31 October 2013

Bukan Jurnalis (Perempuan) Biasa

I know you are suffering. This gonna be tough for you. But you don’t let this guy colonize your soul.

Kalimat itu meluncur dari mulut seorang ibu saat anak perempuannya baru saja keluar dari sebuah rumah sakit di Meksiko. Sang anak dirawat setelah diserang dan diperkosa orang tak dikenal di sana. Sang anak berpikir ia akan segera mati. Mata sang ibu menatap tajam padanya sambil mengucapkan kalimat itu. Ada penekanan dalam kata don’t.

Sang anak adalah Lydia Cacho. Jurnalis Meksiko yang pemberani. Amat berani.

Saat mendengar kalimat dari sang ibu, Lydia merasa ada sesuatu dalam hatinya yang bergetar. Ia pun bergumam, “This is it” dan mengamini apa yang dikatakan sang ibu padanya itu.

Sungguh tak keliru dan menyesal saya menyisihkan sebagian tabungan untuk bertandang ke UWRF 2013. Di perhelatan tahun kesepuluh itu, jurnalis kelahiran 12 April 1963 ini adalah salah satu sosok yang paling menarik perhatian saya sejak jadwal UWRF dirilis.

Ia hadir dalam beberapa sesi di UWRF 2013. Tapi saya hanya hadir di dua sesi: Dangerous Ideas dan Without Fear. Di sesi Dangerous Ideas yang dipandu Michael Vatikiotis, Lydia duduk satu panel dengan Danny Morrison dari Inggris, Mona Prince dari Mesir, dan Solahudin peneliti jihad di Indonesia. Sedangkan di sesi Without Fear ia tampil seorang diri dipandu Ariel Leve.

Ancaman pembunuhan berkali-kali ia alami. Siksaan dan teror kerap ia terima. Ia bahkan pernah diperkosa di sebuah terminal di Cancun, Meksiko. Ia menduga keras, hal ini menimpanya karena ia meliput isu-isu sensitif seperti kekerasan pada perempuan. Ia juga menderita karena perlakuan kekerasan karena keberaniannya meliput para politisi yang terlibat dalam jaringan prostitusi anak internasional.

Ia terluka fisik dan mental, bahkan nyaris kehilangan nyawa. Tapi ia tak mundur. Sejengkalpun.

Ayahnya orang Meksiko. Darah pemberani yang mengalir dalam diri Lydia berasal dari nenek dan ibunya yang adalah orang Prancis. Neneknya turut berjuang untuk melindungi dan menyelamatkan sejumlah aktivis politik yang diburu serta disiksa pemerintahan diktator Oliveira Salazar di Portugal dan Franco di Spanyol. Sedangkan sang ibu yang bermigrasi dari Prancis ke Meksiko semasa perang dunia kedua, pada masanya ikut berjuang sebagai aktivis hak-hak perempuan di kantong-kantong kemiskinan di Meksiko.

Sang ibu yang feminis itu kerap mengajak Lydia turut serta dalam pekerjaannya di kalangan akar rumput di sekitar rumah mereka.

“Nenek dan ibu saya mengajari saya untuk turut bertanggungjawab dan bertindak atas apa yang saya saksikan,” ujar Lydia seperti dikutip The Independent.

Hidup ini, bagi Lydia, adalah soal memilih. Setiap bangun pagi, menurut Lydia, kita memutuskan untuk melakukan sejumlah hal.

“Kadang kita lakukan itu dengan sadar, ada kalanya justru sebaliknya. Kadang kita hanya lakukan itu dan berseru ‘Sial, aku lakukan ini!’, ” ujar Lydia.

Lydia juga berteman baik dengan Anna Politkovskaya, seorang jurnalis Rusia yang pada 7 Oktober 2006 ditembak oleh kaki tangan Vladimir Putin. Anna dibunuh karena lewat liputannya kerap melancarkan kritik seputar kebijakan Kremlin di Chechnya.

Mereka berdua sama-sama pernah menjadi penerima Penghargaan Guillermo Cano dari UNESCO. Lydia pada tahun 2008, sedangkan Anna tahun 2007. Lydia terakhir kali bertemu dengan Anna dua bulan sebelum jurnalis yang amat kritis pada Kremlin itu kehilangan nyawanya.

Anda mungkin pernah mendengar The Civil Courage Prize yang pada tahun 2005 diterima Munir dari The Trustees of The North Court Parkinson Fund, lembaga independen yang berbasis di New York. Nah, Lydia menerima penghargaan yang sama tahun 2011 atas dedikasi dan keberaniannya yang dikenal publik internasional itu.

Di ujung sesi Without Fear, setelah banyak sekali orangmuda atau mereka yang telah berumur meminta berfoto dengan Lydia, saya menemuinya. Saya sekilas bercerita tentang liputan saya soal peristiwa Timor Leste tahun 1999, dan meminta sarannya secara umum. Saya mengajaknya berbincang dalam bahasa Spanyol.

Ia bilang pada saya, perlunya pemahaman yang kuat soal motivasi yang mendorong kita meliput tema tertentu. Itu sangat penting. “Satu yang terpenting adalah pemahaman kita pada masalah dan kemampuan kita dalam meliputnya,” tegas perempuan yang tahun 2011 menjadi salah satu dari 100 perempuan berpengaruh di dunia versi majalah Newsweek ini.

Saya sungguh tergetar dengan kata-kata Lydia yang dikutip The Independent: “Saya tidak mundur, bukan karena saya tidak menyadari bahaya yang ada di sekeliling saya. Rasa takut itu teramat nyata dan kekerasan masih terjadi untuk membungkam orang seperti saya. Kekuatan yang saya punya ini datang dari para gadis korban perkosaan. Kekuatan mereka telah merasuk ke dalam diri saya.”

Lydia Cacho memang bukan jurnalis dan perempuan biasa. Foto 1 by Irene Galuh Foto 2 dari kiri ke kanan: Danny Morrison (Inggris), Mona Prince (Mesir), Michael Vatikiotis (moderator), Solahudin (Indonesia)dan Lydia Cacho.

06 October 2013

Mahkamah Konstitusi

Banyak orang di republik ini tersentak ketika Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap lalu digelandang dari rumahnya ke gedung Komisi Pemberantasan Korupsi. Banyak pula orang marah, sedih, serta kecewa karena berita ini. Sampai-sampai ada wacana dari sejumlah politisi, tokoh nasional dan warga sipil untuk membubarkan lembaga ini, atau sekurangnya mengurangi kewenangan luar biasa yang dimiliki MK.

Tapi semudah dan sesederhana itukah untuk membubarkan atau mengurangi peran MK? Tulisan ini sedikit mau mengetengahkan sejarah dan pentingnya peran MK di sebuah negara. Tak hanya di Indonesia tapi juga di negara lain di dunia.

Tahun 2006 sebagai kontributor Majalah Hidup saya mewawancarai Benny K Harman, yang saat itu adalah anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat. Sebelumnya, pada 20 Mei 2006 Benny mempertahankan disertasi setebal 500 halaman berjudul ”Perkembangan Pemikiran Mengenai Perlunya Pengujian UU Terhadap UUD Dalam Sejarah Ketatanegaraan Indonesia (1945-2004)” di depan tim penguji Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Benny menempuh program doktor di UI sejak 2001. Pembimbing sekaligus Ketua Pengujinya adalah Prof Dr Jimly Asshiddiqie SH, Ketua Mahkamah Konstitusi RI yang pertama.

