30 December 2009

Tahun 2009 Tahun Perlawanan. Tahun 2010?

Beberapa bulan belakangan ini, perhatian bapak dan ibu saya tersedot ke sekurangnya dua kasus: kriminalisasi dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi -Bibit S Rianto dan Chandra Hamzah- serta perseteruan antara Prita Mulyasari dan RS Omni International, Tangerang. Mereka selalu geram, setiap kali mendengar dan melihat melalui situs berita atau televisi, pemberitaan demi pemberitaan seputar dua kasus ini. Di masa pensiunnya, bapak selalu mengisi waktunya untuk memantau situs-situs berita dan televisi untuk mengikuti perkembangan kasus ini, jam demi jam. Sementara ibu saya kerap beranjak dari dapur dan meracik bumbu dapur di depan televisi di ruang tengah, saking tak ingin melewatkan momen-momen terkuaknya kebobrokan aparat hukum di negeri ini. Diputarnya rekaman bukti 'perselingkuhan' antara Anggodo-Anggoro dengan para penegak hukum, dalam persidangan uji materil di Mahkamah Konstitusi menjadi menu yang tak ingin mereka lewatkan.

Betapa tidak, dua kasus ini suatu tontonan yang (cukup) langka di republik ini. Buntutnya, masyarakat secara terang-terangan menunjukkan ketidakpercayaan mereka pada lembaga-lembaga peradilan. Sepertinya, tidak ada satupun penghalang yang mengurungkan niat masyarakat untuk menyuarakan rasa muak, jenuh, amarah pada aparat penegak hukum, yang ironisnya justru tidak pernah membuat hukum berdiri tegak. Tak berlebihan tentu, apa yang disampaikan Soetandyo Wignyosoebroto , bahwa “kepada yang lemah, hukum berlaku sangat keras. Sedangkan kepada yang kuat, hukum menjadi sangat lembek.”

Masyarakat dari beragam strata sosial di republik ini seperti sudah satu suara, bahwa ketidakadilan di republik ini sudah mencapai titik yang sangat mengkhawatirkan. Tidak hanya kalangan terdidik seperti mahasiswa dan aktivis LSM, sudah amat paham bahwa perlawanan harus dilakukan, dengan cara apapun yang mungkin, sejauh tidak destruktif.

Penyair Adhie M Massardi dalam sajak bertajuk Negeri Para Bedebah meyakini, ada bermacam cara untuk melawan. Katanya dalam sajak itu, “Maka bila negerimu dikuasai para bedebah, Usirlah mereka dengan revolusi Bila tak mampu dengan revolusi, Dengan demonstrasi Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi .” Dan para tukang becak, pemulung, dan kalangan akar rumput lain, melakukan perlawanan dengan cara mereka masing-masing. Mereka mengumpulkan koin untuk Prita Mulyasari. Mereka melakukan itu dengan motif “senasib sepenanggungan”. Kalau di masa kampanye pemilu mereka umumnya menjadi sasaran 'serangan fajar' para politisi, tapi kali ini dengan penuh kesadaran mereka justru mengumpulkan koin demi koin yang biasa mereka belikan sandang-pangan-papan untuk Prita.

Seorang pemulung bernama Mundala (65) bahkan mengumpulkan uang receh, yang ia kumpulkan bersama rekan-rekannya di komunitas pemulung Srengseng Sawah, Jakarta. Dengan penuh kesadaran ia berkata, "“Orang pakai e-mail, kenapa mesti dicecar? Tapi kalau kasus Century, enak-enak saja,” ujarnya. Kasus Century yang awalnya hanya masuk ke alam sadar kalangan elit (intelektual - pebisnis), ternyata sudah sedemikian melekat di benak rakyat jelata seperti Mundala. Meski tak mengenal Prita secara langsung, Mundala mengaku, ia mewakili rekan-rekannya menyumbang karena panggilan hati. Sebagai sesama orang kecil, mereka melihat kurangnya keadilan bagi masyarakat kecil.

