31 July 2007

Alberthiene Endah: KD, Raam Punjabi, Megawati, Lalu ... ??? *)

“Sori nih... baru kelar rapat redaksi. Biasa ... deadline,” ujar Alberthiene Endah saat ditemui Maret 2007 lalu. Orang nomor satu di jajaran redaksi Majalah Prodo itu, menemui saya di ruang tamu kantor redaksinya yang berada di Jalan Mampang Prapatan Raya No.99 Jakarta Selatan.

Saya sudah tiba di kantor yang bersebelahan dengan markas Merah Putih Production itu sekitar jam 10.30. Dari resepsionis yang saya telpon sehari sebelumnya, saya mendapat info bahwa gedung berlantai dua itu berada di seberang Hotel Cipta 2.

Resepsionis nan ramah itu mempersilahkan saya duduk di ruang tamu mungil. Batin saya berkata: lumayan masuk ruang berpendingin. Maklum, dari perempatan Mampang –tepatnya di bawah jembatan layang setelah pom bensin pertama dari perempatan Kuningan– saya harus berjalan kaki, karena tak tahu persis di mana gerangan Hotel Cipta 2 yang jadi patokan. Polisi lalu lintas yang saya tanyai pun tak bisa menjelaskan. Sebelumnya saya ingin naik Kopaja P.20 jurusan Lebak Bulus. Tapi niat itu saya urungkan karena tak tahu persis di mana harus berhenti. Ya, akhirnya keterikan matahari harus saya nikmati di pagi menjelang siang itu. Letak persis kantor itu pun saya dapat dari seorang penjual bakso yang berada di pinggir jalan.

AE, begitu ia biasa disapa, lalu meminta resepsionis untuk mengambilkan teh botol Sosro untuk kami berdua. Obrolan pun mengalir dengan cukup lancar. Satu pertanyaan yang saya beri, biasanya langsung ia sambar dengan jawaban yang cukup panjang. Jika sudah agak melenceng, atau info itu saya anggap tak relevan, terpaksa saya potong. Tiga kaset yang saya siapkan pun tak terpakai semua. Hanya separuh dari kaset pertama yang ‘menjalankan tugasnya’.

Nobody to somebody
Saya ingin menyoroti secara khusus kiprahnya sebagai salah satu perempuan penulis biografi yang tengah naik daun di negeri ini. Beberapa orang ternama telah dan akan ia angkat dalam biografi.

Kiprahnya selama 12 tahun menjadi jurnalis yang mewawancarai begitu banyak orang, memantik sebuah keinginan dalam dirinya untuk bisa membuat sebuah tulisan panjang mengenai seseorang yang ia pandang layak untuk diketahui publik. “Ya udah, tahun 2003 kesempatan pertama datang dari KD (Kris Dayanti). Saya buat biografinya. Judulnya Seribu Satu KD,” ia berkisah.
Karya biografi pertamanya tersebut bermula ketika ia mewawancarai diva musik Indonesia itu untuk sebuah serial empat edisi di Femina. Istri musisi Anang Hermansyah itu merasa puas dengan karyanya dan memintanya untuk dibuatkan biografi. “Gimana kalau kamu bikinin saya biografi ? Saya pengen banget cerita banyak,” ia menirukan permintaan KD waktu itu. Tawaran itu bak gayung bersambut. Keinginannya untuk menulis sebuah kisah panjang mengenai seseorang selaras dengan niat KD untuk bercerita panjang lebar tentang kehidupan dan karirnya di panggung musik tanah air.

Dalam menulis biografi para figur publik, AE selalu ingin menyampaikan petuah-petuah atau pengalaman hidup seseorang. Ia meyakini, ada energi luar biasa dan upaya yang sangatlah keras dalam perjalanan dari nobody menjadi somebody. Niat utamanya dalam menulis biografi adalah ‘menularkan’ energi itu pada khalayak luas. “Di antara orang-orang hebat yang kita kenal itu, sebetulnya ada jalan panjang perjuangan. Buat saya itu penting di masa sekarang. Karena inspiratif, mungkin bisa menyemangati,” tutur AE.

