13 May 2013

Orang Kecil dalam Peristiwa Besar

Pernah ada seorang penggali makam di Arlington National Cemetery, Negara Bagian Virginia, Amerika Serikat. Clifton Pollard namanya. Seorang yang menjalani pekerjaan dengan gembira. Terlebih saat di akhir November 1963 ia mempersiapkan sebuah liang lahat untuk orang yang disebutnya sebagai ‘orang baik’: Presiden John Fitzgerald Kennedy atau biasa disingkat JFK. Seperti kita tahu, tanggal 22 November 1963 JFK mati bersimbah darah dalam pelukan Jacqualine Kennedy sang istri, karena diberondong timah panas di Dealey Plaza, Dallas, Texas, Amerika Serikat.

Kisah Clifton Pollard di hari pemakaman itu ditulis Jimmy Breslin dalam New York Herald Tribune November 1963, dalam news feature berjudul It’s an Honour. Bahasa yang dipakai sangat renyah. Berkali-kali saya membacanya, tak bosan-bosan juga. Sungguh sebuah karya jurnalistik yang memukau. Sudut pandang yang dipilih, gaya bahasa yang mengalir bak cerpen, penuturan yang singkat namun padat, sungguh membuat saya bisa merasakan deskripsi yang coba dihadirkan Breslin. Berkali-kali saya baca naskah itu, berkali-kali pula saya terkesima.

Saya bersyukur bisa mengikuti kursus narasi di Pantau dengan Andreas Harsono dan Budi Setiyono sebagai mentor. Naskah It’s an Honour yang diterjemahkan menjadi Ini Sebuah Kehormatan bisa saya baca, karena naskah itu menjadi salah satu dari sejumlah naskah bagus lainnya yang harus kami lahap. Ada naskah lain: Hiroshima karya John Hersey, The Silent Season of A Hero besutan Gay Talese, The Soccer War torehan Ryszard Kapuściński, Orang-Orang Ditiro liputan Linda Christanty, Panglima, Cuak, dan RBT tulisan Chik Rini, dan masih banyak lagi.

Wikipedia mencatat, kolom itu menunjukkan gaya Breslin, yang sering menyoroti bagaimana peristiwa besar atau tindakan mereka yang dianggap "berita" mempengaruhi "orang biasa".

Breslin tidak mewawancara menteri. Tidak juga Wapres Lyndon B Johnson yang kemudian dilantik sebagai presiden pengganti JFK. Tidak janda mendiang JFK, Jacqualine Kennedy. Tak ada petinggi Gedung Putih yang Breslin wawancarai terkait pemakaman JFK. Breslin menyingkir dari keramaian dan hiruk pikuk Arlington National Cemetery itu, untuk mendatangi keluarga Pollard di apartemen tiga kamar di Corcoran Street.

“Dia (JFK) orang yang baik,” kata Pollard pada John Metzler sang mandor.

“Ya, memang,” sahut Metzler.

“Sekarang dia akan datang ke sini dan berbaring di liang lahat yang saya gali. Kau tahu, ini benar-benar sebuah kehormatan buat saya, mengerjakan semua ini,” imbuh Pollard yang digaji $3.01 per jam untuk pekerjaanya itu.

Pollard tak hadir saat upacara pemakaman berlangsung. Dia berada jauh di balik bukit itu, menggali kubur lain. Entah kubur untuk siapa.

Di antara peluhnya, Pollard bergumam: “Tadi saya mau melihat ke sana. Tapi ada terlalu banyak orang, kata tentara tadi, saya tak boleh mendekat. Jadi, ya saya tetap di sini dan menggali. Tapi nanti saya akan ke sana sebentar. Cuma melihat sebentar, ya kan? Seperti kata saya padamu tadi, ini sebuah kehormatan.”

Membaca kisah brilian itu, selayaknya kita tak perlu kaget-kaget amat kalau tahu profil penulisnya. Terang saja, Jimmy Earl Breslin ini sama sekali bukan penulis kacangan. Dari wikipedia, saya tahu ia pernah meraih dua penghargaan bergengsi: Georg Polk Award dan Pulitzer Prize, masing-masing tahun 1985 dan 1986. Pria kelahiran Jamaica, New York, 17 Oktober 1930 itu menjadi kolumnis untuk New York Herald Tribune, the Daily News, the New York Journal American, Newsday, dan lainnya.

Dari Indonesia, sejarawan almarhum Sartono Kartodirdjo juga pernah menulis tentang pemberontakan kaum petani di Banten. Bukan tulisan sembarang tulisan, melainkan sebuah karya disertasi berjudul The Peasant’s Revolt of Banten in 1888, Its Conditions, Course and Sequel: A Case Study of Social Movements in Indonesia. Disertasi itu dibuat almarhum saat menempuh studi doktoral di Universtas Amsterdam, Negeri Belanda tahun 1966.

Begitulah. Ada banyak hal, kisah, dan orang kecil di balik peristiwa-peristiwa besar. Orang-orang itu kerap tenggelam di balik gegap gempita seremoni. Mereka nyaris selalu luput dari kilau jepretan kamera para jurnalis foto.

Tapi kita selayaknya tak lupa, bahwa sejarah umat manusia memang selalu hadir karena peluh, bahkan darah, dari orang-orang kecil itu. Clifton Pollard pada tahun 1963 dan para petani di Banten tahun 1888 itu hanya dua di antaranya.

Sumber foto teratas: http://www.findagrave.com/cgi-bin/fg.cgi?page=pv&GRid=33858642

Sumber foto Breslin: http://www.cityandstateny.com/the-new-yorker-an-interview-with-jimmy-breslin/

Fransiskus Pascaries