20 April 2011

Mas Gus dan Cinta yang Tak Saling Memiliki

Waktu, posisi dan kepentingan mungkin bisa mengubah sikap seseorang. Kesan ini tertangkap saat pertemuan saya dengan pria ini.

Pria yang dihadirkan pada siang itu juga bukan orang sembarang orang. Kalau antara tahun 1992-1999 ia harus mendekam di penjara RI, namun di Depok tanggal 22 Maret 2011 lalu ia hadir untuk berbicara di podium, menerima sambutan meriah dari lebih 200 orang di sana. Ia adalah Jose Alexandre Kay Rala Xanana Gusmao, yang bukan lagi penghuni Lembaga Permasyarakatan, melainkan Perdana Menteri Republik Demokratik Timor Leste. Ia hadir untuk menyampaikan kuliah umum bertajuk “Timor Leste’s State Building Experiences Within Regional & Global Context”.

Kabar mengenai acara itu saya terima dari sahabat saya, Daniel Awigra, via pesan pendek pagi hari 22 Maret 2011 itu. Kebetulan ia tercatat sebagai mahasiswa pascasarjana jurusan hubungan internasional di Universitas Indonesia. Ia melontarkan sebuah undangan yang mustahil saya tolak. Sekadar catatan, sahabat saya yang satu ini bukan sekali dua kali mengajak saya untuk menghadiri seminar ini, diskusi itu, talkshow anu, sarasehan anu dan sebagainya. Kalau acaranya di jam kerja, bisa dibilang hampir semua undangannya terpaksa saya abaikan. Tetapi, sekali lagi, saya tak kuasa menolak ajakannya pagi itu.

Meski acara dijadwalkan untuk dimulai pukul tiga sore, tapi harus molor sampai sekitar 30 menit kemudian. Bangku barisan depan terisi dengan deretan orang-orang berdasi. Ada Rektor UI, dan juga sepertinya beberapa anggota Paspampres dan staf kedutaan yang mendampingi Xanana. Di sisi kanan dan kiri ruangan, juga di belakang, tak sedikit orang berdiri demi mendengarkan kuliah Xanana.

Makalah disampaikan Xanana dalam bahasa Inggris, dengan sejumlah kata yang tak terdengar jelas pelafalannya. Saat sesi pertanyaan dibuka termin pertama, saya langsung mengacungkan jari. Ada cukup banyak peserta yang mengacungkan jari, jadi saya harus berdiri agar moderator bisa memberi saya kesempatan itu.
Akhirnya kesempatan langka itu saya raih juga. Saya mengajukan pertanyaan yang rada sensitif seputar keterlibatan sejumlah petinggi militer republik ini selama proses pendudukan RI di Timor Leste, terutama menjelang dan sesudah proses jajak pendapat tahun 1999.

Saya menyodorkan sebuah ironi yang begitu telanjang ditampilkan di panggung republik ini, bahwa mereka yang telah terlibat dalam sejumlah pelanggaran itu justru malah mendapat tempat spesial dalam jajaran elit negeri ini, tanpa pernah tersentuh hukum. Tanya saya pada Xanana, “It’s a great honour for me to address this question directly to you, Mr.Prime Minister Xanana Gusmao. I lived in Timor Leste for ten years, between 1988 until 1998, one year before the referendum.We are here to build an engagement between Indonesia and Timor Leste, while in the same time we have human rights problems when Timor Leste was one of 27 provinces of RI. What’s your expectation from the process of justice in Timor Leste? As we know some of Indonesian elites were involved on the violations against human rights in Timor Leste, when Timor Leste was one of 27 provinces of the Republic of Indonesia.”

Ratusan pasang mata di forum itu sontak mengalihkan pandangan ke saya, karena saya juga mengatakan pernah menetap di Timor Leste selama sepuluh tahun antara tahun 1988 hingga 1999, setahun sebelum referéndum, dan menyapanya dalam bahasa Tetun: boatarde (selamat sore), diak ka lae (apa kabar), obrigado (terima kasih).

Setelah menjawab dua pertanyaan pertama dari floor Xanana pun menjawab pertanyaan saya. Ia mengawalinya dengan terlebih dahulu bertanya, “Hau diak hela. Itaboot diak ka lae? Itaboot hakarak hau hatan iha Tetun, depois mak itaboot traduz ba sira seluk? (Saya baik-baik saja. Bagaimana kabar anda? Anda mau saya jawab dalam bahasa Tetun, kemudian anda terjemahkan untuk yang lain?”)

Saya hanya menggeleng sambil tersenyum dari tempat saya duduk.

