22 April 2013

Media Massa dan Pembodohan Massal

Satu kasus pembunuhan menyedot perhatian publik Boston, Amerika Serikat tahun 1989. Harian The Boston Globe memberitakan peristiwa tertembaknya seorang wanita dalam mobil yang berhenti di sebuah bagian suram kota Boston. Sang suami yang juga berada di mobil itu tak ikut tewas, meski menderita luka. Polisi turun tangan memeriksa tempat kejadian perkara, sebuah daerah yang dicap rawan karena dihuni orang-orang hitam dan miskin. Persoalan obat bius, kriminalitas dan kekerasan begitu lekat dengan daerah itu. Polisi menggelar penggeledahan dan interogasi. The Boston Globe mengarahkan liputan ke para penghuni kawasan itu.

Singkat kata, investigasi polisi pun usai. Tapi terbukti kemudian, sang suamilah yang menembak mati sang isteri, dan lalu, melukai diri sendiri, dengan harapan bisa mengelabui polisi. The Boston Globe memberitakan semuanya, tapi tampak bahwa dalam investigasinya awak redaksi mereka ikut memulai praduga bahwa si pembunuh berasal dari kawasan miskin yang dihuni orang-orang hitam itu.

Kisah itu ditulis oleh pendiri majalah Tempo Goenawan Mohammad (GM) dalam kata pengantar buku Sembilan Elemen Jurnalisme: Apa yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan Diharapkan Publik yang diterbitkan Yayasan Pantau tahun 2006. Buku itu adalah karya terjemahan dari dua wartawan senior Amerika Serikat Bill Kovach dan Tom Rosentiel: The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect. Buku asli ini terbit pertama kali tahun 2001.

GM hadir dalam sebuah diskusi di Harvard dalam program Nieman Fellowship saat itu. Kovach sebagai mentor menyampaikan kesimpulannya pada GM. Kata Kovach, para wartawan The Boston Globe tak menyadari prasangka-prasangka yang merasuk dalam diri mereka sendiri –yang datang antara lain karena kelas sosial yang berjauhan bahkan bertentangan. Para wartawan itu sudah hidup terlalu jauh dari kalangan miskin. Andai ada wartawan yang tinggal atau bekerja di kawasan kumuh itu, tentu akan lebih bisa merasakan bagaimana sewenang-wenangnya tuduhan awal itu kepada warga kulit hitam di tempat kejadian perkara.

***

Dua puluh tiga tahun kemudian kisah serupa masih terjadi. Bukan di negeri Paman Sam, tapi di Indonesia. Bukan soal pembunuhan, tapi soal tuduhan penggunaan ilmu hitam semacam santet. Kemiripan terjadi, ketika media turut berperan menghakimi orang yang belum tentu salah, sekaligus belum tentu benar.

Saya tak tahu siapa nama tokoh di Boston yang diceritakan ulang oleh GM itu. Tapi untuk kasus di Indonesia ini, tokoh sentralnya tentu tak asing di telinga kita akhir-akhir ini: Eyang Subur. Tentu, ini bukan satu-satunya kasus yang menunjukkan betapa jurnalisme negeri ini begitu rendah mutu dan tidak –atau belum– memainkan peran secara maksimal bagi pencerdasan masyarakat.

Berminggu-minggu sudah media memborbardir masyarakat dengan berita soal Eyang Subur. Kebencian diumbar di televisi. Pemirsa disuguhi raut muka merah, sambil mengacungkan jari telunjuk dan sesekali mengepalkan tangan penuh amarah di layar kaca. Ada pula artis yang mengaku disantet Eyang Subur. Mereka mengumpat sang Eyang.

Saya tak ingat persis nama narasumber yang diwawancara acara infotainment itu. Seingat saya, acara itu menghadirkan tiga wawancara. Wawancara pertama berisi kisah seorang pria yang menuduh Eyang Subur telah mengguna-guna putrinya, karena menolak dijadikan istri kesekian dari sang Eyang.

Pria berusia sekitar 50 tahun itu bertutur, kisah bermula ketika lamaran Eyang Subur ditolak sang gadis. Gadis itu lantas menikah dengan pria pilihannya lantas hamil namun terkena kista. Selang beberapa waktu setelah keguguran, perut sang ibu dioperasi. Ditemukan gigi dan rambut di dalam rahimnya. Spekulasi lalu merebak: Eyang Suburlah telah melampiaskan amarah pada wanita muda itu karena lamarannya dulu ditolak.

