29 September 2014

Setelah Sepuluh Tahun

Buat sebagian orang, kalau tulisannya dimuat di media massa tentu adalah hal biasa saja. Tapi bagi saya, apa yang saya alami pada 25 September 2004, sungguh menggembirakan. Naskah saya dimuat di Harian Kompas Edisi Jawa Tengah - DIY. Tulisan itu berjudul Pilkada Langsung: Peluang dan Tantangan.

Malam sebelumnya, saya menginap di sekretariat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia di Kayuputih, Purwokerto Timur. Seperti biasa, ada loper koran yang mengantarkan harian Kompas tiap pagi. Hari itu saya menunggu dengan harap-harap cemas, setelah tanggal 23 September 2004 saya mengirimkan naskah untuk rubrik Akademia itu. Hampir tiap pekan saya mengirim naskah untuk rubrik itu, dan tak pernah dimuat. Sampai akhirnya 25 September penantian saya itu berujung.

Tulisan saya menyoroti secara khusus peluang dan tantangan yang harus dihadapi kalau opsi pilkada langsung diambil. Saya tulis dalam artikel itu, Pilkada langsung akan membuka peluang untuk “mengurangi praktek politik uang dan korupsi yang sudah begitu subur di banyak DPRD. Begitu banyak praktek korupsi yang melibatkan pihak eksekutif dan legislatif di daerah, seperti dalam pembacaan laporan pertanggungjawaban bupati/walikota, lobi-lobi antar anggota dewan untuk menggolkan calon bupati/walikota dari partai tertentu, atau korupsi bupati/walikota dengan DPRD dalam proyek-proyek di daerah.”

Dalam tulisan itu, saya juga menegaskan bahwa praktek-praktek itu tentu tidak bisa ditolerir. Pilkada secara langsung akan dipantau oleh masyarakat sehingga dapat mengikis sedikit demi sedikit praktek money politics.

Peluang kedua jika pilkada langsung dapat segera dilaksanakan, adalah semakin terbukanya kemungkinan rakyat untuk dapat menyatakan secara langsung kehendak politiknya. Hal itu akan berimbas pada rasa memiliki warga pada daerahnya, sehingga bupati/walikota yang terpilih secara langsung dapat didukung sekaligus dikontrol oleh masyarakat setempat sebagai konstituennya.

Selain peluang, ada juga beberapa tantangan yang harus diwaspadai. Pertama adalah, kemungkinan akan semakin menguatnya semangat kedaerahan yang jika tidak dipahami secara komprehensif dapat terjerumus ke dalam fanatisme yang sangat sempit. Hanya menghendaki putra daerah setempat sebagai pemegang kekuasaan tanpa mempertimbangkan aspek kompetensi adalah salah satu contohnya. Ancaman kedua, adalah peluang akan meruncingnya konflik antara DPRD dan kepala daerah yang bersangkutan. DPRD dan kepala daerah memiliki legitimasi yang sama-sama kuat karena dipilih secara langsung oleh rakyat, sehingga kepala daerah tidak dapat dijatuhkan oleh DPRD seperti sering terjadi selama ini. Sekitar sepuluh tahun kemudian, kita melihat bagaimana dinamika ini terjadi di DKI Jakarta bukan?

Ancaman selanjutnya, adalah terbukanya kemungkinan konflik horizontal antar pendukung calon kepala daerah.Jika ini tidak diwaspadai, masyarakat tidak dapat secara bersama-sama menikmati hasil dari proses demokratisasi di daerahnya, tetapi justru akan menuai perpecahan di daerah sehingga pada akhirnya stabilitas masyarakat jugalah yang akan terganggu.

