25 July 2011

Perempuan Pintar dan Berani

Tidak sulit-sulit amat mencari perempuan pintar di negeri ini. Dari ujung barat ke timur Indonesia, mulai dari belahan utara hingga belahan selatannya, ada saja perempuan pintar yang menjadi dosen, peneliti, dan cerdik cendekia. Tapi, perempuan satu ini begitu berbeda dengan yang lain. Satu pembedanya, ia tak hanya pintar. Ia juga berani!



Ia adalah Siti Musdah Mulia. Pada 20 Juli 2011 lalu ia hadir dalam acara diskusi di kantor Pantau di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, untuk mengisi salah satu sesi angkatan kami. Cukup ramai kantor Pantau malam itu. Terang saja, ada sekitar 20 orang dari beberapa angkatan di Pantau yang turut hadir.

Musdah penulis produktif, meski mengaku tak pernah belajar menulis. Buktinya, sudah 30 buku yang ia tulis. Termasuk yang baru terbit, Muslimah Sejati. Itu belum termasuk artikel-artikel yang sudah ia tulis di media massa.

“Tulisan itu lebih tajam daripada pedang. Yang penting, jangan sekadar menulis, tapi ada misinya,” kata Musdah.

Saya cukup sering membaca sepak-terjang perempuan kelahiran Bone, Sulawesi Selatan, 3 Maret 1958 ini. Ia kerap membela kalangan minoritas di Indonesia. Kaum homoseksual, Ahmadiyah, umat nasrani, dan minoritas lainnya tahu persis bagaimana Musdah menjadi salah satu aktivis yang berani membela mereka. Nyaris tak ada gagasan baru yang saya dengar dari Musdah. Artinya, memang ia konsisten dan tekun dengan perjuangannya selama ini.

Musdah juga kerap berteriak soal kesetaraan gender. Ia pun lantang bercuap tentang peran pemerintah yang lebih sering diam, saat melihat ketidakadilan merebak di mana-mana. Satu yang baru saya dengar, ia ternyata juga punya sikap kritis pada militer. Ia mensinyalir, ada militerisme dan keyakinan yang berpadu dalam setiap aksi terorisme di Indonesia. Entahlah. Mungkin juga karena saya tidak mengenalnya dari dekat.

“Perhatikan saja peluru dan bom di banyak peristiwa bom di sini,”kata Musdah yang juga Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP).

Nyalinya juga boleh diacungi jempol. Tak jarang ia menerima ancaman via telpon dan pesan singkat melalui telepon genggam. Tapi, Musdah tak mundur.

Apa yang Musdah perjuangkan selama ini mungkin tak pernah terbayang di masa belianya di Bone, Sulawesi Selatan. Meski sempat menempuh pendidikan dasar di Surabaya, Jawa Timur hingga tahun 1969, ia lahir dan menjalani sebagian besar masa mudanya di sana.

Musdah dilahirkan dan dibesarkan di keluarga Muslim Bugis tradisional. Sekian waktu ia menempuh pendidikan pesantren, yang menurut Musdah ‘aneh’. Selama di kelas, santriwan dan santriwati berada di satu kelas yang sama, namun dalam sisi yang berbeda, yang disekat kain. Selama di kelas, ia sama sekali tak pernah bisa melihat wajah guru laki-laki, karena sang guru hanya berada di depan murid laki-laki. Musdah dan santriwati lainnya hanya bisa mendengar suaranya.

“Saya suka curi-curi, mengintip ustad, dia tidak pernah menatap saya. Kok bisa ya? Tidak memperhatikan perempuan saat ngajar, tapi bisa punya istri empat,” imbuh Musdah yang disambut tawa peserta diskusi.

Anehnya lagi, kata Musdah, di luar kelas santriwati dan santriwan bergaul dengan wajar.

“Sejak kecil saya itu belajar agama. Di pesantren saya juga membaca kitab-kitab kuning. Saya orang Nahdhlatul Ulama (NU). Kakek saya hanya mengijinkan kuliah sastra Arab, ketika hendak kuliah. Tapi itu blessing in disguise,” ujar peraih penghargaan Yap Thiam Hien tahun 2008 itu.

Ya … Blessing in disguise. Ia katakan itu mengacu pada sesuatu yang agak tidak disukainya pada awal di awal masa kuliah: belajar Agama Islam dan bahasa Arab di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Adab, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Alaudin, Makassar, Sulawesi Selatan.

Pemikirannya yang moderat atau bahkan cenderung liberal itu tidak lahir dalam sehari dua hari. Itu semua dibentuk dari pergulatannya dengan banyak pemikiran, setelah ia hijrah dari kampung halamannya ke Jakarta.

Tapi, keterpaksaan itu ternyata punya jalannya sendiri. Dengan mempelajari agama Islam dan bahasa Arab, ia membuka diri pada pemikiran banyak ahli Islam. Dari yang liberal hingga yang konservatif. Dari ahli lokal hingga pakar asing. Ia mengaku fasih berbahasa Arab, sehingga memahami betul makna setiap ayat yang tertulis dalam Alquran dan Hadits.