Saya ceritakan kisah itu pada pacar saya. Ia tegas menolak ‘teori’ itu. Seorang dokter, yang kebetulan adalah ayah dari teman pacar saya bilang, bahwa ditemukannya gigi dan rambut dalam rahim itu dimungkinkan dalam dunia medis, ketika seorang perempuan pernah terkena kista. Apalagi jika usia kandungan sudah cukup tua. Gigi dan rambut itu tertinggal ketika sang janin keluar dalam kondisi meninggal.

Singkatnya, ‘teori’ tentang dendam sang Eyang terpatahkan dengan dalil ilmiah.

Terkait ini, saya jadi teringat kembali pada Bill Kovach dan Tom Rosentiel. Dari sembilan (kemudian menjadi sepuluh) elemen jurnalisme yang disodorkan duet itu, saya coba kaitkan kasus Eyang Subur dengan penjelasan mereka berdua tentang elemen ketiga, disiplin verifikasi dalam jurnalisme.

Bill dan Tom mengatakan, disiplin verifikasi itu adalah esensi dari jurnalisme. Nah, dalam kasus pemberitaan Eyang Subur ini, verifikasi sama sekali diabaikan. Kalau mau sedikit usaha, mengapa tidak ada wawancara dengan dokter kandungan? Tayangan itu –dan juga tayangan infotainment dan berita lain– menurut saya sudah melakukan pembodohan besar-besaran, karena masyarakat hanya disodori aspek mistis yang tak jelas ukurannya dalam kasus Eyang Subur. Tak ada penjelasan ilmiah yang coba dihadirkan di situ.

Dalam resensinya soal buku karya dua jurnalis kawakan itu, Andreas Harsono (salah satu murid mereka di Indonesia selain Goenawan Mohammad, Ratih Hardjono dan Sabam Siagian) menulis begini: “Disiplin mampu membuat wartawan menyaring desas-desus, gosip, ingatan yang keliru, manipulasi, guna mendapatkan informasi yang akurat. Disiplin verifikasi inilah yang membedakan jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi atau seni.

Mereka (Bill dan Tom) berpendapat, “saudara sepupu” hiburan yang disebut infotainment (dari kata information dan entertainment) harus dimengerti wartawan agar tahu mana batas-batasnya. Infotainment hanya terfokus pada apa-apa yang menarik perhatian pemirsa dan pendengar. Jurnalisme meliput kepentingan masyarakat yang bisa menghibur tapi juga bisa tidak
.”

Seingat saya, ada seorang pria lain yang diwawancara infotainment itu. Sayang sekali, saya lupa namanya. Saya hanya ingat, dengan mata melotot dengan jari yang berkali-kali ditunjuk ke meja, ia mengutuk Eyang Subur. Kalimat-kalimat penuh kebencian ia umbar. Kamera pun berkali-kali menyorotnya secara close up dengan gerakan yang diperlambat alias slow motion. Seorang pria lain yang diwawancara tampil sebagai pembela Eyang Subur.

Saya makin bingung, ketika Adi Bing Slamet membawa-bawa kasus ini ke Senayan, tempat para wakil rakyat bekerja. Saya tak habis pikir, kasus yang menurut saya tak jelas ukurannya, bisa dibawa-bawa ke ranah politik. Apakah DPR kekurangan beban pekerjaan? Target Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2012 hanya tercapai 30 Undang-Undang, baik UU baru maupun UU revisi. Sementara 39 sisanya terbengkalai begitu saja. Tahun 2011 cuma ada 24 UU yang berhasil disahkan, dari target Prolegnas sebanyak 93 UU maupun revisi UU. Sedangkan tahun 2010, dari 70 target Prolegnas, hanya 16 UU yang kelar dibahas dan disahkan.

Kegerahan itu bertambah ketika, entah kebetulan atau tidak, muncul wacara untuk memasukkan isu santet ke dalam KUHP. Bahkan ada anggota DPR RI yang studi banding ke Inggris, Prancis, Belanda dan Rusia khusus untuk ihwal ini. Saya jadi menggaruk-garuk kepala sendiri, yang sebenarnya tak gatal.