Seusai wisuda tanggal 9 Oktober 2004, saya mengajak beberapa teman untuk makan siang untuk syukuran kecil-kecilan. Kami makan di sebuah warung makan di daerah Grendeng, Purwokerto Utara. Seluruh honor saya di Kompas Jateng DIY itu ludes. Tapi saya senang dan sama sekali takmenyesal. Tapi, tepat sepuluh tahun setelah naskah saya dimuat, para wakilrakyat merampas kembali kedaulatan yang sudah dengan susah payah diperjuangkan. Bertahun-tahun. Itulah yang sudah selayaknya saya, atau kita sesalkan bersama.

Kita nantikan episode selanjutnya di Mahkamah Konstitusi!

Sumber foto: http://beritadaerah.co.id/2013/10/23/pilkada-deli-serdang-di-desa-tanjung-gusta-sumut/

07 September 2014

Liburan Mencekam di Kefamenanu

Apa yang anda bayangkan soal liburan? Bersenang-senang di tempat wisata? Mengunjungi sanak saudara di kampung halaman? Intinya: liburan pada umumnya adalah momen untuk menyingkir sejenak dari kepenatan yang dijumpai dalam keseharian.

Tapi masa libur kuliah seorang mahasiswa tahun 1999 di Kefamenanu sungguh jauh dari gambaran 'ideal' itu. Tentu saja, ia senang karena bisa bertemu dengan bapak, ibu dan keempat adiknya. Tapi beberapa kali dalam dua pekan liburan ia di sana, bunyi dentum senjata terdengar pada malam hari.

Pernah juga ia berada dalam mikrolet di Kefamenanu bersama dengan seorang milisi bercambang yang membawa senjata rakitan. Aroma minuman keras menguar dari mulutnya. Anda tentu bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau orang itu mengamuk di dalam mikrolet itu kan?

Oya, soal Kefamenanu. Ia adalah sebuah kecamatan yang juga merupakan pusat pemerintahan Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur. Kota mungil yang hanya kerap diramaikan oleh pasar di pagi hingga siang hari. Setiap matahari surut, perlahan tapi pasti keramaian pun segera beringsut.

***

Ia punya seorang ayah. Tubuhnya kini lumayan berisi. Banyak celana yang sudah tak lagi muat untuknya. Kulitnya sawo matang, cenderung hitam. Dari foto-foto lama terlihat jelas, dulu tubuhnya kurus. Ceking. Kerempeng.

Setelah berkarya di Kantor Departemen Agama Kabupaten Baucau -salah satu distrik di Timor Leste- sejak 1988, ia dipindahtugaskan ke Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Timor Timur. Tahun 1993 mereka hijrah ke ibukota Dili, sementara si anak muda kelahiran Jakarta tahun 1980 itu hidup di asrama seminari Venilale. Sebuah kota kecamatan di Baucau yang suhunya barangkali lebih dingin daripada kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat.

Enam tahun berkarya di Dili, si Bapak mendapat penugasan baru. Ia diberi kepercayaan untuk mengepalai Kantor Departemen Agama Kabupaten Oecussi-Ambeno, atau Oecussi, yang bersinggungan langsung dengan wilayah Nusa Tenggara Timur. Daerah ini merupakan eksklave pesisir di bagian barat pulau Timor, terpisah dari negara Timor Leste oleh kawasan Timor Barat milik Indonesia. Ibu kota Oecussi-Ambeno ialah Pante Makasar (Kota Oecussi).

Keluarga mereka meninggalkan kota Dili sekitar Februari 1999, saat suhu politik di sana mulai memanas. Kaum pro kemerdekaan mulai unjuk kekuatan dengan pawai-pawai kendaraan, di sejumlah ruas kota Dili. Sedikit banyak hal itu mulai membuat cemas warga pendatang di sana.

Bapak, ibu dan keempat adiknya pun mengontrak sebuah rumah di Kefamenanu, di kawasan yang biasa disebut warga lokal dengan sebutan Kilo 2. Si bapak sebenarnya mendapat fasilitas rumah dinas di Oekussi. Tapi karena pendidikan adik-adiknya juga harus dipikirkan, mereka memilih untuk menetap di Kefamenanu.

