09 January 2013

Editor

Baru-baru ini saya mengedit sejumlah naskah sebuah bakal buku yang dipersembahkan bagi seorang profesor terpandang di negeri ini. Meski itu bukan proyek profesional, yang mana saya dibayar, saya tidak berkeberatan saat dimintai tolong seorang teman, yang juga penulis di buku itu, mengerjakan proyek “2M” (Makasih, Mas) tersebut. Ada pengalaman mengasyikkan bagi saya saat mengedit naskah itu. Jumlahnya tidak banyak. Hanya 45 halaman termasuk sampulnya. Ada ide-ide para penulis dalam buku keroyokan itu yang bisa saya dalami. Berbicara soal editing, saya langsung teringat pada sebuah naskah jurnalisme. Anda pernah dengar naskah Hiroshima karya John Hersey? Itu naskah hebat, sampai-sampai pada tahun 1999 sekelompok ilmuwan di Universitas Colombia, Amerika Serikat menobatkannya sebagai karya jurnalisme terbaik abad 20. Dari seratus naskah yang dinilai, karya yang memotret kota Hiroshima luluh lantak karena bom atom itu, berada di nomer wahid.

Naskah itu dilahirkan dari tangan seorang yang bekerja sebagai sekretaris Sinclair Lewis penerima hadiah nobel sastra tahun 1930. Hersey juga pernah menggondol hadiah Pulitzer tahun 1944 lewat novel A Bell for Adano. Jadi sebelumnya naskah ini terbit, reputasi Hersey juga sudah cukup mentereng.

Ceritanya, akhir tahun 1945 Hersey mendapat tugas dari majalah The New Yorker dan Life untuk meliput situasi perang dunia kedua di Tiongkok dan Jepang. Kita tahu Hiroshima pada tanggal 7 Agustus 1945 dibom sekutu. Sebelumnya, redaktur pelaksana The New Yorker William Shawn menawarkan sepuluh ide kerangka tulisan. Shawn awalnya ingin reporter Joel Sayre untuk meliput kota Cologne di Jerman Barat yang kena bom maut. Tapi, perang Eropa kelar duluan, dan ada peristiwa maha dahsyat di Hiroshima. Hal itu membuat Cologne tampak kecil. Shawn mau Hersey menulis soal bom dari sudut pandang korban.

Hersey pun berangkat ke Jepang melalui daratan Cina. Tanah di mana pada tanggal 17 Juni 1904 ia dilahirkan dari pasangan misionaris Roscoe dan Grace Baird Hersey. Tepatnya di kota Tientsin.

Sebenarnya Hersey belum membayangkan akan seperti apa naskah yang harus dia tulis. Tapi novel The Bridges of San Luis Rey karya Thornton Wilder terbitan tahun 1927 yang ia baca sepanjang perjalanan laut dari Tiongkok ke Jepang, ternyata menjadi inspirasi buatnya. Novel itu berkisah tentang bencana alam di Peru pada abad kedelapanbelas. Hersey secara kreatif meniru gaya Wilder, yang menceritakan peristiwa dari pandangan lima tokoh. Singkatnya, Hersey lantas mempunyai gambaran seperti apa naskah tentang bom atom yang dijatuhkan di kota Hiroshima itu bakal ia tulis kelak.

Selama tiga pekan di Hiroshima, Hersey mewawancara sekitar 40 orang, termasuk akademisi, ahli dan warga sipil. Ada enam tokoh utama dalam kisah itu: Toshiko Sasaki (klerk), Hatsuyo Nakamura (penjahit), Masakuzu Fujii (dokter), Wilhelm Kleinsorge (imam Yesuit), Terufumi Sasaki (apoteker) dan Kiyoshi Tanimoto (pendeta). Sekembalinya ke Amerika 12 Juni 1946, enam pekan Hersey bekerja keras menulis naskah itu.

