07 August 2009

Mengisi Lembaran Kelimapuluhenam

Hari ini setahun yang lalu di sebuah rumah di Tomang, Jakarta Barat. Sebotol anggur ‘diserbu’ oleh lima orang pria, yang sudah sekian jam mengadakan rapat. Sekitar pukul 12 tengah malam, lima gelas berisi anggur itu pun beradu. Bukan untuk bermabuk ria. Melainkan untuk berucap syukur, karena salah seorang di antara lima pria itu berhari jadi. Ia adalah Romo Johannes Hariyanto SJ, yang hari ini kembali merayakan hari kelahirannya, di tengah-tengah para Komjakers, yang “lagi lucu-lucunya”. Bukan hanya para fasilitator, seperti di hari jadinya tahun lalu


Tahun lalu, seingat saya, selain Romo Hari –begitu ia biasa disapa- ada Daniel Awigra, Felix Iwan Wijayanto, Lexy Rambadeta, dan saya sendiri yang berkumpul untuk rapat fasilitator Komjak. Selepas jam 12 malam, sekali lagi seingat saya, kami mengucapkan selamat, dan merayakan momen itu dengan sebotol anggur penghangat. Di rapat kali itulah, nama Kampus Orangmuda Jakarta (KOMJAK) tercetus. Dan, tahun ini, Romo Hari kembali mengenang peristiwa kelahirannya itu.

Pendampingan orangmuda sepertinya memang sudah menjadi jalan hidup Romo Hari, sejak ia masih menjalani pendidikan sebagai frater teologan di Kolese Santo Ignatius (Kolsani) Yogyakarta di awal tahun 1980-an. Suatu masa, di mana sebagian besar dari fasilitator dan komjakers, termasuk saya, masih harus belajar berjalan, atau bahkan belum ‘dirilis’ ke dunia ini. Dalam situasi yang berbeda, segenap proses pembelajaran yang coba diterapkan di Komjak ini, tak lain adalah buah-buah pembelajaran yang telah ia jalani lebih dari dua dasawarsa silam. Di suatu masa, ketika ia pun kerap mengalami kebingungan, kegundahan, kegelisahan, sebagai orangmuda.

Ia mengaku, proses pembelajaran di Komjak ini tidak murni lahir dari pemikirannya. “Bukan made in saya,” begitu ia mengistilahkan. Semua yang ia jalani terkait pendampingan kaum marjinal di Yogyakarta, dan juga yang coba diterapkan di Komjak sekarang ini, tak lain adalah bentuk adaptasi dari kuliah-kuliah teologi saat itu. Untuk semua itu, ia mengaku harus berterima kasih pada almarhum Romo Tom Jacobs SJ dan Romo Bernard Kieser SJ, dua seniornya di Serikat Jesus. “Dua orang itulah yang katakanlah menjadi sumber inspirasi saya,” kata Romo kepada saya dan Awi dalam sebuah obrolan di 23 Juni 2009 malam, di Wisma Agustinus, Tomang, Jakarta Barat.

Bola itu pun ditendang
Pertemuannya dengan Awi dalam sebuah acara di sebuah hotel di Jakarta 15 Februari 2008, menjadi sebuah titik berangkat. Awi, yang bersama jaringan masyarakat sipil saat itu tengah mengadvokasi kasus Ahmadiyah, lantas ia ‘todong’, untuk membuat sebuah kaderisasi untuk orangmuda Katolik. Awi yang terkadang sulit direm ketika sedang berkata-kata, sontak tergagap. Saat kekagetan dan keheranan Awi belum beringsut, Romo Hari malah menambahkan, “Kamu nggak usah mikir duitnya!” Romo Hari pun lantas pulang begitu saja, seolah tanpa rasa bersalah sedikitpun. Sebelumnya, Awi juga sudah tersentak saat Romo Hari berkata, target dari kaderisasi ini adalah “masuk parlemen!!!” Awi bertanya-tanya dalam hatinya, apa maksud dari semua ini? Jadilah tanggal 15 Februari 2008 itu, hari yang mengelisahkan untuk Awi. Bola itu pun mulai ditendang, dalam bahasa Romo Hari. Bola itu ditendang, tanpa Romo Hari bertanya terlebih dulu, “Awi, kamu sibuk apa sekarang?”

Komjak (sepertinya) adalah (salah) satu yang sudah menjadi keprihatinan dan kepedulian Romo Hari dua dasawarsa lalu. Tentu bukan Komjak dalam arti seperti sekarang ini, melainkan kaderisasi orangmuda Katolik yang serius. Pertemuannya dengan Awi, perkenalannya dengan Felix beberapa tahun lalu, perjumpaannya dengan semua fasilitator lain, dan berlanjut ke para Komjakers, seakan menjadi jawaban Tuhan atas keprihatinan dan kepeduliannya selama ini. Awi, biasanya mengistilahkan ini dengan “persentuhan”, yang dibaca secara terpisah” persen(an) dari Tuhan. Romo Hari menganggap, pertemuannya dengan Awi Februari tahun lalu itu adalah providentia Dei alias penyelenggaraan ilahi. “Karena, dalam hidup sesuatu yang sifatnya aksenden, sesuatu yang terputus, lepas-lepas, seolah-olah, bisa saja dilihat terkait satu sama lain,” ujarnya.