Suatu ketika, ia pernah terlibat dalam sebuah acara diskusi dengan Ustad Abubakar Ba'asyir, yang kita tahu amat gandrung dengan ide penegakkan Syariat Islam.

"Musdah, satu-satunya cara membangun Indonesia adalah meninggalkan sekularisme, melepaskan diri dari Pancasila, dan kembali ke dasar Islam, " kata si Ustad.

"Islam yang seperti apa?" Musdah menanggapi dengan pertanyaan.

“Malaysia?” – bukan.

“Saudi Arabia?” – bukan.

“Pakistan?” – bukan.

"Kita masih pikirkan, tapi bukan itu,” ujar si Ustad.

Kok masih mikir? Lebih baik yang sudah ada saja kita perbaiki,” sanggah Musdah. Dengan berani.

Tujuh pekan sebelumnya, tanggal 1 Juni 2011, saya datang terlambat pada sesi pertama Kelas Narasi Pantau angkatan XI. Dengan tergesa saya tiba di kelas, yang dimentori Andreas Harsono. Normalnya, kelas dimulai pukul tujuh hingga sembilan malam. Tapi malam itu kelas mulur hingga setengah jam.

Hanya sekitar 40 menit saya berada di kelas yang cukup ramai dengan tanya jawab itu. Saya masih terengah, dan butuh beberapa menit untuk mengatur napas, setelah menaiki anak tangga di sana. Tapi di tengah keletihan, ada satu kalimat Andreas yang begitu lekat di otak saya sejak malam itu, “Untuk menulis kita perlu tahu dan berani.” Kalimat itu juga ada dalam salah satu tulisannya di blog, yang kemudian diterbitkan dalam antologi berjudul ‘A9ama’ Saya Adalah Jurnalisme.

Musdah perempuan pintar. Ia juga berani. Ia memang berbeda.

Foto: Kompas Images

08 July 2011

Terus Melaju, Meski Pernah Ditipu

Ada sebuah rumah di daerah Warung Buncit, tak jauh dari Rumah Sakit Jakarta Medical Centre, Jakarta Selatan. Ia terletak di sebuah gang yang jalannya menurun, dengan lebar yang hanya pas untuk dilalui sebuah mobil. Dari rumah itu, dan beberapa rumah lain di sekelilingnya, bisnis konveksi dijalankan. Pemilik rumah itu adalah pria berusia 41 tahun. Saat saya temui, ia tengah duduk di lantai ruang tamu rumahnya. Di sofa dan lantai tergeletak ratusan baju anak-anak yang ia produksi. Sebagian sudah dikemas dalam plastik. Empat potong per plastiknya. Per potong ia lepas ke toko langganannya dengan harga Rp.40 ribu.

Pria bernama Abdul Kadir ini menjalankan bisnis yang dirintis oleh ayahnya, Almarhum Haji Muhayat, sebelum Abdul dilahirkan. Bisnis kos-kosan ia rintis sekitar empat tahun lalu guna menambah pedapatan. Lima kamar kos yang ia sewakan itu letaknya berpunggung-punggungan dengan rumahnya. Sejak Desember 2010 lalu, saya menghuni salah satu kamar itu.

Kami duduk berbincang sambil duduk di lantai, sembari ia mengecek dan memasukkan empat pasang baju dan celana, bersama dengan sabuk berukuran 70 atau 80 centimeter, ke dalam tiap kemasan plastik. Ia menyuguhkan segelas kopi hitam pekat buat saya.

Dua meter dari tempat kami mengobrol, seorang pekerja berusia sekitar 20 tahun tengah menempelkan kancing ke ratusan baju yang ada di situ. Tangan kanannya menggenggam alat berbentuk huruf L, yang terhubung dengan listrik. Dari alat itu cairan lilin panas disemprotkan ke tengah kancing. Tiga kancing untuk tiap baju, dan dua kancing untuk celana. Jadi, kancing itu tidak dijahit, melainkan direkatkan dengan lem yang dihasilkan dari lilin panas.

Pria muda itu adalah satu dari sekitar 15 karyawan Abdul dalam menjalankan bisnis rumahan ini. Kalau sedang banyak permintaan, bisa 30 hingga 40 karyawan yang ia pekerjakan. Ada yang bertugas menjahit. Ada yang mengobras. Ada yang mengurusi pola. Juga ada tiga orang gadis yang menangani urusan finishing. Mereka ia rekrut dari daerah-daerah di Jawa Barat seperti Sukabumi, Cianjur, Bandung dan Bogor. Beberapa karyawannya berasal dari kota di Jawa Tengah seperti Wonosobo. Mereka bekerja enam hari dalam seminggu. Senin hingga Sabtu. Jam 12 siang hingga jam 12 tengah malam, diiringi musik yang cukup nyaring terdengar.