Naskah saya terbit pada edisi No. 30, tanggal 23 Juli 2006 dalam rubrik Eksponen.

Menurut Benny, ada dua hal penting yang mendorongnya menulis disertasi dengan topik ini. Pertama, berkaitan dengan posisi konstitusi dalam sebuah negara yang menganut paham demokrasi. Kedua, berkaitan dengan bagaimana menjaga dan melindungi konstitusi.

”Dalam paham negara demokrasi, konstitusi adalah norma hukum paling tinggi. Kalau dia merupakan norma hukum paling tinggi, maka segala kebijakan pemerintah, semua penyelenggaraan kekuasaan negara harus tunduk pada konstitusi,” ujar mantan wartawan bidang hukum dan politik Harian Umum Media Indonesia ini.

Yamin vs Soepomo Dalam ringkasan disertasi setebal 129 halaman Benny menjelaskan, Muhammad Yamin adalah orang pertama yang mencetuskan pemikiran tentang perlunya kekuasaan kehakiman untuk memiliki kewenangan menguji UU terhadap konstitusi atau UUD. Hal itu mengemuka dalam sidang pleno Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) atau Dokuritsu Zyunbi Tjoosakai pada 15 Juli 1945.

Yamin mengusulkan itu karena ingin menjadikan Indonesia sebagai negara kedaulatan rakyat, negara demokrasi yang mengacu pada konstitusi. Bukan negara demokrasi berdasarkan majority system, melainkan negara demokrasi yang berbasis konstitusi.

Dalam penilaian Soepomo, paham yang diusulkan Yamin mengenai pengujian UU itu adalah paham liberal yang merupakan ’anak kandung’ dari sistem demokrasi liberal. Sementara Soepomo menghendaki sebuah negara integralistik yang khas Indonesia. ”Pemikiran Yamin itu ditolak oleh Soepomo yang menginginkan negara integralistik,”jelas Benni.

Yamin berpendapat, negara khas Indonesia memang mengakui kedaulatan rakyat. Tetapi, kedaulatan rakyat itu diserahkan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melalui Pemilu, lalu MPR menyerahkan kembali kepada Presiden sebagai Mandataris.

Benny juga membandingkan pengujian UU terhadap UUD di Indonesia dengan beberapa negara di dunia, terutama Jerman yang telah belajar dari sejarah bangsanya. Di Negeri Bavaria itu, demikian Benny, pengujian dilakukan oleh sebuah lembaga semacam Mahkamah Konstitusi (MK). Tahun 1945, ketika Adolf Hitler masih berkuasa, pengadilan telah dijadikan alat oleh rezim yang berkuasa untuk menindas hak-hak asasi rakyat Jerman pada waktu itu.

”Hampir semua negara yang waktu itu mengalami transisi, dari rezim otoriter menuju demokrasi, memiliki MK sebagai salah satu institusi yang bertugas menjaga agar proses transisi itu berjalan on the right track,” Benny menambahkan.

Benny juga mengutip pandangan Sutan Syahrir 60 tahun silam. Waktu itu Syahrir menandaskan bahwa usaha untuk mengontrol UU jangan diserahkan ke pengadilan, yang sudah lama bekerja untuk rezim yang represif. Portugal (1986), Spanyol (1978) membentuk MK setelah melepaskan diri dari rezim otoriter. Pasca keruntuhan komunisme, muncul gelombang baru yang menuntut tegaknya konstitusionalisme di negara-negara lain di Eropa bagian timur dan tengah, dengan turut membentuk MK guna menguji tindakan pemerintah dan peraturan perundang-undangan terhadap UUD. Di benua itu, Luxemburg menjadi negara terakhir yang membentuk MK tahun 1998, meninggalkan Inggris dan Belanda. Sementara di Asia, Korea Selatan sudah memiliki lembaga semacam MK tahun 1988, disusul Thailand satu dekade kemudian. Indonesia menjadi negara terbaru (sampai tahun 2006 ketika wawancara ini saya lakukan) di kawasan Asia yang mendirikan MK yang ia juluki sebagai the guardian of the constitution.

MK memang tengah dihantam badai. Tapi membubarkannya tentu tak lantas menyelesaikan masalah. MK, dengan segala macam cara yang mungkin, harus kita topang.

13 May 2013

Orang Kecil dalam Peristiwa Besar

Pernah ada seorang penggali makam di Arlington National Cemetery, Negara Bagian Virginia, Amerika Serikat. Clifton Pollard namanya. Seorang yang menjalani pekerjaan dengan gembira. Terlebih saat di akhir November 1963 ia mempersiapkan sebuah liang lahat untuk orang yang disebutnya sebagai ‘orang baik’: Presiden John Fitzgerald Kennedy atau biasa disingkat JFK. Seperti kita tahu, tanggal 22 November 1963 JFK mati bersimbah darah dalam pelukan Jacqualine Kennedy sang istri, karena diberondong timah panas di Dealey Plaza, Dallas, Texas, Amerika Serikat.

Kisah Clifton Pollard di hari pemakaman itu ditulis Jimmy Breslin dalam New York Herald Tribune November 1963, dalam news feature berjudul It’s an Honour. Bahasa yang dipakai sangat renyah. Berkali-kali saya membacanya, tak bosan-bosan juga. Sungguh sebuah karya jurnalistik yang memukau. Sudut pandang yang dipilih, gaya bahasa yang mengalir bak cerpen, penuturan yang singkat namun padat, sungguh membuat saya bisa merasakan deskripsi yang coba dihadirkan Breslin. Berkali-kali saya baca naskah itu, berkali-kali pula saya terkesima.

Saya bersyukur bisa mengikuti kursus narasi di Pantau dengan Andreas Harsono dan Budi Setiyono sebagai mentor. Naskah It’s an Honour yang diterjemahkan menjadi Ini Sebuah Kehormatan bisa saya baca, karena naskah itu menjadi salah satu dari sejumlah naskah bagus lainnya yang harus kami lahap. Ada naskah lain: Hiroshima karya John Hersey, The Silent Season of A Hero besutan Gay Talese, The Soccer War torehan Ryszard Kapuściński, Orang-Orang Ditiro liputan Linda Christanty, Panglima, Cuak, dan RBT tulisan Chik Rini, dan masih banyak lagi.

Wikipedia mencatat, kolom itu menunjukkan gaya Breslin, yang sering menyoroti bagaimana peristiwa besar atau tindakan mereka yang dianggap "berita" mempengaruhi "orang biasa".

Breslin tidak mewawancara menteri. Tidak juga Wapres Lyndon B Johnson yang kemudian dilantik sebagai presiden pengganti JFK. Tidak janda mendiang JFK, Jacqualine Kennedy. Tak ada petinggi Gedung Putih yang Breslin wawancarai terkait pemakaman JFK. Breslin menyingkir dari keramaian dan hiruk pikuk Arlington National Cemetery itu, untuk mendatangi keluarga Pollard di apartemen tiga kamar di Corcoran Street.