Saya sendiri, merasa sedih setiap kali melihat keluarga saya di rumah menonton tayangan infotainment. Mereka kerap menelan mentah-mentah informasi yang belum tentu benar. Kadang saya berdebat dengan mereka, kadang saya biarkan karena enggan bersitegang terus-menerus. Tapi ada jutaan orang lain di Indonesia yang tingkahnya seperti keluarga saya itu.

Beginilah hidup di negeri di mana rasionalitas masih kerap diabaikan. Parahnya lagi, media turut mendorong kemunduran ini.

Kenapa media begitu getolnya mengangkat kasus ini secara serampangan? Mengapa rasionalitas dilecehkan sedemikian parahnya hanya demi sensasi yang mendongkrak rating? Acara infotainment itu tayang sekian jam dalam sehari. Pagi, siang dan sore hari. Tentu banyak anak kecil yang menyaksikan. Tidak adakah yang memikirkan bagaimana dampak dari tayangan itu pada masyarakat terutama anak kecil?

Kasus kejahatan beralaskan kebohongan di Boston akhirnya terungkap tuntas. Tapi entah bagaimana kelanjutan kasus Eyang Subur ini. Saya meragukan ada media di Indonesia yang bisa tuntas membongkar kasus ini, atau kasus-kasus lain seperti bailout Bank Century, skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Trisakti, Semanggi, Cicak versus Buaya, Hambalang, atau yang terbaru: serangan sadis anggota Kopassus ke penjara Cebongan, Yogyakarta.

Satu dua media mendaku diri sebagai jagoan investigasi, tapi toh hanya hal-hal di permukaan yang mencuat di permukaan. Tak pernah ada yang membahas tuntas ... tas... tas...

Pembodohan massal lewat media sudah sering dan masih berlangsung. Entah sampai kapan.

Sumber foto: banjarmasin.tribunnews.com

20 April 2013

Wakil Rakyat, Beda Era Beda Motif

Parpol sedang disibukkan dengan urusan Daftar Calon Sementara anggota legislatif untuk Pemilu 2014. Beragam polah para politisi itu. Ada Yenny Wahid yang dilamar Partai Persatuan Pembangunan, setelah menolak bergabung dengan Partai Demokrat. Ada Bang Haji Rhoma Irama dan anaknya Ridho yang juga akan mencoba peruntungan di partai itu. Ada juga kakak beradik Ananda Mikola dan Moreno Suprapto yang maju lewat Gerindra. Hmmmmm....

Sejak beberapa tahun belakangan, kalangan artis, atlet yang sudah mandul prestasi, ikut-ikutan terjun ke dunia itu. Mirisnya, bahkan seorang anak presiden yang baru-baru ini mundur dari Senayan, tanpa malu menyatakan niat untuk kembali maju dalam pertarungan perebutan kursi 2014.

Eddy Baskoro Yudhoyoo alias Ibas kembali menarik perhatian publik. Setelah terpergok wartawan hanya mengisi absen tanpa masuk ruang rapat, ia mengajukan pengunduran diri dari DPR. Dalihnya: konsentrasi di partai. Tapi tak lama berselang, sejumlah petinggi Partai Demokrat menyatakan ia akan maju kembali untuk memperebutkan suara dari Dapil Jawa Timur VII. Ia akan ‘diperalat’ Partai Demokrat untuk mengeruk suara di Kabupaten Pacitan, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Magetan, dan Kabupaten Ngawi. Setelah meninggalkan parlemen, yang artinya ia khianat atas mandat para pemilihnya, tanpa malu Partai Demokrat terang-terangan akan mengajukan dirinya untuk pemilu 2014.

"Mas Ibas sudah jelas jadi vote getter yang terbesar di daerahnya. Kalau dia maju akan mempermudah mekanisme sistem seperti ini untuk Demokrat mendapat suara terbanyak," begitu kata Ketua DPP Partai Demokrat Gede Pasek Suardika.

“Maju caleg untuk menyerap suara,” ujar anggota Dewan Pembina PD Ahmad Mubarok.