Kesulitannya dalam menulis biografi relatif tidak berbeda dibanding ketika ia mencari dan mewawancarai narasumber untuk majalah, misalnya. Yang berbeda, jika artikel hanya membutuhkan satu dua kali wawancara sementara biografi adalah gawe lebih besar. “Karena ini partai gede, jadwal wawancara menjadi sangat complicated dan panjang, materi wawancara menjadi sangat complicated, pengumpulan data menjadi sangat panjang. Ketelatenan menghadapi narasumber juga diperlukan lebih,” katanya lebih lanjut.
Sekadar ilustrasi, dalam menulis buku Chrisye: Sebuah Memoar Musikal ia harus mendatangi puluhan musisi. Mulai dari Titiek Puspa, Eros Djarot, Yockie Suryoprayogo, Vina Panduwinata, Guruh Soekarno Putra, Addie MS, Tohpati, para pentolan Guruh Gypsi –kelompok musik legendaris tahun ’70-an di mana beberapa tahun Chrisye bernaung sebagai vokalis sekaligus pembetot bas– hingga pentolan grup musik Peterpan, Ariel. Itu AE lakukan guna mendukung alur kisah hidup musisi legendaris yang meninggal karena mengidap kanker paru awal April 2007. Proses wawancara dan menulis ia jalani sejak Mei hingga November 2006.

AE menilai, ada beberapa hal yang melatarbelakangi penulisan sebuah biografi. Sejumlah orang memakai biografi murni untuk menceritakan perjalanan hidupnya pada orang banyak. “Artinya, ia memang pengen share. Tetapi, saya tidak menutup kenyataan bahwa bagi sebagian orang biografi bisa menjadi alat politik,” imbuhnya.

Ia membandingkan, di Hollywood banyak sekali bintang yang kisah hidupnya diangkat dalam biografi. Madonna, misalnya, beberapa kali merilis buku yang tidak pure biografi dan terbukti laku keras (Madonna: Born To Be Different karya Mick St. Michael , hanya salah satunya). Sekali waktu bintang pop kontroversial itu hanya meluncurkan buku tentang cara dia berpakaian, di lain kesempatan ia hanya bercerita bagaimana kehidupan di balik studio rekaman.

Persoalan genre
Tak hanya biografi yang ia garap. Ia juga menjadi penulis sekaligus editor naskah di ‘pabrik’ sinetron milik Raam Punjabi, Multivision Plus. Sekurangnya enam judul novel fiksi telah lahir dari tangannya, begitu juga beberapa skenario film layar lebar, sinetron dan FTV.

Karir jurnalistiknya dimulai ketika bergabung di Mingguan Hidup pada tahun 1993 seusai menuntaskan pendidikan Sarjana Sastra Belanda di Universitas Indonesia. Setahun bertahan di majalah ini, ia lalu berganti haluan dengan pindah ke Femina. Di manapun berada, ia mengaku selalu mencari kesempatan menulis. Di SMA ia terlibat di majalah dinding. Semasa kuliah di UI, ia pun terlibat di majalah KUKSA UI, Inspirasi.

Di era kapitalistik ini, dunia tulis menulis juga tidak bisa lepas dari selera pasar. Berbicara soal kapitalisme, semua penulis harus pula memiliki kepekaan dan kejelian membaca apa yang menjadi selera pasar. Dalam menulis naskah sinetron, misalnya, AE harus pula memperhatikan selera pasar itu. “Karena, sinetron itu kan dibuat dengan uang ratusan juta. Artinya, saya juga harus bertanggungjawab membuatnya laris. Cuma, di atas segala keinginan untuk ini bisa tetap laris, tetap saja ada tanggungjawab. Bagi saya yang terpenting adalah tanggung jawab. Jadi, enggak asal-asalan,” jelasnya.

