23 July 2007

Oey Hay Djoen, Spirit Seorang Penerjemah

Sepasang kakinya melangkah perlahan. Dengan bantuan tongkat dan gandengan mesra istri tercintanya, Jane Luyke (72), ia berjalan tertatih. Sebatang cerutu yang tengah mengepulkan asap dan sesekali dihirupnya, terhimpit di antara jari telunjuk dan jari tengahnya. Lelaki sepuh itu ialah Oey Hay Djoen, mantan tahanan politik (tapol) yang dibuang rezim orde baru tahun 1969 hingga 1979 ke Pulau Buru, Maluku. Hingga kini ia aktif menerjemahkan buku-buku yang “diharamkan” selama Presiden Soeharto berkuasa.

Oey hadir dalam acara peluncuran buku termasyhur Das Kapital karya Karl Marx yang diterjemahkannya dalam bahasa Indonesia. Buku yang diterbitkan Hasta Mitra dalam tiga jilid: Kapital 1, Kapital 2, dan Kapital 3 itu total berjumlah 2700 halaman. Sekitar 60 orang mahasiswa, akademisi, dan sejumlah aktivis lembaga swadaya masyarakat hadir dalam diskusi malam itu. Tampil pula sebagai pembicara John Roosa, seorang assistant professor bidang sejarah dari University of British Columbia, yang juga adalah penulis buku Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'État in Indonesia (University of Wisconsin Press, 2006). Sementara Hilmar Farid, aktivis Jaringan Kerja Budaya (JKB), didaulat sebagai moderator.

Usai diskusi yang diadakan di kawasan Garuda Taman Mini Indonesia Indah itu, saya hampiri Oey dan istrinya untuk berkenalan. Ia tampak antusias, ketika saya meminta waktu untuk bertatap muka. Ia mempersilahkan saya untuk terlebih dulu menelpon sebelum bertandang ke rumahnya.

Bicara soal semangat kerja, sepertinya tidak salah kalau kita belajar darinya. Bagaimana tidak, di usia yang sudah menembus 77 tahun sekitar 30 buku berbahasa Inggris ia telah terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. “Kira-kira separuh dari yang saya terjemahkan adalah buku-bukunya Marx dan Engels. Kira-kira 16-18 buku,” kisah kelahiran Malang, 18 April 1929 itu saat ditemui September tahun lalu di rumahnya di bilangan Cibubur, Jakarta Timur.

Setidaknya sejak tahun 1986, sejumlah orangmuda mulai mendatangi kediamannya. Mereka adalah aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD), mahasiswa yang sedang melakukan advokasi di Kedung Ombo, dan sebagainya. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang terpelajar yang enggan tergantung hanya pada bahan dari dosen.

“Kita mesti menembus ke sumber-sumber pertama. Jangan dari sumber ketiga atau keempat. Apalagi, seperti dosen-dosen yang bikin diktat,” ujarnya menirukan sejumlah orangmuda itu.

Para aktivis mahasiswa itu ingin membaca buku-buku Karl Marx, Hox Bauer, Engels, dan lain-lain. Tetapi, mereka memiliki keterbatasan dalam berbahasa asing. “Dari situ, saya berpikir untuk mulai tawarkan pada mereka untuk menerjemahkan buku,” ujar Oey yang di Pulau Buru mengenakan baju bernomor 001, sedangkan Pramoedya 007. Ia pun bersedia membantu dan membebaskan para aktivis itu untuk menentukan, buku apa yang ingin diterjemahkan. Kebetulan, buku pertama yang ada di depan mereka itu adalah buku W.Wertheim, yang ditulis tahun 1974, High Waves of Emancipation.

Diketahui bahwa W.Werthein adalah ilmuwan yang “di-persona non grata” di Indonesia, karena (dianggap) melawan Presiden Soeharto. Oey dan para mahasiwa tahu, tidak akan ada yang bisa dan bersedia menerbitkan buku itu dalam bahasa Indonesia. Sehingga, setiap Oey menuntaskan terjemahan satu-dua bab, bahan-bahan itu langsung difotokopi untuk dijadikan materi diskusi. “Dari situ aku mulai, sampai akhirnya mereka minta sumber yang asli,” tuturnya.

