26 May 2008
In Memoriam Oey Hay Djoen (18 April 1929 - 18 Mei 2008): Siapa Mau Jadi Penerjemah ?
"Ibarat kerikil yang dilempar dalam air. Jika kita genggam kerikil dan melemparnya ke air, maka permukaan air akan kacau. Tapi jika kita melempar satu kerikil ke tengah air, maka riaknya akan terus bergelombang ke tepian" (Njoto)
Perpustakaan Nasional, Salemba, Jakarta Pusat, 25 Maret. Saya tiba di gedung yang terletak di sisi utara perempatan Pramuka-Matraman-Salemba. Saya datang guna menghadiri peluncuran dan bedah buku terbitan Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto karya John Roosa, seorang profesor sejarah dari University of British Columbia, yang juga adalah penulis buku Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'État in Indonesia (University of Wisconsin Press, 2006). Telah banyak orang tiba di aula gedung itu. Saya menuju ke meja penerima tamu, untuk menandatangani daftar hadir, dan menerima satu kotak berisi makanan ringan dan air mineral. Melangkah masuk ke arah kiri, mata saya langsung tertumbuk ke arah pria sepuh yang tengah duduk di atas kursi roda. Bukan pria yang asing di mata saya. Ia tak lain adalah Oey Hay Djoen. Spontan saya menyapanya, dan ia balas dengan jabatan erat a la 'anak muda'. Saya menanyakan kabarnya, yang ia jawab "baik...baik". Ia pun menanyakan kabarku, dan kujawab dengan kalimat serupa. Tak kulihat istrinya, Jane Luyke, yang selalu setia berada di sampingnya. Mungkin, sedang berada di bagian lain ruangan itu. Ternyata, jabatan erat dari Oey siang itu adalah jabatan erat kami yang terakhir. Sepuluh hari sebelumnya, 15/3, bersama Hera dan Awi, saya turut menghadiri peluncuran buku tentang perjuangan perempuan Malaya melawan kolonialisme, Hidup Bagaikan Mengalirnya Sungai karya Agnes Kho, yang juga diterjemahkan oleh almarhum Oey.
Saat bertemu untuk terakhir kalinya di Perpusnas itu, saya tak tahu persis apa ia benar-benar masih mengingatku dengan baik. Memang, saya pernah sedikit nekat, mendatanginya rumahnya di Cibubur, September 2006 silam. Awalnya, sekitar di awal September itu seorang sahabat, Arifadi Budiarjo, mengajakku untuk datang pada peluncuran buku Kapital yang Oom Oey - begitu Oey biasa disapa - terjemahkan, di kediaman pematung kesohor Dolorosa Sinaga di seberang Carefour Tamini Square. Ia tampil sebagai pembicara bersama John Roosa. Jujur, saya tidak menguasai sama sekali topik bahasan di malam itu. Keterbatasan pengetahuan memaksa saya untuk hanya menjadi 'pendengar yang baik'. Namun, ada satu sosok yang begitu menyita perhatianku malam itu, Oey Hay Djoen. Di mata saya, ia bukan orang sembarangan. Bagaimana tidak, di usia saat itu, 77 tahun, ia mampu menerjemahkan buku kesohor karya Karl Marx setebal 929 halaman itu. Itu baru jilid pertama, sedangkan jilid keduanya berketebalan 580, dan jilid ketiga berketebalan lebih fantastis lagi, 1100 halaman !
Kekaguman, keheranan, dan keterkejutanku bertambah saat ia memberiku tiga lembar kertas berisi daftar karya pemikir-pemikir barat yang telah ia terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Di kertas yang hingga kini masih saya simpan itu, tercantum 28 buku yang telah purna ia terjemahkan. Di luar 28 buku itu, ada empat buku yang saat saya temui tengah ia garap, yaitu: Kapital Vol III, Conditions of the Working Class in England karya F.Engels setebal 400 halaman, serta dua buku lain karya Karl Marx yaitu Civil War in France, serta Class Struggles in France. Ada daftar lain, yaitu "program berikutnya", yang memuat Grundrisse (Marx), History and Class Consciousness (Georg Lukacs), Theories of Surplus Value (Marx), dan Limits of Capital (Harvey). Jika buku Agnes Kho itu ditambahkan, berarti sudah 30 lebih buku yang ia terjemahkan. Di bagian terbawah, tertera dua baris kalimat: "Nama penerjemah: SAMANDJAJA = IRA IRAMANTO = OEY HAY DJOEN". Maklum, ia digolongkan oleh kalangan militer sebagai "orang berbahaya" sehingga dengan sejumlah cara, Oey harus menyamarkan dirinya untuk tetap bisa berkarya.
