28 April 2015

Presiden Keji

Pria bertubuh kurus itu mengeras hati. Di depan sejumlah kamera televisi dan alat perekam milik para jurnalis ia dengan lantang menekankan: ancaman hukuman mati merupakan bentuk ketegasan Pemerintah Indonesia dalam memerangi kejahatan luar biasa tersebut. Sikap yang jauh berbeda, kalau kita bandingkan dengan sikapnya saat Komisi Pemberantasan Korupsi tengah menghadapi serangan demi serangan tempo hari. Sikap yang jauh berbeda, kalau kita bandingkan saat ia harus menghadapi orang-orang di Koalisi Indonesia Hebat. Pria itu meminta ancaman hukuman mati yang diterapkan di Indonesia dapat dimengerti sebagai salah satu cara untuk menekan jatuhnya korban jiwa yang lebih banyak akibat penyalahgunaan narkotika.

Ya, ia adalah Joko Widodo. Orang yang saya dan 70.997.832 (53,15%) orang lain pilih dalam pemilu presiden tahun lalu. Pria yang padanya tersemat sebuah tanggungjawab untuk menjadi pemimpin bagi bangsa besar bernama Indonesia.

Ia sungguh gelap mata. Ia lebih mendengarkan kelompok yang ingin menghilangkan nyawa orang lain. Ia bukan hanya mendengarkan kelompok itu. Dalam nada bicaranya tersirat sebuah keyakinan, bahwa sikapnya tak keliru. Sama sekali.

Aneh benar bangsa ini. Pembunuhan yang melenyapkan mungkin tiga jutaan orang sepanjang tahun 1965-1966 aktornya tak kunjung ditemukan apalagi diadili. Aktor dalam kasus Tanjung Priok, Talangsari, pembantaian rutin di Papua, di Timor Leste dulu, Aceh, pembantai para mahasiswa pejuang reformasi, dan sebagainya tak kunjung ditemukan. Sampai hari ini. Entah sampai kapan.

Saya lelah dan enggan berurusan dengan jumlah nyawa yang telah dicabut oleh para jahanam nan biadab itu. Menghilangkan satu atau sejuta nyawa secara tetaplah tak bisa dibenarkan. Ini bukan soal angka. Ini soal kemanusiaan.

Seandainya, sekali lagi seandainya, para aktor biadab itu ditemukan, saya pun tak mau mereka dihukum mati. Meski kekejaman mereka sungguh di luar akal sehat manusia normal.

Saya bersikap demikian, bukan karena saya menganggap mereka tak bersalah. Bukan karena saya tak berempati pada keluarga korban yang nyawanya melesat. Bukan. Sama sekali bukan.

Saya mau mereka tetap hidup dan buka suara alias mengakui setiap kesalahan yang mereka lakukan. Sehingga rekonsiliasi yang diteriakkan tak bergema di ruang hampa udara dan menjadi slogan kosong. Bagaimana api rekonsiliasi bisa dihidupkan kalau nyawa tak dikandung badan?

Kali ini ada sejumlah orang yang akan menghadapi regu tembak. Ajal mereka akan ditentukan Joko Widodo, yang sejak 20 Oktober 2014 menjadi penghuni istana. Tandatangan yang ia bubuhkan akan membawa dampak pada banyak orang. Termasuk nyawa mereka yang sudah dan akan dieksekusi.

Saya tak menyetujui eksekusi mati pada siapapun dalam kasus apapun. Dalam hal eksekusi mati para terpidana kasus narkotika, menghentikan nafas mereka tak ubahnya menghentikan setiap usaha untuk mengusut tuntas kasus perdagangan narkotika. Mereka tak lebih dari sekadar pemain lapangan, bahkan ada yang dijebak dan tak tahu-menahu soal narkotika yang ada dalam kopernya. Mereka akan meregang nyawa di depan regu tembak, saat para gembong mungkin tengah menghamburkan duit di hotel, kasino atau entah di mana.

Tapi, satu hal yang saya tak pahami adalah: mengapa penolakan terhadap eksekusi mati selalu disamakan dengan sikap yang mendukung peredaran narkotika? Logika yang premis mayor-minornya kerap dipaksakan sejumlah teman saya yang pro hukuman mati, karena pengalaman teman mereka yang mati atau sakit karena narkotika.

Saya meyakini, bahwa hidup ini bukanlah milik kita manusia. Ada Dia yang lebih berhak mengambil nyawa manusia. Bukan saya, bukan Anda, bukan sang presiden keji bernama Joko Widodo itu. Bukan!!!

Fransiskus Pascaries