Ia tengah memasuki tahun kedua kuliah di Purwokerto, Jawa Tengah saat itu. Di masa liburan semester, ia pun berlibur ke Kefamenanu. Ia berangkat naik kapal laut hingga Kupang, dan melanjutkan dengan bis menuju Kefamenanu. Sekitar tujuh jam.

***

Tanggal 30 Agustus 1999, seorang pria berbalut jas warna abu-abu itu berada di sebuah Tempat Pemungutan Suara jajak pendapat di Oekussi. Ia kebagian tugas sebagai pembawa doa di sana. Ia adalah si bapak yang kerap mendapat tugas semacam itu. Ia sempat berfoto dengan salah satu personil PBB yang tak ia ingat lagi namanya.

Perserikatan Bangsa-Bangsa akhirnya mengumumkan hasil jajak pendapat pada tanggal 4 September 1999. Seluruh dunia pun tahu apa hasilnya. Rien Kuntari dalam buku Timor Timur Satu Menit Terakhir: Catatan Seorang Wartawan mencatat, tanggal 7 September 1999 Timor Timur luluh lantak. Pemerintah Indonesia menerapkan darurat militer. Mayjen Kiki Syahnakri diangkat sebagai Panglima Penguasa Daerah Militer dan Letkol Laut (P) Willem Rampangilei, Komandan Satgas Penerangan PDM.

Pada tanggal 7 September itu, atau beberapa hari sesudahnya, si bapak mengajak anak sulungnya untuk ikut dengannya mengambil beberapa barang dari kantornya di Oekussi. Tapi si anak –yang belum pernah sama sekali bertandang ke Oekussi– urung berangkat, karena sang ibu melarang.

“Ah, ngapain sih? Situasi lagi kayak gini,” ujar sang ibu mengacu pada kondisi keamanan saat itu.

Walhasil, sang bapak pun berangkat sendiri. Ia menyewa satu truk, berikut satu sopir dan pengawal milisi bersenjata laras panjang. Jadilah ia duduk di tengah, diapit kedua orang itu.

Kepada si sopir, sang pengawal berkata, “Kalau ada yang halangi di jalan, tabrak saja!”

Beberapa kilometrer jelang tiba di Oekussi si bapak melihat api tengah membara di banyak sekali rumah. Asap pun mengepul di sana-sini. Banyak ternak yang berkeliaran ke sana ke mari, beberapa mati tergeletak begitu saja.

Mereka bertiga pun tiba di kantor si bapak. Kantor yang baru ia renovasi itu pun sudah kacau balau. Berantakan. Kotor. Korden yang baru ia ganti pun telah robek tak jelas kenapa. Brankas berisi uang sudah tak jelas siapa yang menggondolnya. Ia hanya mengambil meja dan beberapa barang yang memungkinkan untuk dibawa.

Ia pun pulang dengan selamat ke Kefamenanu bertemu kembali dengan istri dan kelima anaknya.

Si mahasiswa dan keluarganya dalam kisah itu masih beruntung. Lima belas tahun setelah peristiwa itu terjadi, ia bisa tetap hidup dan menuliskan kisah masa liburannya yang mencekam itu. Sayalah si mahasiswa itu. Sumber Foto 1: http://geosite.jankrogh.com/images/Oec1.GIF Sumber Foto 2: https://thomaspm.files.wordpress.com/2010/02/peta-ntt.jpg

23 July 2014

Pelayan

Usai sudah hingar bingar kampanye. Selesai sudah hiruk pikuk itu. Presiden dan Wakil Presiden yang baru telah secara resmi diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum semalam. Mereka berdua akan menjalankan pemerintahan hingga setidaknya tahun 2019.

