-----
Apa yang terlintas di benak kita kala mendengar dan atau membaca kata "anarkis" atau "anarkisme" ? Tak sekali dua kali, melainkan hampir tiap hari, kita bisa menyimak di media massa pejabat yang selalu berkata,"Kita serahkan kasus ini pada aparat keamanan. Masyarakat diminta tidak bertindak anarkis." Tetapi, apa betul anarkis bisa disederhanakan atau tepatnya disalahkaprahkan begitu saja ?
Sebelum membaca buku Anarkisme: Perjalanan Sebuah Gerakan Perlawanan karya Seán M.Sheehan, yang diterbitkan Penerbit Marjin Kiri, saya menjadi satu di antara 200-an juta orang Indonesia yang mengalami kekacauan ontologis dalam memahami kata itu, anarkisme. Dalam kata pengantar buku itu Daniel Hutagalung -peneliti di Institut Riset Sosial dan Ekonomi (Inrise) dan Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)- menjelaskan bahwa sebagai konsep dalam ilmu sosial maupun filsafat, anarkisme sering disalahartikan -atau bisa jadi sengaja disalahartikan- sebagai suatu prinsip yang berhubungan dengan hal-hal yang bernuansa destruktif, chaotic, dan ketidakteraturan (disorder). Tidak jarang, kata itu ditempatkan berseberangan dengan demokrasi. Pemahaman yang keliru itu, menurut Daniel, mencuat karena masih minimnya literatur mengenai anarkisme di Indonesia, baik mengenai sejarah perkembangannya, filsafatnya, maupun perdebatannya dengan berbagai aliran pemikiran dalam filsafat dan ilmu-ilmu sosial.
Kata "anarki" berasal dari bahasa Yunani kuno "άυαρχoς" (huruf υ dilafalkan n dan ρ dilafalkan r) yang tersusun dari άυ yang berarti "tidak", dan αρχoς yang artinya "pemimpin" atau "ketua". Sehingga, anarkisme berarti "tidak ada pimpinan, tidak adanya pemerintahan". Etimologi kata ini menandai hal yang khas dari anarkisme, yaitu penolakan terhadap kebutuhan akan otoritas tersentral atau negara tunggal, satu-satunya bentuk pemerintahan yang kita kenal sampai saat ini.
Sejumlah nama mustahil untuk dihindari saat membahas yang namanya anarkisme ini. Sederet nama seperti Pierre-Joseph Proudhon, Mikael Bakunin, Peter Kropotkin, Max Stirner, Levnikolaevich (Leo) Tolstoy, Enrico Malatesta, Emma Goldman, dan lain-lain, sungguh memainkan perannya masing-masing dalam proses dialektika seputar "anarkisme". Proudhon adalah orang pertama yang menggunakan istilah anarkisme sebagai filsafat politik.
Noam Chomsky mengacu pada konsepsi Rudolf Rocher (seorang sejarawan anarkis) saat diminta menulis Kata Pendahuluan dalam buku Daniel Guerin, Anarchism From Theory to Practice (London, 1970), bahwa anarkisme "bukan suatu sistem sosial yang baku dan tertutup, melainkan sebuah tren pasti dalam perkembangan sejarah umat manusia yang berkebalikan dengan penjagaan intelektual oleh semua lembaga pemerintah dan keagamaan..."