Pendidikan Ignasian a la Jesuit ia jalani. Sehingga tak heran, setiap proses pembelajaran yang coba diterapkan di Komjak ini diilhami oleh spirit sang prajurit (St.Ignatius Loyola, sebelum mendirikan Serikat Jesus adalah seorang prajurit). “Saya sendiri merasa, nggak perlu malu untuk mengatakan itu. Karena, ada pepatah Latin nemo dat quod non habet (orang tidak bisa memberi dari sesuatu yang tidak dimiliki),” katanya. Pengalamannya selama menjadi frater teologan dua dasawarsa silam di kota gudeg, Yogyakarta, coba dijalaninya dengan sejumlah adapatasi, agar bisa dijalankan dalam konteks yang berbeda secara sosial budaya, sosial ekonomi, dan entah apa lagi, di kota metropolis, Jakarta.

Sisi lain

Saya baru tahu, dan mungkin juga tak banyak orang tahu, bahwa Romo Hari bisa mengendarai sepeda motor. Di sela-sela kegiatan pelatihan public speaking Komjak di Wisma Training Pondok Labu, Jakarta Selatan, 21 Juni 2009 lalu, Felix tercekat. Bagaimana tidak, Romo Hari ingin meminjam motornya, untuk membeli beberapa keperluan bersama Victoria Sendy, “Menteri Keuangan” Komjak, yang bertubuh mungil itu, di Indomaret, sekitar 500 meter dari Wisma Training. “Bukan hanya Komjaker dan fasilitator. Mungkin dunia juga baru terbuka matanya, akan fakta bahwa Romo Hari bisa naek motor,” kata Felix dalam perbincangan melalui Yahoo Messenger siang ini. Sejumlah fasilitator yang ada di sana was-was, lantaran kondisi motor Felix, yang tidak terlalu mudah untuk dikendarai. Saya sendiri pernah membawa motor itu, dan merasakan deg-degan, karena stang motor itu sungguh tidak mudah dikendarai, kecuali oleh pemiliknya sendiri, yang tetap saja berani membawanya dengan kecepatan cukup tinggi.

Oya, di pelatihan public speaking itu, Romo Hari berlaku iseng. Saat seorang Komjaker tengah unjuk kebolehan dalam simulasi orasi dengan penuh semangat, tiba-tiba Romo Hari melempari sang orator dan “massa” dengan puluhan permen. Sekumpulan “massa” itu pun kontan bubar, dan lebih memilih untuk memunguti permen demi permen, ketimbang menyimak omongan sang orator. Belakangan, ia menjelaskan bahwa hal itu ada bagian simulasi dari “operasi kontra demo” yang ia refleksikan dari teori intelijen, bahwa baik orator maupun massa harus sama-sama menjaga konsentrasi. “Pas latihan orasi, itu oratornya semangat, massa juga. Oleh Romo Hari mereka dilempari permen, ‘massa’ bubar, sang oratorpun kehilangan konsentrasi,” ujar Felix.

Romo Hari, selamat memasuki lembar kelimapuluhenam dalam hidup ini. Selamat melanjutkan karya keselamatan di lembar yang masih baru ini. Lima puluh lima lembar yang lalu, sudah diisi dengan berbagai sukacita dan sukaduka. Keberhasilan, kegagalan, kegembiraan, kesedihan sudah membuncah di sana-sini. Kiranya, itu semualah yang membentuk Romo sampai saat ini.

Tak ada kado untuk diberi. Saya hanya memiliki kisah ini untuk dibagi. Dibagi, dengan harapan bisa menjadi bahan untuk direnungkan. Tidak hanya untuk Romo, melainkan juga untuk teman-teman lainnya di Komjak.
Tuhan memberkati kita semua… Amin


Suatu pagi 6 Agustus 2009, di Tirtayasa VII No.1, Kebayoran Baru.


4 comments:

Dunia Matematika said...

walopun tulisan ini udah dimuat di 3 tempat (seingatku sich)...bacanya ga bosen2...krn romo ini emang terlalu unik...jd perlu dilestarikan (pemikirannya maksudnya)...perpaduan filsuf, guru, politisi, ekonom n gosip mania...hehehe

Yoana Yesinatali said...

Romo Hari emang paling kece :D tak lekang oleh waktu!

Yoana Yesinatali said...

Romo Hari emang paling kece :D tak lekang oleh waktu!

Maria Ade Dewi Aghnia said...

Keren sekali..aku menyimak ceritanya..wah baru ketemu aku tulisan ini hehehe hallo mas frans. #komjak10

Fransiskus Pascaries