Kini sudah ada dua orang yg kita minta untuk menjalankan mandat: Jokowi dan Jusuf Kalla. Mereka bukan atasan kita, rakyat yang berdaulat ini, sama sekali bukan. Mereka adalah sepasang warga negara yang kita percaya untuk menjadi pelayan. Ya, pelayan. Pelayan untuk mengurusi negara yang carut marut ini. Mereka tak berada dalam posisi yang lebih tinggi dari kita. Kita tak layak memuja mereka bak pahlawan. Kita tak boleh membuai mereka dalam euforia berkepanjangan.

Tugas sepasang pelayan itu tak ringan. Sungguh. Mereka kita beri waktu lima tahun untuk membereskan yang semrawut, membersihkan yang kotor, menuntaskan yang tak kunjung selesai. Jadi, tugas kita pun sama sekali belum tuntas. Kita baru pada tahap awal: menghantarkan Jokowi dan Jusuf Kalla ke kursi eksekutif. Dari kamus Oxford, executive, berarti "relating to or having the power to put plans or actions into effect". Sehingga, jabatan pada hakikatnya adalah menjabarkan rencana ke dalam tindakan yang berefek.

Tugas kita selanjutnya adalah mengontrol mereka berdua, agar tak melakukan hal-hal konyol bin bodoh yang akan merugikan kepentingan bangsa dan negara secara keseluruhan.

Jokowi dan JK harus melindungi kalangan yang kerap ditempatkan secara hina dina sekian lama di republik ini, karena kerap ditindas atas nama perbedaan aliran kepercayaan. Mereka harus menjaga dan memastikan, agar tak ada aparat yang main pukul dan tembak dengan senjata yang dibeli dari pajak masyarakat. Mereka wajib mencari orang-orang yang diculik dalam prahara 1998.

Kita tentu senang, kalau mengetahui bahwa pajak yang kita sisihkan dari gaji kita, pajak yang kita bayar setiap kali kita makan di restoran dan berbelanja, bisa dimanfaatkan sebanyak-banyaknya untuk kemakmuran masyarakat. Jokowi dan JK harus bisa meyakinkan kita semua, takkan ada lagi pelemahan pada Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK harus dikondisikan agar bisa bekerja dengan jaminan bahwa siapapun sama posisinya di hadapan hukum.

Secara ringkas, Jokowi dan JK harus mengurai dan menyelesaikan tiga problem pokok bangsa, sebagaimana sudah mereka sampaikan dalam visi misi pencapresan mereka. Pertama, ancaman terhadap wibawa negara. Kedua, kelemahan sendi perekonomian bangsa. Ketiga, intoleransi dan krisis kepribadian bangsa.

Jangan kita mengucapkan selamat pada Jokowi JK karena sudah meraih kursi tertinggi dalam jajaran eksekutif. Kita harus mengucapkan selamat bekerja pada sepasang pelayan itu. Kita berharap, mereka tak mengecewakan kita. Mereka berdua harus mampu dan mau bekerja keras, untuk semua orang dan kalangan, termasuk kalangan yang tak mendukung mereka berdua pada 9 Juli 2014 lalu. Mereka harus bekerja juga untuk siapapun yang pernah mengumbar jutaan fitnah dalam rupa-rupa hal. Mereka harus bisa membuktikan, bahwa mereka berdua adalah sepasang pelayan yang bekerja untuk semua.

Sekian. Ini saatnya mereka berdua bekerja!

Foto: TRIBUNNEWS/HERUDIN

06 June 2014

Dialog dan Rekonsiliasi

Surat Terbuka untuk Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Uskup Agung Keuskupan Agung Semarang, Mgr Johannes Maria Trilaksyanta Pujasumarta.

Sri Sultan yang baik,

Saya bukan warga Yogyakarta. Saya juga bukan orang terpandang di negeri ini. Saya hanya warga negara biasa. Seumur hidup saya, tak lebih dari hitungan jari saya menyambangi Yogyakarta yang baru saja untuk kesekian kalinya diacak-acak oleh kaum intoleran. Saya kira, saya hanya satu dari entah berapa banyak orang yang merasa nyaman berdiam di sana meski hanya sebentar. Entah untuk berlibur atau berkegiatan lain.