Menurut dia, jika nanti terpilih, Ibas akan langsung mundur. Perolehan suara Ibas nanti diberikan kepada caleg urutan selanjutnya. “Dia potensial menarik suara. Dia pada (Pemilu) 2009 suaranya tertinggi se-Indonesia,” imbuhnya. Entah apa yang ada di pikiran para petinggi Demokrat itu. Suara para pemilih dianggap sebagai angin lalu. Setiap lembar suara itu tak ubahnya sebuah pesan: “tolong perjuangkan nasib kami lewat Dewan.”

Itu cerita Ibas. Satu yang menarik saya temui dari ungkapan salah satu politisi muda Partai Demokrasi Indonesi Perjuangan (PDIP) Maruarar Sirait. Dalam sebuah acara, ia menceritakan bagaimana ia maju sebagai wakil rakyat di DPR RI, karena sanggup meraih simpati publik dari daerah pemilihan Subang, Majalengka, dan Sumedang yang 95 persen beragama Islam, dan tentu saja bersuku Sunda.

“Kalau orang Medan maju dari Medan, orang Papua maju dari Papu, saya rasa ini bukan Indonesia yang kita mau,” tegasnya.

***

Ingatan saya melayang kembali ke sebuah obrolan dengan salah satu petinggi Partai Komunis Indonesia. Oey Hay Djoen namanya. Tahun 2006 saya pernah menyambanginya di rumahnya yang sejuk di Cibubur, Jakarta Timur.

Oey yang dulu juga pegiat Lekra itu menyambut dengan ramah kedatangan saya. Keletihan yang terlihat di wajahnya seolah ia ingin sembunyikan dari saya. Bagaimana tidak letih? Saban hari ia berkutat dengan penerjemahan buku-buku asing bertema filsafat dan sejenisnya.

Salah satu pegiat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang lalu menjadi elit Partai Komunis Indonesia, almarhum Oey Hay Djoen pernah bercerita, bagaimana tahun 1954 ia didatangi beberapa petinggi PKI untuk menjadi calon anggota DPR dan Konstituante dalam Pemilu 1955. Saat itu Oey bekerja sebagai Sekretaris Organisasi Perusahaan Sejenis. Ia menjadi Sekretaris Gabungan Perusahaan-Perusahaan Rokok tingkat nasional.

“Mereka minta apakah aku bersedia dicalonkan oleh PKI untuk masuk ke DPR dan Konstituante pada waktu itu,” kata Oey.

Ia sontak bingung, dan menganggap ajakan itu penting. Karena, pada waktu itu ia sama sekali bukan anggota partai palu arit itu. PKI meminta orang seperti Oey ini membuat program partai untuk pengusaha nasional, seniman, agar bisa memperjuangkannya di parlemen.

Tapi era sudah berganti. Menjadi anggota dewan sekarang, tak ubahnya profesi ‘basah’. Profesi itu bisa menghantarkan seseorang memasuki kelas sosial ekonomi yang lebih tinggi. Hakikat mereka sebagai wakil rakyat seperti dilantunkan Iwan Fals dalam lagunya sungguh makin jauh panggang dari api. Simak saja liriknya, “Wakil rakyat seharusnya merakyat...”

Saya ingin mengutip pidato Walikota New York Michael Bloomberg. “Political controversies come and go, but our values and our traditions endure.” Itu ia ucapkan menanggapi penolakan sebagian besar warganya atas pendirian masjid dan Islamic Cultural Centre kurang lebih satu blok dari tempat kejadian hancurnya WTC New York.

Begitulah (calon) anggota legislatif dari masa ke masa. Beda era, beda pula motifnya.

SBY, Twitter, dan Paradoks Komunikasi

Di tengah kemacetan Jakarta, biasanya saya selalu dihibur oleh penyiar-penyiar nan kocak di 101 Jak FM. Sudah beberapa hari ini banyolan di radio itu –barangkali juga di radio lain– mengambil tema Presiden SBY dan akun twitternya yang baru. Sepulang kantor sambil sesekali mengutuk kemacetan karena banjir, saya mendengar SBY baru saja mem-follow beberapa artis seperti Gading Marten, Julia Estelle, Addi MS, Masayu Anastasia. Sebelumnya ia juga sudah follow akun twitter Boediono sang wapres, dan anggota keluarga Cikeas.