Setelah dikerjakan Hersey, naskah itu ditangani William Shawn dan Harold W Ross pemimpin redaksinya. Duet editor itu mengedit naskah 30 ribu kata karya Hersey. Sepuluh hari mereka berdua tak beranjak dari ruang kerja yang terkunci. Hanya petugas kebersihan yang di jam-jam tertentu diperbolehkan masuk untuk membersihkan ruangan itu.

Saya pernah kecewa berat karena liputan saya di salah satu majalah ibu kota dibabat tanpa ampun oleh editornya. Dengan alasan sensitivitas, pertimbangan-pertimbangan yang saya ajukan begitu saja diabaikan. Tak ada keseimbangan dalam naskah itu, karena perspektif salah satu (dari dua) pihak yang saya wawancara tidak ditampilkan. Meski kecewa, saya ikhlaskan saja naskah itu terbit.

Sebelum membaca kisah bagaimana naskah Hiroshima ini direncanakan, diliput, ditulis, diedit hingga akhirnya diterbitkan, saya selalu berpandangan bahwa editor adalah tugas yang begitu sakral. Kata-katanya tak ubahnya sabda yang harus dipatuhi penulis atau wartawan yang meliputnya. Tapi, peristiwa editing Hiroshima mengajarkan saya, bahwa perlu ada hubungan saling mengerti antara penulis dan editornya. Editor tidak bisa semena-mena membabat atau sebaliknya menambahkan kata. Perlu ada proses dialog yang kuat, karena bisa jadi antara kedua pihak ada jurang pemaknaan yang berbeda.

Coba Anda perhatikan catatan yang dibuat Ross untuk Hersey, khususnya untuk bagian kedua:

Saya masih tidak puas dengan judul serial ini. Saya pikir ada lubang besar dalam cerita ini. Mungkin itu memang maksud Hersey. Jika iya, tanyakan usul yang saya ajukan. Secara keseluruhan, saya menduga-duga apa yang menyebabkan orang-orang ini terbunuh, luka bakar, tertimpa puing-puing, gegar otak? Setahun sudah saya menduga tentang hal ini dan saya berharap cerita ini akan memberitahukan saya. Ternyata tidak. Hampir seratus ribu orang terbunuh, tapi Hersey tak memberi tahu bagaimana mereka terbunuh. ... Pada suatu tempat, di cetak percobaan 14, seorang wanita dengan luka yang tak terlihat, mati. Apakah banyak mayat di hari itu yang lukanya tak terlihat. Bagaimana mayat-mayat yang bergelimpangan di trotoar saat orang-orang Katolik pindah –berapa proporsi dari mereka yang tak terlihat. Saya pikir memasukkan sedikit hal itu ke dalam cerita, sesegera mungkin, merupakan ide bagus –kecuali, sebagaimana saya katakan, bertentangan dari rencana dasar Hersey.

Satu hal lagi, saya pikir dia seharusnya menyebutkan muntah-muntah. Dia tak menyebutkannya sampai cetak percobaan 13, yang akan jadi kejutan besar bagi pembaca bahwa secara umum para pesakitan muntah.... Saya mengusulkan (saya membuat ini seperti dalam sisipan di catatan setelah menyelesaikan notasi) bahwa Hersey sebaiknya menyelipkan waktu –cantumkan jam dan menitnya, setepatnya atau perkiraan, dari waktu ke waktu. Pembaca kehilangan seluruh kesadaran akan berlalunya waktu di dalam alur cerita dan takkan pernah tahu pukul berapakah saat itu; apakah 10 pagi atau 4 sore. ..

Di catatan itu jelas terlihat, Ross dan Shawn tidak memposisikan diri mereka sebagai ‘diktator’ yang tanpa kompromi mengedit naskah. Mereka berdua boleh berada dalam posisi atasan Hersey. Mereka pun berhak mengedit, atau bahkan menolak naskah itu sekiranya memang tak layak muat. Tapi, untuk mengedit sebuah naskah tentu diperlukan kejelasan maksud dari sang penulis, yang telah berpeluh menggali informasi di lapangan. Kalau editor, yang notabene kerjanya hanya di balik meja, mengedit tanpa mempertimbangkan maksud si penulis, pengaburan makna bisa sangat mungkin terjadi.