Saya senang dengan pernyataan Anda yang dikutip media massa bahwa,
"Bagi saya (kini), yang penting tindakan hukum, bukan dialog."

Saya, dan tentu saja siapapun yang ingin kota Gudeg itu menjadi aman, berharap pernyataan itu mewujud dalam aksi. Tindakan hukum perlu dijabarkan dalam realitas, bukan dalam pidato atau jumpa pers.

Kelompok-kelompok yang ditengarai pelaku kekerasan tersebut pernah melakukan dialog dengan Anda pada 4 Juni 2013 di Polda DIY di Sleman. Hadir pula dalam dialog tersebut antara lain Kapolda DIY Brigadir Jenderal Haka Astana, Komandan Korem 072 Pamungkas Brigjen Adi Widjaja, Kepala Kejaksaan Tinggi DIY Suyadi, dan Kepala Badan Intelijen Daerah DIY Ruswanta.

Tapi faktanya, setahun kemudian, mereka khianati dialog itu. Dialog itu kontan berubah menjadi bualan.

Monsinyur yang baik,

Saya membaca pernyataan Anda yang juga dikutip media massa. Anda akan mengupayakan rekonsiliasi dengan kelompok yang melakukan kekerasan dan intoleran di Sleman pada 29 Mei 2014 itu.

Kepada wartawan Anda juga bilang,

"Peristiwa itu mencederai Yogyakarta sebagai city of tolerance."

Anda benar, Monsinyur.

Tanpa bermaksud untuk menggurui, izinkan saya untuk mengingatkan Anda soal rekonsiliasi yang Anda sebut itu.

Kita harus jernih dalam memahami kata rekonsiliasi yang beberapa hari ini menyeruak media. Satu kata itu cukup sering berseliweran setiap kali ada dua kubu berseberangan ide, tak terkecuali dalam kasus penyerangan terhadap umat Katolik di Yogyakarta yang diserang saat berdoa rosario itu.

Banyak orang bicara soal rekonsiliasi, sembari secara (tidak) sadar mengaburkan maknanya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia online, rekonsiliasi berarti “perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula; perbuatan menyelesaikan perbedaan”. Sedangkan menurut Oxford Dictionary, reconciliation berarti “the restoration of friendly relations; the action of making one view or belief compatible with another”.

Tapi, Monsinyur. Bangsa ini kerap dibohongi dan dikadali banyak pemimpinnya, yang ingin menutupi kebohongan dengan rekonsiliasi. Isu rekonsiliasi kerap dibahas, sambil mengajak kita untuk melupakan masa lalu dan menatap masa depan. Terdengar baik memang. Tapi kalau dicermati lagi, itu tak lebih dari usaha pembodohan.

Rekonsiliasi sejatinya mensyaratkan asas “forgive not forget” atas praktek-praktek pelanggaran di masa lalu, juga "pengungkapan kebenaran" seperti prinsip Komisi Kebenaran dan Rekonsilasi. Kebenaran tidak boleh ditutupi, sehingga rekonsiliasi harus mendasarkan diri pada semangat belajar dari kesalahan masa lalu dan menemukan komitmen baru.

Ilustrasinya, kalau ada seseorang yang datang pada kita untuk minta maaf, tanpa ia menjelaskan apa salahnya, tentu kita akan heran. Kita akan mengerti maksudnya, kalau orang itu menjelaskan kesalahannya dengan bilang, misalnya, ”Maaf, ya. Minggu lalu akungambil buku di kamarmu, ga bilang-bilang. Dan sekarang buku itu hilang. Besok saya ganti ya…”

Meski skalanya berbeda, kita bisa belajar dari bangsa Jerman dan Timor Leste, dan juga saya rasa, Afrika Selatan. Sebagai contoh terdekat, perkenankan saya menyodorkan Timor Leste.

