri bisa ditempuh dengan sepeda motor dalam waktu sekitar satu jam perjalanan dari Kefamenanu.

Saya waktu itu berada di sana selama lebih kurang dua minggu, di bulan September 1999. Kefamenanu itu kota kecil yang sepi. Selepas magrib, situasinya tak ubahnya kota mati. Satu hal yang membuatku risih dan kesal adalah tingkah polah dari personil paramiliter yang disponsori tentara Indonesia. Jelas Wiranto tidak mungkin lepas tangan, karena waktu itu dia adalah Panglima ABRI. Pernahkah teman-teman membayngkan, untuk duduk bersebelahan di angkot dengan orang yang membawa senapan dan senjata rakitan dengan bau minuman yang menyengat dari mulutnya? Itulah yang terjadi selama saya berada di Kefamenanu lebih kurang dua minggu. Di Timor Leste, sekurangnya ada dua kelompok paramiliter yang 'disuapi' oleh tentara Indonesia: Sakunar (dlm bahasa Tetun, artinya kalajengking) dan Aitarak (dlm bahasa Tetun, artinya duri). Mereka ini rata-rata pemuda-pemuda jobless dari kampung yang direkrut untuk mengabdi pada kepentingan tentara! Saya teringat dengan wawancara saya untuk Majalah HIDUP dengan Uskup Belo di Sunter sekitar Juni 2007. Waktu itu, ia bilang: "Anak-anak muda itu dengan mudahnya menerima bayaran orang-orang tertentu – entah siapa – untuk merusak ini dan itu." Dalam bahasa Tetun, mereka itu disebut "Mauhu". Dalam bahasa Indonesia, ya "mata-mata" atau "pengkhiant". Tulisan hasil wawancara saya dengan Uskup Belo sudah diterbitkan Majalah HIDUP dan juga saya rilis unedited version –nya di Facebook ini. Lagi-lagi, kita harus berterimakasih pada Mark Zuckerberg untuk inovasi briliannya ini.

Beberapa tidur malam saya di Kefamenanu sungguh tidak nyaman. Beberapa kali terdengar bunyi tembakan dan suara orang berlarian, berkejaran, dan sesekali berteriak. Tetapi, entah kenapa tidak ada korban luka atau meninggal di sana waktu itu, setahu saya. Entahlah.

Di hari pelaksanaan pencoblosan (atau pencontrengan?) jajak pendapat kebetulan bapak saya bertugas di salah satu tempat pemungutan suara di Ambeno. Demi tanggungjawab profesi ia bertahan di sana, saat semua bawahannya di Departemen Agama Kabupaten Ambeno telah mengungsi ke daerah-daerah terdekat dari Timor Leste: Nusa Tenggara TImur, bahkan ke Pulau Jawa, dan daerah-daerah lain di Indonesia. Situasi di hari itu, relatif aman. Tetapi, beberapa hari setelah itu, Ambeno dibumihanguskan !!! Nyaris tak ada rumah di sisi kanan-kiri jalan yang lolos dari api. Ratusan ternak (di)lepas(kan) begitu saja dari kandangnya. Efeknya jelas: harga daging sapi, babi, kerbau menjadi anjlok. Saya tidak tahu persis harganya turun dari berapa ke berapa, tapi menurut ibu saya, anjloknya drastis!. Hampir setiap hari saya makan daging itu selama di Kefa. Satu harga yang anjlok ikan laut. Tetapi, karena konon (saya hanya mendengar, tidak menyaksikan sendiri) banyak orang yang dibunuh paramiliter, dan mayat mereka dibuang ke pantai dan laut Ambeno, bisa dibilang tidak ada orang yang mau membeli ikan laut hasil tangkapan para nelayan.

Tiga jenderal di masa orde baru bertarung memperebutkan kursi presiden dan wakil presiden di tahun ini. Apa kita akan memilih mereka? Apa pula arti dari semua tulisan ini? Silahkan pembaca membuat kesimpulan masing-masing. Tulisan ini menggunakan asas "do not tell, but show". Saya hanya memaparkan apa yang saya lihat, apa yang saya rasakan, selama sekitar dua minggu berada di Kefamenanu. Masih ada waktu beberapa hari untuk menentukan pilihan: memilih salah satu dari mereka? Atau memilih untuk tidak memilih.