Kancah twitter Indonesia memang sedang heboh, setelah orang yang nangkring di tampuk kekuasaan tertinggi di negri ini, ikut-ikutan berkicau di sana. Saban hari, situs berita mengulasnya. Ruang siar di radio-radio tanah air juga tak ketinggalan mengulasnya. Seperti dikutip banyak media, ada yang berkomentar nyinyir seperti, “Mending ngurus negara aja deh. Daripada twitteran mulu.” Tak sedikit yang minta difolbek, alias follow back.

Sebagai salah satu ikon populer di internet, twitter sungguh sarat dengan paradoks. Barangkali anda pernah mendengar ungkapan bahwa internet ini mendekatkan yang jauh sekaligus menjauhkan yang dekat. Sudah pemandangan yang jamak kalau kita naik bus kota, ada orang yang cengar-cengir sendiri sambil mengelus-elus ponselnya. Tapi di saat yang bersamaan, kita mengabaikan penumpang lain yang barangkali membutuhkan tempat duduk. Atau mungkin kita tak sadar, tangan jahil copet tengah beraksi.

Rupanya, presiden yang namanya Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY juga terjangkit ‘endemi’ ini. Polahnya betul-betul paradoksal. Perhatikan cuitan pertamanya 13 April lalu: “Halo Indonesia. Saya bergabung ke dunia twitter untuk ikut berbagi sapa, pandangan dan inspirasi. Salam kenal. *SBY* ” Bapak dari Pacitan itu merasa yakin, bergabungnya ia ke twiter land bisa mendekatkan dirinya dengan masyarakat. Ia tak sadar, bahwa komunikasi via dunia maya hanyalah pelengkap dari komunikasi tradisional: tatap muka.

Tapi faktanya apa? Kegiatan blusukan yang ia lakukan hanya berusia jagung. Kesan seremonial nan kaku lebih kuat terasa, ketimbang suasana penuh kehangatan.

Kalau kita tengok ke belakang, di masanya dulu, para pegiat Lembaga Kebudayaan Rakyat alias Lekra sudah menjalankan itu dengan istilah turba alias turun ke bawah. Bukan secara sporadis. Bukan untuk semata pencitraan (walau harus kita sadari, tanpa pencitraan politik tak akan pernah ada) yang kadang memualkan. Ya, memualkan karena lebih mengedepankan polesan menor ketimbang substansi. Pada masanya, Lekra melakukannya secara sistematis. Seniman-seniman berbulan-bulan hidup di tengah masyarakat agar dapat menghasilkan karya seni yang betul-betul mengangkat denyut nadi kaum tertindas.

Kembali ke soal SBY dan mainan baru twitternya. Salah satu tujuan dari dibuatnya akun twitter itu adalah untuk mendekatkan diri dengan rakyat dan mendengar aspirasi secara langsung. Akun Twitter Presiden akan dikelola oleh tim. Namun, Presiden bisa nge-tweet sendiri jika ada informasi penting yang ingin disampaikan kepada publik. Itu saya kutip dari Kompas.com.

Saya barangkali hanya satu dari sekian banyak orang yang bertanya-tanya, kenapa (baru) di ujung masa pemerintahannya SBY nongol di twitter. Kalau mau mendekatkan diri, kenapa baru sekarang? Lagipula, apa iya selama ini SBY dan jajarannya kekurangan media untuk berkomunikasi dengan rakyat? Seharusnya, bapak mertua Anisa Pohan ini tak usah was-was, karena apapun yang ia lakukan pasti akan jadi bahan liputan. Cucunya lahir diliput. Ia terserang flu diliput. Pamer hobi memasak diliput. Semua bisa diliput tanpa ia harus repot-repot mengerahkan media. Ia tak seperti seorang teman saya yang selalu cemberut, kalau acara yang ia gelar hanya diliput segelintir wartawan.

Anehnya lagi, kalau SBY benar mau menangkap aspirasi masyarakat, kenapa ia sangat selektif dalam mem-follow akun twitter orang lain? Para wartawan kepresidenanpun harus diundi untuk dapat ‘keberuntungan’ di-follow menantu Sarwo Edhie Wibowo ini. Apakah dengan mem-follow para artis ia merasa bisa menangkap aspirasi masyarakat?

Paradoks itu benar-benar terasa baunya.

Fransiskus Pascaries