28 October 2012

Pertengkaran (tidak) Substansial

Syahdan, 4 Oktober 1896, dua orang muda tiba di pelabuhan Semarang, Jawa Tengah. Orang muda pertama namanya Franciscus Georgius Josephus Van Lith, biasa disingkat van Lith, lahir 17 Mei 1863. Sedangkan yang kedua punya nama Petrus Hoevenaars dan lahir 28 Desember 1860. Keduanya adalah imam anggota Serikat Yesus dari negeri kincir angin yang diutus ke Hindia Belanda. Keduanya mengikuti jejak dua misionaris Yesuit pertama yang tiba di Batavia pada 9 Juli 1859: Pater Martinus van den Elsen dan Pater J.B. Palinckx. Sebelumnya, 1546, St. Fransiskus Xaverius tiba di Ternate dan mendirikan sebuah stasi.

Seperti ditulis Greg Soetomo SJ, dkk dalam buku Semangat Lebih Yesuit: From Good to Great, terbitan OBOR tahun 2009, van Lith dan Hoevenaars diutus untuk memulai karya misi di antara orang Jawa pada awal abad kesembilanbelas.

Sejarah kemudian mencatat, terjadi 'ledakan' jumlah personil gerejani -imam, suster,maupun bruder- di negeri Belanda antara tahun 1900-1940. Banyak di antara mereka yang kemudian diutus ke Hindia Belanda, yang kemudian menjadi Indonesia.

Hoevenaars dan van Lith memiliki beberapa kesamaan. Keduanya cerdas. Sama-sama bersemangat besar, juga tidak kenal lelah dalam berkarya. Namun, beberapa perbedaan cara pandang di antara keduanya ternyata berbuntut panjang dalam perjalanan karya misi di Indonesia. Pastor van Lith berpandangan, seorang misionaris yang berada di tanah Jawa harus menjadi sebagaimana layaknya orang Jawa. Sementara Hoevenaars berpendirian, sebaiknya para misionaris bertindak sebagaimana layaknya seorang bapa-pendidik. Seiring perjalanan waktu, van Lith melakukan eksperimen dengan menerjemahkan doa Bapa Kami dan doa-doa lain ke dalam Bahasa Jawa. Guna mendalami Bahasa Jawa, van Lith mempelajari berbagai kamus, paramasastra, terjemahan kitab suci, dsb. Untuk itu, van Lith sering kongkow-kongkow dengan petani dan pamong praja. Lebih dari 30 kali ia mondar-mandir ke Yogyakarta dan Solo untuk menemui beberapa bangsawan Jawa. Itu semua dilakukan van Lith, untuk memperdalam pandangan masyarakat Jawa tentang Sang Pencipta.

Di titik itulah mulai tampak perbedaan yang melekat antara van Lith dan Hoevenaars muda. Keduanya punya pandangan yang berbeda tentang penggunaan Bahasa Jawa krama inggil. Hoevenaars berpandangan, penggunaan krama inggil sebagi wujud mentalitas budak belian. Sementara, van Lith berkeyakinan, penggunaan krama inggil sama sekali tidak meniadakan hubungan cinta kasih dan kepercayaan antara orangtua dengan anak, pada keluarga dan masyarakat Jawa. “Saya hidup di tengah-tengah orang Jawa. Saya merasa dan berpikir seperti mereka,” kata van Lith.

Perbedaan mulai terlihat ketika Vikaris Apostolik Jakarta Mgr.Edmundus S Luypen SJ memerintahkan kedua imam muda itu untuk membuat memorandum. Mereka ia perintahkan menuliskan ide-ide masing-masing mengenai masa depan misi Jawa, sarana yang harus digunakan, juga metode yang harus digunakan. Luypen tak ingin, perbedaan antara kedua londo muda itu merusak misi yang baru seumur jagung. Hoevenaars mencetuskan program-program pendidikan dan sosial ekonomi. Ia yakin, di Mendut dan sekitarnya, juga mungkin kelak di tempat lain, harus dibangun sekolah-sekolah desa dan beberapa unit ekonomi yang dapat menolong umat Katolik. Sementara van Lith yakin, metode Hoevenaars itu hanya akan berhasil di beberapa tempat. Karena, jumlah misionaris tidak akan pernah cukup untuk melayani umat Katolik di seluruh Jawa.

