26 October 2009

Belajar di Lokalisasi

Surabaya malam Natal tahun 2004. Tiba-tiba, telepon berdering di rumah Theresia Mike Verawati Tangka. Di ujung telepon terdengar suara seorang perempuan. Perempuan di ujung telepon itu berkata, “Mbak Mike, saya sudah melihat gereja, tapi tidak masuk. Doain ya mbak, supaya nggak hanya sampai di depan gereja, tapi bisa masuk, seperti yang dibilang Mbak Mike.” Mike lantas menjawab, “Kamu di mana? Kalau kamu di gereja malam ini, saya temenin. Kalau pun sudah nggak ada misa, saya temenin kamu sampai masuk.” Tapi, perempuan di ujung telepon itu hanya tertawa dan berkata, “Nanti deh, Mbak. Kapan-kapan saya ceritakan lagi. Ini sudah malam...” Telepon pun terputus.


Perempuan yang menelpon Mike itu seorang pedila, alias perempuan yang dilacurkan. Kepada Mike, pedila yang seorang Katolik itu menceritakan keengganannya beribadat di gereja. “Orang seperti saya apa pantas masuk ke gereja?” ujar Mike menirukannya. Perempuan itu mengaku, menjadi pedila setelah dijual suaminya.
Dengan suara bergetar, Mike yang kini aktif di Divisi Advokasi Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) menceritakan kisah ini. Mungkin kita cukup asing dengan istilah ‘pedila’. Istilah itu ia gunakan, untuk tak menyebut mereka dengan ‘pekerja seks komersil’ atau PSK. “Karena, tak ada seorang pun yang rela menjual tubuhnya,” tegas Mike.

Rasa takut
Begitulah Mike. Dunia pedila seolah sudah digariskan menjadi bagian dari hidupnya. Keterlibatan Mike di pendampingan kaum marjinal perempuan, seperti pedila, bermula di tahun 1997. Saat itu, ia mengikuti pelatihan analisis sosial yang diadakan Forum Studi Ansos (FORSAS) di kampusnya, Universitas Surabaya, Jawa Timur.
Awalnya, Mike ditugaskan melakukan pengamatan di Pasar Wonokromo, dan Pasar Keputran, Surabaya. Ia harus tinggal di pasar agar bisa mengamati keseharian para pedagang. Semula, ia dijadwalkan menjalani masa live-in selama satu bulan. Di luar dugaan, salah satu trainer dalam pelatihan, Yanuar Nugroho, memintanya mengobservasi lokalisasi di Wonokromo.

Belum genap sebulan, Mike dipindahtugaskan ke lokalisasi di perlintasan Kereta Api Stasiun Wonokromo, Surabaya. Terlintas di benaknya, berhenti mengikuti pelatihan, karena merasa tak mampu menjalaninya. Ia membayangkan akan bertemu dengan preman yang bisa mengancam keselamatannya. Belum lagi, ia harus mengalami ‘tabrakan’ nilai di dunia yang kerap dianggap ‘kotor’ itu.

Dengan berat hati, masa live-in ia jalani. Ia harus menerima risiko yang tak ringan dan mengiris hati, saat berada di tengah lokalisasi kelas bawah itu. Mulai dari menyaksikan proses transaksi hingga aktivitas prostitusi di bilik-bilik yang kumuh. Bahkan, ia pun sempat ‘ditawar’ beberapa pria. “Saya dikira pedila juga,” kisahnya disertai senyum.

Suatu hari, ia berkeluhkesah pada Pastor Edi Laksito Pr, pastor mahasiswa di Surabaya saat itu. Romo Nanglik, begitu Pastor Edi biasa disapa, berkata pada Mike, “Lebih menyenangkan, jika kita memasuki ketakutan itu, bukan malah menjauhi. Area ketakutan harus didatangi dan dicari. Sebenarnya, apakah benar-benar menakutkan atau hanya pikiran kita yang menakutkan?” Pesan itu terus mengiang di tambur telinga dan hatinya. Mike bertanya dalam hati, benarkah mereka menakutkan seperti yang ada dalam pikiran.

Seorang fasilitator asal Denmark juga terus menantang Mike, “Kenapa hanya begitu saja kamu nggak bisa? Kamu mau jadi orang muda seperti apa?” Sebuah cambukan semangat ia dapatkan lagi. Mike tertantang. Ia pun masuk ke area prostitusi. Di luar dugaan, Mike justru menikmati masa live-in itu. Ia dapat bergaul dengan para preman, waria, juga para pedila. “Ketakutan itu hanya ada pada pikiran,” ujarnya.