Membayangkan wajah tiga capres dan cawapres itu, tidak bisa tidak, pikiran saya langsung mengarah pada mereka yang menjadi korban penculikan, perkosaan di negeri ini 11 tahun silam. Entah trauma berlebih atau apa, saya sedikit alergi dengan seragam loreng. Saya pernah menentang habis-habisan adik laki-laki saya yang berniat menjadi tentara. Alhamdulilah, ia gagal dalam tes fisik. Dalam hati, saya menyanyikan dengan lirih, lagu Imagine dari almarhum John Lennon:

Imagine there's no heaven
It's easy if you try
No hell below us
Above us only sky
Imagine all the people
Living for today...

Imagine there's no countries
It isn't hard to do
Nothing to kill or die for
And no religion too
Imagine all the people
Living life in peace...

You may say I'm a dreamer
But I'm not the only one
I hope someday you'll join us
And the world will be as one

Imagine no possessions
I wonder if you can
No need for greed or hunger
A brotherhood of man
Imagine all the people
Sharing all the world...

You may say I'm a dreamer
But I'm not the only one
I hope someday you'll join us
And the world will live as one



Mgr.Carlos Filipe Ximenes Belo SDB, Mendorong Perdamaian Dari Belakang

Suatu ketika telepon di salah satu komunitas Salesian Timor-Timur (sekarang Timor Leste) berdering. Seseorang di ujung telepon mengabarkan bahwa Mgr Carlos Filipe Ximenes Belo SDB menjadi penerima Nobel Perdamaian tahun 1996 bersama Jose Ramos Horta. Bruder yang menerima telepon lantas mengabarkan hal itu kepada sang Uskup yang sedang memimpin misa lewat secarik kertas. Beberapa detik membaca, Uskup Belo melanjutkan perayaan ekaristi setelah meletakkan secarik kertas itu. Dari wajahnya nyaris tak ada perubahan ekspresi. Datar. Dingin.



Kisah singkat itu diungkap oleh Kepala Paroki St.Yohanes Bosco Sunter Pastor Noel Villafuerte SDB dalam perayaan ekaristi yang dipimpin oleh Uskup Emeritus Carlos Filipe Ximenes Belo SDB sebagai konselebran utama, didampingi Pastor Noel Villafuerte SDB, Benedictus Sunarjoko Pranoto SDB, Pastor Petrus Pehan Tukan SDB, dan Pastor Yosep Suban Ola SDB. Misa itu diadakan untuk memperingati Hari Semua Orang Kudus, 1/11 lalu.

Lama tak terdengar kabarnya, mantan Uskup Titular Lorium Dili Mgr Carlos Filipe Ximenes Belo SDB, muncul di Gereja St Yohanes Bosco Sunter, Jakarta Utara. Peraih Nobel Perdamaian 1996 (bersama Ramos Horta) ini memimpin Ekaristi konselebrasi bersama Kepala Paroki Yohanes Bosco Sunter Pastor Noel Villafuerte SDB, Pastor Benedictus Sunarjoko Pranoto SDB, Pastor Petrus Pehan Tukan SDB, dan Pastor Yosep Suban Ola SDB. Misa itu diadakan untuk memperingati Hari Semua Orang Kudus, 1/11.
Kedatangan Uskup Belo – demikian kalangan pers biasa menyebutnya – ke Indonesia, adalah kelanjutan dari lawatannya di Timor Leste. Kelahiran Wailacama, Baucau, 3 Februari 1948 yang kini bermukim di Portugal ini diundang Pemerintah Timor Leste menjadi pembicara dalam seminar yang diselenggarakan Ministerio de Justiçia (Kementerian Kehakiman) di Dili, 21/10.