Ia mengaku kerap berdebat dengan produser dan sutradara dalam profesinya selaku penulis sekaligus editor naskah. AE mengaku sudah bisa menikmati itu semua, meski sesekali harus berbentak-bentakan dengan pekerja sinetron seperti sutradara. Ia berusaha menilai itu secara positif. “Karena, kadang kita kan juga perlu mendengar apa kata orang,” kata pelahap kisah Lima Sekawan karya Enyd Blyton sejak bangku SD, novel Kabut Sutera Ungu karya Ikke Soepomo ketika kelas satu SMP, karya-karya Mira W, Motinggo Busye dan sebagainya.
AE tampaknya prihatin pada penilaian sebagian kalangan yang memandang karya-karya teenlit sebagai karya yang ‘enggak sastra’. Ia membaca sebuah kecenderungan di sejumlah kalangan, yang memandang sebelah mata pada karya-karya non sastra dan menilainya sebagai sesuatu yang mudah dibuat. Namun, ia meyakini bahwa di dalam karya teenlit itu juga ada tanggungjawab idealismenya.
“Menurut saya, itu (soal) genre. Penyanyi jazz juga belum tentu bisa bernyanyi dangdut, dan sebaliknya. Jadi, menurut saya hargai saja setiap genre, karena tiap genre itu ada pangsa pasarnya,” tegas penggemar penulis wanita India Jumpa Lahiri, Nawal El Sadawi dari Mesir dan juga Ayu Utami itu.

Obrolan siang itu pun berakhir hanya dalam waktu setengah jam. Semua pertanyaan dan target-target saya sudah tercapai. Sebotol teh Sosro itu pun telah habis saya tenggak. Saatnya mencari warteg untuk makan siang. Lapar ...

Tempat, tanggal lahir : Bandung, 16 September 19 (AE tidak menyebut, juga di bukunya)
Suami : Dio Hilaul
Karya :
A. Non Fiksi/Biografi
· Chrisye: Sebuah Memoar Musikal (Februari 2007)
· Venna Melinda: Venna Melinda Guide to Good Living - Bugar dan Cantik ala Venna Melinda (Maret 2006)
· Raam Punjabi: Panggung Hidup Raam Punjabi (Oktober 2004)
· Dwi Ria Latifa: Berpolitik Dengan Nurani (Juli 2004)
· Kris Dayanti: Seribu Satu KD (Nopember 2003)
· Tak lama lagi Biografi Anna Avantie dan Biografi Megawati Soekarnoputri terbit 2007

B. Fiksi
· I Love My Boss (Februari 2006)
· Dicintai Jo (September 2005)
· Cewek Matre (Oktober 2004)
· Detik Terakhir (Juni 2006)
· Lajang Kota: Jodoh Monica (Mei 2004)
· Jangan Beri Aku Narkoba... (Januari 2004)

C. Lain-lain
Ia juga menulis cerita/skenario untuk pergelaran drama musikal Guruh Soekarno Putra, bertajuk Mahadaya Cinta tahun 2005

D. Karir
· Wartawan Majalah Hidup (1993-1994)
· Redaktur Majalah Femina (1994-2004)
· Wartawan dan Pemred Majalah Prodo (2004 - ...)
· Dosen jurnalistik di Indonesia International Fashion Institute

Penghargaan:
Untuk novel Jangan Beri Aku Narkoba...
· Mei 2005 menjadi juara pertama Adikarya Award 2005 Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI)
· Oktober 2004 menerima penghargaan khusus dari Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Fan Campus dalam upaya pemberantasan narkoba.
=====
*) Tulisan ini telah terbit di Majalah HIDUP No.16 tanggal 22 April 2007 dalam rubrik Eksponen di halaman 20-21, dengan judul Dari Mudika, KD, hingga Megawati. Beberapa editing telah dilakukan, dengan alasan perbedaan segmen dan sebagainya.