Untuk naskah itu, John Hersey pertama-tama mendapatkan sebanyak 47 komentar dari duet editor kondang itu. Di tahap kedua, berkurang menjadi 27 komentar, dan enam komentar setelah revisi kedua.

Sekitar sepekan sebelum terbit, Shawn itu ingin agar naskah itu diterbitkan dalam satu edisi. Tidak bersambung dalam empat edisi seperti yang direncanakan penulisnya. Tapi, menerbitkan satu naskah dalam satu edisi sama sekali belum pernah dilakukan The New Yorker sejak terbit perdana pada 21 Februari 1925. Tapi, akhirnya duet editor itu sepakat, naskah yang awalnya diberi judul Some Events at Hiroshima itu diturunkan dalam satu edisi. Pada 31 Agustus 1946 The New Yorker menerbitkan naskah itu dengan judul yang hanya terdiri dari satu kata: Hiroshima.

Naskah itu mendapat respon luas. Banyak orang membahas laporan fenomenal itu. Radio American Broadcasting Company dan British Broadcasting Corporation (BBC) Inggris membacakannya tanpa iklan. Sejumlah koran dan majalah mengangkatnya dalam tajuk rencana.

Majalah yang dicetak ludes terjual. Albert Einstein penemu teori relativitas berniat untuk membeli seribu eksemplar untuk ia bagi ke sejumlah kerabatnya, tapi ia gigit jari. Maestro fisika itu tak kebagian, selain satu eksemplar yang ia dapatkan secara berlangganan.

Dalam dua hari harga terbitan bekasnya melonjak dari $15 sen ke angka $18 di pelelangan. Naik 120 kali lipat. Jadi, kalau misalnya sekarang harga majalah tempo Rp. 29.700 ia melonjak ke angka Rp.3.564.000!

Naskah bersejarah itu tak mungkin hadir tanpa seorang peliput yang tangguh. Kita juga tak mungkin tahu seperti apa peristiwa tragis itu persisnya, tanpa ada dua editor handal yang memeriksa ejaan, diksi, kejelasan, logika, dan sederet hal lain yang perlu diperhatikan oleh penulisnya. Artinya, perlu saling mengenal antara editor dan penulisnya.

Menurut Ross, seperti ditulis Andreas Harsono dalam blognya, menjadi editor berarti menjadi anonim, memainkan peran Pygmalion. Peran tersembunyi. Tak terdengar dan tak terlihat. Tapi, sekali lagi, naskah sehebat Hiroshima tak mungkin lahir kalau hanya ditangani editor abal-abal.

Soal editor ini, kita juga bisa belajar dari sosok guru jurnalisme Bill Kovach. Setelah 18 tahun bekerja untuk New York Times, pada tahun 1986 Kovach hijrah dari The New York Times ke harian Atlanta Journal-Constitution. Hanya dalam waktu dua tahun pengabdiannya di harian itu, Kovach berhasil menjadikan dua naskah yang ia edit menyabet Pulitzer. Penghargaan pertama untuk Atlanta Journal-Constitution dalam dua dekade. Artinya, sekali lagi, peran editor dalam penerbitan sebuah naskah memang sangat vital.

Saat pemilu legislatif dan pemilihan presiden tahun 2009, saya kebagian job sebagai editor tamu untuk Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID) yang berbasis di Jakarta. Lembaga yang berkantor di tak jauh dari terminal Blok M Jakarta Selatan itu bekerjasama dengan Netherlands Institute for Multiparty Democray (NIMD) dan European Centre for Conflict Prevention (ECCP) yang berbasis di The Hague, Belanda. Saat itu saya ditugasi untuk mengkoordinir dua jurnalis warga di Malang, Jawa Timur; seorang di Musi Banyuasin Sumatera Selatan; dan di Lembata, Flores Timur.