“Dia (JFK) orang yang baik,” kata Pollard pada John Metzler sang mandor.

“Ya, memang,” sahut Metzler.

“Sekarang dia akan datang ke sini dan berbaring di liang lahat yang saya gali. Kau tahu, ini benar-benar sebuah kehormatan buat saya, mengerjakan semua ini,” imbuh Pollard yang digaji $3.01 per jam untuk pekerjaanya itu.

Pollard tak hadir saat upacara pemakaman berlangsung. Dia berada jauh di balik bukit itu, menggali kubur lain. Entah kubur untuk siapa.

Di antara peluhnya, Pollard bergumam: “Tadi saya mau melihat ke sana. Tapi ada terlalu banyak orang, kata tentara tadi, saya tak boleh mendekat. Jadi, ya saya tetap di sini dan menggali. Tapi nanti saya akan ke sana sebentar. Cuma melihat sebentar, ya kan? Seperti kata saya padamu tadi, ini sebuah kehormatan.”

Membaca kisah brilian itu, selayaknya kita tak perlu kaget-kaget amat kalau tahu profil penulisnya. Terang saja, Jimmy Earl Breslin ini sama sekali bukan penulis kacangan. Dari wikipedia, saya tahu ia pernah meraih dua penghargaan bergengsi: Georg Polk Award dan Pulitzer Prize, masing-masing tahun 1985 dan 1986. Pria kelahiran Jamaica, New York, 17 Oktober 1930 itu menjadi kolumnis untuk New York Herald Tribune, the Daily News, the New York Journal American, Newsday, dan lainnya.

Dari Indonesia, sejarawan almarhum Sartono Kartodirdjo juga pernah menulis tentang pemberontakan kaum petani di Banten. Bukan tulisan sembarang tulisan, melainkan sebuah karya disertasi berjudul The Peasant’s Revolt of Banten in 1888, Its Conditions, Course and Sequel: A Case Study of Social Movements in Indonesia. Disertasi itu dibuat almarhum saat menempuh studi doktoral di Universtas Amsterdam, Negeri Belanda tahun 1966.

Begitulah. Ada banyak hal, kisah, dan orang kecil di balik peristiwa-peristiwa besar. Orang-orang itu kerap tenggelam di balik gegap gempita seremoni. Mereka nyaris selalu luput dari kilau jepretan kamera para jurnalis foto.

Tapi kita selayaknya tak lupa, bahwa sejarah umat manusia memang selalu hadir karena peluh, bahkan darah, dari orang-orang kecil itu. Clifton Pollard pada tahun 1963 dan para petani di Banten tahun 1888 itu hanya dua di antaranya.

Sumber foto teratas: http://www.findagrave.com/cgi-bin/fg.cgi?page=pv&GRid=33858642

Sumber foto Breslin: http://www.cityandstateny.com/the-new-yorker-an-interview-with-jimmy-breslin/

22 April 2013

Media Massa dan Pembodohan Massal

Satu kasus pembunuhan menyedot perhatian publik Boston, Amerika Serikat tahun 1989. Harian The Boston Globe memberitakan peristiwa tertembaknya seorang wanita dalam mobil yang berhenti di sebuah bagian suram kota Boston. Sang suami yang juga berada di mobil itu tak ikut tewas, meski menderita luka. Polisi turun tangan memeriksa tempat kejadian perkara, sebuah daerah yang dicap rawan karena dihuni orang-orang hitam dan miskin. Persoalan obat bius, kriminalitas dan kekerasan begitu lekat dengan daerah itu. Polisi menggelar penggeledahan dan interogasi. The Boston Globe mengarahkan liputan ke para penghuni kawasan itu.

Singkat kata, investigasi polisi pun usai. Tapi terbukti kemudian, sang suamilah yang menembak mati sang isteri, dan lalu, melukai diri sendiri, dengan harapan bisa mengelabui polisi. The Boston Globe memberitakan semuanya, tapi tampak bahwa dalam investigasinya awak redaksi mereka ikut memulai praduga bahwa si pembunuh berasal dari kawasan miskin yang dihuni orang-orang hitam itu.

Kisah itu ditulis oleh pendiri majalah Tempo Goenawan Mohammad (GM) dalam kata pengantar buku Sembilan Elemen Jurnalisme: Apa yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan Diharapkan Publik yang diterbitkan Yayasan Pantau tahun 2006. Buku itu adalah karya terjemahan dari dua wartawan senior Amerika Serikat Bill Kovach dan Tom Rosentiel: The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect. Buku asli ini terbit pertama kali tahun 2001.

GM hadir dalam sebuah diskusi di Harvard dalam program Nieman Fellowship saat itu. Kovach sebagai mentor menyampaikan kesimpulannya pada GM. Kata Kovach, para wartawan The Boston Globe tak menyadari prasangka-prasangka yang merasuk dalam diri mereka sendiri –yang datang antara lain karena kelas sosial yang berjauhan bahkan bertentangan. Para wartawan itu sudah hidup terlalu jauh dari kalangan miskin. Andai ada wartawan yang tinggal atau bekerja di kawasan kumuh itu, tentu akan lebih bisa merasakan bagaimana sewenang-wenangnya tuduhan awal itu kepada warga kulit hitam di tempat kejadian perkara.

***

Dua puluh tiga tahun kemudian kisah serupa masih terjadi. Bukan di negeri Paman Sam, tapi di Indonesia. Bukan soal pembunuhan, tapi soal tuduhan penggunaan ilmu hitam semacam santet. Kemiripan terjadi, ketika media turut berperan menghakimi orang yang belum tentu salah, sekaligus belum tentu benar.

Saya tak tahu siapa nama tokoh di Boston yang diceritakan ulang oleh GM itu. Tapi untuk kasus di Indonesia ini, tokoh sentralnya tentu tak asing di telinga kita akhir-akhir ini: Eyang Subur. Tentu, ini bukan satu-satunya kasus yang menunjukkan betapa jurnalisme negeri ini begitu rendah mutu dan tidak –atau belum– memainkan peran secara maksimal bagi pencerdasan masyarakat.

Berminggu-minggu sudah media memborbardir masyarakat dengan berita soal Eyang Subur. Kebencian diumbar di televisi. Pemirsa disuguhi raut muka merah, sambil mengacungkan jari telunjuk dan sesekali mengepalkan tangan penuh amarah di layar kaca. Ada pula artis yang mengaku disantet Eyang Subur. Mereka mengumpat sang Eyang.

Saya tak ingat persis nama narasumber yang diwawancara acara infotainment itu. Seingat saya, acara itu menghadirkan tiga wawancara. Wawancara pertama berisi kisah seorang pria yang menuduh Eyang Subur telah mengguna-guna putrinya, karena menolak dijadikan istri kesekian dari sang Eyang.

Pria berusia sekitar 50 tahun itu bertutur, kisah bermula ketika lamaran Eyang Subur ditolak sang gadis. Gadis itu lantas menikah dengan pria pilihannya lantas hamil namun terkena kista. Selang beberapa waktu setelah keguguran, perut sang ibu dioperasi. Ditemukan gigi dan rambut di dalam rahimnya. Spekulasi lalu merebak: Eyang Suburlah telah melampiaskan amarah pada wanita muda itu karena lamarannya dulu ditolak.

