30 August 2008

Dili, Lain Dulu Lain Sekarang

“Nilai kami di tangan guru, keselamatan guru di tangan kami”. Kubaca tulisan itu di papan tulis di salah satu ruang kelas di SMA Negeri 1 Dili. Cerita di masa SMA itu kembali terngiang ketika sohib seperjuangan saya semasa di Dili, Timor Leste, Hendrikus Rarang, menelpon saya pada Minggu, 13 April 2008. Ia bukan teman sembarang teman. Hendrik, Made Endra Wiguna, dan Iryanto Sirait adalah sebagian teman yang pernah merasakan bagaimana kerasnya hidup sebagai pendatang di Timor-Timur, yang sekarang sudah berdiri sebagai negara sendiri bernama Republik Demokratik Timor Leste (RDTL).

Saya mengenal “Si Flores (begitu saya, Iryanto dan Endra biasa memanggilnya) ketika dia pindah sekolah dari tanah leluhurnya di Ende, Flores tahun 1997. Ia langsung ditempatkan di kelas 2C dan dikenal sebagai jagoan menggambar. Kebetulan, ia tinggal bersama kakaknya di daerah Bebonuk, Dili Barat, yang hanya berjarak sekitar satu kilometer dari tempatku tinggal di Pantai Kelapa, Dili Barat. Jadilah ia teman semikroletku setiap hari.

Hendrik datang 10/4 lalu untuk menjalani pelatihan selama tiga hari di sebuah instansi pemerintah, di Jakarta. Mengikuti jalan Iryanto sudah menjadi aparat pemerintah di Papua, bapak dua anak ini akan menjadi PNS di sebuah instansi pemerintah di tanah kelahirannya. Obrolan kami serasa tak lengkap. Biasanya – sepuluh tahun lalu – bersama Endra dan Iryanto kami kerap jalan-jalan di Dili, termasuk ke Patung Kristus Raja di Fatucama, yang berada di luar kota sisi timur kota Dili. Tetapi, apa lacur, jarak dan (barangkali) nasib memang memisahkan kami berempat. Seperti layaknya teman yang tak berjumpa, kami mengobrolkan banyak hal lucu, menegangkan, menakutkan, selama menetap di Dili. Dalam beberapa hal, tulisan ini barangkali sangat subyektif. Entah, apakah pengalaman yang saya tuliskan ini bisa memberi secuil gambaran bagaimana keadaan Dili pada waktu itu, dan membandingkannya dengan kondisi terkini di sana. Semoga saja...

Ibarat anak kecil yang kerap terkena demam, ‘suhu’ kota Dili juga sangat fluktuatif. Pagi hari, ketika berangkat sekolah, mungkin kondisi ‘aman dan terkendali’. Tapi, bukan tidak mungkin siang hari kami kebingungan mencari jalan aman untuk bisa sampai di rumah dengan nyawa dan raga yang utuh. Ungkapan yang sedikit hiperbolik, tapi begitulah adanya. Pertengkaran dan atau perkelahian antara pedagang pribumi dan pedagang di pasar, misalnya, hampir bisa dipastikan akan meluas menjadi aksi pencegatan dan razia terhadap kaum pendatang, termasuk siswa sekolah. Pada masa itu, belum ada teknologi SMS via telepon seluler. Tapi, kejadian di pasar tadi dalam hitungan jam akan segera menyebar ke seantero kota. Apalagi, jika perkelahian itu sampai memakan korban jiwa. Kerap kali, razia di sekolahku – yang terletak di Becora, Dili Timur – dilakukan beberapa jam setelah info perkelahian di pasar itu. Saya sendiri tak pernah merasa takut jika masih berada di lingkungan sekolah. Saya bisa memastikan para sahabat seperti João Paulo, Natalino, Tauro, Arthur Garcia, Benicio, Mario Mesquita, dan lain-lain akan mati-matian melindungi. Bahkan, saya masih ingat dengan pasti, bagaimana João Paulo secara terbuka di depan siswa-siswa pribumi berkata, “Imi bele baku sira seluk. Maibe, imi baku Aries, hare deit!.” (Tetun: Kalian boleh pukul mereka (pendatang) yang lain. Tapi, kalian pukul Aries, lihat saja!). Dengan mimik serius, ia melontarkan ancaman itu sambil mengarahkan jari telunjuknya ke muka siswa-siswa pribumi yang kerap memukuli siswa pendatang. Tentu, tidak semua siswa pribumi ‘gemar’ melakukan aksi pemukulan seperti itu.

