26 February 2014

Rokok dan Sabun Untuk Falintil

Pada hari kedelapan bulan Februari 2014 lalu, saya berada di ketinggian Skydining, Plaza Semanggi, Jakarta Selatan. Saya menemui Lexy Rambadeta, seorang film maker yang kenyang pengalaman. Di antara gedung-gedung pencakar langit di sekitarnya –di sisi utara Kampus Universitas Atma Jaya berdiri dengan tegaknya, di sisi selatan, dipisahkan dengan jalan raya yang selalu sibuk setiap hari ada Markas Besar Polda Metro Jaya– Lexy menceritakan kisahnya saat tiga kali bertandang ke Timor Leste tahun 1999.

Lexy mulai tertarik dengan Timor Leste sejak sekitar tahun 1994 ketika masih mengenyam pendidikan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Saat itu di tengah sebuah aksi demonstrasi di kampus UGM, seorang pemuda berambut gondrong berteriak dengan gagah nan lantang, “Viva Xanana Gusmão!”

“Wah, itu ngeri buanget. Aku aja deg-degan banget. Pasti ada intel kan?! Padahal aku nggak terlibat di demonstrasi itu loh. Hanya mendengar aja deg-degan,” kata Lexy mengenang peristiwa itu.

Lexy mengibaratkan tindakan itu seperti halnya orang berteriak “Hidup Lucifer” di saat ibadat misa berlangsung di dalam gereja.

“Karena, Soeharto disakralkan, Timor Leste masuk provinsi keduapuluhtujuh disakralkan. Itu suci. Itu persatuan yang kalau diganggu akan kacau,” imbuh Lexy.

Singkat kata, Lexy akhirnya berkenalan dengan pemuda gondrong itu. Lexy mengaku lupa nama lengkap pemuda asal Timor Leste. Lexy hanya ingat, pemuda itu adalah Pedro, seorang aktivis Resistencia Nacional dos Estudiantes de Timor Leste (RENETIL).

Pertemanan antara Lexy dan Pedro terus berlanjut. Tahun 1998 saat Soeharto dijatuhkan oleh gerakan mahasiswa di seluruh penjuru negeri, termasuk Yogyakarta, Pedro dan kawan-kawannya asal Timor Leste ikut mendukung pergerakan mahasiswa Indonesia di Yogyakarta.

Pedro adalah salah satu orang yang dengan gagah berani membela para mahasiswa di Fakultas Filsafat UGM yang melakukan aksi mogok makan tahun 1998.

“Para mahasiswa yang mogok makan ini mau diserang sama semacam milisi gitu. Nah, orang-orang UGM ini ketakutan, yang mengawal itu orang-orang RENETIL ini,” kata Lexy.

Di suatu malam, setelah mengawal aksi demo itu, Pedro ini ditembak oleh orang tak dikenal. Beruntung, peluru tak mencabut nyawa Pedro dari raganya. Ia tetap hidup.

Hubungan Lexy dan Pedro serta teman-temannya semakin dekat. Perjuangan melawan kediktatoran Soeharto ini berlanjut, karena perjuangan bangsa Timor Leste belumlah selesai.

Menurut Lexy, Pedro dan kawan-kawannya ikut menjatuhkan Soeharto, karena merasa bahwa rakyat Indonesia dan rakyat Timor Leste sama-sama melawan rezim diktator.

“Yang satu menindas rakyat Indonesia, yang satu menindas rakyat Timor Leste,” kata Lexy yang mempunyai banyak rekaman video aksi demonstrasi mahasiswa Timor Leste di Deplu, Gedung PBB Jakarta, dan sebagainya.

Sore itu Lexy juga memutarkan rekaman video. Bukan sembarang video, tapi video yang berisi perjalanan Lexy dan dua orang rekannya dari Jakarta awal tahun 1999 untuk menemui personil dan beberapa pentolan Forcas Armadas de Libertacao Nacional de Timor Leste (FALINTIL) di hutan Kabupaten Lospalos.

Di video itu terlihat beberapa sosok berambut gondrong dan berkulit legam menenteng senjata laras panjang. Mereka membabat ranting-ranting yang ada di hadapan mereka di sepanjang perjalanan di hutan belantara itu.

“Waktu itu jalan kakinya itu berapa jam begitu. Banyak duri. Di Lospalos, banyak batu dan duri. Hutannya nggak lebat, tapi ada batu duri,” ujar Lexy.

Lexy juga mewawancara beberapa orang dari para gerilyawan itu. Ia menggali kenapa mereka masuk hutan. Siapa yang membantai keluarga mereka. Macam-macam.

Sebelum masuk ke Timor Leste, Lexy membeli rokok Gudang Garam Surya sebanyak satu slop untuk dia bagikan pada para gerilyawan Falintil.

Hal itu juga Lexy ulangi lagi setelah referendum yang digelar 30 Agustus 1999 saat ia mendapat tugas peliputan dari sebuah media asing. Ia akhirnya tak hanya memasok rokok, sabun cuci dan sabun mandi, tapi juga perangkat gula, teh, kopi, minyak goreng, korek api, handy talkie dan lain-lain yang ia beli di Yogyakarta.

“Aku sudah punya uang cukup banyak, belanja sabun dan Gudang Garam Surya itu tadi. Karena aku tahu, mereka suka Gudang Garam Surya,” Lexy tertawa lebar mengisahkan itu.

Kemanusiaan sejati mampu menembus batas-batas nasionalisme dan primordialisme. Lexy sudah membuktikan itu.

3 comments:

Anonymous said...

Masih ada lanjutannya lagi tah?

ribka said...

Ditunggu sambungannya ries

Fransiskus Pascaries said...

Lanjutannya ya nanti di buku aja ya... Kemarin itu gue tulis dua halaman, supaya gak lupa. Transkripnya baru jadi sebelas hlm. Masih byk yg belum aku ungkap. Hehehe

Fransiskus Pascaries