Saya ceritakan kisah itu pada pacar saya. Ia tegas menolak ‘teori’ itu. Seorang dokter, yang kebetulan adalah ayah dari teman pacar saya bilang, bahwa ditemukannya gigi dan rambut dalam rahim itu dimungkinkan dalam dunia medis, ketika seorang perempuan pernah terkena kista. Apalagi jika usia kandungan sudah cukup tua. Gigi dan rambut itu tertinggal ketika sang janin keluar dalam kondisi meninggal.

Singkatnya, ‘teori’ tentang dendam sang Eyang terpatahkan dengan dalil ilmiah.

Terkait ini, saya jadi teringat kembali pada Bill Kovach dan Tom Rosentiel. Dari sembilan (kemudian menjadi sepuluh) elemen jurnalisme yang disodorkan duet itu, saya coba kaitkan kasus Eyang Subur dengan penjelasan mereka berdua tentang elemen ketiga, disiplin verifikasi dalam jurnalisme.

Bill dan Tom mengatakan, disiplin verifikasi itu adalah esensi dari jurnalisme. Nah, dalam kasus pemberitaan Eyang Subur ini, verifikasi sama sekali diabaikan. Kalau mau sedikit usaha, mengapa tidak ada wawancara dengan dokter kandungan? Tayangan itu –dan juga tayangan infotainment dan berita lain– menurut saya sudah melakukan pembodohan besar-besaran, karena masyarakat hanya disodori aspek mistis yang tak jelas ukurannya dalam kasus Eyang Subur. Tak ada penjelasan ilmiah yang coba dihadirkan di situ.

Dalam resensinya soal buku karya dua jurnalis kawakan itu, Andreas Harsono (salah satu murid mereka di Indonesia selain Goenawan Mohammad, Ratih Hardjono dan Sabam Siagian) menulis begini: “Disiplin mampu membuat wartawan menyaring desas-desus, gosip, ingatan yang keliru, manipulasi, guna mendapatkan informasi yang akurat. Disiplin verifikasi inilah yang membedakan jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi atau seni.

Mereka (Bill dan Tom) berpendapat, “saudara sepupu” hiburan yang disebut infotainment (dari kata information dan entertainment) harus dimengerti wartawan agar tahu mana batas-batasnya. Infotainment hanya terfokus pada apa-apa yang menarik perhatian pemirsa dan pendengar. Jurnalisme meliput kepentingan masyarakat yang bisa menghibur tapi juga bisa tidak
.”

Seingat saya, ada seorang pria lain yang diwawancara infotainment itu. Sayang sekali, saya lupa namanya. Saya hanya ingat, dengan mata melotot dengan jari yang berkali-kali ditunjuk ke meja, ia mengutuk Eyang Subur. Kalimat-kalimat penuh kebencian ia umbar. Kamera pun berkali-kali menyorotnya secara close up dengan gerakan yang diperlambat alias slow motion. Seorang pria lain yang diwawancara tampil sebagai pembela Eyang Subur.

Saya makin bingung, ketika Adi Bing Slamet membawa-bawa kasus ini ke Senayan, tempat para wakil rakyat bekerja. Saya tak habis pikir, kasus yang menurut saya tak jelas ukurannya, bisa dibawa-bawa ke ranah politik. Apakah DPR kekurangan beban pekerjaan? Target Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2012 hanya tercapai 30 Undang-Undang, baik UU baru maupun UU revisi. Sementara 39 sisanya terbengkalai begitu saja. Tahun 2011 cuma ada 24 UU yang berhasil disahkan, dari target Prolegnas sebanyak 93 UU maupun revisi UU. Sedangkan tahun 2010, dari 70 target Prolegnas, hanya 16 UU yang kelar dibahas dan disahkan.

Kegerahan itu bertambah ketika, entah kebetulan atau tidak, muncul wacara untuk memasukkan isu santet ke dalam KUHP. Bahkan ada anggota DPR RI yang studi banding ke Inggris, Prancis, Belanda dan Rusia khusus untuk ihwal ini. Saya jadi menggaruk-garuk kepala sendiri, yang sebenarnya tak gatal.

Saya sendiri, merasa sedih setiap kali melihat keluarga saya di rumah menonton tayangan infotainment. Mereka kerap menelan mentah-mentah informasi yang belum tentu benar. Kadang saya berdebat dengan mereka, kadang saya biarkan karena enggan bersitegang terus-menerus. Tapi ada jutaan orang lain di Indonesia yang tingkahnya seperti keluarga saya itu.

Beginilah hidup di negeri di mana rasionalitas masih kerap diabaikan. Parahnya lagi, media turut mendorong kemunduran ini.

Kenapa media begitu getolnya mengangkat kasus ini secara serampangan? Mengapa rasionalitas dilecehkan sedemikian parahnya hanya demi sensasi yang mendongkrak rating? Acara infotainment itu tayang sekian jam dalam sehari. Pagi, siang dan sore hari. Tentu banyak anak kecil yang menyaksikan. Tidak adakah yang memikirkan bagaimana dampak dari tayangan itu pada masyarakat terutama anak kecil?

Kasus kejahatan beralaskan kebohongan di Boston akhirnya terungkap tuntas. Tapi entah bagaimana kelanjutan kasus Eyang Subur ini. Saya meragukan ada media di Indonesia yang bisa tuntas membongkar kasus ini, atau kasus-kasus lain seperti bailout Bank Century, skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Trisakti, Semanggi, Cicak versus Buaya, Hambalang, atau yang terbaru: serangan sadis anggota Kopassus ke penjara Cebongan, Yogyakarta.

Satu dua media mendaku diri sebagai jagoan investigasi, tapi toh hanya hal-hal di permukaan yang mencuat di permukaan. Tak pernah ada yang membahas tuntas ... tas... tas...

Pembodohan massal lewat media sudah sering dan masih berlangsung. Entah sampai kapan.

Sumber foto: banjarmasin.tribunnews.com

20 April 2013

Wakil Rakyat, Beda Era Beda Motif

Parpol sedang disibukkan dengan urusan Daftar Calon Sementara anggota legislatif untuk Pemilu 2014. Beragam polah para politisi itu. Ada Yenny Wahid yang dilamar Partai Persatuan Pembangunan, setelah menolak bergabung dengan Partai Demokrat. Ada Bang Haji Rhoma Irama dan anaknya Ridho yang juga akan mencoba peruntungan di partai itu. Ada juga kakak beradik Ananda Mikola dan Moreno Suprapto yang maju lewat Gerindra. Hmmmmm....

Sejak beberapa tahun belakangan, kalangan artis, atlet yang sudah mandul prestasi, ikut-ikutan terjun ke dunia itu. Mirisnya, bahkan seorang anak presiden yang baru-baru ini mundur dari Senayan, tanpa malu menyatakan niat untuk kembali maju dalam pertarungan perebutan kursi 2014.