Kaum anarkis tidak menolak bahwa ada orang yang pendapatnya lebih otoritatif dalam bidang-bidang tertentu. Ini adalah pilihan atau pertimbangan moral yang didasarkan pada nalar. Sean M.Sheehan mengutip apa yang ditulis oleh Bakunin dalam God and The State (London, 1883) bahwa ia tidak bermaksud menolak semua otoritas. Tidak. Bakunin mengaku tak pernah sedikitpun berpikir demikian. Tulisnya:
Dua anarkisme
Disebutkan di buku itu, bahwa secara umum ada dua tendensi dominan dalam tradisi anarkisme, yaitu anarkisme individual dan anarkisme kolektif (komunis). Anarkisme-individualis, antara lain digaungkan oleh Max Stirner, sementara anarkisme-kolektif/komunal diteriakkan sekurangnya oleh Mikhail Bakunin dan Peter Kropotkin. Beberapa perbedaan membentang antara dua aliran itu. Namun, yang menjadi pengikat antara keduanya adalah bahwa mereka memiliki sebuah prinsip penolakan dan kritik fundamental terhadap otoritas politik dan seluruh bentuk-bentuknya. Bakunin dalam tulisannya yang berjudul The Paris Commune and the Idea of the State, dan berada dalam buku yang diedit Sam Dolgoff, Bakunin on Anarchism (2002) mengatakan:
Negara itu seperti rumah jagal raksasa atau kuburan mahaluas, di mana semua aspirasi riil, semua daya hidup sebuah negeri masuk dengan murah hati dan suka hati dalam bayang-bayang abstraksi tersebut, untuk membiarkan diri mereka dicincang dan dikubur.
Meski demikian, anarkisme menolak dengan tegas Negara bukan dalam artian "administrasi sistem politik", tetapi yang paling pokok adalah penolakan tegas terhadap gagasan tentang suatu tatanan berkuasa yang menuntut dan menghendaki kepatuhan warganya dalam otoritas sentral yang disakralkan dalam wujud Negara. Anarkisme membedakan antara "pemerintah" (mengacu pada Negara) dengan "pemerintahan" (mengacu pada administrasi sistem politik).
Daniel Hutagalung juga menjelaskan bahwa dalam hal ontologi sosial, keduanya sama-sama menolak keberadaan subyek yang terpisah dari dunia yang obyektif. Artinya, sebagaimana marxisme, anarkisme pun menolak anggapan adanya dunia "di luar" subyek yang berdiri terpisah dari subyek yang memahami (knowing subject). Secara aksiologis, keduanya sama-sama menolak otoritas sentral yang memaksakan kepatuhan warganya. Sedangkan secara epistemologis, ada perbedaan prinsipil dalam melihat posisi subyek dalam tatanan masyarakat.
Max Stirner, pemikir dan anarkis individualis asal Jerman, menyatakan bahwa setiap individu memiliki kebebasan untuk menentukan yang terbaik bagi dirinya sendiri, apa yang diinginkan, dan hanya individulah yang bisa menetukan apakah ia benar atau salah. Itu didasari sebuah prinsip bahwa individu memiliki keunikan sebagai nilai intrinsik. Kata Stirner, "kebebasan yang diberi atau dinisbahkan bukan kebebasan, melainkan 'barang curian'".
Sehingga, Stirner juga berprinsip bahwa hanya pada kedirian masing-masinglah setiap individu harus tunduk, bukan pada Negara, atau masyarakat.
Namun, jangan terburu-buru memberi cap 'egois' pada Stirner. Stirner tidak mengabaikan bahwa individu memerlukan bantuan dan juga orang lain sebagai teman. Itu bisa dibaca dalam kalimat ini:
Sementara itu, massa juga bisa menjadi sumber inspirasi bagi anarkisme. Tokoh penggagasnya adalah Pierre-Joseph Proudhon yang percaya bahwa gerakan anarkisme harus disandarkan pada kekuatan gerakan massa. Ia memetik pelajaran dari Revolusi 1848 bahwa massa merupakan sumber kekuatan revolusi. Tidak seperti para marxist, Proudhon percaya bahwa revolusi berlangsung atas suatu tindakan spontan dari rakyat. Ia juga berprinsip revolusi tidak memerlukan kepemimpinan atau kenabian. Bukan kerja satu orang, melainkan produkdari suatu bentuk universalitas, revolusi harus dilakukan dari bawah, bukan dari atas. Hal yang juga diamini oleh Bakunin.