Pada tahun 2005 Timor Leste mencetak sejarah, setelah mendirikan Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi (CAVR) dan menghasilkan laporan setebal kira-kira 2500 halaman, Chega!, satu kata dalam bahasa Portugis yang artinya: jangan lagi, stop, cukup.

Selama masa kerjanya, CAVR menggelar sejumlah Proses Rekonsiliasi Komunitas (PRK). Dalam situs www.cavr-timorleste.org disebutkan, program ini adalah baru dan belum pernah diuji sebelumnya untuk memajukan rekonsiliasi dalam masyarakat.

Prosedur PRK berpijak pada keyakinan bahwa cara terbaik untuk mencapai rekonsiliasi komunitas ialah melalui mekanisme partisipatif di tingkat desa. Mekanisme ini menggabungkan praktek keadilan tradisional, arbitrasi, mediasi, dan aspek hukum pidana serta perdata. Dalam pertemuan ini, para korban, pelaku kejahatan, dan masyarakat luas bisa berpartisipasi secara langsung dalam mencari penyelesaian agar pelaku pelanggaran bisa diterima kembali oleh masyarakat.

Indonesia sebagai bangsa harus diakui masih minim pengalaman dalam hal rekonsiliasi akar rumput ini. Selain Lakpesdam NU yang pada awal tahun 2000-an mengadakan rekonsiliasi dengan kalangan korban kekerasan tahun1965, setahu saya belum ada inisiatif serupa lagi sejauh ini.

Sri Sultan dan Monsinyur,

Anda berdua begitu dihormati di Yogyakarta. Modal politik, ekonomi, dan kultural yang Anda berdua miliki, selayaknya dimaksimalkan untuk melindungi warga sesuai amanat konstitusi. Warga Yogyakarta yang berkehendak baik, entah asli atau pendatang, tentu berharap banyak dari Anda berdua. Mereka berharap agar Anda berdua bisa menjadi pimpinan yang mengayomi mereka.

Semoga Anda berdua tak mematikan harapan itu. Harapan siapapun yang berkehendak baik. Harapan bahwa toleransi tetap hidup dan dihidupi. Tak hanya di Yogyakarta, tapi juga di Indonesia Raya.

Balikpapan, Kalimantan Timur, 5 Juni 2014.

26 February 2014

Rokok dan Sabun Untuk Falintil

Pada hari kedelapan bulan Februari 2014 lalu, saya berada di ketinggian Skydining, Plaza Semanggi, Jakarta Selatan. Saya menemui Lexy Rambadeta, seorang film maker yang kenyang pengalaman. Di antara gedung-gedung pencakar langit di sekitarnya –di sisi utara Kampus Universitas Atma Jaya berdiri dengan tegaknya, di sisi selatan, dipisahkan dengan jalan raya yang selalu sibuk setiap hari ada Markas Besar Polda Metro Jaya– Lexy menceritakan kisahnya saat tiga kali bertandang ke Timor Leste tahun 1999.

Lexy mulai tertarik dengan Timor Leste sejak sekitar tahun 1994 ketika masih mengenyam pendidikan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Saat itu di tengah sebuah aksi demonstrasi di kampus UGM, seorang pemuda berambut gondrong berteriak dengan gagah nan lantang, “Viva Xanana Gusmão!”

“Wah, itu ngeri buanget. Aku aja deg-degan banget. Pasti ada intel kan?! Padahal aku nggak terlibat di demonstrasi itu loh. Hanya mendengar aja deg-degan,” kata Lexy mengenang peristiwa itu.

Lexy mengibaratkan tindakan itu seperti halnya orang berteriak “Hidup Lucifer” di saat ibadat misa berlangsung di dalam gereja.

“Karena, Soeharto disakralkan, Timor Leste masuk provinsi keduapuluhtujuh disakralkan. Itu suci. Itu persatuan yang kalau diganggu akan kacau,” imbuh Lexy.

