28 May 2009

Kesetiaan Pada Ideologi

Jutaan pasang mata di dunia menyaksikan, dinihari tadi waktu Indonesia, bagaimana anak-anak Catalan, asuhan pelatih muda Barcelona nan rendah hati Josep Guardiola, menaklukan pasukan Opa Alex Ferguson. Barcelona bukan hanya mengagumkan secara teknis permainan, tim ini juga bermain dengan hati. Mereka tampak menikmati setiap detik permainan, dengan emosi stabil meski Carles Puyol dan kawan-kawan kerap menerima kekasaran para pemain MU seperti Cristian Ronaldo. Barcelona membuktikan, mereka tidak ‘berselingkuh’ dari ‘ideologi’ sepakbola menyerang. Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari sini?


Masih berat rasanya mata saya untuk sedikit dibuka. Selepas menuntaskan perkerjaan di kantor di daerah Kebayoran Baru, menemui seorang teman di daerah Menteng Raya dan Kayumanis, saya beranjak pergi ke rumah seorang sahabat, Daniel Awigra, di daerah Bangka, Jakarta Selatan. Sekitar jam dua dinihari Awi membangunkan saya untuk pergi mencari kafe dan sejenisnya untuk menonton final Liga Champions, yang mempertemukan Barcelona dan Manchester United. Sebenarnya saya bukan penggemar Barcelona, apalagi Manchester United. Tetapi, berhubung tim jagoan saya AC Milan tak berpartisipasi di Liga Champions, melainkan di UEFA Cup, saya akhirnya menjagokan Barcelona. Saya berpikir, tak ada ruginya saya menonton Barcelona bermain. Tim ini mengingatkan saya pada total voetball a la Belanda yang begitu indah dipandang.

Akhirnya, saya dan Awi berangkat menuju Kemang Food Festival (KFF). Kurang dari 10 menit kami tiba di lokasi, dan mendapati ratusan orang sudah memadati kawasan itu. Sejumlah kafe dan restoran di kawasan itu tampak sudah dipenuhi para penggila bola. Suara puluhan televisi di sana terdengar cukup memekakkan telinga. Setelah memarkir motor tak jauh dari KFF, kami pun segera membeli tiket seharga Rp.35 ribu per orang. Tiket itu sudah termasuk sekaleng Draft Beer.


Saat kami tiba, ratusan orang sudah sudah memadati area KFF. Satu layar besar dipasang di tengah, mungkin ukurannya sekitar 3x4 meter. Ada juga sekitar empat hingga lima televisi layar datar di sana. Sudah sekitar 10 menit pertandingan berjalan saat saya dan Awi tiba. Terpampang di layar: “Shot on goal 5:0 untuk MU”. Saya sedikit terkejut, mengetahui betapa Barcelona ‘tersiksa’. Tetapi, akhirnya Samuel Eto’o membungkam suporter MU dengan golnya di menit kesepuluh. Sontak, saya dan Awi yang (karena kursi telah penuh) tadinya menyandarkan pantat di lantai, segera berdiri, bersorak, berteriak dan melompat-lompat bersama barangkali dua ratusan suporter Barcelona di KFF itu. Tanpa sadar, kaleng Draft Beer yang ada di tangan kanan saya mengeluarkan buihnya, karena terguncang-guncang. Buih itu pun mengalir ke sela-sela telapak kanan saya.

Seperti kita bisa saksikan dinihari tadi, sejak gol pertama tercipta praktis permainan menjadi milik Barcelona. Lini tengah Barcelona yang digalang Sergio Busquet, Andres Iniesta dan Xavi Hernandez tampak begitu dominan mengatur tempo pertandingan. Permainan tic-tac mereka tak bisa diimbangi para punggawa MU, yang setelah kebobolan gol pertama seolah kehilangan karakter juara. Mereka kerap kehilangan bola, grogi, kalah berduel satu lawan satu. Apalagi setelah Lionel Messi memperbesar keunggulan Barcelona di babak kedua.