Chico Mendes
Kisah perlawanan rakyat jelata melawan rezim lalim ini bukan hanya ada di Indonesia. Akhir tahun 1988, petani karet di Brasil melakukan perlawanan yang begitu solid melawan rezim diktatorial, meski untuk itu nyawa seorang Chico Mendes harus menjadi tumbal. Ia harus meregang nyawa, karena menjadi motor gerakan perlawanan para petani karet di hutan Amazon. Beberapa hari sebelum ia tewas di ujung bedil, ia melontarkan satu perkataan yang dikenang banyak orang hingga kini: ”Awalnya saya kira perjuangan saya hanya untuk menyelamatkan pohon karet. Kemudian saya mengira saya berjuang untuk menyelamatkan hutan hujan Amazon. Kini, saya sadar saya berjuang bagi kemanusiaan.”

Sementara dari negerinya pesebakbola Lionel Messi, Argentina, kita bisa melihat bagaimana para perempuan yang mayoritas adalah ibu rumah tangga melakukan perlawanan tanpa henti terhadap rezim militer, yang menghilangkan 30 ribu sanak saudara mereka. Mereka dihilangkan karena dituduh subversif, dan berhaluan kiri.

Sejak April tahun 1977 sekali dalam sepekan mereka (para ibu itu dimulai dengan 14 perempuan, 13 orang di antara mereka adalah ibu) berkumpul di Plaza de Mayo -yang terletak berhadap-hadapan dengan Istana Presiden Casa Rosada- untuk menuntut penuntasan kasus penghilangan paksa itu. Dan setelah bertahun-tahun berjuang, akhirnya Presiden Raul Alfonsin, yang dipilih secara demokratis setelah junta militer berakhir, membentuk Komisi Nasional untuk Orang-orang yang Dihilangkan, sepanjang junta militer di bawah Presiden Jenderal Jorge Rafael Videla Redondo tujuh tahun berkuasa. Selama tujuh tahun itu, tak kurang sembilan ribu orang dihilangkan. Di laporan yang sama dikatakan, pada masa presiden sebelumnya, Isabel Peron, 600 orang hilang dan 458 orang dibunuh.

Gerakan ini pula yang mengilhami Gerakan Kamisan yang rutin melakukan aksi bisu di depan Istana Negara setiap hari Kamis. Akankah rutinitas ini akan berujung pada dibukanya kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia, tentu kita harus menunggu, entah sampai kapan.

Masyarakat sepertinya juga sudah bisa memilah, isu mana yang sudah layak dan sepantasnya mereka perjuangkan kebenarannya, dan kasus mana yang hanya mencari-cari sensasi. Ingat kasus Manohara? Lihatlah, ada berapa pasang mata di republik ini yang memperhatikan kasus yang melibatkan putra mahkota Kerajaan Kelantan, Malaysia itu? Bandingkan dengan kasus kriminalisasi Bibit-Candra, apalagi Prita Mulyasari. Meski tidak bisa disangkal, media menjadi faktor penting dalam dua kasus ini, kesadaran masyarakat lintas strata untuk melawan dengan berbagai cara (dukungan via FaceBook, pengumpulan koin, ikut unjuk rasa, dsb) sungguh terasa sebagai manifestasi perlawanan yang membanggakan. Mereka yang tidak bisa keluar dari kantor untuk
berunjukrasa, bisa memberi dukungan via FaceBook.

Sebagai bangsa, kita sudah mengalami episode-episode hitam yang berlumuran darah. Sebut saja kekerasan 1965-1966, tragedi Tanjung Priok, kekerasan sebelum dan sesudah Soeharto terguling dari puncak kekuasaan, dan sejumlah tragedi berdarah lainnya. Penguasa kerap menggunakan praktik-praktik yang 'itu-itu saja': penyusupan, adu domba, hasut-menghasut, pengalihan isu publik, dsb. Tapi, gerakan mendukung Prita dan melawan kriminalisasi pimpinan KPK, memperlihatkan masyarakat bergerak atas kesadaran senasib-sepenanggungan. Sejumlah penelitian menunjukkan, bahwa aksi kekerasan sepanjang 1965-1966 yang dilakukan masyarakat pada sesamanya, tak mungkin terjadi tanpa adanya sponsor, pengkondisian, atau bahkan intimidasi dari rezim yang lalim.

