31 October 2013

Bukan Jurnalis (Perempuan) Biasa

I know you are suffering. This gonna be tough for you. But you don’t let this guy colonize your soul.

Kalimat itu meluncur dari mulut seorang ibu saat anak perempuannya baru saja keluar dari sebuah rumah sakit di Meksiko. Sang anak dirawat setelah diserang dan diperkosa orang tak dikenal di sana. Sang anak berpikir ia akan segera mati. Mata sang ibu menatap tajam padanya sambil mengucapkan kalimat itu. Ada penekanan dalam kata don’t.

Sang anak adalah Lydia Cacho. Jurnalis Meksiko yang pemberani. Amat berani.

Saat mendengar kalimat dari sang ibu, Lydia merasa ada sesuatu dalam hatinya yang bergetar. Ia pun bergumam, “This is it” dan mengamini apa yang dikatakan sang ibu padanya itu.

Sungguh tak keliru dan menyesal saya menyisihkan sebagian tabungan untuk bertandang ke UWRF 2013. Di perhelatan tahun kesepuluh itu, jurnalis kelahiran 12 April 1963 ini adalah salah satu sosok yang paling menarik perhatian saya sejak jadwal UWRF dirilis.

Ia hadir dalam beberapa sesi di UWRF 2013. Tapi saya hanya hadir di dua sesi: Dangerous Ideas dan Without Fear. Di sesi Dangerous Ideas yang dipandu Michael Vatikiotis, Lydia duduk satu panel dengan Danny Morrison dari Inggris, Mona Prince dari Mesir, dan Solahudin peneliti jihad di Indonesia. Sedangkan di sesi Without Fear ia tampil seorang diri dipandu Ariel Leve.

Ancaman pembunuhan berkali-kali ia alami. Siksaan dan teror kerap ia terima. Ia bahkan pernah diperkosa di sebuah terminal di Cancun, Meksiko. Ia menduga keras, hal ini menimpanya karena ia meliput isu-isu sensitif seperti kekerasan pada perempuan. Ia juga menderita karena perlakuan kekerasan karena keberaniannya meliput para politisi yang terlibat dalam jaringan prostitusi anak internasional.

Ia terluka fisik dan mental, bahkan nyaris kehilangan nyawa. Tapi ia tak mundur. Sejengkalpun.

Ayahnya orang Meksiko. Darah pemberani yang mengalir dalam diri Lydia berasal dari nenek dan ibunya yang adalah orang Prancis. Neneknya turut berjuang untuk melindungi dan menyelamatkan sejumlah aktivis politik yang diburu serta disiksa pemerintahan diktator Oliveira Salazar di Portugal dan Franco di Spanyol. Sedangkan sang ibu yang bermigrasi dari Prancis ke Meksiko semasa perang dunia kedua, pada masanya ikut berjuang sebagai aktivis hak-hak perempuan di kantong-kantong kemiskinan di Meksiko.

Sang ibu yang feminis itu kerap mengajak Lydia turut serta dalam pekerjaannya di kalangan akar rumput di sekitar rumah mereka.

“Nenek dan ibu saya mengajari saya untuk turut bertanggungjawab dan bertindak atas apa yang saya saksikan,” ujar Lydia seperti dikutip The Independent.

Hidup ini, bagi Lydia, adalah soal memilih. Setiap bangun pagi, menurut Lydia, kita memutuskan untuk melakukan sejumlah hal.

“Kadang kita lakukan itu dengan sadar, ada kalanya justru sebaliknya. Kadang kita hanya lakukan itu dan berseru ‘Sial, aku lakukan ini!’, ” ujar Lydia.

Lydia juga berteman baik dengan Anna Politkovskaya, seorang jurnalis Rusia yang pada 7 Oktober 2006 ditembak oleh kaki tangan Vladimir Putin. Anna dibunuh karena lewat liputannya kerap melancarkan kritik seputar kebijakan Kremlin di Chechnya.