Uskup yang sempat berkarya sebagai misionaris di Mozambik ini selama sepekan berada di Timor Leste. Di tanah kelahirannya ini, ia menjalankan misi perdamaian dengan mengadakan sejumlah pertemuan dengan tokoh berpengaruh di negara itu. Ia menemui Presiden Xanana Gusmao, Perdana Menteri Ramos Horta, beberapa menteri, dan pimpinan partai oposisi. Tak ketinggalan, pimpinan angkatan bersenjata dan polisi nasional, juga komandan tentara pemberontak Alfredo Reinado yang masih berada di hutan di Distrik Suai, Pantai Selatan Timor Leste.

Sungguh. Pertemuan saya dengan Uskup Belo kali ini sangat emosional. Ingatan saya melayang ke tanggal 12 Desember 1992, saat saya menerima Sakramen Krisma darinya, di Gereja Sagrado Coração de Jesus, Venilale, Baucau, Timor Leste. Kedatangan Uskup Belo ke Jakarta kali ini, sungguh tak terduga. Sebelumnya, seorang teman berbaik hati mengabarkan saya via pesan pendek perihal kedatangan Uskup Belo. Tanpa pikir panjang jarak Cibitung-Sunter saya tempuh dengan sepeda motor dalam waktu lebih kurang dua jam, demi mengikuti misa kudus itu. Seusai misa, saya meminta seorang frater salesian, yang tak lain dulu adalah teman satu angkatan di Seminari Venilale, Florentino Gil SDB untuk meminta jadwal wawancara saya dengan Uskup Belo, keesokan harinya (kalau saya tidak salah ingat) di Wisma Salesian Don Bosco, Sunter. Saya khawatir, Uskup Belo tidak bisa mengenali saya dengan baik.

Di hari wawancara, saya terlebih dulu menikmati "Merenda" di Wisma itu. Jangan bayangkan "merenda" dengan kegiatan menenun atau sejenisnya. “Merenda” lahir dari kosakata Portugis, yang kira-kira berarti snack. Aktivitas itu menjadi tradisi di semua rumah Salesian di seluruh dunia, sebelum memulai aktivitas olahraga di setiap sore. Saat "merenda" satu meja dengan sang Uskup, kami sedikit bernostalgia dengan kenangan selama saya di Timor Leste. Ia menanyakan kabar Bapak saya, karena beberapa kali Bapak saya (yang kebetulan bekerja di Bimas Katolik, Kanwil Departemen Agama Provinsi Timor-Timur) berurusan kerja dengannya.

”Semua itu saya lakukan untuk mendengar harapan-harapan mereka,” katanya saat ditemui di Wisma Salesian Sunter, beberapa jam sebelum merayakan Misa bersama komunitas Timor Leste di Jakarta. Itu ia katakan untuk menjelaskan ‘posisi’nya dalam proses mediasi ini. Setelah tokoh-tokoh di Timor Leste ia temui, ia berkesimpulan semua tokoh dan pimpinan organisasi di Timor Leste menginginkan adanya dialog yang dilakukan secara terbuka di antara mereka. Pihak-pihak itu menginginkan ada pihak yang bisa menjadi mediator. Dan, menurutnya, mediator itu harus netral.

Ia menambahkan, ada kelompok dan pribadi yang mengusulkan hierarki Gereja menjadi mediator. Dalam hal ini Uskup Baucau Bacilio do Nascimento dan Uskup Dili Alberto Ricardo. Pihak-pihak yang bertikai di Timor Leste berharap, kedua uskup itu bisa mengambil inisiatif mempertemukan tokoh-tokoh yang berseberangan. ”Saya bersedia mendorong dari belakang supaya dialog ini cepat dilakukan. Agar mereka bisa memperbaiki situasi dan membantu para pengungsi kembali ke daerahnya masing-masing,” imbuhnya.