Singkat kata, Lexy akhirnya berkenalan dengan pemuda gondrong itu. Lexy mengaku lupa nama lengkap pemuda asal Timor Leste. Lexy hanya ingat, pemuda itu adalah Pedro, seorang aktivis Resistencia Nacional dos Estudiantes de Timor Leste (RENETIL).

Pertemanan antara Lexy dan Pedro terus berlanjut. Tahun 1998 saat Soeharto dijatuhkan oleh gerakan mahasiswa di seluruh penjuru negeri, termasuk Yogyakarta, Pedro dan kawan-kawannya asal Timor Leste ikut mendukung pergerakan mahasiswa Indonesia di Yogyakarta.

Pedro adalah salah satu orang yang dengan gagah berani membela para mahasiswa di Fakultas Filsafat UGM yang melakukan aksi mogok makan tahun 1998.

“Para mahasiswa yang mogok makan ini mau diserang sama semacam milisi gitu. Nah, orang-orang UGM ini ketakutan, yang mengawal itu orang-orang RENETIL ini,” kata Lexy.

Di suatu malam, setelah mengawal aksi demo itu, Pedro ini ditembak oleh orang tak dikenal. Beruntung, peluru tak mencabut nyawa Pedro dari raganya. Ia tetap hidup.

Hubungan Lexy dan Pedro serta teman-temannya semakin dekat. Perjuangan melawan kediktatoran Soeharto ini berlanjut, karena perjuangan bangsa Timor Leste belumlah selesai.

Menurut Lexy, Pedro dan kawan-kawannya ikut menjatuhkan Soeharto, karena merasa bahwa rakyat Indonesia dan rakyat Timor Leste sama-sama melawan rezim diktator.

“Yang satu menindas rakyat Indonesia, yang satu menindas rakyat Timor Leste,” kata Lexy yang mempunyai banyak rekaman video aksi demonstrasi mahasiswa Timor Leste di Deplu, Gedung PBB Jakarta, dan sebagainya.

Sore itu Lexy juga memutarkan rekaman video. Bukan sembarang video, tapi video yang berisi perjalanan Lexy dan dua orang rekannya dari Jakarta awal tahun 1999 untuk menemui personil dan beberapa pentolan Forcas Armadas de Libertacao Nacional de Timor Leste (FALINTIL) di hutan Kabupaten Lospalos.

Di video itu terlihat beberapa sosok berambut gondrong dan berkulit legam menenteng senjata laras panjang. Mereka membabat ranting-ranting yang ada di hadapan mereka di sepanjang perjalanan di hutan belantara itu.

“Waktu itu jalan kakinya itu berapa jam begitu. Banyak duri. Di Lospalos, banyak batu dan duri. Hutannya nggak lebat, tapi ada batu duri,” ujar Lexy.

Lexy juga mewawancara beberapa orang dari para gerilyawan itu. Ia menggali kenapa mereka masuk hutan. Siapa yang membantai keluarga mereka. Macam-macam.

Sebelum masuk ke Timor Leste, Lexy membeli rokok Gudang Garam Surya sebanyak satu slop untuk dia bagikan pada para gerilyawan Falintil.

Hal itu juga Lexy ulangi lagi setelah referendum yang digelar 30 Agustus 1999 saat ia mendapat tugas peliputan dari sebuah media asing. Ia akhirnya tak hanya memasok rokok, sabun cuci dan sabun mandi, tapi juga perangkat gula, teh, kopi, minyak goreng, korek api, handy talkie dan lain-lain yang ia beli di Yogyakarta.

“Aku sudah punya uang cukup banyak, belanja sabun dan Gudang Garam Surya itu tadi. Karena aku tahu, mereka suka Gudang Garam Surya,” Lexy tertawa lebar mengisahkan itu.

Kemanusiaan sejati mampu menembus batas-batas nasionalisme dan primordialisme. Lexy sudah membuktikan itu.

Fransiskus Pascaries