Eddy Baskoro Yudhoyoo alias Ibas kembali menarik perhatian publik. Setelah terpergok wartawan hanya mengisi absen tanpa masuk ruang rapat, ia mengajukan pengunduran diri dari DPR. Dalihnya: konsentrasi di partai. Tapi tak lama berselang, sejumlah petinggi Partai Demokrat menyatakan ia akan maju kembali untuk memperebutkan suara dari Dapil Jawa Timur VII. Ia akan ‘diperalat’ Partai Demokrat untuk mengeruk suara di Kabupaten Pacitan, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Magetan, dan Kabupaten Ngawi. Setelah meninggalkan parlemen, yang artinya ia khianat atas mandat para pemilihnya, tanpa malu Partai Demokrat terang-terangan akan mengajukan dirinya untuk pemilu 2014.

"Mas Ibas sudah jelas jadi vote getter yang terbesar di daerahnya. Kalau dia maju akan mempermudah mekanisme sistem seperti ini untuk Demokrat mendapat suara terbanyak," begitu kata Ketua DPP Partai Demokrat Gede Pasek Suardika.

“Maju caleg untuk menyerap suara,” ujar anggota Dewan Pembina PD Ahmad Mubarok.

Menurut dia, jika nanti terpilih, Ibas akan langsung mundur. Perolehan suara Ibas nanti diberikan kepada caleg urutan selanjutnya. “Dia potensial menarik suara. Dia pada (Pemilu) 2009 suaranya tertinggi se-Indonesia,” imbuhnya. Entah apa yang ada di pikiran para petinggi Demokrat itu. Suara para pemilih dianggap sebagai angin lalu. Setiap lembar suara itu tak ubahnya sebuah pesan: “tolong perjuangkan nasib kami lewat Dewan.”

Itu cerita Ibas. Satu yang menarik saya temui dari ungkapan salah satu politisi muda Partai Demokrasi Indonesi Perjuangan (PDIP) Maruarar Sirait. Dalam sebuah acara, ia menceritakan bagaimana ia maju sebagai wakil rakyat di DPR RI, karena sanggup meraih simpati publik dari daerah pemilihan Subang, Majalengka, dan Sumedang yang 95 persen beragama Islam, dan tentu saja bersuku Sunda.

“Kalau orang Medan maju dari Medan, orang Papua maju dari Papu, saya rasa ini bukan Indonesia yang kita mau,” tegasnya.

***

Ingatan saya melayang kembali ke sebuah obrolan dengan salah satu petinggi Partai Komunis Indonesia. Oey Hay Djoen namanya. Tahun 2006 saya pernah menyambanginya di rumahnya yang sejuk di Cibubur, Jakarta Timur.

Oey yang dulu juga pegiat Lekra itu menyambut dengan ramah kedatangan saya. Keletihan yang terlihat di wajahnya seolah ia ingin sembunyikan dari saya. Bagaimana tidak letih? Saban hari ia berkutat dengan penerjemahan buku-buku asing bertema filsafat dan sejenisnya.

Salah satu pegiat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang lalu menjadi elit Partai Komunis Indonesia, almarhum Oey Hay Djoen pernah bercerita, bagaimana tahun 1954 ia didatangi beberapa petinggi PKI untuk menjadi calon anggota DPR dan Konstituante dalam Pemilu 1955. Saat itu Oey bekerja sebagai Sekretaris Organisasi Perusahaan Sejenis. Ia menjadi Sekretaris Gabungan Perusahaan-Perusahaan Rokok tingkat nasional.

“Mereka minta apakah aku bersedia dicalonkan oleh PKI untuk masuk ke DPR dan Konstituante pada waktu itu,” kata Oey.

Ia sontak bingung, dan menganggap ajakan itu penting. Karena, pada waktu itu ia sama sekali bukan anggota partai palu arit itu. PKI meminta orang seperti Oey ini membuat program partai untuk pengusaha nasional, seniman, agar bisa memperjuangkannya di parlemen.

Tapi era sudah berganti. Menjadi anggota dewan sekarang, tak ubahnya profesi ‘basah’. Profesi itu bisa menghantarkan seseorang memasuki kelas sosial ekonomi yang lebih tinggi. Hakikat mereka sebagai wakil rakyat seperti dilantunkan Iwan Fals dalam lagunya sungguh makin jauh panggang dari api. Simak saja liriknya, “Wakil rakyat seharusnya merakyat...”

Saya ingin mengutip pidato Walikota New York Michael Bloomberg. “Political controversies come and go, but our values and our traditions endure.” Itu ia ucapkan menanggapi penolakan sebagian besar warganya atas pendirian masjid dan Islamic Cultural Centre kurang lebih satu blok dari tempat kejadian hancurnya WTC New York.

Begitulah (calon) anggota legislatif dari masa ke masa. Beda era, beda pula motifnya.

SBY, Twitter, dan Paradoks Komunikasi

Di tengah kemacetan Jakarta, biasanya saya selalu dihibur oleh penyiar-penyiar nan kocak di 101 Jak FM. Sudah beberapa hari ini banyolan di radio itu –barangkali juga di radio lain– mengambil tema Presiden SBY dan akun twitternya yang baru. Sepulang kantor sambil sesekali mengutuk kemacetan karena banjir, saya mendengar SBY baru saja mem-follow beberapa artis seperti Gading Marten, Julia Estelle, Addi MS, Masayu Anastasia. Sebelumnya ia juga sudah follow akun twitter Boediono sang wapres, dan anggota keluarga Cikeas.

Kancah twitter Indonesia memang sedang heboh, setelah orang yang nangkring di tampuk kekuasaan tertinggi di negri ini, ikut-ikutan berkicau di sana. Saban hari, situs berita mengulasnya. Ruang siar di radio-radio tanah air juga tak ketinggalan mengulasnya. Seperti dikutip banyak media, ada yang berkomentar nyinyir seperti, “Mending ngurus negara aja deh. Daripada twitteran mulu.” Tak sedikit yang minta difolbek, alias follow back.

Sebagai salah satu ikon populer di internet, twitter sungguh sarat dengan paradoks. Barangkali anda pernah mendengar ungkapan bahwa internet ini mendekatkan yang jauh sekaligus menjauhkan yang dekat. Sudah pemandangan yang jamak kalau kita naik bus kota, ada orang yang cengar-cengir sendiri sambil mengelus-elus ponselnya. Tapi di saat yang bersamaan, kita mengabaikan penumpang lain yang barangkali membutuhkan tempat duduk. Atau mungkin kita tak sadar, tangan jahil copet tengah beraksi.

Rupanya, presiden yang namanya Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY juga terjangkit ‘endemi’ ini. Polahnya betul-betul paradoksal. Perhatikan cuitan pertamanya 13 April lalu: “Halo Indonesia. Saya bergabung ke dunia twitter untuk ikut berbagi sapa, pandangan dan inspirasi. Salam kenal. *SBY* ” Bapak dari Pacitan itu merasa yakin, bergabungnya ia ke twiter land bisa mendekatkan dirinya dengan masyarakat. Ia tak sadar, bahwa komunikasi via dunia maya hanyalah pelengkap dari komunikasi tradisional: tatap muka.

Tapi faktanya apa? Kegiatan blusukan yang ia lakukan hanya berusia jagung. Kesan seremonial nan kaku lebih kuat terasa, ketimbang suasana penuh kehangatan.