Ketika masa pemilu legistlatif, setiap hari mereka mengirim satu dua naskah hasil liputan via email, yang kemudian saya edit dan terjemahkan di Jakarta, dan diterbitkan secara bilingual di situs NIMD. Ada versi Bahasa Indonesia dan juga versi Bahasa Inggris. Saya merasa banyak belajar dari pekerjaan itu, termasuk saat bekerjasama dengan personil NIMD, Maarten van den Berg. Kami berkomunikasi intensif via internet nyaris tiap hari.

Saat ini saya sedang dalam proses persiapan menulis buku tentang warga Indonesia yang menjadi penyintas di Timor Leste tahun 1999. Awal Januari ini saya baru menemui seorang pensiunan Radio Republik Indonesia Dili yang menjadi saksi mata, saat radio pemerintah mengakhiri siaran di Bumi Lorosae. Semoga saja saya menemukan editor seperti William Shawn dan Harold W Ross, yang tidak sekadar pintar, tapi juga tangguh dan super teliti.

Antara Pecundang dan Petarung

Tersebutlah sebuah nama, Alexander Agung. Ia hidup sekitar 334 tahun sebelum Masehi. Ia murid dari filsuf nan masyhur bernama Aristoteles. Alexander kemudian kondang sebagai salah satu jagoan taktik perang dari kerajaan Makedonia. Ia naik tahta setelah ayahnya, Filipus II, yang telah menaklukkan sejumlah negara, mangkat meninggalkannya. Makedonia takkan punya pasukan perang yang mumpuni, kalau tak ada seorang yang namanya Alexander itu. Di usianya yang keduapuluhdua, ia mengecap pengalaman pertamanya memimpin pasukan berkekuatan lima puluh ribu prajurit. Ia bawa pasukannya menaklukkan wilayah yang terbentang sepanjang 20 ribu kilometer. Sekadar pembanding, jarak Sabang sampai Merauke hanya lima ribuan kilometer.

Ketika meninggal, Alexander telah menaklukkan sejumlah wilayah di dunia. Sebut saja: Anatolia, Suriah, Punisia, Yudea, Gaza, Mesir, Baktria, dan Mesopotamia. Bahkan kekaisarannya juga merambah Punjabi nun jauh di India. Negeri leluhurnya Shah Rukh Khan itu.

Sebelum ajal menjemput, Alexander bahkan sudah merencanakan ekspansi militer dan perdagangan ke jazirah Arab, Kartago, Romawi dan Semenanjung Iberia. Tapi, sayang sekali, suksesornya yang bernama Diadokhoi tak bisa menjalankan itu. Bahkan beberapa tahun setelah Alexander wafat, kekaisarannya terpecah-belah menjadi beberapa kerajaan.

Alexander mungkin murka di alam kuburnya...

Ada beberapa pertempuran yang melibatkan Alexander. Sebut saja: Pertempuran Granikos (334 Sebelum Masehi), Pengepungan Miletos (334 SM), Pengepungan Halikarnassos (334 SM), Pertempuran Issos (333 SM), Pengepungan Tyre (332 SM), Pengepungan Gaza (332 SM), Pertempuran Gaugamela (331 SM), Pertempuran Gerbang Persia (330 SM), Pertempuran Sungai Hydaspes (326 SM).

Pertempuran Gaugamela tak ayal menjadi ajang paling fenomenal dan prestisius yang bisa dicatat dunia. Ajang itu menjadi bukti kehebatan seorang Alexander Agung. Bagaimana tidak? Saat itu Persia dipimpin Raja Darius III, dan dianggap sebagai negara yang punya pasukan perang terbaik di dunia. Tapi Alexander dan pasukannya menang!