Seusai acara bedah buku Kapital September 2006 itu, saya nekat mendekati almarhum dan sang istri. Saya bersama beberapa teman seperti Dian, dan juga Alex dan adiknya, Jerry, memperkenalkan diri pada almarhum. Segera saya bertanya apa saya boleh datang menemuinya. Jawaban spontan segera terlontar dari bibirnya, "Oya, silahkan. Tapi, telpon dulu sehari sebelumnya ya..." Saya senang bukan kepalang. Kebetulan, saat itu saya dan beberapa teman termasuk Arifadi, Dian, Anita, dan Alex tengah menyiapkan sebuah jurnal online yang di edisi perdananya mengangkat persoalan Peristiwa 1965. Oey langsung kubidik untuk jadi narasumber. Dan begitulah ceritanya. Singkat kata, tanggal 6 September saya bersama Alex dan Jerry bertandang ke rumahnya. Namun, karena Oey tidak punya cukup banyak waktu untuk bercerita tentang pengalamannya, kami sepakat untuk menunda wawancara hingga keesokan harinya. Saya datang sendiri dua hari sesudahnya. Dari pukul 11.15 hingga 14.15 kami berbincang di ruang tamu rumahnya. Obrolan tak berhenti ketika harus beranjak ke meja makan. Kesanku, ia sangat menghargai orangmuda yang datang untuk menemuinya. Jadilah sebuah transkrip sepanjang 14 halaman A4 yang berisi pengalamannya dipilih menjadi anggota Konstituante/DPR, diisolir oleh militer ke Pulau Buru, dan sejumlah hal lain mengenai orang muda, dan sebagainya.
Kabar kepergian Oey dari dunia fana ini kuterima dari Arifadi melalui pesan singkat pada Minggu 18 Mei sekitar pukul 10.30 saat saya berada di Kebon Jeruk. Oey meninggal di RS Carolus beberapa menit awal dini hari Minggu itu. Sekitar pukul 15.30 bersama Yohanes Prayogo (sahabatku yang juga wartawan Mingguan HIDUP) dan Arifadi meluncur ke Cibubur. Setelah mengarungi jalan raya Jakarta yang cukup lancar sore itu, kami tiba di kediaman putri dari Oey Hay Djoen, Mado, tempat jenazah disemayamkan, yang berada satu kompleks dengan rumah almarhum. Sejumlah aktivis yang juga orang-orang terdekat almarhum seperti Hilmar Farid, Agung Putri, John Roosa, dan sebagainya telah berada di tempat itu. Segera kami bertiga masuk ke dalam rumah yang berada di kompleks yang juga didiami sejumlah jenderal TNI itu. Kami menyalami istri almarhum Jane Luyke, yang pernah saya wawancara untuk HIDUP pada September 2006 untuk Sajian Utama tentang peristiwa 1965 itu. Di ruangan tengah rumah Mado, saya juga melihat Rieke Diah Pitaloka yang matanya tampak sembab. Sepertinya, ia cukup banyak menangis. Saya tak tahu pasti apa dan bagaimana hubungannya dengan keluarga almarhum.
Bernafas panjang
Sebuah pepatah usang berbunyi Gajah Mati Meninggalkan Gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia Mati meninggalkan nama. Jika kalimat itu disematkan pada almarhum Oey, tentu kita bisa membuat daftar apa saja yang telah ia "tinggalkan" bagi Indonesia, negeri yang sangat ia cintai. Sebanyak 30 lebih buku telah ia terjemahkan, sejumlah cerpen, esai dan sebagainya telah ia hasilkan sejak tahun 1950-an. Saya membayangkan, bagaimana Oey di masa kondisi tubuh yang tentu tak lagi "sehat setiap saat" masih mampu menerjemahkan belasan ribu halaman karya filsafat, sejarah, ekonomi politik, dan gerakan sosial. Sejarawan Hilmar Farid di mailing list Jambore_Kebudayaan 22 Mei 2008 menulis: "Justru dalam sepuluh terakhir, ketika kesehatannya mulai menurun, ia (Oey) mencurahkan sebagian besar waktunya untuk menerjemahkan belasan ribu halaman karya filsafat, sejarah, ekonomi politik dan gerakan sosial. Hampir seluruhnya adalah karya-karya klasik dari Marx dan Engels, ditambah beberapa buku kunci dari Rosa Luxemburg dan G.V. Plekhanov." Saya sungguh malu pada diriku sendiri yang masih kesulitan untuk sekadar membuat dua-tiga tulisan untuk blog-ku sendiri. Saya baru berusia 28 tahun, sedangkan Oey lahir di Malang, 18 April 1929 . Artinya, ia berusia 51 tahun lebih tua dariku, walau tanggal kelahiran kami cukup berdekatan, 11 hari. Betapa panjang napas yang ia punyai untuk mengerjakan itu semua. Ia juga cukup kerap menghadiri seminar ini dan itu.