Kalau kita tengok ke belakang, di masanya dulu, para pegiat Lembaga Kebudayaan Rakyat alias Lekra sudah menjalankan itu dengan istilah turba alias turun ke bawah. Bukan secara sporadis. Bukan untuk semata pencitraan (walau harus kita sadari, tanpa pencitraan politik tak akan pernah ada) yang kadang memualkan. Ya, memualkan karena lebih mengedepankan polesan menor ketimbang substansi. Pada masanya, Lekra melakukannya secara sistematis. Seniman-seniman berbulan-bulan hidup di tengah masyarakat agar dapat menghasilkan karya seni yang betul-betul mengangkat denyut nadi kaum tertindas.

Kembali ke soal SBY dan mainan baru twitternya. Salah satu tujuan dari dibuatnya akun twitter itu adalah untuk mendekatkan diri dengan rakyat dan mendengar aspirasi secara langsung. Akun Twitter Presiden akan dikelola oleh tim. Namun, Presiden bisa nge-tweet sendiri jika ada informasi penting yang ingin disampaikan kepada publik. Itu saya kutip dari Kompas.com.

Saya barangkali hanya satu dari sekian banyak orang yang bertanya-tanya, kenapa (baru) di ujung masa pemerintahannya SBY nongol di twitter. Kalau mau mendekatkan diri, kenapa baru sekarang? Lagipula, apa iya selama ini SBY dan jajarannya kekurangan media untuk berkomunikasi dengan rakyat? Seharusnya, bapak mertua Anisa Pohan ini tak usah was-was, karena apapun yang ia lakukan pasti akan jadi bahan liputan. Cucunya lahir diliput. Ia terserang flu diliput. Pamer hobi memasak diliput. Semua bisa diliput tanpa ia harus repot-repot mengerahkan media. Ia tak seperti seorang teman saya yang selalu cemberut, kalau acara yang ia gelar hanya diliput segelintir wartawan.

Anehnya lagi, kalau SBY benar mau menangkap aspirasi masyarakat, kenapa ia sangat selektif dalam mem-follow akun twitter orang lain? Para wartawan kepresidenanpun harus diundi untuk dapat ‘keberuntungan’ di-follow menantu Sarwo Edhie Wibowo ini. Apakah dengan mem-follow para artis ia merasa bisa menangkap aspirasi masyarakat?

Paradoks itu benar-benar terasa baunya.

09 January 2013

Editor

Baru-baru ini saya mengedit sejumlah naskah sebuah bakal buku yang dipersembahkan bagi seorang profesor terpandang di negeri ini. Meski itu bukan proyek profesional, yang mana saya dibayar, saya tidak berkeberatan saat dimintai tolong seorang teman, yang juga penulis di buku itu, mengerjakan proyek “2M” (Makasih, Mas) tersebut. Ada pengalaman mengasyikkan bagi saya saat mengedit naskah itu. Jumlahnya tidak banyak. Hanya 45 halaman termasuk sampulnya. Ada ide-ide para penulis dalam buku keroyokan itu yang bisa saya dalami. Berbicara soal editing, saya langsung teringat pada sebuah naskah jurnalisme. Anda pernah dengar naskah Hiroshima karya John Hersey? Itu naskah hebat, sampai-sampai pada tahun 1999 sekelompok ilmuwan di Universitas Colombia, Amerika Serikat menobatkannya sebagai karya jurnalisme terbaik abad 20. Dari seratus naskah yang dinilai, karya yang memotret kota Hiroshima luluh lantak karena bom atom itu, berada di nomer wahid.

Naskah itu dilahirkan dari tangan seorang yang bekerja sebagai sekretaris Sinclair Lewis penerima hadiah nobel sastra tahun 1930. Hersey juga pernah menggondol hadiah Pulitzer tahun 1944 lewat novel A Bell for Adano. Jadi sebelumnya naskah ini terbit, reputasi Hersey juga sudah cukup mentereng.

Ceritanya, akhir tahun 1945 Hersey mendapat tugas dari majalah The New Yorker dan Life untuk meliput situasi perang dunia kedua di Tiongkok dan Jepang. Kita tahu Hiroshima pada tanggal 7 Agustus 1945 dibom sekutu. Sebelumnya, redaktur pelaksana The New Yorker William Shawn menawarkan sepuluh ide kerangka tulisan. Shawn awalnya ingin reporter Joel Sayre untuk meliput kota Cologne di Jerman Barat yang kena bom maut. Tapi, perang Eropa kelar duluan, dan ada peristiwa maha dahsyat di Hiroshima. Hal itu membuat Cologne tampak kecil. Shawn mau Hersey menulis soal bom dari sudut pandang korban.

Hersey pun berangkat ke Jepang melalui daratan Cina. Tanah di mana pada tanggal 17 Juni 1904 ia dilahirkan dari pasangan misionaris Roscoe dan Grace Baird Hersey. Tepatnya di kota Tientsin.

Sebenarnya Hersey belum membayangkan akan seperti apa naskah yang harus dia tulis. Tapi novel The Bridges of San Luis Rey karya Thornton Wilder terbitan tahun 1927 yang ia baca sepanjang perjalanan laut dari Tiongkok ke Jepang, ternyata menjadi inspirasi buatnya. Novel itu berkisah tentang bencana alam di Peru pada abad kedelapanbelas. Hersey secara kreatif meniru gaya Wilder, yang menceritakan peristiwa dari pandangan lima tokoh. Singkatnya, Hersey lantas mempunyai gambaran seperti apa naskah tentang bom atom yang dijatuhkan di kota Hiroshima itu bakal ia tulis kelak.

Selama tiga pekan di Hiroshima, Hersey mewawancara sekitar 40 orang, termasuk akademisi, ahli dan warga sipil. Ada enam tokoh utama dalam kisah itu: Toshiko Sasaki (klerk), Hatsuyo Nakamura (penjahit), Masakuzu Fujii (dokter), Wilhelm Kleinsorge (imam Yesuit), Terufumi Sasaki (apoteker) dan Kiyoshi Tanimoto (pendeta). Sekembalinya ke Amerika 12 Juni 1946, enam pekan Hersey bekerja keras menulis naskah itu.

Setelah dikerjakan Hersey, naskah itu ditangani William Shawn dan Harold W Ross pemimpin redaksinya. Duet editor itu mengedit naskah 30 ribu kata karya Hersey. Sepuluh hari mereka berdua tak beranjak dari ruang kerja yang terkunci. Hanya petugas kebersihan yang di jam-jam tertentu diperbolehkan masuk untuk membersihkan ruangan itu.

Saya pernah kecewa berat karena liputan saya di salah satu majalah ibu kota dibabat tanpa ampun oleh editornya. Dengan alasan sensitivitas, pertimbangan-pertimbangan yang saya ajukan begitu saja diabaikan. Tak ada keseimbangan dalam naskah itu, karena perspektif salah satu (dari dua) pihak yang saya wawancara tidak ditampilkan. Meski kecewa, saya ikhlaskan saja naskah itu terbit.