Dalam sehari semalam, Abdul rata-rata bisa menghasilkan 300 potong baju anak-anak. Perhitungannya, kalau dari 15 orang pekerja, masing-masing bisa menghasilkan 20 potong, maka 300 potong pakaian anak siap ia kumpulkan.

Sekali dalam sepekan, Abdul mengirimkan baju-baju itu ke seorang rekan bisnisnya yang berjualan di Pasar Mester Jatinegara, Jakarta Timur. Ia juga memiliki rekan kerja yang ia sebut “Loper” di Bandung, Jawa Barat.

“Jadi, ngambil barang, tar dia yang nyebar gitu. Seminggu sekali dia ngambil ke mari. Tar dia punya anak buah, dia sebar ke toko-toko di Bandung.”

Anak ketujuh dari 11 bersaudara tersebut tampak tekun menjalani bisnis konveksi ini, meski mengaku tidak mendapat wasiat khusus dari mendiang ayahnya. Perjalanan yang ia tempuh tak selalu mulus. Ia bahkan pernah ditipu orang.

“Ya itu, waktu giro jebol. Nah tuh orang kabur. Hahahaha. Ada orang Makassar, orang Palembang. Orang-orang daerah gitu dah,” kata Abdul mengisahkan kisah tragis pada tahun 1998 itu sembari tertawa lebar.

Sejauh yang saya kenal, ia termasuk tipe orang yang easy going. Ceria. Doyan tertawa lebar. Di Facebook pun ia suka bikin status yang kocak. Ia mengaku enggan menulis status Facebook yang berat-berat. Sesekali, ia pun menanggapi dengan kocak status Facebook saya.

Peristiwa penipuan itu terjadi sekitar tahun 1998. Duit ratusan juta yang ia investasikan, melayang terbang bersama seorang pebisnis konveksi dari Makassar, Sulawesi Selatan. Ia mengaku, itu terjadi karena tidak ada surat perjanjian atau apapun yang secara hukum mengikat.

“Ya sistemnya kepercayaan sih ya?” tambah Abdul.

Cerita itu setali tiga uang dengan dua penipuan lain, yang ia alami saat berbisnis dengan dua orang berbeda dari Palembang, Sumatera Selatan.

Abdul hanya menjawab enteng, ketika saya tanyakan harapan atau cita-citanya. “Nggak muluk-muluk cita-cita saya sih. Mbantu pemerintah aja, buat lapangan kerja. Gitu aja deh,” kata Abdul dengan logat Betawi yang kental.

Ia tampak rileks menjalani hari-harinya. Meski tentu bukan perkara mudah menjalankan bisnis di era ketika modal usaha tak bisa mudah diraih di negeri ini.

Seorang ilmuwan asal Peru Hernando de Soto pernah menulis dalam buku Mystery of Capital, bahwa ia percaya betul pada peran kapital sebagai penggerak ekonomi. Dalam buku itu, ia mengutip Adam Smith dan Karl Marx, yang sama- sama percaya bahwa kapital merupakan mesin penggerak ekonomi yang paling penting.

Abdul Kadir telah berhasil menggerakkan ekonomi dalam porsi yang ia mampu. Dan, seandainya Hernando de Sotto ada bersama kami malam itu, ia pasti mengacungkan dua jempolnya untuk Abdul Kadir.

09 May 2011

25 Tahun Lalu (25 April 1986 – 25 April 2011)

Ditulis oleh Mgr. Carlos Filipe Ximenes Belo SDB

Dialihbahasakan oleh Fransiskus Pascaries

Catatan penterjemah:

Naskah asli karangan ini ditulis dalam Bahasa Tetun, dan diterbitkan 25 April 2011 lalu di blog Jano Buti, selain juga diterbitkan di beberap blog lain. Setelah mendapat izin dari penulisnya, saya mengalihbahasakan karangan ini dengan harapan agar publik di Indonesia bisa sedikit memahami peristiwa yang terjadi di Timor Leste seperempat abad silam itu, dalam kaitannya dengan gerakan perlawanan Timor Leste terhadap pendudukan militer Indonesia di sana. Tak lama sebelum naskah ini ditulis, saya juga sudah menerbitkan tulisan berjudul Mas Gus dan Cinta yang Tak Saling Memiliki di blog ini. Tulisan itu mencatat kunjungan Xanana Gusmão ke Universitas Indonesia, sebagai Perdana Menteri Timor Leste pada tanggal 22 Maret 2011 lalu untuk menyampaikan kuliah umum bertajuk “Timor Leste’s State Building Experiences Within Regional & Global Context”.

Catatan kaki saya buat di sini dengan maksud untuk secara sekilas memberi konteks ikhwal ruang, waktu dan pribadi-pribadi yang menjadi tokoh dalam kisah ini.

Semoga bermanfaat...