Mungkin di sini perlu saya jelaskan, apa arti kata ‘razia’ itu. Kalau sudah ada yang memulai (selalu berlangsung spontan, tidak ada ‘koordinator’ resmi dalam setiap operasi ‘razia’), aksi itu akan berlangsung dari kelas ke kelas. Ada dua ‘jenis’ razia. mereka ‘hanya’ meminta sejumlah uang, yang biasanya berkisar antara Rp 100 hingga Rp.1000 per siswa, untuk membeli minuman keras, atau sekadar makan di kantin. Mereka bisa ‘hanya’ mendatangi satu hingga dua kelas, atau hampir semua kelas di SMA 1, yang berjumlah 10 – 12. Sekadar perbandingan, ongkos bis dan mikrolet di sana pada waktu itu Rp.100 untuk pelajar. Satu potong gorengan di kantin sekolah dihargai Rp.100. Kalau mereka mengadakan ‘operasi’ di lima kelas, yang masing-masing berisi 30 orang, dan masing-masing memberi Rp.100 saja, maka jumlah uang yang didapat adalah Rp.15.000. Itu angka minimal., mereka tidak meminta uang, melainkan memukuli setiap anak laki-laki pendatang di semua kelas. Biasanya, mereka basa-basi bertanya pada si ‘korban’, “Kamu pendatang ya?” Sebelum dijawab, bogem segera melayang ke pipi atau dada. Di satu sisi, saya merasa miris setiap kali melihat kejadian itu.

Namun, di sisi berbeda saya, yang tidak pernah dipukul selama tiga tahun bersekolah di sana, tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegah. Biasanya, setelah kejadian itu tanpa dikomando, dan tanpa bisa dicegah oleh para guru, siswa-siswa pendatang segera ambil langkah seribu, pulang! Suatu ketika, seorang adik kelas bernama Agusto hampir saja mendaratkan bogem mentahnya ke rahangku. Siswa kelas 1 di SMA 1 – saat itu saya di kelas tiga – itu adalah seorang petinju yang menurut teman-temanku pernah mengikuti seleksi Pekan Olah Raga Daerah (Porda). Peristiwa terjadi di saat usai jam sekolah. Hati berdegup kencang. Sekitar 30 meter dari gerbang sekolah, terlihat segerombolan siswa pribumi tengah berteduh di bawah pohon. Entah kenapa, firasatku mengatakan satu dari mereka akan datang dan menyerangku.

Saya sengaja memperlambat langkah, sembari menunggu João Paulo, Natalino, Tauro, Arthur Garcia, Benicio, Jose Maria, dan beberapa teman di belakang. Tak lama kemudian, beberapa siswa (entah dari sekolah mana) di bawah pohon itu menunjuk ke arahku. Agusto yang ternyata ‘diutus’ untuk menyerangku, segera berlari kecil dan mendekat. Kuatur sedemikian rupa, sehingga jarak antara saya dan teman-teman lain tidak lebih dari dua meter. Saya hanya melirik ke arah Agusto yang telah berdiri sekitar dua meter di depanku untuk sekadar bersiap-siap., rupanya ia baru saja menenggak minuman keras. Aroma alkohol terasa kencang menyengat hidungku. Ia hanya mengenakan kaos oblong karena baju seragam telah ia ikatkan ke pinggangnya. Dalam beberapa detik, ia mengayunkan tinju kanannya ke arah pipi kiriku. Karena sudah siap menghadapi serangan itu, saya segera menundukkan kepala dan mundur sekitar dua langkah.