Secara umum, Xanana menjawab, bahwa sebaiknya kita tak perlu terus-menerus memikirkan apa yang terjadi di masa lalu. Xanana menekankan, biarlah masa lalu tetap menjadi masa lalu.

“Korbannya sudah meninggal, mau apa lagi?” katanya. Xanana juga menjawab, “We didn’t say ‘forget’, but let it behind.”

Ia mencontohkan banjir yang kerap terjadi di Jakarta. Ketika sejumlah korban telah berjatuhan, bukankah lebih baik kita memperbaiki saluran-saluran air, supaya banjir tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.

Menarik Perhatian
Setelah pertanyaan itu dijawab Xanana, tanpa pernah saya duga sebelumnya, hal itu menarik perhatian seorang perempuan di bagian kiri depan, tak jauh dari kursi VIP yang diduduki Rektor UI, entah siapa dia, berbisik-bisik dengan orang di sebelahnya sambil mengarahkan dua pasang mata mereka pada saya. Tak lama, salah satu di antara mereka pun mendekati saya dan terjadilah percakapan ini:

“Mas namanya siapa?”
“Aries, mbak.”
“Kuliah di UI?”
“Nggak, mbak. Saya karyawan swasta.”
“Oh, bukan kuliah di UI?”
Saya menggelengkan kepala.
“Pernah kuliah di UI?”
“Nggak pernah, Mbak. Saya kuliah di Purwokerto dulu.”

Ia pun ngeloyor pergi, meninggalkan satu pertanyaan dalam hati saya, kenapa dari sekian penanya, hanya saya yang ditanyai begitu?

Berubah
Suasana kuliah umum itu awalnya sedikit kaku, meski Xanana berkali-kali berusaha untuk mencairkan suasana. Ketika ia terbatuk sewaktu membacakan materi, ia nyeletuk dalam bahasa Inggris “Untuk anak muda, jangan merokok!” Spontan seisi ruangan dibuatnya tergelak.

Ternyata, itu bukan gurauannya yang pertama dan terakhir. Setelah sekitar satu jam sesi berjalan, ia pun ‘menyerah’ dan berkata, “Kita pakai bahasa Indonesia saja ya? Dari tadi capek juga pakai bahasa Inggris.”

Lagi-lagi, pria yang semasa ditahan di LP Cipinang disapa Mas Gus ini, mengocok perut hadirin dengan berkata, “Dari tadi saya pikir, ‘ini orang-orang di sini mengerti tidak dengan bahasa Inggris saya? Jangan-jangan tidak mengerti.” Mulai detik itu, hingga forum usai ia berkomunikasi dengan audiens dalam bahasa Indonesia, sambil mengakui keterbatasannya menggunakan bahasa Inggris yang bukan merupakan bahasa ibunya.

Buat saya, sebuah pertanyaan masih membayang tentang perubahan sikap Xanana. Terlebih bila saya bandingkan dengan apa yang ia katakan pada wartawan Tempo pada 21 Juli 2004.

“Yang pantas menjalani hukuman adalah mereka yang diberi tugas dan tanggung jawab keamanan pra dan pasca jajak pendapat 1999,” papar Xanana saat memprotes putusan hukuman penjara tiga tahun yang dijatuhkan Mahkamah Agung RI pada mantan Gubernur Timor Timur Abilio Jose Osorio Soares, karena dituduh bertanggungjawab pada kasus pelanggaran berat terhadap kemanusiaan di Timtim selama tahun 1999.

Xanana menegaskan, saat itu, sesuai kesepakatan 5 Mei 1999 antara Indonesia-Portugal dan PBB, tanggung jawab keamanan berada di tangan militer dan polisi Indonesia. Karena itu, lanjut Xanana, tragedi kemanusiaan 1999 adalah tanggung jawab TNI dan polisi, bukan tanggung jawab Abilio.

Dari situ kita melihat pada masanya, Xanana, yang juga seorang public speaker kharismatis, jauh dari kesan kaku alias formal, begitu garang sebagai pimpinan gerakan kemerdekaan. Mungkin saja posisinya sebagai petinggi di negeri tetangga itu telah membuatnya (sedikit) lebih santun dan ‘lembut’ dalam berdiplomasi. Waktu dan posisi mungkin telah mengubah banyak hal. Adakah tekanan yang ia hadapi, sehingga ia harus berubah? Apakah ia, yang dulu berjuang mengangkat senjata bertarung melawan serdadu ABRI, dengan mudahnya melupakan darah para pejuang Timor Leste yang sudah tertumpah?

Pertanyaan-pertanyaan itu masih harus kita telusuri jawabannya, guna mengetahui mengapa Xanana berubah?

