06 June 2014

Dialog dan Rekonsiliasi

Surat Terbuka untuk Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Uskup Agung Keuskupan Agung Semarang, Mgr Johannes Maria Trilaksyanta Pujasumarta.

Sri Sultan yang baik,

Saya bukan warga Yogyakarta. Saya juga bukan orang terpandang di negeri ini. Saya hanya warga negara biasa. Seumur hidup saya, tak lebih dari hitungan jari saya menyambangi Yogyakarta yang baru saja untuk kesekian kalinya diacak-acak oleh kaum intoleran. Saya kira, saya hanya satu dari entah berapa banyak orang yang merasa nyaman berdiam di sana meski hanya sebentar. Entah untuk berlibur atau berkegiatan lain.

Saya senang dengan pernyataan Anda yang dikutip media massa bahwa,
"Bagi saya (kini), yang penting tindakan hukum, bukan dialog."

Saya, dan tentu saja siapapun yang ingin kota Gudeg itu menjadi aman, berharap pernyataan itu mewujud dalam aksi. Tindakan hukum perlu dijabarkan dalam realitas, bukan dalam pidato atau jumpa pers.

Kelompok-kelompok yang ditengarai pelaku kekerasan tersebut pernah melakukan dialog dengan Anda pada 4 Juni 2013 di Polda DIY di Sleman. Hadir pula dalam dialog tersebut antara lain Kapolda DIY Brigadir Jenderal Haka Astana, Komandan Korem 072 Pamungkas Brigjen Adi Widjaja, Kepala Kejaksaan Tinggi DIY Suyadi, dan Kepala Badan Intelijen Daerah DIY Ruswanta.

Tapi faktanya, setahun kemudian, mereka khianati dialog itu. Dialog itu kontan berubah menjadi bualan.

Monsinyur yang baik,

Saya membaca pernyataan Anda yang juga dikutip media massa. Anda akan mengupayakan rekonsiliasi dengan kelompok yang melakukan kekerasan dan intoleran di Sleman pada 29 Mei 2014 itu.

Kepada wartawan Anda juga bilang,

"Peristiwa itu mencederai Yogyakarta sebagai city of tolerance."

Anda benar, Monsinyur.

Tanpa bermaksud untuk menggurui, izinkan saya untuk mengingatkan Anda soal rekonsiliasi yang Anda sebut itu.

Kita harus jernih dalam memahami kata rekonsiliasi yang beberapa hari ini menyeruak media. Satu kata itu cukup sering berseliweran setiap kali ada dua kubu berseberangan ide, tak terkecuali dalam kasus penyerangan terhadap umat Katolik di Yogyakarta yang diserang saat berdoa rosario itu.

Banyak orang bicara soal rekonsiliasi, sembari secara (tidak) sadar mengaburkan maknanya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia online, rekonsiliasi berarti “perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula; perbuatan menyelesaikan perbedaan”. Sedangkan menurut Oxford Dictionary, reconciliation berarti “the restoration of friendly relations; the action of making one view or belief compatible with another”.

Tapi, Monsinyur. Bangsa ini kerap dibohongi dan dikadali banyak pemimpinnya, yang ingin menutupi kebohongan dengan rekonsiliasi. Isu rekonsiliasi kerap dibahas, sambil mengajak kita untuk melupakan masa lalu dan menatap masa depan. Terdengar baik memang. Tapi kalau dicermati lagi, itu tak lebih dari usaha pembodohan.

Rekonsiliasi sejatinya mensyaratkan asas “forgive not forget” atas praktek-praktek pelanggaran di masa lalu, juga "pengungkapan kebenaran" seperti prinsip Komisi Kebenaran dan Rekonsilasi. Kebenaran tidak boleh ditutupi, sehingga rekonsiliasi harus mendasarkan diri pada semangat belajar dari kesalahan masa lalu dan menemukan komitmen baru.

Ilustrasinya, kalau ada seseorang yang datang pada kita untuk minta maaf, tanpa ia menjelaskan apa salahnya, tentu kita akan heran. Kita akan mengerti maksudnya, kalau orang itu menjelaskan kesalahannya dengan bilang, misalnya, ”Maaf, ya. Minggu lalu akungambil buku di kamarmu, ga bilang-bilang. Dan sekarang buku itu hilang. Besok saya ganti ya…”

Meski skalanya berbeda, kita bisa belajar dari bangsa Jerman dan Timor Leste, dan juga saya rasa, Afrika Selatan. Sebagai contoh terdekat, perkenankan saya menyodorkan Timor Leste.

Pada tahun 2005 Timor Leste mencetak sejarah, setelah mendirikan Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi (CAVR) dan menghasilkan laporan setebal kira-kira 2500 halaman, Chega!, satu kata dalam bahasa Portugis yang artinya: jangan lagi, stop, cukup.

Selama masa kerjanya, CAVR menggelar sejumlah Proses Rekonsiliasi Komunitas (PRK). Dalam situs www.cavr-timorleste.org disebutkan, program ini adalah baru dan belum pernah diuji sebelumnya untuk memajukan rekonsiliasi dalam masyarakat.

Prosedur PRK berpijak pada keyakinan bahwa cara terbaik untuk mencapai rekonsiliasi komunitas ialah melalui mekanisme partisipatif di tingkat desa. Mekanisme ini menggabungkan praktek keadilan tradisional, arbitrasi, mediasi, dan aspek hukum pidana serta perdata. Dalam pertemuan ini, para korban, pelaku kejahatan, dan masyarakat luas bisa berpartisipasi secara langsung dalam mencari penyelesaian agar pelaku pelanggaran bisa diterima kembali oleh masyarakat.

Indonesia sebagai bangsa harus diakui masih minim pengalaman dalam hal rekonsiliasi akar rumput ini. Selain Lakpesdam NU yang pada awal tahun 2000-an mengadakan rekonsiliasi dengan kalangan korban kekerasan tahun1965, setahu saya belum ada inisiatif serupa lagi sejauh ini.

Sri Sultan dan Monsinyur,

Anda berdua begitu dihormati di Yogyakarta. Modal politik, ekonomi, dan kultural yang Anda berdua miliki, selayaknya dimaksimalkan untuk melindungi warga sesuai amanat konstitusi. Warga Yogyakarta yang berkehendak baik, entah asli atau pendatang, tentu berharap banyak dari Anda berdua. Mereka berharap agar Anda berdua bisa menjadi pimpinan yang mengayomi mereka.

Semoga Anda berdua tak mematikan harapan itu. Harapan siapapun yang berkehendak baik. Harapan bahwa toleransi tetap hidup dan dihidupi. Tak hanya di Yogyakarta, tapi juga di Indonesia Raya.

Balikpapan, Kalimantan Timur, 5 Juni 2014.

Fransiskus Pascaries