João Paulo dan kawan-kawan yang tengah bercanda sendiri kontan terkejut. Secara spontan, mereka membentuk lingkaran dan melindungiku. Saya tak tahu persis siapa yang lalu berbicara dengan Agusto, mungkin João Paulo. Agusto diberitahu agar jangan memukulku. Setelah ditenangkan, Agusto mendekat ke arahku. Jika sebelumnya ia melayangkan tangan untuk meninjuku, kali ini ia menyodori tangannya untuk menyalami, bahkan merangkulku dan meminta maaf. “Desculpa, hau la hatene”. (Tetun: Maaf, saya nggak tahu –kalau kamu temannya João Paulo dan kawan-kawan). Saya hanya menjawab, “La iha buat ida”, yang artinya “nggak apa-apa”. Jantungku yang sempat berdegup kencang, akhirnya berdetak normal. Saya tidak tahu persis, apakah ia benar-benar berniat memukulku karena tidak mengenalku sebagai bagian dari ‘gang’ João Paulo, atau ia hanya pura-pura dan lalu diperalat entah oleh siapa untuk memukulku. Memang, ada beberapa adik kelas yang penasaran dan bertanya-tanya, kenapa mereka bisa dengan bebas memukul siswa pendatang yang lain, sementara João Paulo dan kawan-kawan selalu membela saya. Sejak saat itu, Agusto tak pernah berniat memukulku. Bahkan ia selalu menyapa saya dengan akrabnya. Entah bergurau atau serius, suatu hari ia pernah mengajakku untuk menjadi warga negara Timor Leste jika kelak mereka merdeka dan berdaulat. Ungkapan yang membuatku tertawa, dan berkata “Orsida mak ita hare deit” (Kita lihat saja nanti).

Tidak ada yang berani menyerangku di sekolah. Tetapi, di luar sekolah? Tidak ada yang bisa menjamin. Seperti satu kejadian di perempatan arah Taibesi (tak jauh dari pemakaman Santa Cruz yang menjadi terkenal karena tragedi berdarah 12 November 1991) suatu siang. Saya tak ingat persis, di tahun berapa itu dan duduk di kelas berapa saya waktu itu. Yang saya ingat, siang itu saya pulang bersama temanku Nivio Leite Magalhaes (wakil Timor Timur dalam Paskibraka tahun 1996). Kami memilih tempat duduk di sebelah sopir mikrolet.

Tak ada kejadian apapun yang bisa memicu terjadinya kekerasan di Dili siang itu. Namun, mata saya terbelalak ketika mikrolet yang kami tumpangi berbelok ke arah Taibesi. Segerombolan anak muda menunjuk ke arah saya. Batinku berkata, “Habis lah...” Saya tidak bisa berbuat apa-apa, selain bertanya, “ Hau sala saida?"(Tetun: Apa salahku?). Namun, mereka hanya berkata satu sama lain, “ Bapa ne, baku deit!"("Bapa", sebutan mereka untuk pendatang).” Artinya, “pendatang nih, pukul saja”. Satu-satunya yang bisa saya lakukan hanya ‘mengunci’ lengan kiriku, agar bisa sedikit meredam rasa sakit. Saya hanya berusaha sebisa mungkin agar mereka, yang berjumlah sekitar sepuluh orang, tidak menghantam pipiku. Saya hanya membatin,”Kalau kalian cuma mau mukul lengan, silahkan. Tapi, jangan di pipi.”

Tapi, upssss.... ada yang membuka pintu mobil sebelah kiri. Jantungku serasa berhenti. Semula saya menduga, dia akan menyeret dan menghajar saya habis-habisan. Tapi, ternyata saya salah. Orang yang membuka pintu mobil itu justru menyuruh saya untuk bergeser sedikit ke tengah, sehingga kabin depan yang hanya untuk tiga orang (termasuk sopir), harus diisi empat orang. Entah siapa dia, tapi yang jelas tidak ada yang berani menghalanginya. Saya hanya bisa berkata,” Obrigado, maun” (Tetun: makasih, bang). Dia yang membela saya, bukan Nivio ! Keesokan harinya, Nivio dimarahi habis-habisan oleh João Paulo dan kawan-kawan, karena tak membela saya. Saya pun ikut marah, karena sikapnya itu. Mereka marah, karena biasanya mereka selalu membela jika ada pemuda Timor Leste yang berniat memukulku di bis kota atau di perjalanan pulang ke rumah.