Patut kita tunggu, seperti apa 'metode' perlawanan yang akan ditunjukkan masyarakat Indonesia pada rezim otoriter yang berwajah (sok) manis ini di tahun 2010. Kalangan terdidik di negeri ini memang bukan mayoritas. Dalam gerakan sosial mereka 'hanya' pemrakarsa, bukan satu-satunya penentu. Namun, ketika ada semakin banyak orang seperti Mundala di negeri ini, kita layak berharap bahwa kesewenang-wenangan para penguasa bisa kita hadapi. Bukan dengan senjata. Bukan dengan batu. Bukan kekerasan. Tapi dengan cara-cara yang lebih beradab.

Ibarat paduan suara, saya yakin tulisan saya ini hanya satu suara di antara jutaan suara lain, di nada dasar yang sama. Nada dasar yang menyanyikan sebuah lagu melawan ketidakadilan, melawan kelaliman, yang dilakukan justru oleh para penyelenggara negara, yang beberapa bulan silam mendapat mandat lewat pemilu. Namun, justru di situlah pentingnya. Artinya, kesadaran akan ketidakadilan sudah merasuk ke dalam diri kita masing-masing.

Akankah perlawanan ini berlanjut di tahun 2010?

antara Cibitung dan Cikarang, di ujung tahun 2009

23 December 2009

Sang Sopir Merayakan Natal

Namanya Muis. Usianya 29 tahun.Tubuhnya kurus. Pria asli betawi ini kebingungan, lantaran tak kunjung mendapatkan biaya untuk pulang kampung halaman sang istri di tanah Batak sana. Sehari-hari ia bekerja sebagai sopir untuk sebuah perusahaan minuman asal Peru, yang tengah merintis bisnis di Indonesia, dengan membuka pabrik di kawasan Lippo Cikarang. Gaji sebesar Rp.1,5 juta yang ia terima setiap bulan, selalu tak cukup untuk menghidupi istri dan seorang anaknya yang berusia dua tahun. Sejak sebulan sebelum natal, ia mengaku kebingungan, karena belum mendapat biaya untuk pulang ke kampung istrinya di bumi Andalas. Ia berencana untuk menyewa mobil bersama istri dan dua keluarga lain dari istrinya, untuk mudik.



Sehari-hari, Muis bertugas untuk mengantarkan sang Presiden Direktur asal Peru, yang ditemani seorang penerjemah bahasa Spanyol, untuk menemui relasi bisnis, konsultan bisnis di kawasan Rasuna Said Kuningan, pengelola kawasan industri di Cikarang, mengantar-jemput tamu yang datang dari luar negeri di bandara Soekarno-Hatta, dan sebagainya. Setiap pagi, dari rumahnya tak jauh dari kawasan industri Lippo Cikarang, ia biasanya berjalan kaki selama sekitar 45-60 menit menuju perumahan Meadow Green, tak jauh dari Mal Lippo Cikarang, untuk menjemput sang bos. Biasanya ia tiba di rumah sang bos sekitar pukul delapan pagi, dan menggedor-gedor pintu sang majikan, yang kemudian membukakan pintu dalam kondisi terkantuk-kantuk. Jika amat lelah di malam sebelumnya, terkadang setelah setengah jam menggedor-gedor, barulah pintu rumah itu dibuka. Muis pun kemudian memanaskan mesin mobil, bila perlu mencucinya. Keduanya lebih kerap berbahasa 'tarzan' alias isyarat, karena sang bos tak mahir berbahasa Inggris, apalagi bahasa Indonesia, sementara Muis yang pernah bekerja sebagai sopir bis antar kota Sinar Jaya ini hanya bisa berbahasa Indonesia.