=====



Hari ini tanggal 25 April tahun 2011. Hari kemerdekaan bagi negeri Portugal. Pada tahun itu, Timor Lorosae masih diduduki oleh tentara Indonesia. Pada tahun 1986, tanggal 25 April, di Kolese Banewaga (Fatumaka)1 kami bertemu dengan Komandan Falintil Kay Rala Xanana Gusmão.

Sesuai permintaan Nunsius Apostolik (Dubes Vatikan untuk Republik Indonesia - penterjemah), Mgr. Fransesco Canalini, kami mengirimkan sebuah surat, melalui Pastor Eligio Locatelli 2, ke hutan, agar sekiranya bisa, untuk bertemu dengan Komandan Falintil Xanana Gusmão. Setelah mendapat jawaban positif, kami bersama Pastor José António da Costa, Sekretaris dan Kanselor Dioses Dili, berangkat ke Baucau, agar pada malam itu juga, bisa berbincang dengan Xanana Gusmão.

Kami tiba di Kolese pukul enam petang. Malam, pukul delapan, setelah berdoa bersama dengan para murid, saya dengan Pastor José beranjak menuju kamar masing-masing. Sementara para murid berjalan ke dormitori. Setelah mematikan generator Pastor Locatelli menunggu di beranda, sementara Diakon Baltazar 3 berjalan mengelilingi rumah. Menjelang pukul sebelas malam, Pastor Locatelli mengetuk pintu kamar kami sambil berbisik bahwa Komandan tak lama lagi akan tiba. Pastor José dan saya, berjalan menuju ruang tamu menunggu Komandan. Di ruangan itu, kami menyalakan lilin sambil menunggu tamu itu. Tak lama kemudian, dari arah kebun muncullah seseorang. Mengenakan tutup muka dan sepatu boot, dan mengenakan baret. Pastor Locatelli pun membawa tamu itu ke dalam rumah. Ketika masuk ke dalam rumah kami saling menyapa dengan berjabat tangan biasa saja. Tetapi Komandan dan Pastor José berpelukan dengan sangat eratnya. Sementara Pastor Locatelli berdiri menunggu di beranda.

Setelah duduk, saya menyampaikan bahwa kami amat senang bisa bertemu dengan Komandan. Kami pun menyampaikan salam dari Nunsius. Kemudian, kami menyampaikan beberapa hal berikut ini:

1) Nunsius mengirimkan pesan untuk disampaikan kepada Sang Komandan, kalau ia atau ada gerilyawan sekiranya berpikir untuk bepergian ke luar negeri, Gereja bisa menjadi perantara, untuk bisa membantu.

2) Kami tidak datang ke sini untuk meminta Komandan untuk menyerahkan diri, tetapi, kalau bisa, meminta agar perjuangan perlawanan mengubah “strategi perjuangan” nya. Kami mengatakan, dengan “perjuangan militer” anda tidak akan menang, karenanya mungkin bisa memulailah dengan sebuah perjuangan baru, yaitu perjuangan diplomasi.

3) Kami juga meminta pada Komandan agar para gerilyawannya jangan membakar rumah dan barang-barang milik masyarakat.

Komandan duduk terdiam. Sambil berpikir lama dan serius. Kemudian, barulah ia berbicara panjang, untuk menjelaskan “filosofi” daripada Perjuangan dan Perlawanan. Akhirnya Komandan berkata,

“Kami gerilyawan tidak akan keluar negeri, ini negeri kami. Walaupun kami akan mati dan terkikis habis, kami tak akan menyerahkan diri, juga tak akan pergi ke luar negeri. Kami siap untuk mati berdiri seperti tetumbuhan.”

Menjelang malam terbelah, kami berpisah. Pastor Locatelli menemani Komandan menurun menuju ke arah perkebunan dan kembali ke tempat (persembunyiannya). Kami pun kembali ke kamar.

Pada pagi harinya kami langsung kembali ke Dili. Di Kolese Fatumaka, tak ada seorangpun yang mendengar tentang pertemuan ini. Para tentara di Baucau pun tak ada yang tahu!

Setelah sepekan berlalu, Pastor Locatelli bertandang ke Lecidere4, dan bercerita bahwa, seorang pekerja memberikan laporan demikian, “Tadi pagi kami melihat jejak kaki di perkebunan; tadi malam, sepertinya ada orang yang memakai sepatu boot, lewat di sini...”

Ini adalah pertemuan kami dengan Komandan Kay Rala Xanana Gusmão dua puluh lima tahun lalu!

Porto, Portugal, 25 April 2011.

----

1 - Fatumaka adalah sebuah dusun yang terletak di Kecamatan Baucau, dan berjarak sekitar 17km dari ibukota Kabupaten Baucau. Kota Baucau sendiri 130 km arah timur kota Dili. Fatumaka terkenal dengan Sekolah Teknik Menengah (STM) dan Seminari Menengah Atas (setingkat SLTA) yang dikelola oleh kongregasi Salesian. Areanya amat luas, saya tak tahu persisnya. Selain bangunan sekolah untuk SMA dan STM, ruang komputer dan laboratorium IPA yang terhitung maju di masanya, berhektar-hektar lahan yang ditanami jagung dan lain-lain. Ada pula Gua Bunda Maria yang menjadi tujuan wisata rohani umat dari berbagai daerah di Baucau, atau mungkin juga daerah-daerah lain, terutama pada bulan devosi Maria: Mei & Oktober. Umat Katolik di negeri itu memang terkenal kuat menjalani ritus-ritus devosi.