Format gerakan
Lalu, bagaimana gagasan ini bisa dijalankan atau 'dibadankan' dalam konteks masyarakat ? Sub-judul ini sedikit coba mengangkat bagaimana yang namanya konsep bisa mewujud dalam gerakan yang tercatat dalam sejarah berhasil membuat sebuah perubahan. Kita angkat dua contoh, yaitu gerakan Ejercito Zapatista de Liberacion Nacional (EZLN) di Meksiko (yang juga memiliki Ya Basta ! [Bahasa Spanyol: sudah cukup] sebagai kelompok pendukung di Italia) dan gerakan para demonstran di Seattle, Amerika Serikat, November 1999 saat World Trade Organization menggelar konferensi. Dalam bahasa sederhananya, para anarkis tidak cuma NATO, no action talk only.
Pada 1 Januari 1994, sejumlah petani di Chiapas, Meksiko, secara konkrit melakukan perlawanan terhadap globalisasi neoliberal. Ya, petani. Bukan aktivis pro-demokrasi yang justru kerap ditunggangi kepentingan pemodal di balik "aksi mulia" mereka. Para petani itu menyebut diri mereka EZLN atau Tentara Pembebasan Nasional Zapatista yang mengangkat senjata melawan pemerintah Meksiko, dan dalam waktu singkat sukses menduduki Chiapas. Mereka mendorong 11 tuntutan, antara lain:
1. pekerjaan
2. tanah
3. perumahan
4. makanan
5. perawatan kesehatan
6. pendidikan
7. kemerdekaan
8. kebebasan
9. demokrasi
10. keadilan
11. perdamaian
Pemberontakan itu pertama kali direpresentasikan sebagai perlawanan terhadap gagasan-gagasan neoliberal atau ekonomi pasar bebas. Di hari pertama tahun 1994 itu, bertepatan dengan dimulainya Kesepakatan Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA), para pemberontak menunjukkan fakta bahwa mayoritas pedesaan miskin di Meksiko tidak sesuai dengan model neoliberal. Pemberontakan yang tak cuma berdampak secara nasional, karena akhirnya memberikan harapan baru bagi banyak gerakan sosial di masa depan dalam perjuangan anti-kapitalisme di tingkat internasional. Terlebih, kaum Zapatista berhasil mencuatkan pertanyaan-pertayaan mengenai masa depan masyarakat adat (indigenous people) di hadapan globalisasi ekonomi dan budaya.
Salah besar, kalau kita menduga Zapatista berniat untuk merebut kekuasaan. Mereka semata ingin mempromosikan demokrasi partisipatif yang memungkinkan wargaNegara menentang tatanan ekonomi yang berlaku, di mana masyarakat ada Chiapas begitu menderita akibat kebijakan neoliberal pemerintah pusat Meksiko. Secara politik, EZLN mengorganisir dan mendorong program reformasi agraria secara radikal, memperluas konstituen, dan berkeras untuk menerapkan bentuk pemerintah desentralis. Mereka menggalang dan mengorganisir dukungan internasional lewat internet, yang terbukti mendatangkan dukungan yang masif. Terbukti, Agustus 2006 EZLN berhasil menggelar Pertemuan Internasional Demi Kemanusiaan dan Melawan Neoliberalisme yang dihadiri 3.000 delegasi dari sekurangnya 50 Negara dan melahirkan gerakan anti-kapitalis global.