23 July 2007

Oey Hay Djoen, Spirit Seorang Penerjemah

Sepasang kakinya melangkah perlahan. Dengan bantuan tongkat dan gandengan mesra istri tercintanya, Jane Luyke (72), ia berjalan tertatih. Sebatang cerutu yang tengah mengepulkan asap dan sesekali dihirupnya, terhimpit di antara jari telunjuk dan jari tengahnya. Lelaki sepuh itu ialah Oey Hay Djoen, mantan tahanan politik (tapol) yang dibuang rezim orde baru tahun 1969 hingga 1979 ke Pulau Buru, Maluku. Hingga kini ia aktif menerjemahkan buku-buku yang “diharamkan” selama Presiden Soeharto berkuasa.

Oey hadir dalam acara peluncuran buku termasyhur Das Kapital karya Karl Marx yang diterjemahkannya dalam bahasa Indonesia. Buku yang diterbitkan Hasta Mitra dalam tiga jilid: Kapital 1, Kapital 2, dan Kapital 3 itu total berjumlah 2700 halaman. Sekitar 60 orang mahasiswa, akademisi, dan sejumlah aktivis lembaga swadaya masyarakat hadir dalam diskusi malam itu. Tampil pula sebagai pembicara John Roosa, seorang assistant professor bidang sejarah dari University of British Columbia, yang juga adalah penulis buku Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'État in Indonesia (University of Wisconsin Press, 2006). Sementara Hilmar Farid, aktivis Jaringan Kerja Budaya (JKB), didaulat sebagai moderator.

Usai diskusi yang diadakan di kawasan Garuda Taman Mini Indonesia Indah itu, saya hampiri Oey dan istrinya untuk berkenalan. Ia tampak antusias, ketika saya meminta waktu untuk bertatap muka. Ia mempersilahkan saya untuk terlebih dulu menelpon sebelum bertandang ke rumahnya.

Bicara soal semangat kerja, sepertinya tidak salah kalau kita belajar darinya. Bagaimana tidak, di usia yang sudah menembus 77 tahun sekitar 30 buku berbahasa Inggris ia telah terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. “Kira-kira separuh dari yang saya terjemahkan adalah buku-bukunya Marx dan Engels. Kira-kira 16-18 buku,” kisah kelahiran Malang, 18 April 1929 itu saat ditemui September tahun lalu di rumahnya di bilangan Cibubur, Jakarta Timur.

Setidaknya sejak tahun 1986, sejumlah orangmuda mulai mendatangi kediamannya. Mereka adalah aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD), mahasiswa yang sedang melakukan advokasi di Kedung Ombo, dan sebagainya. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang terpelajar yang enggan tergantung hanya pada bahan dari dosen.

“Kita mesti menembus ke sumber-sumber pertama. Jangan dari sumber ketiga atau keempat. Apalagi, seperti dosen-dosen yang bikin diktat,” ujarnya menirukan sejumlah orangmuda itu.

Para aktivis mahasiswa itu ingin membaca buku-buku Karl Marx, Hox Bauer, Engels, dan lain-lain. Tetapi, mereka memiliki keterbatasan dalam berbahasa asing. “Dari situ, saya berpikir untuk mulai tawarkan pada mereka untuk menerjemahkan buku,” ujar Oey yang di Pulau Buru mengenakan baju bernomor 001, sedangkan Pramoedya 007. Ia pun bersedia membantu dan membebaskan para aktivis itu untuk menentukan, buku apa yang ingin diterjemahkan. Kebetulan, buku pertama yang ada di depan mereka itu adalah buku W.Wertheim, yang ditulis tahun 1974, High Waves of Emancipation.

Diketahui bahwa W.Werthein adalah ilmuwan yang “di-persona non grata” di Indonesia, karena (dianggap) melawan Presiden Soeharto. Oey dan para mahasiwa tahu, tidak akan ada yang bisa dan bersedia menerbitkan buku itu dalam bahasa Indonesia. Sehingga, setiap Oey menuntaskan terjemahan satu-dua bab, bahan-bahan itu langsung difotokopi untuk dijadikan materi diskusi. “Dari situ aku mulai, sampai akhirnya mereka minta sumber yang asli,” tuturnya.