Kaum muda
Di Negeri Matahari Terbit (Lorosae, dalam bahasa Tetun berarti matahari terbit), peran Gereja Katolik sudah terasa sejak masa kolonial, pendudukan Indonesia, dan saat ini. Uskup Belo mengaku terkesan dengan apa yang sudah dan masih dilakukan jajaran Gereja Katolik di sana. ”Selain karena karya pastoral dan evangelisasinya, saya juga memuji para pastor dan suster yang telah ikut membantu saudara-saudara kami yang selama enam bulan ini berada di kamp-kamp pengungsi,” katanya.
Ia berharap Gereja Katolik di sana bisa lebih giat memberikan ajaran nilai-nilai moral dan etika kepada kaum muda dan awam untuk memahami ajaran Kristus, yaitu saling mencintai, saling menghormati, dan terutama saling memaafkan. Ketiga hal itulah yang menurut Uskup Belo penting karena masih ada kekerasan di sana-sini.

Sejak dulu hingga saat ini, ia menaruh perhatian mendalam pada generasi muda Timor Leste. Setelah kemerdekaan diraih, mereka hidup dalam krisis. Sebagian dari orang muda tetap menempuh pendidikan di sekolah-sekolah dan universitas. Ada sebagian lagi yang tidak mau bekerja. ”Mereka itulah yang dipakai pihak-pihak tertentu, saya tidak tahu siapa. Tapi, kelompok-kelompok itulah yang muncul untuk melempar batu, membakar, melukai sesama yang lain, dan juga membunuh,” ungkapnya prihatin.

Menurutnya, hal itu adalah sesuatu yang sangat penting bagi pemerintah, Gereja, dan masyarakat sipil untuk diselesaikan. Perlu ada alternatif-alternatif bagi kaum muda agar dapat keluar dari situasi ini. Ia berpandangan, selain pembinaan dari segi moral, penyediaan lapangan kerja adalah hal yang perlu dikedepankan. ”Kalau tidak ada lapangan kerja, mereka akan berada di pinggir jalan, di bawah pohon sepanjang hari, sepanjang malam, tidak berbuat apa-apa selain kekerasan,” kisahnya lirih.

Dalam kunjungan empat hari di Jakarta, ia menemui Pimpinan Provinsial Salesian Indonesia-Timor Leste Pastor Andres Calleja SDB guna melaporkan lawatannya selama sepuluh hari di sana. Ia pun menemui Uskup Agung Jakarta Julius Kardinal Darmaatmadja SJ, Pastor Markus Wanandi SJ yang pernah bertugas di Timor Leste. Juga ahli sejarah Pastor Adolf Heuken SJ sehubungan dengan buku sejarah Gereja Katolik di Timor Leste yang sedang digarapnya.

Sebelumnya, ia juga berkunjung ke Denpasar (28/10) untuk bertemu dengan sejumlah mahasiswa Timor Leste sekaligus merayakan Misa bersama mereka di Gereja St Fransiskus Xaverius, Denpasar.

Kini ia mengaku kesehatannya berangsur membaik. Namun, para dokter sebuah RS di Coimbra, Portugal selalu mendampinginya. ”Menurut mereka, saya harus tetap di sana supaya mereka bisa mengikuti perkembangan,” ujar pria yang ditahbiskan menjadi imam tahun 1980 ini.

Setelah kemerdekaan Timor Timur, Mei 2002, tekanan dari berbagai peristiwa perlahan mulai memukul kesehatannya. Paus Yohanes Paulus II menerima pengunduran dirinya sebagai Uskup Dili, 26 November 2002.

Penugasan baru
Setelah mengundurkan diri, Uskup Belo pergi ke Portugal untuk menjalani perawatan kesehatan. Awal 2004, ia menerima panggilan berulang-ulang untuk kembali ke Timor Timur dan mencalonkan diri menjadi presiden. Namun, Mei 2004, ia mengatakan kepada televisi pemerintah Portugal, RTP, ia tidak akan membiarkan namanya dicalonkan. ”Saya telah memutuskan untuk menyerahkan politik kepada para politikus,” katanya.