Kepada si penerjemah Muis pernah meminta masukan, bagaimana caranya bisa mendapatkan pinjaman uang sebesar tiga hingga empat juta rupiah. Ia mengaku mengenal seorang rentenir yang bisa meminjamkannya uang, namun bunganya sungguh mencekik leher: 50 persen! Hati sang penerjemah merasa trenyuh, tapi tak bisa berbuat banyak, kecuali mengatakan, “Jangan ke rentenir deh. Setengah mati lu mbayarnya nanti.”

Namun akhirnya kebingungan Muis berakhir. Awal Desember ini seorang manajer di kantornya berbaik hati. Muis berhasil mendapatkan pinjaman tanpa bunga sebesar Rp.3 juta. Mereka sepakat, pengembalian akan dilakukan mulai bulan Januari, di mana Muis akan mencicil sebanyak empat kali, masing-masing sebesar Rp. 750 ribu. Muis amat bersyukur, karena kebaikan hati sang manajer itu. Pekan lalu Muis berangkat ke Tanah Batak, untuk menemui keluarga besar istrinya, karena praktis tak ada yang bisa dikerjakannya di kantor, karena si bos juga tengah menghabiskan libur natalnya di Peru.

Muis juga sudah berusaha 'melobi' seorang pemilik usaha rental mobil di Lippo Cikarang, yang juga menyewakan mobil yang biasa Muis kendarai tiap hari. Tujuannya agar ia bisa mendapat harga 'damai' alias lebih murah. Alhasil, tarif Rp. 5 juta per 30 hari harus ia tanggung bersama dua keluarga lain dari pihak istrinya. Dari jumlah itu, Muis 'hanya' membayar Rp.1 juta rupiah. Namun di luar biaya itu, ia juga harus memikirkan biaya makan selama perjalanan, dan juga meninggalkan sedikit uang untuk beberapa keponakannya di sana.

Kepada si penerjemah Muis mengaku, sebenarnya ia tak ingin memaksakan pulang ke kampung halaman istrinya di tanah Batak kalau tak ada dana segar. Ia hanya tak tahan dengan sikap istrinya yang kerap mengeluh dan marah, ketika Muis membahas kemungkinan bahwa mereka tak bisa pulang kampung, karena ketiadaan biaya. Ia juga khawatir, ia akan dijauhi oleh keluarga istrinya karena tak bisa pulang kampung di masa natal ini. Ia mengaku tak bisa berbuat banyak, selain berusaha mencari pinjaman ke sana ke mari, untuk memenuhi keinginan sang istri dan tetap menjaga ikatan keluarga dengan keluarga besar di Sumatera. Seringkali, rasa penat dan tertekan atas sikap istrinya itu terbawa-bawa ke pekerjaannya. Ia kerap memaki sopir angkot yang berhenti seenaknya di tikungan tanpa memberi lampu sen. Kalau sudah begitu, pasti sang penerjemah akan membentaknya sambil berkata, ”“Hey, gue tau lu ada masalah di rumah. Tapi gak gini caranya! Kalau mobil kenapa-napa, lu juga yang repot ntar!”

Sekarang, ia tengah bersenang-senang bersama keluarganya di sana, sambil membayangkan bahwa ia harus mulai mencicil pembayaran pinjaman uangnya di bulan Januari 2010. “Sekarang gue seneng dapet pinjeman duit, tapi Januari ntar baru puyeng gue,” katanya sambil tersenyum kecut, setelah mendapat pinjaman tanpa bunga itu.

Beginilah cara Muis merayakan natal. Pasti masih banyak orang seperti Muis yang harus menguras kantong, bahkan mencari pinjaman uang ke sana ke mari, untuk pulang kampung, baik di masa natal ataupun di masa idul fitri. Bagaimana Anda merayakan natal tahun ini? Bagaimanapun, marilah kita bersyukur.

Salam Damai Natal....

Fransiskus Pascaries