2- Pastor Eligio Locatelli adalah imam salesian asal Italia yang telah berpuluh tahun berkarya di Timor Leste. Sejak dulu sampai sekarang ia menjadi pembimbing di komunitas salesian Fatumaka. Konon, karena kedekatannya dengan para aktivis gerakan pro-kemerdekaan Timor Leste, ia kerap dimata-matai pihak keamanan Indonesia.

3- Baltazar Pires saat itu adalah diakon salesian yang berkarya di Fatumaka

4- Lecidere adalah kawasan tempat kediaman Uskup Diosis Dili. Terletak di bagian timur Kota Dili.

20 April 2011

Mas Gus dan Cinta yang Tak Saling Memiliki

Waktu, posisi dan kepentingan mungkin bisa mengubah sikap seseorang. Kesan ini tertangkap saat pertemuan saya dengan pria ini.

Pria yang dihadirkan pada siang itu juga bukan orang sembarang orang. Kalau antara tahun 1992-1999 ia harus mendekam di penjara RI, namun di Depok tanggal 22 Maret 2011 lalu ia hadir untuk berbicara di podium, menerima sambutan meriah dari lebih 200 orang di sana. Ia adalah Jose Alexandre Kay Rala Xanana Gusmao, yang bukan lagi penghuni Lembaga Permasyarakatan, melainkan Perdana Menteri Republik Demokratik Timor Leste. Ia hadir untuk menyampaikan kuliah umum bertajuk “Timor Leste’s State Building Experiences Within Regional & Global Context”.

Kabar mengenai acara itu saya terima dari sahabat saya, Daniel Awigra, via pesan pendek pagi hari 22 Maret 2011 itu. Kebetulan ia tercatat sebagai mahasiswa pascasarjana jurusan hubungan internasional di Universitas Indonesia. Ia melontarkan sebuah undangan yang mustahil saya tolak. Sekadar catatan, sahabat saya yang satu ini bukan sekali dua kali mengajak saya untuk menghadiri seminar ini, diskusi itu, talkshow anu, sarasehan anu dan sebagainya. Kalau acaranya di jam kerja, bisa dibilang hampir semua undangannya terpaksa saya abaikan. Tetapi, sekali lagi, saya tak kuasa menolak ajakannya pagi itu.

Meski acara dijadwalkan untuk dimulai pukul tiga sore, tapi harus molor sampai sekitar 30 menit kemudian. Bangku barisan depan terisi dengan deretan orang-orang berdasi. Ada Rektor UI, dan juga sepertinya beberapa anggota Paspampres dan staf kedutaan yang mendampingi Xanana. Di sisi kanan dan kiri ruangan, juga di belakang, tak sedikit orang berdiri demi mendengarkan kuliah Xanana.

Makalah disampaikan Xanana dalam bahasa Inggris, dengan sejumlah kata yang tak terdengar jelas pelafalannya. Saat sesi pertanyaan dibuka termin pertama, saya langsung mengacungkan jari. Ada cukup banyak peserta yang mengacungkan jari, jadi saya harus berdiri agar moderator bisa memberi saya kesempatan itu.
Akhirnya kesempatan langka itu saya raih juga. Saya mengajukan pertanyaan yang rada sensitif seputar keterlibatan sejumlah petinggi militer republik ini selama proses pendudukan RI di Timor Leste, terutama menjelang dan sesudah proses jajak pendapat tahun 1999.

Saya menyodorkan sebuah ironi yang begitu telanjang ditampilkan di panggung republik ini, bahwa mereka yang telah terlibat dalam sejumlah pelanggaran itu justru malah mendapat tempat spesial dalam jajaran elit negeri ini, tanpa pernah tersentuh hukum. Tanya saya pada Xanana, “It’s a great honour for me to address this question directly to you, Mr.Prime Minister Xanana Gusmao. I lived in Timor Leste for ten years, between 1988 until 1998, one year before the referendum.We are here to build an engagement between Indonesia and Timor Leste, while in the same time we have human rights problems when Timor Leste was one of 27 provinces of RI. What’s your expectation from the process of justice in Timor Leste? As we know some of Indonesian elites were involved on the violations against human rights in Timor Leste, when Timor Leste was one of 27 provinces of the Republic of Indonesia.”

Ratusan pasang mata di forum itu sontak mengalihkan pandangan ke saya, karena saya juga mengatakan pernah menetap di Timor Leste selama sepuluh tahun antara tahun 1988 hingga 1999, setahun sebelum referéndum, dan menyapanya dalam bahasa Tetun: boatarde (selamat sore), diak ka lae (apa kabar), obrigado (terima kasih).