Ada begitu banyak pengalaman kekerasan lain di Dili, yang tak akan cukup diceritakan di sini. Tapi, saya bersyukur hanya kejadian itu yang membuatku merasakan bagaimana dipukuli. Tiga tahun, satu penyerangan ? Tak terlalu jelek...Jika diberi kesempatan untuk bertemu João Paulo dan kawan-kawan, ingin rasanya saya berterimakasih pada mereka yang telah melindungiku selama tiga tahun itu. Tanpa mereka, entah apa jadinya. Tulisan ini saya buat di saat hubungan diplomatik antara RI dan RDTL sedikit menegang. Di Kompas edisi Sabtu 19/4 diberitakan bagaimana Presiden SBY terkejut mendengar pernyataan Presiden Timor Leste Ramos Horta mengenai pihak yang terlibat dalam kasus penembakan terhadap dirinya pada 11 Februari lalu.

Dalam jumpa pers 18/4 Presiden SBY menyatakan,”Saya terkejut. Saya beritahukan kepada para menteri dan seluruh pihak terkait untuk tidak memublikasikan masalah ini agar pencarian (pelaku) dapat berlangsung dengan efektif.” Seiring dengan berlangsungnya investigasi untuk mengusut kasus penembakan terhadap Presiden Horta dan PM Xanana Gusmao, Presiden SBY mengatakan telah berkomunikasi melalui telepon dengan Presiden Horta pada 10/4. Dibahas hasil investigasi untuk mengusut kasus penembakan itu. “Ada sejumlah informasi terkait percakapan telepon antara Alfredo Reinado (yang tewas tertembak dalam aksi penyerangannya ke kediaman Horta), dan berbagai pihak. Namun, kemudian saya tahu, pihak-pihak yang dimaksud bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di Australia dan negara-negara lainnya,” kata Presiden SBY. Tetapi, kita juga harus ingat beberapa media menyebutkan Reinado beristrikan seorang Flores, yang ia ‘ungsikan’ ke Australia sejak beberapa tahun lalu. Presiden SBY menambahkan, ia dan Horta bersepakat untuk bekerjasama dalam mengungkap dan menangkap siapa pun yang terlibat dalam usaha pembunuhan kedua petinggi negara jiran itu. Presiden lantas mengutus Kapolri untuk mengambil langkah-langkah kerjasama dengan Timor Leste. Pada 13 dan 15 April 2008, Polri mengirim dua pejabat seniornya untuk bertemu dengan Jaksa Agung Timor Leste.

Pertemuan itu, dijelaskan Presiden, membuahkan hasil positif. Pada 18/4 Polri berhasil membekuk tiga warga negara Timor Leste yang terlibat dalam kasus penembakan itu. Mereka adalah Egidio Lay Carbalho, Jose Gomes, dan Ismail Sansao Moniz Soares. “Ketiga-tiganya adalah oknum tentara Timor Leste, bukan warga negara Indonesia,” ungkap Presiden. Di Kompas artikel yang sama, juga dikatakan bahwa situasi yang sempat memanas itu setidaknya dipicu oleh pemberitaan di dua media, yaitu The Sydney Morning Herald, edisi 15/4 dan Kantor Berita Associated Press The Sydney mengutip penyidik kasus pembunuhan Horta, mengatakan, Reinado melakukan 47 kontak telepon dari dan ke Australia pada malam sebelum penembakan. Laporan ini berkaitan dengan pernyataan Horta dalam wawancaranya dengan CNN yang mengakui adanya “elemen luar” di balik upaya pembunuhan dirinya. Sementara AP memberitakan pernyataan Horta yang mengaitkan “elemen luar” itu dengan Indonesia.

Dua hari setelah tulisan itu terbit, Kompas menurunkan ‘perimbangan’ dengan mengutip pernyataan Horta yang menuduh media telah salah dalam mengutip pernyataannya soal keterlibatan Indonesia dalam upaya pembunuhan terhadap dirinya. Dia menyatakan tidak berniat menuduh Indonesia. “Ini penafsiran yang keliru oleh media. Saya menegaskan, individual di Indonesia. Individu ini bisa saja orang Timor Timur atau barangkali yang sudah menjadi warga Indonesia,” ujar Horta.