Ia memilih untuk menerjemahkan buku-buku karya Marx dan Engels, karena ingin agar pembacanya dapat menggunakan metode berpikir kedua tokoh itu. Ia berprinsip untuk senantiasa berpikir kritis, tidak dogmatis. “Karena itu, aku sama sekali tidak punya rencana menerjemahkan bukunya Lenin, Mao Zedong, enggak. Karena itu sudah lebih berat doktrinnya, sudah dipatok-patok,” jelasnya.

Bukan Adam Smith
Oey memang sudah tidak muda lagi. Namun, betapa giatnya ia menerjemahkan buku-buku asing cukup menjadi bukti sahih, betapa ia ingin berbuat sesuatu untuk orangmuda di negeri ini. Buku Gejala Manusia, Anti-Duhring, Dialektika Alam, Naskah-Naskah Filsafat Ekonomi hanya segelintir dari persembahannya untuk generasi yang ia sebut baru ditumbuhi “gigi geraham kebijaksanaan”.


Masa muda, menurut Oey, adalah fase paling romantik. Kepekaan mulai merambah jiwa orangmuda. Idealismenya tengah melambung tinggi, terutama kepedulian pada masyarakat. Inilah juga yang terjadi dengan angkatan muda Indonesia itu. Kalau orangmuda sudah berada pada puncak romantisme, idealisme dan menghadapi kepedulian sosial, mereka tidak mencari bahan dari Adam Smith, melainkan dari yang "kiri", seperti marxis dan sebagainya. ”Di situlah mereka mulai bersentuhan dengan ideologi kiri. Waktuitulah, mereka mulai mencari kami. Bukan kami yang mendatangi mereka. Kami takut,” ungkapnya kian mempertegas betapa ia menaruh perhatian khusus pada generasi muda.

Kepada orangmuda ia berpesan, peduli sejarah, pada masyarakat dan nasib bangsa. “Pokoknya, kejar ilmu pengetahuan. Dan, dalam menghadapi ilmu atau apa saja, pegang satu hal: bersikaplah kritis!. Pokoknya, jangan percaya pada yang sudah dipatok-patok, pada doktrin-doktrin itu, jangan percaya. Sebab itu berarti habisnya ilmu, habisnya hidup ini. Tidak ada sesuatu yang mutlak,” katanya dengan nada tinggi.

Ia mengajak orangmuda untuk tidak percaya pada ilmu, teori, atau apa saja yang bilang: lah ini lho, puncaknya! “Sebab kalau orang bilang begitu, finished. Karena, semuanya itu kan berkembang. Yang mutlak ya perubahan itu sendiri. Semua relatif,” tuturnya.

Oey menerjemahkan buku-buku Marx, Engels, serta buku-buku klasik bukan untuk mempropagandakan Marxisme. Ia ingin agar pembacanya menggunakan metode berpikir kritis seperti yang dipakai Marx dan Engels. Marx tidak menciptakan teori, seluruh tulisannya adalah suatu polemik terhadap semua ilmu yang sudah ada. ”Jadi, ilmunya benar, tidak benar, itu yang harus dikrtisi,” tambahnya.

Ia (Marx) tidak menciptakan ilmu seperti tetes kebenaran dari langit. Semuaitu tak ubahnya polemik: tesis, antitesis, sintesis. Metode berpikir inilahyang benar-benar digandrungi Oey supaya dimiliki oleh angkatan muda. “Jauhilahepigonisme segala macam itu. Cuma menerima, mengambil, mencangkokdari segala sesuatu lainnya yang sudah mati itu. Ilmu harusberkembang terus,” tutur kakek dari tiga cucu dari putri tunggalnya Mado.

Hingga kini, ia masih aktif dalam Diskusi Bulan Purnama yang diadakan oleh Jaringan Kerja Budaya, yang menjadi tempat berdialektika sejumlah akademisi, mahasiswa, para pegiat LSM. Spirit yang tak pernah lekang ditelan waktu...

Fransiskus Pascaries