Mike bersyukur dapat melihat sisi kehidupan yang berbeda. Ia menemukan banyak pengetahuan yang membuatnya mampu menyatu dengan komunitas yang ia datangi. Terlebih, saat ia makin menyadari, bahwa kaum pedila memang dikondisikan agar tak bisa mengubah jalan hidupnya.

Lapisan bawang
Menurut Mike, ada banyak pihak terlibat di kancah prostitusi di Indonesia. Setelah bertahun-tahun menggeluti dunia ini, ia menyadari, selain mucikari, ada pihak lain, seperti aparat pemerintah mulai tingkat RT, petugas tramtib, keamanan, bahkan suami yang turut menguasai para pedila. “Ibarat lapisan bawang, mereka (para pedila) berada di lapisan paling pucuk. Selama ini kita berpikir bahwa pedila itu dikuasai para mucikari,” gugat Mike yang pada tahun 1997 pernah diciduk aparat keamanan karena berdemonstrasi anti-Soeharto bersama Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) di depan Gedung Grahadi Surabaya.

Istri Willybrodus Sulistyo Wardhono ini menambahkan, para perempuan itu memilih menjadi pedila, bukan karena senang atau sadar. Tapi, ada banyak aspek yang membuat mereka harus menjadi pedila. Dan sangat disesalkan, pemerintah sepertinya membiarkan prostitusi terus berjalan. “Kebijakan pemerintah selalu bersifat parsial. Ujung-ujungnya malah memarjinalkan pedila, sebagai ‘tersangka’ dalam penyebaran HIV/AIDS,” ungkap Mike yang pernah mengadvokasi para pedila di lokalisasi Dolly dan Kembang Kuning Surabaya.

Tersingkir
Mike pun mengaku pernah merasa tersingkir dari rekan-rekannya di Mudika, saat masih di Surabaya. Beberapa anggota Mudika mempertanyakan pilihan Mike mendampingi pedila. “Ngapain sih kerja kayak gitu? Kan berisiko,” kata Mike menyitir perkataan rekan-rekannya itu.

Mike tak menampik, penyakit menular seksual dapat berasal dari para pedila. Namun, ia juga mempertanyakan pada teman-temannya di Mudika, yang tak pernah menyalahkan orang-orang yang datang pada pedila. Seharusnya, mereka tahu bahwa berhubungan seks dengan berganti-ganti pasangan berisiko tertular HIV/AIDS.

Bahkan, seorang suster di Surabaya pun pernah mempertanyakan pilihannya. Mike yang notabene berlatarbelakang pendidikan psikologi, diminta suster itu memberi konseling bagi anggota Mudika di parokinya. Tapi, Mike menjawab lugas, “Untuk apa saya memberi konseling? Mereka hanya tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Tapi, ketika saya melihat orang-orang di luar sana, saya merasa, tak hanya persoalan konseling, tapi pikiran dan keimanan yang harus kita sumbangkan ke mereka. Buat apa memberi konseling pada mudika? Mereka sudah punya guru Bimbingan dan Penyuluhan (BP) di sekolah.” Jawaban yang tegas.

Sebagai seorang Katolik, Mike mengaku menimba inspirasi dari Yesus yang tak melakukan diskriminasi pada profesi yang dijalani umat-Nya. “Ajaran-ajaran Yesus sebenarnya mengandung banyak nilai-nilai hak asasi manusia,” tegas Mike.

Terpisah Jarak

Mike terbilang beruntung. Lantaran, memiliki pendamping hidup yang dapat memahami aktivitasnya. Saat ini ia dan suaminya, Willybrodus Sulistyo Wardhono, harus terpisah jarak. Sang suami tinggal dan bekerja di Surabaya, sementara ia tinggal di Jakarta. Padatnya aktivitas Mike, membuatnya hanya bisa bertandang ke Surabaya sekali sebulan. Ia dan suami berharap, dapat berkumpul di Jakarta tahun ini.
Mike mengaku, tak hanya mendapatkan pendamping hidup, tapi juga sahabat, partner, dan motivator yang amat setia memberinya masukan yang membangun. Barangkali, hal ini terjadi karena sebelum menggeluti pekerjaannya sekarang, suaminya juga seorang aktivis mahasiswa di Fakultas Teknik Manajemen Industri Universitas Surabaya. “Dulunya kami juga berteman, sama-sama aktif di Forum Studi Analisis Sosial,” kata Mike.

Franky Susanto a.k.a. F Pascaries

Dimuat di rubrik Eksponen Majalah Mingguan HIDUP, 22 Februari 2009

Fransiskus Pascaries