Mereka berdua sama-sama pernah menjadi penerima Penghargaan Guillermo Cano dari UNESCO. Lydia pada tahun 2008, sedangkan Anna tahun 2007. Lydia terakhir kali bertemu dengan Anna dua bulan sebelum jurnalis yang amat kritis pada Kremlin itu kehilangan nyawanya.

Anda mungkin pernah mendengar The Civil Courage Prize yang pada tahun 2005 diterima Munir dari The Trustees of The North Court Parkinson Fund, lembaga independen yang berbasis di New York. Nah, Lydia menerima penghargaan yang sama tahun 2011 atas dedikasi dan keberaniannya yang dikenal publik internasional itu.

Di ujung sesi Without Fear, setelah banyak sekali orangmuda atau mereka yang telah berumur meminta berfoto dengan Lydia, saya menemuinya. Saya sekilas bercerita tentang liputan saya soal peristiwa Timor Leste tahun 1999, dan meminta sarannya secara umum. Saya mengajaknya berbincang dalam bahasa Spanyol.

Ia bilang pada saya, perlunya pemahaman yang kuat soal motivasi yang mendorong kita meliput tema tertentu. Itu sangat penting. “Satu yang terpenting adalah pemahaman kita pada masalah dan kemampuan kita dalam meliputnya,” tegas perempuan yang tahun 2011 menjadi salah satu dari 100 perempuan berpengaruh di dunia versi majalah Newsweek ini.

Saya sungguh tergetar dengan kata-kata Lydia yang dikutip The Independent: “Saya tidak mundur, bukan karena saya tidak menyadari bahaya yang ada di sekeliling saya. Rasa takut itu teramat nyata dan kekerasan masih terjadi untuk membungkam orang seperti saya. Kekuatan yang saya punya ini datang dari para gadis korban perkosaan. Kekuatan mereka telah merasuk ke dalam diri saya.”

Lydia Cacho memang bukan jurnalis dan perempuan biasa. Foto 1 by Irene Galuh Foto 2 dari kiri ke kanan: Danny Morrison (Inggris), Mona Prince (Mesir), Michael Vatikiotis (moderator), Solahudin (Indonesia)dan Lydia Cacho.

06 October 2013

Mahkamah Konstitusi

Banyak orang di republik ini tersentak ketika Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap lalu digelandang dari rumahnya ke gedung Komisi Pemberantasan Korupsi. Banyak pula orang marah, sedih, serta kecewa karena berita ini. Sampai-sampai ada wacana dari sejumlah politisi, tokoh nasional dan warga sipil untuk membubarkan lembaga ini, atau sekurangnya mengurangi kewenangan luar biasa yang dimiliki MK.

Tapi semudah dan sesederhana itukah untuk membubarkan atau mengurangi peran MK? Tulisan ini sedikit mau mengetengahkan sejarah dan pentingnya peran MK di sebuah negara. Tak hanya di Indonesia tapi juga di negara lain di dunia.

Tahun 2006 sebagai kontributor Majalah Hidup saya mewawancarai Benny K Harman, yang saat itu adalah anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat. Sebelumnya, pada 20 Mei 2006 Benny mempertahankan disertasi setebal 500 halaman berjudul ”Perkembangan Pemikiran Mengenai Perlunya Pengujian UU Terhadap UUD Dalam Sejarah Ketatanegaraan Indonesia (1945-2004)” di depan tim penguji Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Benny menempuh program doktor di UI sejak 2001. Pembimbing sekaligus Ketua Pengujinya adalah Prof Dr Jimly Asshiddiqie SH, Ketua Mahkamah Konstitusi RI yang pertama.

Naskah saya terbit pada edisi No. 30, tanggal 23 Juli 2006 dalam rubrik Eksponen.

Menurut Benny, ada dua hal penting yang mendorongnya menulis disertasi dengan topik ini. Pertama, berkaitan dengan posisi konstitusi dalam sebuah negara yang menganut paham demokrasi. Kedua, berkaitan dengan bagaimana menjaga dan melindungi konstitusi.