Entahlah. Polemik ini berada di wilayah politik, sehingga sama sekali tidak mudah untuk menentukan mana yang benar-benar berkata jujur, atau sebaliknya. Media turut menjadi pemain penting dalam hal ini. Pengalamanku selama menetap di sana sejak 1988 hingga 1998, mengajarkan bahwa ‘jangan mudah percaya pada media’. Dulu, setiap kali terjadi kerusuhan di Dili, pemerintah dan ABRI beberapa hari kemudian menyatakan bahwa kondisi ‘aman dan terkendali’. Padahal, saya sering muak membaca koran yang baru bisa kami baca sore hari, karena pesawat yang membawa paket koran dari Jakarta baru tiba sekitar jam 15.00 setiap harinya. Berangkat dari pengalaman itu, saya tidak bisa menduga-duga bagaimana kondisi faktual di Timor Leste, khususnya di Dili, saat ini

Entah bagaimana hubungan antara Metro TV dengan Alfredo Reinado. Di edisi 24 Mei 2007 Kick Andy menayangkan wawancara Andy F Noya dengan Mayor Alfredo di suatu tempat yang dirahasiakan. Waktu itu, Reinado masih berstatus ‘buronan’ negara. Belakangan, salah satu wartawannya, Desi Anwar, dituduh Ramos Horta turut berada di belakang percobaan itu. Tuduhan yang berbuntut pengelakan dan somasi terhadap Presiden Timor Leste itu. Entah bagaimana, kapan dan di mana drama politik ini akan berujung.

Kalau kita ingat, saat itu pihak Metro TV melalui Andy Noya mengatakan wawancara dilakukan di satu tempat rahasia. Kita pantas bertanya-tanya, mengapa hal itu dilakukan secara ‘kucing-kucingan’. Kalau diadakan di Indonesia, siapa yang memfasilitasi kedatangan Alfredo? Kalau diadakan di Dili, bisakah semudah itu Metro TV mengadakan kontak dengan buronan negara?

Di Kompas 25/4/08 dikutip apa yang sudah diangkat di beberapa media internasional. Beberapa kejanggalan terjadi dalam peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Horta dan Xanana. Arsenio Ramos Horta, adik Ramos Horta, menuding ada konspirasi untuk membunuh abangnya. “Polisi PBB bukannya segera bereaksi mengejar pelakunya, tetapi hanya berdiri sambil memblokir jalan dan merintangi ambulans masuk,” Bahkan João Carascalao, ipar Ramos Horta, mengungkapkan bahwa ia ragu Mayor Alfredo bermaksud menuduh iparnya. Ia lebih yakin bahwa Alfredo dijebak untuk dibunuh di kediaman Presiden. Pelaku kemudian bermaksud membunuh Ramos Horta. Dengan demikian, seolah-olah peristiwa ini didalangi kelompok Alfredo. Masyarakat Dili sendiri tidak percaya pada penjelasan resmi di atas. Terlebih-lebih Horta justru akan memberi amnesti kepada kelompok militer pembangkang pada HUT kemerdekaan Timor Leste, Mei mendatang.

Budaya Kekerasan
Meski pernah mengalami tiga tahun menegangkan di Dili, saya tak pernah menyesal pernah menetap di sana. Apalagi berkenalan dengan Hendrik, Endra, Iryanto, João Paulo, Natalino, Tauro, Arthur Garcia, Benicio, Jose Maria, Mario Mesquita, dan lain-lain. Biarlah ketegangan dan kekerasan yang terjadi menjadi sejarah. Satu yang pasti, saya ingin bertandang kembali ke sana. Saya ingin bermain lagi di pantai pasir putihnya yang indah. Saya ingin mengenang bagaimana kami dulu bergelayut di mikrolet dan bis kota dan kemudian merasakan bagaimana betis kami dipukul dengan tongkat polisi lalu lintas. Bukannya marah, kami malah ngakak. Ha..ha...ha, atau kadang ngompori si polisi, dengan berkata, “Ya tuh Pak, pukul aja.”