Sebelum membaca kisah bagaimana naskah Hiroshima ini direncanakan, diliput, ditulis, diedit hingga akhirnya diterbitkan, saya selalu berpandangan bahwa editor adalah tugas yang begitu sakral. Kata-katanya tak ubahnya sabda yang harus dipatuhi penulis atau wartawan yang meliputnya. Tapi, peristiwa editing Hiroshima mengajarkan saya, bahwa perlu ada hubungan saling mengerti antara penulis dan editornya. Editor tidak bisa semena-mena membabat atau sebaliknya menambahkan kata. Perlu ada proses dialog yang kuat, karena bisa jadi antara kedua pihak ada jurang pemaknaan yang berbeda.

Coba Anda perhatikan catatan yang dibuat Ross untuk Hersey, khususnya untuk bagian kedua:

Saya masih tidak puas dengan judul serial ini. Saya pikir ada lubang besar dalam cerita ini. Mungkin itu memang maksud Hersey. Jika iya, tanyakan usul yang saya ajukan. Secara keseluruhan, saya menduga-duga apa yang menyebabkan orang-orang ini terbunuh, luka bakar, tertimpa puing-puing, gegar otak? Setahun sudah saya menduga tentang hal ini dan saya berharap cerita ini akan memberitahukan saya. Ternyata tidak. Hampir seratus ribu orang terbunuh, tapi Hersey tak memberi tahu bagaimana mereka terbunuh. ... Pada suatu tempat, di cetak percobaan 14, seorang wanita dengan luka yang tak terlihat, mati. Apakah banyak mayat di hari itu yang lukanya tak terlihat. Bagaimana mayat-mayat yang bergelimpangan di trotoar saat orang-orang Katolik pindah –berapa proporsi dari mereka yang tak terlihat. Saya pikir memasukkan sedikit hal itu ke dalam cerita, sesegera mungkin, merupakan ide bagus –kecuali, sebagaimana saya katakan, bertentangan dari rencana dasar Hersey.

Satu hal lagi, saya pikir dia seharusnya menyebutkan muntah-muntah. Dia tak menyebutkannya sampai cetak percobaan 13, yang akan jadi kejutan besar bagi pembaca bahwa secara umum para pesakitan muntah.... Saya mengusulkan (saya membuat ini seperti dalam sisipan di catatan setelah menyelesaikan notasi) bahwa Hersey sebaiknya menyelipkan waktu –cantumkan jam dan menitnya, setepatnya atau perkiraan, dari waktu ke waktu. Pembaca kehilangan seluruh kesadaran akan berlalunya waktu di dalam alur cerita dan takkan pernah tahu pukul berapakah saat itu; apakah 10 pagi atau 4 sore. ..

Di catatan itu jelas terlihat, Ross dan Shawn tidak memposisikan diri mereka sebagai ‘diktator’ yang tanpa kompromi mengedit naskah. Mereka berdua boleh berada dalam posisi atasan Hersey. Mereka pun berhak mengedit, atau bahkan menolak naskah itu sekiranya memang tak layak muat. Tapi, untuk mengedit sebuah naskah tentu diperlukan kejelasan maksud dari sang penulis, yang telah berpeluh menggali informasi di lapangan. Kalau editor, yang notabene kerjanya hanya di balik meja, mengedit tanpa mempertimbangkan maksud si penulis, pengaburan makna bisa sangat mungkin terjadi.

Untuk naskah itu, John Hersey pertama-tama mendapatkan sebanyak 47 komentar dari duet editor kondang itu. Di tahap kedua, berkurang menjadi 27 komentar, dan enam komentar setelah revisi kedua.

Sekitar sepekan sebelum terbit, Shawn itu ingin agar naskah itu diterbitkan dalam satu edisi. Tidak bersambung dalam empat edisi seperti yang direncanakan penulisnya. Tapi, menerbitkan satu naskah dalam satu edisi sama sekali belum pernah dilakukan The New Yorker sejak terbit perdana pada 21 Februari 1925. Tapi, akhirnya duet editor itu sepakat, naskah yang awalnya diberi judul Some Events at Hiroshima itu diturunkan dalam satu edisi. Pada 31 Agustus 1946 The New Yorker menerbitkan naskah itu dengan judul yang hanya terdiri dari satu kata: Hiroshima.

Naskah itu mendapat respon luas. Banyak orang membahas laporan fenomenal itu. Radio American Broadcasting Company dan British Broadcasting Corporation (BBC) Inggris membacakannya tanpa iklan. Sejumlah koran dan majalah mengangkatnya dalam tajuk rencana.

Majalah yang dicetak ludes terjual. Albert Einstein penemu teori relativitas berniat untuk membeli seribu eksemplar untuk ia bagi ke sejumlah kerabatnya, tapi ia gigit jari. Maestro fisika itu tak kebagian, selain satu eksemplar yang ia dapatkan secara berlangganan.

Dalam dua hari harga terbitan bekasnya melonjak dari $15 sen ke angka $18 di pelelangan. Naik 120 kali lipat. Jadi, kalau misalnya sekarang harga majalah tempo Rp. 29.700 ia melonjak ke angka Rp.3.564.000!

Naskah bersejarah itu tak mungkin hadir tanpa seorang peliput yang tangguh. Kita juga tak mungkin tahu seperti apa peristiwa tragis itu persisnya, tanpa ada dua editor handal yang memeriksa ejaan, diksi, kejelasan, logika, dan sederet hal lain yang perlu diperhatikan oleh penulisnya. Artinya, perlu saling mengenal antara editor dan penulisnya.

Menurut Ross, seperti ditulis Andreas Harsono dalam blognya, menjadi editor berarti menjadi anonim, memainkan peran Pygmalion. Peran tersembunyi. Tak terdengar dan tak terlihat. Tapi, sekali lagi, naskah sehebat Hiroshima tak mungkin lahir kalau hanya ditangani editor abal-abal.

Soal editor ini, kita juga bisa belajar dari sosok guru jurnalisme Bill Kovach. Setelah 18 tahun bekerja untuk New York Times, pada tahun 1986 Kovach hijrah dari The New York Times ke harian Atlanta Journal-Constitution. Hanya dalam waktu dua tahun pengabdiannya di harian itu, Kovach berhasil menjadikan dua naskah yang ia edit menyabet Pulitzer. Penghargaan pertama untuk Atlanta Journal-Constitution dalam dua dekade. Artinya, sekali lagi, peran editor dalam penerbitan sebuah naskah memang sangat vital.

Saat pemilu legislatif dan pemilihan presiden tahun 2009, saya kebagian job sebagai editor tamu untuk Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID) yang berbasis di Jakarta. Lembaga yang berkantor di tak jauh dari terminal Blok M Jakarta Selatan itu bekerjasama dengan Netherlands Institute for Multiparty Democray (NIMD) dan European Centre for Conflict Prevention (ECCP) yang berbasis di The Hague, Belanda. Saat itu saya ditugasi untuk mengkoordinir dua jurnalis warga di Malang, Jawa Timur; seorang di Musi Banyuasin Sumatera Selatan; dan di Lembata, Flores Timur.

Ketika masa pemilu legistlatif, setiap hari mereka mengirim satu dua naskah hasil liputan via email, yang kemudian saya edit dan terjemahkan di Jakarta, dan diterbitkan secara bilingual di situs NIMD. Ada versi Bahasa Indonesia dan juga versi Bahasa Inggris. Saya merasa banyak belajar dari pekerjaan itu, termasuk saat bekerjasama dengan personil NIMD, Maarten van den Berg. Kami berkomunikasi intensif via internet nyaris tiap hari.