Setelah menjawab dua pertanyaan pertama dari floor Xanana pun menjawab pertanyaan saya. Ia mengawalinya dengan terlebih dahulu bertanya, “Hau diak hela. Itaboot diak ka lae? Itaboot hakarak hau hatan iha Tetun, depois mak itaboot traduz ba sira seluk? (Saya baik-baik saja. Bagaimana kabar anda? Anda mau saya jawab dalam bahasa Tetun, kemudian anda terjemahkan untuk yang lain?”)

Saya hanya menggeleng sambil tersenyum dari tempat saya duduk.

Secara umum, Xanana menjawab, bahwa sebaiknya kita tak perlu terus-menerus memikirkan apa yang terjadi di masa lalu. Xanana menekankan, biarlah masa lalu tetap menjadi masa lalu.

“Korbannya sudah meninggal, mau apa lagi?” katanya. Xanana juga menjawab, “We didn’t say ‘forget’, but let it behind.”

Ia mencontohkan banjir yang kerap terjadi di Jakarta. Ketika sejumlah korban telah berjatuhan, bukankah lebih baik kita memperbaiki saluran-saluran air, supaya banjir tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.

Menarik Perhatian
Setelah pertanyaan itu dijawab Xanana, tanpa pernah saya duga sebelumnya, hal itu menarik perhatian seorang perempuan di bagian kiri depan, tak jauh dari kursi VIP yang diduduki Rektor UI, entah siapa dia, berbisik-bisik dengan orang di sebelahnya sambil mengarahkan dua pasang mata mereka pada saya. Tak lama, salah satu di antara mereka pun mendekati saya dan terjadilah percakapan ini:

“Mas namanya siapa?”
“Aries, mbak.”
“Kuliah di UI?”
“Nggak, mbak. Saya karyawan swasta.”
“Oh, bukan kuliah di UI?”
Saya menggelengkan kepala.
“Pernah kuliah di UI?”
“Nggak pernah, Mbak. Saya kuliah di Purwokerto dulu.”

Ia pun ngeloyor pergi, meninggalkan satu pertanyaan dalam hati saya, kenapa dari sekian penanya, hanya saya yang ditanyai begitu?

Berubah
Suasana kuliah umum itu awalnya sedikit kaku, meski Xanana berkali-kali berusaha untuk mencairkan suasana. Ketika ia terbatuk sewaktu membacakan materi, ia nyeletuk dalam bahasa Inggris “Untuk anak muda, jangan merokok!” Spontan seisi ruangan dibuatnya tergelak.

Ternyata, itu bukan gurauannya yang pertama dan terakhir. Setelah sekitar satu jam sesi berjalan, ia pun ‘menyerah’ dan berkata, “Kita pakai bahasa Indonesia saja ya? Dari tadi capek juga pakai bahasa Inggris.”

Lagi-lagi, pria yang semasa ditahan di LP Cipinang disapa Mas Gus ini, mengocok perut hadirin dengan berkata, “Dari tadi saya pikir, ‘ini orang-orang di sini mengerti tidak dengan bahasa Inggris saya? Jangan-jangan tidak mengerti.” Mulai detik itu, hingga forum usai ia berkomunikasi dengan audiens dalam bahasa Indonesia, sambil mengakui keterbatasannya menggunakan bahasa Inggris yang bukan merupakan bahasa ibunya.

Buat saya, sebuah pertanyaan masih membayang tentang perubahan sikap Xanana. Terlebih bila saya bandingkan dengan apa yang ia katakan pada wartawan Tempo pada 21 Juli 2004.

“Yang pantas menjalani hukuman adalah mereka yang diberi tugas dan tanggung jawab keamanan pra dan pasca jajak pendapat 1999,” papar Xanana saat memprotes putusan hukuman penjara tiga tahun yang dijatuhkan Mahkamah Agung RI pada mantan Gubernur Timor Timur Abilio Jose Osorio Soares, karena dituduh bertanggungjawab pada kasus pelanggaran berat terhadap kemanusiaan di Timtim selama tahun 1999.

Xanana menegaskan, saat itu, sesuai kesepakatan 5 Mei 1999 antara Indonesia-Portugal dan PBB, tanggung jawab keamanan berada di tangan militer dan polisi Indonesia. Karena itu, lanjut Xanana, tragedi kemanusiaan 1999 adalah tanggung jawab TNI dan polisi, bukan tanggung jawab Abilio.

