Ruangan di Airman Planet, Hotel Sultan itu saya sambangi. Bukan untuk kongkow-kongkow bareng teman-teman se-'gank', atau ngedate bareng cewek pujaan. Di hari pertama bulan Agustus 2009 itu, saya datang ke tempat itu untuk acara kopi darat kompasiana. Seorang purnawirawan marsekal, dengan lebih dari delapan ribu jam terbang, berpengalaman sekian tahun sebagai pilot pesawat kepresidenan, menorehkan prestasi membanggakan, menuliskan gagasan-gagasanya di blog kompasiana.com. Di bulan kemerdekaan ini, ia meluncurkan sebuah buku yang berisi sebagian tulisannya di blog itu, Cat Rambut Orang Yahudi. Ia adalah Chappy Hakim. Dari kokpit pesawat ia beranjak ke jagat maya dengan menjadi blogger. Tak heran, Museum Rekor Indonesia (MURI) mencatat Chappy Hakim sebagai “Bintang empat pertama (marsekal/jenderal) yang tulisan-tulisannya di blog (Kompasiana) diterbitkan menjadi buku”.
Si anak zaman
Banyak orang bilang, setiap zaman punya 'anaknya' masing-masing. Setiap generasi memiliki cara dan gaya masing-masing dalam mengungkapkan pemikiran, perasaan, atau apapun yang ada dalam hati dan pikirannya. Bangsa kita ini pernah memiliki seorang pejuang -mesti (sempat) ditepikan dari panggung sejarah- bernama Tan Malaka, yang terkenal tekun dalam menulis artikel, esai, bahkan naskah drama. Naskah dramanya, Merdeka 100%, bahkan sudah diterbitkan oleh Penerbit Marjin Kiri, dalam sebuah buku berwarna sampul merah darah. Soe Hok Gie, juga setali tiga uang. Sejumlah naskahnya sudah dibukukan. Sebut saja, Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan (hasil skripsi S-1-nya), Di Bawah Lentera Merah (hasil skripsi sarjana muda-nya), dan tentu saja Catatan Seorang Demonstran. Bahkan tahun 2005 Miles Production meluncurkan film Gie, yang sedikit banyak semakin mengangkat sosok ini ke dalam ruang publik.
Sekitar 40 tahun setelah Soe Hok Gie menulis CHSD di tahun 1960-an, lebih setengah abad tahun setelah Tan Malaka menuliskan pamflet-pamfletnya, di hari pertama bulan Agustus itu, Chappy Hakim bersama Penerbit Kompas menerbitkan kumpulan tulisan Sang Marsekal, hasil ngeblog kakek dari seorang cucu ini. Saya percaya, tulisan-tulisan CH sekian tahun ke depan, akan menjadi 'harta karun' yang amat berharga bagi bangsa ini. Ditulis oleh seorang dari kalangan militer, yang umumnya (terkesan) kaku, dengan bahasa yang lumayan renyah, buku Cat Rambut Orang Yahudi (CROY) sama sekali tidak terkesan 'seadanya'. Beginilah seharusnya sebuah buku atau tulisan dikemas di era moderen ini. Substansi tidak selayaknya menghamba pada tampilan. Sebaliknya, tampilan juga tidak selayaknya dikorbankan demi menarik pembaca, dengan mengabaikan substansi.
Pertemuan kompasianers Sabtu 1 Agustus 2009 lalu, membuat saya kembali tergairahkan untuk menulis. Saya harus mengangkat topi pada Chappy Hakim (CH). Di masa purnabaktinya, ia masih produktif merangkai kata menjadi kalimat, menata kalimat menjadi sejumlah paragraf, dan kemudian menjadikan paragraf demi paragraf itu tulisan yang bisa mengajak kita untuk berpikir, membuka wawasan, dan tidak jarang tergelitik bahkan tersentil. Bahkan, dua tulisan CH sudah menjadi buah bibir dan perdebatan di portal kompasiana, CROY (diposting 10 November 2008) dan Mengapa Orang Yahudi Banyak yang Pintar ?(diposting 5 Februari 2009). Satu hal yang (barangkali) tidak pernah diduga oleh penulisnya sendiri.
Beda era
Hari demi hari, saya meyakini bahwa menulis sejarah tidak melulu urusan para sejarawan. Setiap saat kita bisa menulis sejarah. Apa yang dilakukan kompasianers pun tak ubahnya adalah menulis sejarah. Bayangkan, taruhlah 20 tahun lagi, kita akan kembali membaca tulisan CH, dan kompasianers yang lain sambil mengingat-ingat dan membaca setiap postingan. Kita patut bersyukur, bisa menikmati satu hal yang tidak pernah dinikmati atau sekadar dibayangkan oleh Soe Hok Gie, Tan Malaka, Pramoedya Ananta Toer, Bung Karno, Bung Hatta, dan sejumlah tokoh-tokoh besar lain. Mereka menulis di atas kertas lusuh. Mereka menggoreskan tinta mereka dengan penuh ketekunan. Tidak jarang pula, mereka menuliskan gagasan mereka di tengah tekanan. Bahkan, ketika tulisan itu telah selesai mereka harus menyelundupkan naskah mereka, dari tangan orang-orang dekat mereka, agar tulisan itu bisa disebarluaskan. Bagaimana tidak, saya pernah mewawancarai imam Katolik, Pastor Stanislaus Sutopranoto Pr. Ia berkisah tentang suatu kejadian yang cukup membuat detak jantungnya berdegup kencang, saat tahun 1972 menyelundupkan transkrip Bumi Manusia dari Pulau Buru, karya Pramoedya Ananta Toer.
CH, Tan Malaka, Soe Hok Gie hidup di era berbeda. Sebelum dibukukan, tulisan-tulisan CH menjumpai pembacanya di dunia maya. Sementara, Tan Malaka, Soe Hok Gie menyebarkan naskah-naskah mereka lewat pamflet dan media massa di eranya. CH meluncurkan bukunya di sebuah cafe yang berada di sebuah hotel berbintang lima, tidak seperti Tan Malaka dan Soe Hok Gie. Begitulah. Tidak ada yang salah tentu. Mereka hidup di era yang berbeda.
Di halaman 180 buku CROY, dalam artikel berjudul Obama Meninggalkan NASA? CH menuliskan moto dari badan ruang angkasa milik pemerintah Amerika Serikat: For The Benefit of All. Saya percaya CH sudah memberikan apa yang dia bisa berikan untuk bangsa ini. Baik sebagai prajurit, komandan, penerbang, dan kini sebagai blogger. Tentu, bukan untuk dirinya, melainkan, for the benefit of all, dan dari kokpit ke blog.
Saya belajar dari Anda, Marsekal !
Photo by Edy Taslim
No comments:
Post a Comment