Menurutku, kita harus mencoba untuk berpikir proporsional dalam mengamati Timor Leste. Tidak bisa dengan alasan nasionalisme kita dengan serta-merta mengutuk mereka, tanpa pernah mencoba untuk melakukan introspeksi sebagai bagian dari bangsa ini. Bolehlah kita mencaci maki kalangan ABRI (saya tidak mau menggunakan kata ‘oknum’ yang kerap ‘menyesatkan’) yang dulu melakukan kelaliman di sana. Saya sering melihat bagaimana kesewenang-wenangan militer di sana. Tetapi, fakta bahwa setelah menjadi provinsi ke-27 dari republik ini pembangunan infrastruktur publik begitu pesat, juga tidak bisa ditampik. Sarana transportasi (bandara, terminal, jalan raya), listrik, air, dan sebagainya cukup bisa dijadikan contoh bahwa pembangunan sarana-sarana fisik itu benar adanya. Bahkan, konon Lanud di Baucau – kota kabupaten termaju kedua setelah Dili yang berjarak 130 kami arah timur Dili – adalah bandara dengan landasan berstandar internasional yang bisa disinggahi pesawat tertentu.
Walau memang, masih cukup banyak dari 13 kabupaten (sekarang mereka menyebutnya distrik) yang belum merasakan manfaat pembangunan. Tetapi, seperti yang dikatakan Uskup Belo saat kuwawancara untuk majalah HIDUP sekitar satu tahun lalu kini mereka benar-benar kesulitan untuk sekadar hidup damai dengan sesama warga pribumi sendiri. Banyak anak muda yang hanya berdiri di jalan tanpa berbuat apa-apa selain kekerasan.

Minimnya lapangan kerja, menurut Uskup Belo, membuat anak-anak muda itu dengan mudahnya menerima bayaran orang-orang tertentu – entah siapa – untuk merusak ini dan itu. Memang, kekerasan demi kekerasan masih saja terjadi di Timor Leste. Zaman demi zaman berganti, namun kekerasan terus saja menghantui Timor Leste. Dari zaman Portugis, pendudukan Indonesia sejak tahun 1975, yang berpuncak pada peristiwa pembunuhan pasca-jajak pendapat 1999, bahkan hingga saat ini.

Timoreses, peace be with you all ... God, please bless all my friends there



12 comments:

Anonymous said...

Gile ris... gw pikir lu masih begog'h kayak dulu he3x kan nem lu paling rendah!!! Emang dari dulu cita2 lu jd penulis dan aku ingat benar lu pengen jadi wartawan olah raga. Tetap semangat rintis terus kami doakan!!! Trima kasih tuk tetap ingat kami( aku, hendrik dan hendra) kapan lg main catur? kapan lg belajar gitar? kapan lagi minum teh dirumah lu? kapan lg dan kapan lg???? msh ingat kt 3 jd obat nyamuk si endra dan dewiq hi3x. KANGENNNNNNNNNN kalian semua

6desember82 said...

Mas Aries...hidupmu seru yak...
uhm..boleh tanya ga??? kenapa kamu khawatir pipimu sebelah kiri yg dipukul??? ada kejadian traumatis gitu dengan pipi sebelah kiri? atau karena labih sakit aja kalau dipikul di daerah pipi??? huehehehe..piss yak...

Anonymous said...

hahahaha....
masih ingat juga lu masa lalu, semoga ditempat lu skr baik2 saja dan menjalani hidup yang damai....
Doain semoga diriku di Papua baik2 saja...
Nostalgia yang mengharukan....
Adakah kabar mereka2 dulu yang telah melindungi kita saat2 kerusuhan itu?
Mudah2an mereka selamat saat pergolakan.....
Teruslah menulis bro....
Semoga sukses dan sukses...

==================================
iryanto sirait

Anonymous said...

Fuanjang banget, ris... mataku ampe berair baca tulisanmu...hehehe!!! Iryanto senang tuh namanya disebut2, kok aku gak sih? dakyu kan jg temen sekelasmu!!! Hiks :(
Eh tp aku gak nyangka lho... Ternyata dirimu jago nulis jg. Aris yg dulunya rada pendiam dan pemalu.. Aris yg suka nyari tempat duduk dipojokkan dlm kelas... Aris yg suka nunduk kalo jalan......ternyata owh3x... yah dirimu kan emang udh berbakat dr dulu. 4 jempuol lah buat dirimu, prend!!! SALUT!!! :)
Jadi flasback lg nih masa2 SMA kt dulu... Kesekolah slalu dgn perasaan was-was. ''selamat gak yah sampe ditujuan..?'' maklumlah jarak antara rumah n sekolah bagaikan langit dan bumi...'ujung pukul ujung'. Belum lg kalo sekolah kt dapet serangan dadakan dari STM....wuihh tu yg seru abis!! Lari grasak grusuk nyari tempat persembunyian. Menegangkan. Panik. Perasaan campur aduk dahh...hehehe!! Kenangan yg tak terlupakan. Dili emang gak ada matinya. Bangga aku bisa berada di antara kalian, punya cerita yg kurang lebih sama sebagai seorang pendatang. Okelah pren, teruslah menulis. Semoga teman2 kt yg laen jg memebaca tulisanmu ini. Keren!! Aku tunggu namaku ditulisanmu yg berikutnya... hihihi

****************
Endang dalwi

Jose Martins said...