Tetapi, terlepas dari apa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, Timor Leste telah menjadi sebuah negara dan bangsa merdeka dan berdaulat. Suka atau tidak. Satu yang pasti, seperti kata sebuah lagu, yang dikutip oleh Dekan FISIP UI, Bambang Shergi Laksmono yang menjadi moderator pada acara itu bahwa, “Cinta memang tak harus saling memiliki...”

Foto oleh Adam Dwi, Media Indonesia
Sumber: http://www.mediaindonesia.com/foto/9411/Kuliah-Umum-Xanana#

05 April 2011

Memahami Rekonsiliasi: Pengalaman Indonesia, Jerman, dan Timor Leste

Seusai jam kantor Selasa, 25 Januari 2011 lalu saya meluncur ke Goethe Haus, Menteng, Jakarta Pusat, untuk menyaksikan pemutaran film dokumenter. Ada dua film yang diputar malam itu. Pertama, sebuah film dokumenter berdurasi 85 menit produksi tahun 2005 besutan Malte Ludin berjudul Zwei Oder Drei Dinge, Die Ich Von Ihm Weiβ (Dua atau Tiga Hal yang Kutahu tentang Dia) dan film kedua berjudul Mass Grave yang digarap Lexy Rambadeta. Film kedua yang berdurasi 26 menit dan diproduksi tahun 2001 itu sudah beberapa kali saya tonton, sedang film karya Malte Ludin baru saya saksikan sekali itu.



Film pertama mengangkat usaha Jerman dalam mengunyah buah-buah rekonsiliasi, setelah negeri itu sempat hancur lebur secara fisik dan mental akibat perang dunia kedua. Malte mengangkat kisah sang ayah, Hanns Ludin, yang menjadi penjahat perang Nazi, di masa jayanya Adolf Hitler. Sementara film kedua mengangkat acara penggalian kuburan massal 26 orang tersangka komunis yang menjadi dibantai tahun 1965.

Di film pertama saya lihat, bagaimana Jerman bisa menjadi contoh yang baik, bahwa bangsa Bavaria itu mampu menggulirkan sebuah proses rekonsiliasi, tidak dengan menutup-nutupinya. Syaiful, salah satu narasumber dalam diskusi setelah pemutaran film malam itu menambahkan, ada banyak hal lain yang menakutkan dari perang dunia kedua. Rangkaian persidangan dilakukan dari 20 November 1945 sampai 1 Oktober 1946., di gedung Pengadilan Nürnberg (Nuremberg Palace of Justice) Jerman. Konon itu adalah Pengadilan HAM pertama itu dunia.

“Tapi ternyata, pengadilan itu tidak begitu saja menyelesaikan masalah. Pasca PD II Jerman belum sempat menata diri, terbelah menjadi Timur-Barat. Infrastrutkur terbentuk dengan Marshal Plan, tapi integrasi sosial tidak sempat dilaukukan dengan sistematis. Salah satu titik apinya adalah Jerbar-Jertim,” kata Syaiful.

Saya lantas teringat pada kata-kata sejarawan Hilmar Farid yang berpandangan bahwa sebaiknya kita jangan takut pada sejarah.[1] Dalam film Zwei Oder itu Jerman berusaha untuk bangkit dari keterpurukan masa lalunya dan menjadi bangsa yang besar, termasuk dalam hal bidang teknologi, otomotif, olahraga, dan sebagainya. Merek mobil Opel Blazer, nama atlet seperti Boris Becker, Steffi Graf, atau para pesepakbolanya yang tiga kali menjadi jawara Piala Dunia, lahir dari sebuah negara yang dulu pernah hancur lebur karena perang.

Pengalaman Timor Leste
Oke, kalau kita mengambil contoh Jerman akan dengan mudah orang mencibir tulisan ini dan berkata, “Ya jelas saja, mereka kan udah berpuluh tahun jadi bangsa besar.” Tetapi, dari sebuah negara yang baru berusia 11 tahun, Timor Leste, tentu kita juga bisa menarik pelajaran serupa.

Kita tentu tahu, Timor Leste pernah menjalani masa penjajahan dari Portugal, sebelum mengalami masa pendudukan Indonesia antara tahun 1975 hingga 1999. Portugal masuk ke wilayah itu, untuk mencari kayu cendana pada tahun 1500-an, sebelum Gereja Katolik mendirikan sebuah gereja di Lifau, Oekusi, pada tahun 1590. Portugal menduduki wilayah itu setelah memenangkan peperangan melawan Belanda, dan akhirnya pada tahun 1709 pemerintahan administratif Portugal beralih ke Dili. Setelah tahun 1850-an, Portugal memperluas wilayah kekuasaan administrasi ke seluruh tempat di Timor Leste.[2] Negeri ini juga pernah mengalami penjajahan Jepang antara tahun 1942-1945.[3]