Menurut van Lith, yang pertama harus dilakukan adalah menggembleng kaum elit dalam masarakat Jawa seperti guru, pamong praja, imam, dokter. Tak penting untuk menunjuk, manakah di antara kedua imam londo itu yang lebih unggul. Satu hal yang perlu kita ambil maknanya adalah mereka sama-sama berjuang untuk mewujudkan karya mereka.

***

Hari Sumpah Pemuda kembali kita peringati beberapa hari ini. Banyak cara dilakukan anak bangsa ini untuk mengenang. Ada yang menggelar diskusi, upacara, bedah buku, dan macam-macam. Dalam sebuah tulisan di Indo Progress, Wilson Obrigado mengakhiri reportasenya mengenai diskusi bersama Tariq Ali di Restoran Tjikini 17, pada 12 Oktober 2011 lalu, demikian: "Di negeri ini, kebanyakan aktivis lebih suka mengambil jalan pintas, masuk ke dalam partai mainstream dengan ilusi membuat perubahan dari dalam."

Saya percaya, Wilson tak sendiri. Ada banyak aktivis lain yang enggan masuk ke parpol berpandangan sinis seperti Wilson. Perubahan dari dalam yang tengah diupayakan oleh mantan aktivis seperti Budiman Sudjatmiko, Rieke Diah Pitaloka, Agung Putri, dsb mereka pandang sebagai ilusi. Sementara di seberang Wilson, politisi PDI Perjuangan seperti Budiman dan Rieke memandang, jalur partai politik menjadi penting untuk merintis perubahan. Rieke, teman separtai Budiman, bahkan sedang digadang-gadang untuk maju sebagai Gubernur Jawa Barat oleh PDI Perjuangan.

Saya percaya, seperti Wilson, Budiman punya kubu sendiri-sendiri. Terlepas dari aspek moral, masing-masing punya jalan yang diyakin tepat untuk ditempuh, katakanlah, untuk Indonesia yang lebih baik. Dikotomi 'di luar' ataukah 'di dalam' parlemen sebenarnya bukan baru kali ini terjadi. Kalau kita menyimak sejarah negeri ini, kita akan ingat bahwa dikotomi itu bukan barang baru. Pada masanya, tahun 1966, almarhum Soe Hok Gie dan Arief Budiman kakaknya, juga pernah memilih jalan yang berbeda dari rekan-rekannya mereka seperti Cosmas Batubara dan Akbar Tanjung.

Sejarah mencatat, perbedaan pilihan itu punya jalannya masing-masing. Cosmas dan Akbar menjadi politisi, sementara Arief Budiman menjadi intelektual yang berpandangan kritis pada zaman orde lama yang ia turut jungkalkan, maupun orde baru. Rekan-rekannya yang sebelumnya berpeluh di jalan raya, berdemonstrasi menuntut mundurnya Presiden Soekarno, kemudian masuk parlemen. Sementara Gie tewas menghirup gas beracun di Semeru. Tapi, sampai kapan kita akan terus-menerus terjerembab dalam diskusi, yang jika tidak disikapi secara kritis akan berujung pada debat kusir ini?

Sebaiknya, sebagai angkatan muda di negeri ini kita tidak terus-menerus bertengkar dalam dikotomi itu. Alangkah baiknya, orang muda di republik ini menjalani pilihannya masing-masing. Menjalani apapun itu dengan penuh dedikasi, dan menjunjung tinggi nilai universal: anti-korupsi, menjunjung tinggi HAM, kemanusiaan, anti-kekerasan, mengedepankan intelektualitas, dsb.

Saat menghadapi perbedaan antara van Lith dan Hooevenaars, Luypen bersikap amat bijak. Ia tak ingin, perbedaan antara kedua orang muda itu merusak misi yang baru seumur jagung. Sekarang, apakah kita mau terus-menerus bertengkar? Apakah kita sadar bahwa pertengkaran yang tidak substansial bisa merusak impian kita dalam sebuah nasion bernama Indonesia ini? Foto: Wikipedia

Fransiskus Pascaries