Singkat cerita, tibalah Alexander bersama 36.000 personil tempurnya di sebuah selat bernama Dardanelles. Di wilayah itulah Persia punya basis kekuatan cukup solid. Dari sisi jumlah, Alexander dan pasukannya kalah jauh. Nama besar Raja Darius III dan pasukannya sempat membuat ciut nyali anak buah Alexander.

Tapi apa yang diperintahkan Alexander pada anak buahnya? Ia perintahkan mereka untuk menghancurkan kapal yang membawa mereka dari Makedonia. Ia berkata, “Kita pulang dengan kapal Persia, atau kita akan mati!!!”

Ada sejumlah hal menarik untuk kita cermati di sini. Pertama, peran seorang pemimpin. Kepemimpinan yang kuat bisa jadi merupakan 60 persen kekuatan sebuah organisasi atau tim. Tak peduli seberapa kecil atau besar skalanya. Kalau ketegasan, kewibawaan, kecerdasan dan keberanian mengambil risiko bisa dipadukan dalam diri seorang pemimpin, anda bayangkan sendiri manfaatnya.

Kedua, kapasitas personil. Pemimpin yang baik hanya akan terlihat tajinya jika ia didukung orang-orang yang handal. Bukan personil abal-abal. Dalam kasus Alexander terlihat, selain karena faktor kepemimpinan yang kuat, prajurit terlatih turut menjadi determinan yang tak bisa dikesampingkan dalam menaklukkan Persia.

Ketiga, percaya diri. Tak ada gunanya kapasitas personal tanpa adanya rasa percaya diri. Ada baiknya kita bisa mengingat kata seorang filsuf:

“Ada orang yang tahu di tahunya; ada orang yang tahu di tidak tahunya; ada orang yang tidak tahu di tahunya; dan ada orang yang tidak tahu di tidak tahunya.”

Percaya diri adalah sikap yang tercermin dari mereka “yang tahu di tahunya” dan “yang tahu di tidak tahunya.” Artinya, orang itu mengetahui apa yang menjadi kelebihan dan kekurangan dirinya, sehingga bisa secara proporsional mengambil sikap: tidak minder sekaligus tidak terlalu percaya diri. Hanya komandan perang dengan rasa percaya diri yang berani menyerang Persia saat itu. Dan menang!

Keempat, point of no return. Apa yang bakal kita pikirkan, kalau kita berada dalam posisi prajurit anak buah Alexander saat itu, yang mendengar sang panglima berseru, “Kita pulang dengan kapal Persia, atau kita akan mati!!!” Orang bermental pengecut akan langsung ngacir, sedangkan para petarung justru akan bertarung habis-habisan supaya bisa kembali pulang dengan kapal-kapal Persia dan menemui keluarga di kampung halaman.

Kelima, wariskanlah nilai. Kehancuran Makedonia salah satunya disebabkan oleh pembangkangan Diadokhoi atas rencana-rencana yang sudah disusun Alexander. Bisa dibilang, inilah salah satu kegagalan mencolok yang bisa kita kritisi dari seorang panglima perang termasyhur dalam sejarah. Ia gagal mewariskan nilai pada orang yang ia pimpin dan menjadi suksesornya. Seorang pakar manajemen boleh bilang “change is the only evidence of life”, tapi perubahan pada tataran nilai hanya akan membawa perjalanan sebuah tim menjauh dari cita-cita awalnya.

Kisah itu sudah berlalu lebih dari 2300 tahun. Tapi pelajaran yang kita bisa timba tetaplah ada.

Tahun baru sudah datang. Seperti yang sudah-sudah. Dua belas bulan penuh tantangan kembali membentang di hadapan kita. Apakah kita akan bertarung habis-habisan atau menjadi pengecut yang akan ngacir begitu tantangan datang? Pilihan ada di tangan kita.

Selamat Tahun Baru ... Foto: wikipedia

Fransiskus Pascaries