Saat ini saya sedang dalam proses persiapan menulis buku tentang warga Indonesia yang menjadi penyintas di Timor Leste tahun 1999. Awal Januari ini saya baru menemui seorang pensiunan Radio Republik Indonesia Dili yang menjadi saksi mata, saat radio pemerintah mengakhiri siaran di Bumi Lorosae. Semoga saja saya menemukan editor seperti William Shawn dan Harold W Ross, yang tidak sekadar pintar, tapi juga tangguh dan super teliti.

Antara Pecundang dan Petarung

Tersebutlah sebuah nama, Alexander Agung. Ia hidup sekitar 334 tahun sebelum Masehi. Ia murid dari filsuf nan masyhur bernama Aristoteles. Alexander kemudian kondang sebagai salah satu jagoan taktik perang dari kerajaan Makedonia. Ia naik tahta setelah ayahnya, Filipus II, yang telah menaklukkan sejumlah negara, mangkat meninggalkannya. Makedonia takkan punya pasukan perang yang mumpuni, kalau tak ada seorang yang namanya Alexander itu. Di usianya yang keduapuluhdua, ia mengecap pengalaman pertamanya memimpin pasukan berkekuatan lima puluh ribu prajurit. Ia bawa pasukannya menaklukkan wilayah yang terbentang sepanjang 20 ribu kilometer. Sekadar pembanding, jarak Sabang sampai Merauke hanya lima ribuan kilometer.

Ketika meninggal, Alexander telah menaklukkan sejumlah wilayah di dunia. Sebut saja: Anatolia, Suriah, Punisia, Yudea, Gaza, Mesir, Baktria, dan Mesopotamia. Bahkan kekaisarannya juga merambah Punjabi nun jauh di India. Negeri leluhurnya Shah Rukh Khan itu.

Sebelum ajal menjemput, Alexander bahkan sudah merencanakan ekspansi militer dan perdagangan ke jazirah Arab, Kartago, Romawi dan Semenanjung Iberia. Tapi, sayang sekali, suksesornya yang bernama Diadokhoi tak bisa menjalankan itu. Bahkan beberapa tahun setelah Alexander wafat, kekaisarannya terpecah-belah menjadi beberapa kerajaan.

Alexander mungkin murka di alam kuburnya...

Ada beberapa pertempuran yang melibatkan Alexander. Sebut saja: Pertempuran Granikos (334 Sebelum Masehi), Pengepungan Miletos (334 SM), Pengepungan Halikarnassos (334 SM), Pertempuran Issos (333 SM), Pengepungan Tyre (332 SM), Pengepungan Gaza (332 SM), Pertempuran Gaugamela (331 SM), Pertempuran Gerbang Persia (330 SM), Pertempuran Sungai Hydaspes (326 SM).

Pertempuran Gaugamela tak ayal menjadi ajang paling fenomenal dan prestisius yang bisa dicatat dunia. Ajang itu menjadi bukti kehebatan seorang Alexander Agung. Bagaimana tidak? Saat itu Persia dipimpin Raja Darius III, dan dianggap sebagai negara yang punya pasukan perang terbaik di dunia. Tapi Alexander dan pasukannya menang!

Singkat cerita, tibalah Alexander bersama 36.000 personil tempurnya di sebuah selat bernama Dardanelles. Di wilayah itulah Persia punya basis kekuatan cukup solid. Dari sisi jumlah, Alexander dan pasukannya kalah jauh. Nama besar Raja Darius III dan pasukannya sempat membuat ciut nyali anak buah Alexander.

Tapi apa yang diperintahkan Alexander pada anak buahnya? Ia perintahkan mereka untuk menghancurkan kapal yang membawa mereka dari Makedonia. Ia berkata, “Kita pulang dengan kapal Persia, atau kita akan mati!!!”

Ada sejumlah hal menarik untuk kita cermati di sini. Pertama, peran seorang pemimpin. Kepemimpinan yang kuat bisa jadi merupakan 60 persen kekuatan sebuah organisasi atau tim. Tak peduli seberapa kecil atau besar skalanya. Kalau ketegasan, kewibawaan, kecerdasan dan keberanian mengambil risiko bisa dipadukan dalam diri seorang pemimpin, anda bayangkan sendiri manfaatnya.

Kedua, kapasitas personil. Pemimpin yang baik hanya akan terlihat tajinya jika ia didukung orang-orang yang handal. Bukan personil abal-abal. Dalam kasus Alexander terlihat, selain karena faktor kepemimpinan yang kuat, prajurit terlatih turut menjadi determinan yang tak bisa dikesampingkan dalam menaklukkan Persia.

Ketiga, percaya diri. Tak ada gunanya kapasitas personal tanpa adanya rasa percaya diri. Ada baiknya kita bisa mengingat kata seorang filsuf:

“Ada orang yang tahu di tahunya; ada orang yang tahu di tidak tahunya; ada orang yang tidak tahu di tahunya; dan ada orang yang tidak tahu di tidak tahunya.”

Percaya diri adalah sikap yang tercermin dari mereka “yang tahu di tahunya” dan “yang tahu di tidak tahunya.” Artinya, orang itu mengetahui apa yang menjadi kelebihan dan kekurangan dirinya, sehingga bisa secara proporsional mengambil sikap: tidak minder sekaligus tidak terlalu percaya diri. Hanya komandan perang dengan rasa percaya diri yang berani menyerang Persia saat itu. Dan menang!

Keempat, point of no return. Apa yang bakal kita pikirkan, kalau kita berada dalam posisi prajurit anak buah Alexander saat itu, yang mendengar sang panglima berseru, “Kita pulang dengan kapal Persia, atau kita akan mati!!!” Orang bermental pengecut akan langsung ngacir, sedangkan para petarung justru akan bertarung habis-habisan supaya bisa kembali pulang dengan kapal-kapal Persia dan menemui keluarga di kampung halaman.

Kelima, wariskanlah nilai. Kehancuran Makedonia salah satunya disebabkan oleh pembangkangan Diadokhoi atas rencana-rencana yang sudah disusun Alexander. Bisa dibilang, inilah salah satu kegagalan mencolok yang bisa kita kritisi dari seorang panglima perang termasyhur dalam sejarah. Ia gagal mewariskan nilai pada orang yang ia pimpin dan menjadi suksesornya. Seorang pakar manajemen boleh bilang “change is the only evidence of life”, tapi perubahan pada tataran nilai hanya akan membawa perjalanan sebuah tim menjauh dari cita-cita awalnya.

Kisah itu sudah berlalu lebih dari 2300 tahun. Tapi pelajaran yang kita bisa timba tetaplah ada.

Tahun baru sudah datang. Seperti yang sudah-sudah. Dua belas bulan penuh tantangan kembali membentang di hadapan kita. Apakah kita akan bertarung habis-habisan atau menjadi pengecut yang akan ngacir begitu tantangan datang? Pilihan ada di tangan kita.

Selamat Tahun Baru ... Foto: wikipedia

Fransiskus Pascaries