Sebulan kemudian, 7 Juni 2004, Pascuál Chavez, Pemimpin Serikat Salesian, mengumumkan dari Roma bahwa Uskup Belo akan mendapat penugasan baru. Dalam persetujuan dengan Takhta Suci, ia akan pergi ke Mozambik, tepatnya di Diosis Maputo, sebagai misionaris dan akan tinggal di negara itu sebagai anggota Serikat Salesian. ”Di sebuah paroki Salesian saya membantu pastor paroki mengadakan Misa, memimpin retret, dan mengadakan pertemuan dengan kaum muda,” tuturnya.

Sesudah berangkat ke Mozambik permulaan tahun 2003, ia beranjak ke Portugal untuk berobat karena harus menjalani beberapa kali operasi prostat. ”Hampir satu tahun saya berada di novisiat Portugal. Saya merasa lebih baik saya berkarya sebagai seorang misioner yang tidak punya tugas apa-apa,” ujarnya.

Sejak remaja, Belo memang memimpikan menjadi misionaris. Selama 19 tahun pelayanannya sebagai Uskup Dili (1983-2002), salah satu pokok yang paling sering ia bicarakan adalah tentang misi dan pentingnya menjadi misionaris. ”Hari ini waktunya telah tiba untuk menjalankan apa yang saya katakan kepada orang-orang Kristen di Timor Timur,” tutur monsinyur yang kini menetap di Lisboa, Portugal untuk waktu yang belum ditentukan ini.

Biodata
Carlos Filipe Ximenes Belo SDB
Tempat, tanggal lahir: Wailacama, Baucau, 3 Februari 1948
Orangtua: Domingo Vas Filipe - Ermelinda Baptista Filipe

Perjalanan karya:
1968: Menyelesaikan studi di Seminari Dare, Timor Leste.

1969 – 1981: Studi Filsafat dan Teologi di Italia dan Portugal.

26 Juli 1980: Tahbisan Imamat di Lisboa, Portugal.

1981: Kembali ke Timor Leste sebagai Direktur Kolese Salesian, Fatumaka, Baucau.

1983: Ditunjuk Administrator Apostolik Diosis Dili, menjadi pemimpin Gereja Timor Timur dan bertanggung jawab secara langsung kepada Paus.

19 Juni 1988: Ditahbiskan menjadi Uskup di Lorium, Italia.

1996: Bersama José Ramos-Horta menerima hadiah Nobel Perdamaian atas ”Kerja keras mereka menuju solusi damai atas konflik di Timor Leste.”

2002: Mengundurkan diri dari jabatan Uskup Dili.




Dimuat di Majalah HIDUP edisi No. 49 Tanggal 03 Desember 2006 dalam rubrik Eksponen.
Tulisan ini tidak persis seperti yang dimuat, karena saya menambahkan beberapa poin yang 'disunat' redaksi.

01 July 2009

Kesehatan, Beban atau Tanggungjawab?

Kasus Prita Mulyasari versus RS Omni Internasional yang begitu menyedot perhatian jutaan pasang mata dan telinga, memberi kita gambaran betapa layanan kesehatan di negeri kita tercinta ini, tak ubahnya komoditas yang diperjualbelikan. Mustahil untuk membantah statement Kartono Mohammad (Kompas 26/5/2009) bahwa, “Jika dikatakan pelayanan kesehatan di Indonesia liberal, pasti muncul penyanggahan dari para penyedia layanan kesehatan dan departemen kesehatan. Namun, dalam kenyataan, pelayanan kesehatan kita memang amat liberal, bahkan lebih liberal dibandingkan pelayanan di AS yang dikatakan biang liberalisme.” Lagi pula, mengapa kita selalu menengok ke negeri Paman Sam? Padahal, inspirasi dan pengalaman juga bisa kita timba dari Amerika Latin, misalnya, yang notabene bukan negara yang “kaya-kaya amat” seperti Amerika Serikat.