Dari situ kita melihat pada masanya, Xanana, yang juga seorang public speaker kharismatis, jauh dari kesan kaku alias formal, begitu garang sebagai pimpinan gerakan kemerdekaan. Mungkin saja posisinya sebagai petinggi di negeri tetangga itu telah membuatnya (sedikit) lebih santun dan ‘lembut’ dalam berdiplomasi. Waktu dan posisi mungkin telah mengubah banyak hal. Adakah tekanan yang ia hadapi, sehingga ia harus berubah? Apakah ia, yang dulu berjuang mengangkat senjata bertarung melawan serdadu ABRI, dengan mudahnya melupakan darah para pejuang Timor Leste yang sudah tertumpah?

Pertanyaan-pertanyaan itu masih harus kita telusuri jawabannya, guna mengetahui mengapa Xanana berubah?

Tetapi, terlepas dari apa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, Timor Leste telah menjadi sebuah negara dan bangsa merdeka dan berdaulat. Suka atau tidak. Satu yang pasti, seperti kata sebuah lagu, yang dikutip oleh Dekan FISIP UI, Bambang Shergi Laksmono yang menjadi moderator pada acara itu bahwa, “Cinta memang tak harus saling memiliki...”

Foto oleh Adam Dwi, Media Indonesia
Sumber: http://www.mediaindonesia.com/foto/9411/Kuliah-Umum-Xanana#

05 April 2011

Memahami Rekonsiliasi: Pengalaman Indonesia, Jerman, dan Timor Leste

Seusai jam kantor Selasa, 25 Januari 2011 lalu saya meluncur ke Goethe Haus, Menteng, Jakarta Pusat, untuk menyaksikan pemutaran film dokumenter. Ada dua film yang diputar malam itu. Pertama, sebuah film dokumenter berdurasi 85 menit produksi tahun 2005 besutan Malte Ludin berjudul Zwei Oder Drei Dinge, Die Ich Von Ihm Weiβ (Dua atau Tiga Hal yang Kutahu tentang Dia) dan film kedua berjudul Mass Grave yang digarap Lexy Rambadeta. Film kedua yang berdurasi 26 menit dan diproduksi tahun 2001 itu sudah beberapa kali saya tonton, sedang film karya Malte Ludin baru saya saksikan sekali itu.



Film pertama mengangkat usaha Jerman dalam mengunyah buah-buah rekonsiliasi, setelah negeri itu sempat hancur lebur secara fisik dan mental akibat perang dunia kedua. Malte mengangkat kisah sang ayah, Hanns Ludin, yang menjadi penjahat perang Nazi, di masa jayanya Adolf Hitler. Sementara film kedua mengangkat acara penggalian kuburan massal 26 orang tersangka komunis yang menjadi dibantai tahun 1965.

Di film pertama saya lihat, bagaimana Jerman bisa menjadi contoh yang baik, bahwa bangsa Bavaria itu mampu menggulirkan sebuah proses rekonsiliasi, tidak dengan menutup-nutupinya. Syaiful, salah satu narasumber dalam diskusi setelah pemutaran film malam itu menambahkan, ada banyak hal lain yang menakutkan dari perang dunia kedua. Rangkaian persidangan dilakukan dari 20 November 1945 sampai 1 Oktober 1946., di gedung Pengadilan Nürnberg (Nuremberg Palace of Justice) Jerman. Konon itu adalah Pengadilan HAM pertama itu dunia.

“Tapi ternyata, pengadilan itu tidak begitu saja menyelesaikan masalah. Pasca PD II Jerman belum sempat menata diri, terbelah menjadi Timur-Barat. Infrastrutkur terbentuk dengan Marshal Plan, tapi integrasi sosial tidak sempat dilaukukan dengan sistematis. Salah satu titik apinya adalah Jerbar-Jertim,” kata Syaiful.

Saya lantas teringat pada kata-kata sejarawan Hilmar Farid yang berpandangan bahwa sebaiknya kita jangan takut pada sejarah.[1] Dalam film Zwei Oder itu Jerman berusaha untuk bangkit dari keterpurukan masa lalunya dan menjadi bangsa yang besar, termasuk dalam hal bidang teknologi, otomotif, olahraga, dan sebagainya. Merek mobil Opel Blazer, nama atlet seperti Boris Becker, Steffi Graf, atau para pesepakbolanya yang tiga kali menjadi jawara Piala Dunia, lahir dari sebuah negara yang dulu pernah hancur lebur karena perang.

Pengalaman Timor Leste
Oke, kalau kita mengambil contoh Jerman akan dengan mudah orang mencibir tulisan ini dan berkata, “Ya jelas saja, mereka kan udah berpuluh tahun jadi bangsa besar.” Tetapi, dari sebuah negara yang baru berusia 11 tahun, Timor Leste, tentu kita juga bisa menarik pelajaran serupa.