Aries Agusto ida o Konta ih leten....heheh nia Agora Policia Timor Leste,bagian CSP(Corpo seguranca Pessoal),ih indonesia karik hanesan PASPAMPRES.....

AHS said...

Wah pengamalannya seru juga bang, perkenalkan saya juga alumni angkatan 99. Si agusto itu emg di petinju,dia seangkatan dengan dengan saya. Cuma saya di kelas f. Dia juga dulu pernah incar saya, tapi karena teman saya dr spt Agustinus (Balide), Fredy (Palapaso), Alexander, Salsinu, Nelson (Vilaferde), jordao, Joao (Becora), Joni Carlos (Kampung Baru), di urung ga jadi mukul sama sekali. Dari TK saya di sana, intinya orang TL itu menanamkan persaudaraan seperti yang diajarkan di SHT (Setia Hati Teratai), jika ada teman yang akan dilukai atau sudah dilukai mereka pasti membela walaupun anda benar maupun salah.Istilah bekennya kita harus jadi "Maun Alin" (Bersaudara/Kakak Adik).Bapak saya padahal seorang pejuang tahun 76 dari batalyon sikatan 507 surabaya dan setelah itu bergabung dengan pasukan 744. Saya selalu cerita terus terang bahwa saya anak tentara, namun mereka tidak membedakan dan tidak pernah melukai saya dari belakang. "Ne mak ita dian Maun Alin". Ada kejadian menegangkan, waktu kami kelas 3, SMUN1 diserbu 5 sekolah dari berbagai pejuru. Dari SMPN 6, SMPN 5, SMIK, SMKK dan STM. Kejadian itu berawal dari peristiwa pemukulan terhadap siswa STM oleh junior kita yang notebennya adiknya penguasa gang dari mercado becora. Akhirnya gempuran batu datang dari berbagai penjuru, hampir semua kaca kelas pecah semua. Saat itu saya berkumpul tidak jauh bersama alexander, jordao, nelson, agustinus, fredy dan agusto. Si Agustinus berteriak "Woi bapa lalika halai, mai ita hamutuk...Serang!!!" membalas lemparan batu ke arah SMPN 6. Dan ada seorang pasukan Brimob membantu menakuti dengan brondongan senjata AK-47 nya. Wuih serem deh, tak tau darimana tiba ada batu melayang ke arah agusto, dia tidak sempat menghindar dan yang aneh batu itu ga terpental tapi malah nyangkut di rambut si agusto. Saat itu juga dia pingsan dan si alexander berteriak..."woii, agusto kona fatu". Semua berlari menghampirinya dan membopongnya ke arah ruang guru. Untungnya saat kejadian itu tidak ada yang terluka parah, dan ke-5 sekolah yang menggempur kita tidak ada yg berani masuk. Ada salah satu kepala gang anak SMIK datang membawa samurai mengahampiri, namun untuk berunding.

sepatumerah said...

Cerita ini, entah kenapa membuat mata saya berkaca-kaca dan kangen timor leste. :(

qq said...

Terima kasih atas sharingnya, salut dgn persahabatan kalian :)

qq said...

Terima kasih atas sharingnya, salut dgn persahabatan kalian :)

Anonymous said...

:) mate ka moris duni baba sai...

Anonymous said...

Jika secangkir kopi mengingatkan aku akan Ermera. Membaca tulisan kalian, teman-temanku, menggiring seluruh ingatanku pada tanah Timor. Sejuta rinduku pun tumpah ruah...

Tolong, ambilkan botol itu, rindu aku mengulang ritual mendahulukan Ray Nain sebelum kita meneguk alkohol (nilai kebersamaan)

Kavi Timoranes

Anonymous said...

Istoria furak tebes 👍👍👍

Fransiskus Pascaries