Di tangan Guardiola, satu yang harus digarisbawahi dari apa yang diperagakan Barcelona sepanjang musim ini, baik di Liga Spanyol, Piala Raja dan Liga Champions adalah filosofi sepakbola menyerang yang mereka anut secara fanatik. Menurut Guardiola, sukses yang ia rengkuh musim ini adalah buah dari sebuah keberanian untuk terus menyerang, tak peduli apa pun konsekuensinya. Di tangannya, Barcelona tetap menerapkan gaya dan permainan menyerang, meski krisis pemain tengah melanda. "Jika Anda mengambil bola dan menyerang disertai keberanian, maka akan banyak mendapat peluang mencetak gol. Kami tak mau jadi pengecut. Itu tak pernah kami lakukan dalam pertandingan. Tak ada cara lain. Akan lebih berbahaya jika kita tak berani mengambil risiko," kata Guardiola.

Buat saya, pilihan yang diambil Guardiola menunjukkan mentalitas tak kenal menyerah yang sudah menjadi tradisi Barcelona. Konon, sejak zaman Rinus Michles, Johan Cruyff, Frank Rijkaard, hingga Guardiola sebuah doktrin ‘menyerang’. Ada ungkapan yang membandingkan Barcelona dengan Real Madrid: “Kalau di Madrid, anda cukup menang. Tetapi di Barcelona, orang akan bertanya bagaimana anda menang, dan berapa gol yang anda ciptakan.” Bahkan ketika sejumlah pemain pilar Barcelona tidak bisa tampil di final karena cedera dan hukuman kartu, ideologi menyerang sama sekali tak ditinggalkan.

Lesson learned
Berangkat dari sini, mungkin kita bisa menarik sejumlah pelajaran berharga. Pertama, kita sama sekali tidak punya alasan untuk bermalas-malasan dalam menjalani apa pun. Totalitas, singkatnya. Bagaimana pun, hidup harus tetap dijalani dengan “lebih hidup”, tak peduli apa cobaan yang datang menghantam. Memang, hidup sebagai warga Indonesia yang penuh dengan hiruk-pikuk yang kerap menyiksa ini tak pernah mudah. Sama sekali tidak mudah.

Contoh di depan mata, bisa saya angkat di sini. Silang sengkarut tentang isu neoliberalisme sedang jadi dagangan semua capres-cawapres: SBY-Boediono, JK-Wiranto, dan Mega-Prabowo. Sekurangnya tiga pekan terakhir ini, tim sukses ketiga pasangan itu berlomba-lomba untuk menuduh pesaing mereka berhaluan neoliberalisme, sembari mengklaim bahwa pasangan merekalah yang menganut faham ekonomi kerakyatan. Sebuah pertanyaan menyeruak, mengapa isu-isu lain relatif tenggelam di balik gencarnya isu “ekonomi kerakatan versus ekonomi neoliberal” di media massa? Kita patut bertanya-tanya, mengapa isu-isu lain seperti lingkungan, hak asasi manusia, budaya, dan sejumlah isu penting krusial lainnya nyaris tak terdengar. Sejumlah pakar ekonomi jelas-jelas berpandangan, para capres dan cawapres ini sama sekali tidak memahami apa itu neoliberalisme dan ekonomi kerakyatan.

Mengenai isu lingkungan, sejak 27 Mei 2006 tahun masyarakat Sidoarjo kehilangan rumah, perkebunan, dan semua yang mereka miliki karena daerah itu terendam lumpur akibat pengeboran PT.Minarak Lapindo Jaya. Pelanggaran lingkungan seperti illegal logging juga masih bisa kita simak di media massa. Kasus pembunuhan almarhum Munir juga masih penuh misteri, setelah Muchdi Pr dibebaskan dari segala tuntutan akhir tahun lalu.

Terakhir, tetapi mungkin yang cukup mendasar, adalah isu mengenai masih adanya sekelompok partai politik yang masih mengedepankan dan atau memperjuangkan politik aliran. Isu ini juga yang cukup menyita perhatian saya selama ini. Diterbitkannya ratusan peraturan daerah bernuansa syariah di negeri ini, adalah indikasi kuat bahwa politik aliran masih dan entah sampai kapan akan menguat.
Kita juga mengetahui, begitu kerapnya sebuah isu diseret ke masalah agama. Gerah dengan isu ini, seorang tokoh nasional (saya lupa namanya) pernah berkata, “Ketika orang lain di luar negeri sudah mengirim orang ke bulan, kita masih meributkan diri kita dengan soal ideologi.” Artinya, kalau kita masih terus disibukkan dengan persoalan-persoalan fundamentalisme, kapan kita sebagai bangsa bisa membangun dengan ‘tenang’ ? Apakah ini sebuah utopia? Entahlah, biarkah waktu yang menjawabnya....

Fransiskus Pascaries