Pada tahun 2005 Timor Leste mencetak sejarah, setelah Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi (CAVR) yang dibentuk di sana menghasilkan sebuah laporan setebal kira-kira 2500 halaman dengan judul yang hanya terdiri dari satu kata, Chega! Dalam Kata Pengantar laporan yang tersedia dalam bahasa Portugis, Indonesia, Inggris, dan sebagian dalam bahasa Tetum itu, Aniceto Guterres Lopez selaku Ketua CAVR menegaskan,

“ … bangsa kita memilih pertanggungjawaban untuk pelanggaran hak asasi manusia masa lalu, menyelenggarakannya secara menyeluruh untuk kejahatan berat dan kurang berat—tak seperti sebagian negara yang keluar dari konflik dan memusatkan perhatian hanya pada satu atau dua masalah, serta memperlihatkan betapa orang- orang dan masyarakat mengalami kerusakan luar biasa apabila kekuasaan digunakan dengan impunitas.”[4]

Mengapresiasi apa yang diangkat dalam film malam itu, Putu Oka, yang antara tahun 1966 hingga 1976 dipenjarakan di rumah tahanan Salemba dan Tangerang tanpa proses peradilan, mengatakan, “Jerman lebih cepat dan cerdas. Artinya berani melihat dirinya. Berani melihat sejarahnya secara objektif, karena mereka lebih rasional.”

Persoalan yang ada di Indonesia adalah, kita sering mendengar ajakan pejabat tinggi di negeri ini untuk lebih memikirkan masa depan, memendam apa yang sudah terjadi di masa lampau. Selain itu, banyak pula kalangan militer yang ‘berlumuran darah’ ingin menjadikan kesalahan mereka di Timor Leste sebagai urusan bangsa. Sejarawan Hilmar Farid menilai,

“Sikap ini saya kira sama bejatnya dengan mengkonversi utang pribadi para konglomerat menjadi utang publik yang kemudian harus dibayar oleh rakyat. Seperti halnya dalam urusan utang, banyak elite politik menggunakan jargon ‘harga diri bangsa’ atau patriotisme kosong untuk membela kepentingan mereka yang sangat sempit.”[5]

Ketua CAVR Aniceto Guterres juga mengatakan, bahwa lembaga yang ia ketuai itu diwajibkan untuk mengarahkan perhatian pada masa lalu demi kepentingan masa depan—masa depan Timor-Leste dan masa depan sistem internasional yang, sebagaimana diperlihatkan oleh Laporan itu, juga harus banyak belajar dari pengalaman Timor-Leste.[6]

Pesan dari Syaiful, sekiranya patut kita garisbawahi, “kalau memang negara belum sanggup, masih absen dalam upaya rekonsiliasi, saya pikir cara-cara kutlural: film, diskusi, (penerbitan) buku masih akan lebih efektif dalam rangka merawat ingatan. Mungkin butuh waktu yang lebih panjang. Tidak harus kita menunggu pemerintah.”

Bangsa yang berjiwa besar, tentu akan memandang penting pengungkapan sejarah. Supaya hal-hal buruk yang terjadi di masa lalu itu tidak terulang. Kasus Aceh, Papua, DI TII terulang karena kita tidak memiliki referensi sejarah, bahwa yang salah harus dihukum.

Jadi, masih takut pada sejarah?

[1] Wawancara Faisol Riza dengan Hilmar Farid di Edisi 558 | 20 Nov 2006 bisa dilihat juga di http://www.perspektifbaru.com/wawancara/558

[2] Film Dalan Ba Dame, produksi Comissão de Acolhimento, Verdade e Reconciliação de Timor Leste (CAVR - Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi) tahun 2005

[3] Ibid

[4] Chega! adalah laporan resmi yang diterbitkan CAVR dan berisi dokumentasi pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama tahun 1975-1999. Chega! sendiri adalah kata dalam bahasa Portugis yang berarti “jangan lagi, stop, cukup”. CAVR mulai digagas pada tahun 2000 dan ditulis sesuai dengan Regulasi UNTAET No. 10/2001. Edisi bahasa Indonesia diterbitkan pertama kali oleh Kepustakaan Populer Gramedia pada Agustus 2010.

[5] Hilmar Farid, Keadilan Bagi Timor Leste Prasyarat Demokrasi Indonesia. Artikel ini disampaikan dalam peluncuran buku Chega! di Perpustakaan Nasional, Jakarta, 7 Oktober 2010. Naskah juga bisa dibaca di www.sejarahsosial.org.

[6] Chega!

Fransiskus Pascaries