Itu di Meksiko. Sementara di Seattle November 1999 terjadi pula sebuah aksi yang melibatkan tak kurang dari 75.000 demonstran dari beberapa negara. Arak-arakan pertama di sepanjang Seattle dimulai 30 November pagi. Mereka memblokade jalan hingga menjelang senja, dengan teater jalan dan pesta-pesta kaki lima. Jumat, 1 Desember 1999 para demonstran anti-kekerasan ini membentuk kelompok-kelompok besar untuk melakukan aksi duduk di depan penjara kota, tempat demonstran lainnya ditahan. Sejumlah perwakilan mengadakan diskusi seputar strategi gerakan setiap sore. Bangunan gudang tempat pertemuan dilakukan berhari-hari sampai 29 November adalah tempat dilaksanakannya kursus aksi tanpa-kekerasan dan bengkel solidaritas bagi kawan-kawan mereka yang ditahan dalam aksi "Karnaval Melawan Modal" itu.
Prinsip-prinsip anarkis tampak begitu sukses dijalankan. Merebaklah suatu struktur yang tak mengenal kewenangan tersentral atau hirarki birokratis, namun yang koordinasi antar kelompoknya berlangsung sangat kompak saat menjalankan aksi berskala besar (aksi turun ke jalan, blokade rantai manusia, pengibaran spanduk, pertunjukkan dan teater jalanan) secara rapi.
Aksi damai ini terbukti membuat polisi di jalan-jalan Seattle kebingungan dan panik. Media massa merekam bagaimana demonstrasi damai ini diserbu oleh polisi anti huru-hara. Polisi menembakkan gas air mata, mengacungkan pentunggan, menyemprotkan semprotan pedas, dan melontarkan granat getar. Aksi ini juga membuat polisi terpaksa melakukan tindakan ilegal, sebagaimana terbukti bahwa dari 631 demonstran yang ditahan, hanya 14 orang yang sah untuk diajukan ke pengadilan. Saat aksi di Seattle itu meletus -dengan keberhasilan awal menggagalkan pembukaan sidang WTO- protes masyarakat juga membahana dari seantero Prancis, Amsterdam (Belanda), Berlin (Jerman), Buenos Aires (Argentina), Kolombo (Sri Lanka), Jenewa (Swiss), India, Manila (Filipina) dan Milan (Italia).
Media massa banyak mengangkat soal perusakan terhadap simbol-simbol kapitalis seperti Starbucks, Planet Hollywood, dan Nike. Media dinilai Sheehan berkesempatan membangkitkan kembali momok anarkisme dan menjelek-jelekkan para demonstran sebagai orang-orang sinting dan berbahaya. Namun, media massa kurang memberi porsi secara memadai pada kaum anarkis lainnya, seperti kaum pecinta damai, petani, serikat-serikat dagang, dan aktivitas lingkungan dan sebagainya, yang selama lima hari bergerak dengan amat terorganisir itu.
Pencerahan
Tulisan ini tak lebih dari semacam 'remah-remah' (bisa terasa gurih, bisa juga tidak) dari buku Anarkisme: Perjalanan Sebuah Gerakan Perlawanan karya Seán M.Sheehan, yang diterbitkan Penerbit Marjin Kiri. Semoga setelah membaca buku itu, atau sekurangnya kupasan singkatnya di sini, pengunjung blog sekalian bisa sedikit tercerahkan bahwa "anarkisme" yang sering disalahartikan oleh media massa dan para tokoh, tak lain adalah salah satu wilayah kajian tersendiri dalam tradisi ilmu filsafat.
Saya sendiri -yang hanya belajar filsafat secara 'eceran'- sekadar ingin berbagi pencerahan, agar kita tak serta merta percaya pada apa yang disebut oleh media massa, yang kadang justru menyesatkan pemirsanya. Bagi pembaca yang pernah belajar filsafat secara akademis, tentu itu tak menjadi masalah. Tetapi, bagi yang tidak atau belum ? Semoga tulisan ini bisa sedikit memberikan sumbangsihnya. Agar semangat yang coba diusung dalam tulisan ini yaitu "melawan sesat pikir anarkisme" bisa ditularkan ke sebanyak mungkin orang. Jangan terlalu mudah percaya pada media massa yang kerap "tidak tahu di tidak tahunya". Kekritisan adalah kuncinya !