Kita tentu tahu, Timor Leste pernah menjalani masa penjajahan dari Portugal, sebelum mengalami masa pendudukan Indonesia antara tahun 1975 hingga 1999. Portugal masuk ke wilayah itu, untuk mencari kayu cendana pada tahun 1500-an, sebelum Gereja Katolik mendirikan sebuah gereja di Lifau, Oekusi, pada tahun 1590. Portugal menduduki wilayah itu setelah memenangkan peperangan melawan Belanda, dan akhirnya pada tahun 1709 pemerintahan administratif Portugal beralih ke Dili. Setelah tahun 1850-an, Portugal memperluas wilayah kekuasaan administrasi ke seluruh tempat di Timor Leste.[2] Negeri ini juga pernah mengalami penjajahan Jepang antara tahun 1942-1945.[3]

Pada tahun 2005 Timor Leste mencetak sejarah, setelah Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi (CAVR) yang dibentuk di sana menghasilkan sebuah laporan setebal kira-kira 2500 halaman dengan judul yang hanya terdiri dari satu kata, Chega! Dalam Kata Pengantar laporan yang tersedia dalam bahasa Portugis, Indonesia, Inggris, dan sebagian dalam bahasa Tetum itu, Aniceto Guterres Lopez selaku Ketua CAVR menegaskan,

“ … bangsa kita memilih pertanggungjawaban untuk pelanggaran hak asasi manusia masa lalu, menyelenggarakannya secara menyeluruh untuk kejahatan berat dan kurang berat—tak seperti sebagian negara yang keluar dari konflik dan memusatkan perhatian hanya pada satu atau dua masalah, serta memperlihatkan betapa orang- orang dan masyarakat mengalami kerusakan luar biasa apabila kekuasaan digunakan dengan impunitas.”[4]

Mengapresiasi apa yang diangkat dalam film malam itu, Putu Oka, yang antara tahun 1966 hingga 1976 dipenjarakan di rumah tahanan Salemba dan Tangerang tanpa proses peradilan, mengatakan, “Jerman lebih cepat dan cerdas. Artinya berani melihat dirinya. Berani melihat sejarahnya secara objektif, karena mereka lebih rasional.”

Persoalan yang ada di Indonesia adalah, kita sering mendengar ajakan pejabat tinggi di negeri ini untuk lebih memikirkan masa depan, memendam apa yang sudah terjadi di masa lampau. Selain itu, banyak pula kalangan militer yang ‘berlumuran darah’ ingin menjadikan kesalahan mereka di Timor Leste sebagai urusan bangsa. Sejarawan Hilmar Farid menilai,

“Sikap ini saya kira sama bejatnya dengan mengkonversi utang pribadi para konglomerat menjadi utang publik yang kemudian harus dibayar oleh rakyat. Seperti halnya dalam urusan utang, banyak elite politik menggunakan jargon ‘harga diri bangsa’ atau patriotisme kosong untuk membela kepentingan mereka yang sangat sempit.”[5]

Ketua CAVR Aniceto Guterres juga mengatakan, bahwa lembaga yang ia ketuai itu diwajibkan untuk mengarahkan perhatian pada masa lalu demi kepentingan masa depan—masa depan Timor-Leste dan masa depan sistem internasional yang, sebagaimana diperlihatkan oleh Laporan itu, juga harus banyak belajar dari pengalaman Timor-Leste.[6]

Pesan dari Syaiful, sekiranya patut kita garisbawahi, “kalau memang negara belum sanggup, masih absen dalam upaya rekonsiliasi, saya pikir cara-cara kutlural: film, diskusi, (penerbitan) buku masih akan lebih efektif dalam rangka merawat ingatan. Mungkin butuh waktu yang lebih panjang. Tidak harus kita menunggu pemerintah.”

Bangsa yang berjiwa besar, tentu akan memandang penting pengungkapan sejarah. Supaya hal-hal buruk yang terjadi di masa lalu itu tidak terulang. Kasus Aceh, Papua, DI TII terulang karena kita tidak memiliki referensi sejarah, bahwa yang salah harus dihukum.

Jadi, masih takut pada sejarah?

[1] Wawancara Faisol Riza dengan Hilmar Farid di Edisi 558 | 20 Nov 2006 bisa dilihat juga di http://www.perspektifbaru.com/wawancara/558

[2] Film Dalan Ba Dame, produksi Comissão de Acolhimento, Verdade e Reconciliação de Timor Leste (CAVR - Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi) tahun 2005

[3] Ibid

[4] Chega! adalah laporan resmi yang diterbitkan CAVR dan berisi dokumentasi pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama tahun 1975-1999. Chega! sendiri adalah kata dalam bahasa Portugis yang berarti “jangan lagi, stop, cukup”. CAVR mulai digagas pada tahun 2000 dan ditulis sesuai dengan Regulasi UNTAET No. 10/2001. Edisi bahasa Indonesia diterbitkan pertama kali oleh Kepustakaan Populer Gramedia pada Agustus 2010.

[5] Hilmar Farid, Keadilan Bagi Timor Leste Prasyarat Demokrasi Indonesia. Artikel ini disampaikan dalam peluncuran buku Chega! di Perpustakaan Nasional, Jakarta, 7 Oktober 2010. Naskah juga bisa dibaca di www.sejarahsosial.org.

[6] Chega!

Fransiskus Pascaries