Dari hari ke hari, kita semakin diyakinkan bahwa neoliberalisme sudah sedemikian lekat dalam segala sisi kehidupan kita, termasuk kesehatan. Tetapi, pada kenyataannya, sekurangnya akhir-akhir ini, kata “neoliberalisme” itu sendiri lebih sering dijadikan komoditas politik ketimbang dipahami secara ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Ketiga capres-cawapres yang tengah bersaing, merasa ini isu 'seksi' untuk menghantam rival. Isu ini dianggap lebih 'seksi' ketimbang isu-isu pelanggaran Hak Asasi Manusia seperti kasus Munir, penculikan mahasiswa, Lumpur Sidoarjo, dan sebagainya. Saya pernah bertanya kepada seorang wartawan, kenapa isu neoliberal ini kerap dikedepankan ketimbang isu-isu HAM. Melalui pesan singkat, teman saya yang bekerja sebagai wartawan sebuah media online, mengaku kesulitan untuk menggali isu tersebut karena parpol pendukung koalisi salah satu pasangan capres-cawapres kerap mengelak, saat ditanya soal keberlanjutan Pansus Orang Hilang di DPR.

Tak banyak gunanya bagi kita untuk terus-menerus mendengarkan perdebatan, mengenai “capres A menganut paham neoliberalisme”, atau “cawapres B adalah antek asing penganut neoliberalisme”. Semua ungkapan itu, meski tidak selalu salah, tetap saja tak ubahnya pepesan kosong. Semua jargon itu juga tidak lahir dari sebuah pemahaman yang komprehensif. Saya juga tidak berpretensi untuk membahas soal neoliberalisme secara ontologis, epistemologis, dan aksiologis lewat tulisan ini.

Belajar dari Kuba
Kiranya isu neoliberalisme dalam dunia kesehatan relevan untuk kita singgung, sehubungan dengan kasus Prita versus Rumah Sakit Omni Internasional. Tetapi, di sini kita tidak akan membahas soal teori A atau teori B. Di sini kita berbicara perihal hak warga negara yang diabaikan oleh pemerintah yang tidak bisa menjadi “wasit yang tegas” dalam mengatur bidang kesehatan di negeri ini. Pemerintah lebih memilih untuk melakukan komersialisasi di banyak sektor, termasuk kesehatan.

Di Kuba, sebuah negeri mungil di selatan Amerika Serikat yang tidak lebih luas dari Pulau Jawa, kesehatan sudah menjadi perhatian sejak Fidel Castro menggulingkan rezim Fulgencio Batista setengah abad lalu. Kesehatan, selain pendidikan, menjadi sektor yang diberi prioritas tertinggi sepanjang pemerintahan Fidel Castro, bahkan hingga saat ini
Saking majunya pendidikan kedokteran di Kuba, puluhan negara di dunia seperti Indonesia dan Timor Leste mengirimkan mahasiswanya untuk belajar di sejumlah perguruan tinggi di sana. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, hingga negara-negara dunia ketiga dan miskin di Amerika Latin, Afrika, dan Asia mengirimkan ribuan mahasiswa mereka ke Kuba.
Sektor kesehatan mendapat perhatian khusus dari pemerintah Kuba, tidak dengan jargon-jargon para petingginya. Sejumlah langkah konkrit telah mereka rintis perlahan namun pasti, sejak gerakan revolusioner Fidel Castro bersama 82 orang tentara -termasuk sang dokter pejuang, Ernesto “El Che” Guevarra- di tahun 1959. Negeri itu tidak hanya mendidik ribuan mahasiswa kedokteran dari berbagai negara. Kuba juga mengirimkan ribuan dokternya untuk terjun ke sejumlah negara di dunia yang dilanda peperangan dan atau bencana alam. Kita juga tentu masih ingat ketika Juni hingga Agustus 2006 pemerintah Kuba mengirimkan satu tim berkekuatan 135 dokter dan paramedis, untuk membantu korban gempa di Jateng dan DIY.