Ia memilih untuk menerjemahkan buku-buku karya Marx dan Engels, karena ingin agar pembacanya dapat menggunakan metode berpikir kedua tokoh itu. Ia berprinsip untuk senantiasa berpikir kritis, tidak dogmatis. “Karena itu, aku sama sekali tidak punya rencana menerjemahkan bukunya Lenin, Mao Zedong, enggak. Karena itu sudah lebih berat doktrinnya, sudah dipatok-patok,” jelasnya.

Bukan Adam Smith
Oey memang sudah tidak muda lagi. Namun, betapa giatnya ia menerjemahkan buku-buku asing cukup menjadi bukti sahih, betapa ia ingin berbuat sesuatu untuk orangmuda di negeri ini. Buku Gejala Manusia, Anti-Duhring, Dialektika Alam, Naskah-Naskah Filsafat Ekonomi hanya segelintir dari persembahannya untuk generasi yang ia sebut baru ditumbuhi “gigi geraham kebijaksanaan”.


Masa muda, menurut Oey, adalah fase paling romantik. Kepekaan mulai merambah jiwa orangmuda. Idealismenya tengah melambung tinggi, terutama kepedulian pada masyarakat. Inilah juga yang terjadi dengan angkatan muda Indonesia itu. Kalau orangmuda sudah berada pada puncak romantisme, idealisme dan menghadapi kepedulian sosial, mereka tidak mencari bahan dari Adam Smith, melainkan dari yang "kiri", seperti marxis dan sebagainya. ”Di situlah mereka mulai bersentuhan dengan ideologi kiri. Waktuitulah, mereka mulai mencari kami. Bukan kami yang mendatangi mereka. Kami takut,” ungkapnya kian mempertegas betapa ia menaruh perhatian khusus pada generasi muda.

Kepada orangmuda ia berpesan, peduli sejarah, pada masyarakat dan nasib bangsa. “Pokoknya, kejar ilmu pengetahuan. Dan, dalam menghadapi ilmu atau apa saja, pegang satu hal: bersikaplah kritis!. Pokoknya, jangan percaya pada yang sudah dipatok-patok, pada doktrin-doktrin itu, jangan percaya. Sebab itu berarti habisnya ilmu, habisnya hidup ini. Tidak ada sesuatu yang mutlak,” katanya dengan nada tinggi.

Ia mengajak orangmuda untuk tidak percaya pada ilmu, teori, atau apa saja yang bilang: lah ini lho, puncaknya! “Sebab kalau orang bilang begitu, finished. Karena, semuanya itu kan berkembang. Yang mutlak ya perubahan itu sendiri. Semua relatif,” tuturnya.

Oey menerjemahkan buku-buku Marx, Engels, serta buku-buku klasik bukan untuk mempropagandakan Marxisme. Ia ingin agar pembacanya menggunakan metode berpikir kritis seperti yang dipakai Marx dan Engels. Marx tidak menciptakan teori, seluruh tulisannya adalah suatu polemik terhadap semua ilmu yang sudah ada. ”Jadi, ilmunya benar, tidak benar, itu yang harus dikrtisi,” tambahnya.

Ia (Marx) tidak menciptakan ilmu seperti tetes kebenaran dari langit. Semuaitu tak ubahnya polemik: tesis, antitesis, sintesis. Metode berpikir inilahyang benar-benar digandrungi Oey supaya dimiliki oleh angkatan muda. “Jauhilahepigonisme segala macam itu. Cuma menerima, mengambil, mencangkokdari segala sesuatu lainnya yang sudah mati itu. Ilmu harusberkembang terus,” tutur kakek dari tiga cucu dari putri tunggalnya Mado.

Hingga kini, ia masih aktif dalam Diskusi Bulan Purnama yang diadakan oleh Jaringan Kerja Budaya, yang menjadi tempat berdialektika sejumlah akademisi, mahasiswa, para pegiat LSM. Spirit yang tak pernah lekang ditelan waktu...

1 comment:

Anonymous said...

selamat jalan pak oey hay joen semoga arwah beliau di terima di sisi-Nya.

Fransiskus Pascaries