”Dalam paham negara demokrasi, konstitusi adalah norma hukum paling tinggi. Kalau dia merupakan norma hukum paling tinggi, maka segala kebijakan pemerintah, semua penyelenggaraan kekuasaan negara harus tunduk pada konstitusi,” ujar mantan wartawan bidang hukum dan politik Harian Umum Media Indonesia ini.

Yamin vs Soepomo Dalam ringkasan disertasi setebal 129 halaman Benny menjelaskan, Muhammad Yamin adalah orang pertama yang mencetuskan pemikiran tentang perlunya kekuasaan kehakiman untuk memiliki kewenangan menguji UU terhadap konstitusi atau UUD. Hal itu mengemuka dalam sidang pleno Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) atau Dokuritsu Zyunbi Tjoosakai pada 15 Juli 1945.

Yamin mengusulkan itu karena ingin menjadikan Indonesia sebagai negara kedaulatan rakyat, negara demokrasi yang mengacu pada konstitusi. Bukan negara demokrasi berdasarkan majority system, melainkan negara demokrasi yang berbasis konstitusi.

Dalam penilaian Soepomo, paham yang diusulkan Yamin mengenai pengujian UU itu adalah paham liberal yang merupakan ’anak kandung’ dari sistem demokrasi liberal. Sementara Soepomo menghendaki sebuah negara integralistik yang khas Indonesia. ”Pemikiran Yamin itu ditolak oleh Soepomo yang menginginkan negara integralistik,”jelas Benni.

Yamin berpendapat, negara khas Indonesia memang mengakui kedaulatan rakyat. Tetapi, kedaulatan rakyat itu diserahkan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melalui Pemilu, lalu MPR menyerahkan kembali kepada Presiden sebagai Mandataris.

Benny juga membandingkan pengujian UU terhadap UUD di Indonesia dengan beberapa negara di dunia, terutama Jerman yang telah belajar dari sejarah bangsanya. Di Negeri Bavaria itu, demikian Benny, pengujian dilakukan oleh sebuah lembaga semacam Mahkamah Konstitusi (MK). Tahun 1945, ketika Adolf Hitler masih berkuasa, pengadilan telah dijadikan alat oleh rezim yang berkuasa untuk menindas hak-hak asasi rakyat Jerman pada waktu itu.

”Hampir semua negara yang waktu itu mengalami transisi, dari rezim otoriter menuju demokrasi, memiliki MK sebagai salah satu institusi yang bertugas menjaga agar proses transisi itu berjalan on the right track,” Benny menambahkan.

Benny juga mengutip pandangan Sutan Syahrir 60 tahun silam. Waktu itu Syahrir menandaskan bahwa usaha untuk mengontrol UU jangan diserahkan ke pengadilan, yang sudah lama bekerja untuk rezim yang represif. Portugal (1986), Spanyol (1978) membentuk MK setelah melepaskan diri dari rezim otoriter. Pasca keruntuhan komunisme, muncul gelombang baru yang menuntut tegaknya konstitusionalisme di negara-negara lain di Eropa bagian timur dan tengah, dengan turut membentuk MK guna menguji tindakan pemerintah dan peraturan perundang-undangan terhadap UUD. Di benua itu, Luxemburg menjadi negara terakhir yang membentuk MK tahun 1998, meninggalkan Inggris dan Belanda. Sementara di Asia, Korea Selatan sudah memiliki lembaga semacam MK tahun 1988, disusul Thailand satu dekade kemudian. Indonesia menjadi negara terbaru (sampai tahun 2006 ketika wawancara ini saya lakukan) di kawasan Asia yang mendirikan MK yang ia juluki sebagai the guardian of the constitution.

MK memang tengah dihantam badai. Tapi membubarkannya tentu tak lantas menyelesaikan masalah. MK, dengan segala macam cara yang mungkin, harus kita topang.

Fransiskus Pascaries