Dalam blognya, dr.Samsuridjal Djauzi mengatakan, salah satu faktor yang diperhitungkan dalam peningkatan taraf kesehatan warga Kuba adalah layanan kesehatan keluarga. Pemerintah Kuba menyediakan layanan itu di pemukiman penduduk di rumah susun di kampung-kampung. Dokter dan perawat ditugaskan untuk melayani tetangga kanan dan kiri mereka, karena rumah mereka berada tidak jauh dari poliklinik keluarga di kampung-kampung itu. Para dokter dan perawat itu bahkan secara rutin mengunjungi rumah atau kamar rumah susun yang dihuni warga, untuk mengawasi kebersihan lingkungannya. Dan, satu hal yang harus dicatat: semua itu didapatkan secara gratis!

Tidak seperti puskesmas di Indonesia, puskesmas (health centre) di Kuba dijadikan rujukan layanan klinik dokter keluarga. Semua puskesmas di sana menyediakan layanan rawat inap yang lengkap, rawat jalan yang didukung dokter-dokter spesialis, dan menyediakan layanan gawat darurat dan rehabilitasi medis untuk masyarakat setempat. Saya membayangkan, pasti tidak pernah ada warga Kuba yang keburu meninggal dunia dalam perjalanan karena terjebak kemacetan seperti di Jakarta. Angka kematian bayi di Kuba pun sangat rendah: 5,8 bayi per 1000 kelahiran (bandingkan dengan Indonesia yang masih 30 bayi per 1000 kelahiran). Angka kematian ibu 31 ibu per 100.000 kelahiran (Indonesia 300/100.000). Angka kematian bayi di Kuba juga lebih baik dari negara yang sudah maju seperti Amerika Serikat. Dan, yang juga perlu dicatat, setiap tahun ribuan pasien datang ke Kuba untuk mendapat layanan kesehatan berkualitas. Jumlah pasien yang cukup besar datang dari Venezuela, karena Kuba dan negeri Hugo Chaves itu menjalin kerjasama pertukaran minyak dengan layanan kesehatan. Artinya, layanan kesehatan di Kuba juga bisa menjadi sumber pemasukan devisa, ketika embargo ekonomi yang mengisolir Kuba belum dicabut oleh Amerika Serikat.


Komoditas Politik Praktis

Tentu saja, tidak bisa dinafikkan bahwa kesehatan bisa, sudah dan akan terus menjadi isu politik praktis. Di setiap pemilu, pilkada, dan bahkan pemilihan presiden ada saja kandidat yang menjadikan kesehatan sebagai isu kampanye. Tetapi, ternyata kita lebih sering -untuk tidak mengatakan selalu- 'gigit jari' tatkala sang kandidat sudah menduduki empuknya kursi kekuasaan. Kali ini, kita juga melihat ketiga capres dan cawapres memanfaatkan momen ini untuk membela Prita Mulyasari, yang tengah berkonfrontasi dengan RS Omni Internasional. Bahkan, ada wacana untuk meninjau kembali keberadaan rumah sakit mewah itu. Banyak pihak mendadak menjadi pahlawan kesiangan dalam kasus ini. Tetapi, apalah artinya menyelesaikan satu kasus seperti ini, kalau perbaikan sistem kesehatan tidak pernah dilakukan? Akan ada korban-korban lain seperti Prita yang akan dikriminalisasi. Bahkan, pasti sudah banyak dari kita yang mengalami kasus serupa, namun tidak mencuat ke permukaan.

Sebagai penutup, kita mungkin perlu mempertanyakan dua hal. Pertama, apakah kesehatan lebih menjadi beban pemerintah? Bisakah hal ini dipandang sebagai tanggungjawab pemerintah pada warga negaranya? Kedua, di musim kampanye presiden sekarang ini semua hal bisa dikomodifikasi untuk menarik simpati publik. Namun, apakah presiden RI periode 2009-2014 bisa mewujudkan kesehatan murah dan berkualitas untuk rakyatnya? Kita tunggu.



Photo caption:
Anggota tim kesehatan Kuba yang melayani masyarakat di Kecamatan Prambanan, Klaten, Jawa Tengah, ketika gempa mengguncang Jateng-DIY Juni-Agustus 2006.

Photo by Kartini Hardjosuwignjo, yang saat itu juga menjadi salah satu relawan penerjemah di posko kesehatan Prambanan.

Fransiskus Pascaries