Di milis itu, Hilmar Farid juga menuliskan bagaimana ia terkesan dengan persahabatan Oey yang tulus. Hilmar Farid menulis:
"Ia selalu sedia menerima kawan yang kehabisan tenaga dan semangat menghadapi tumpukan masalah. 'Kita tidak mungkin melakukan semua hal. Kemampuan kita ada batasnya. Yang penting adalah bagaimana mengorganisasi kekuatan kita yang terbatas ini.'Sering ia menyitir ucapan Njoto, sahabat dan gurunya, 'ibarat kerikil yang dilempar dalam air. Jika kita genggam kerikil dan melemparnya ke air, maka permukaan air akan kacau. Tapi jika kita melempar satu kerikil ke tengah air, maka riaknya akan terus bergelombang ke tepian.' "
Di blog ini, 23 Juli 2007, juga sudah ku-posting sebuah tulisan berjudul Oey Hay Djoen: Spirit Seorang Penerjemah. Saya menampilkan dalam tulisan itu, mengapa Oey memilih untuk menerjemahkan karya-karya Marx dan Engels. Ia ingin agar kita menggunakan metode berpikir yang dipakai Marx dan Engels, "Critical,"katanya. Ia berpandangan, Marxisme tidak menciptakan teori. Seluruh tulisan Marx adalah suatu polemik terhadap semua ilmu yang sudah ada. Jadi, ilmunya benar, tidak benar, itu yang harus dikrtisi. Marx dan Engels tidak menciptakan ilmu seperti tetes kebenaran dari langit. "Semua itu kan polemik: tesis, antitesis, sintesis. Metode berpikir inilah yang benar-benar aku gandrung supaya kita semua punyai. Jauhilah epigonisme segala macam itu. Cuma menerima, mengambil, mencangkok
dari segala sesuatu lainnya yang sudah mati itu. Ilmu harus berkembang terus," ungkapnya.
Ingin Jadi Tapol !
Peristiwa 1965 turut menyeret Oey ke Tefaat (tempat pemanfaatan) Pulau Buru, Maluku. Oey, yang diasingkan ke Pulau Buru sejak 1969, menceritakan bagaimana penduduk di Pulau Buru 'diracuni' dengan pandangan bahwa para tapol, termasuk Oey, adalah para pembunuh yang harus dihindari. Awalnya, 'pencucian otak' itu berhasil. Namun, selang 2-3 tahun ia dan beberapa rekannya berhasil menjalin kontak dengan penduduk Pulau Buru. Ia mengajari penduduk untuk bercocok tanam, membuat minyak kayu putih, bersawah, dan beberapa keterampilan lain. Kepadanya, secara sembunyi-sembunyi tentu saja, para penduduk memberikan sebuah radio transistor. Sejumlah tapol dipergoki oleh para tentara, dan langsung dihukum siksa dan sebagainya. Namun, kelincahan Oey dan beberapa rekannya berhasil mengelabui para tentara itu. "Akhirnya, kami bisa membuat suasana begitu rupa, sehingga bukan kami yang (datang) ke rakyat, tapi rakyat yang datang. Mereka pergi ke ladang-ladang kami, kami ajari mereka bagaimana bertani, bercocok tanam. Kami lebih pada melayani mereka," ia berkisah.
Menurut cerita Oey, penduduk asli di sana masih primitif. Hidupnya hanya dari mukul sagu, bikin tepung sagu. Seminggu, misalnya, atau untuk beberapa lama, mereka menganggur tidak bekerja. Paling-paling, mereka nawuh ikan di rawa-rawa. "Bukan dengan memancing. Ikannya kan bersembunyi di bawah. Itu dikeringkan, untuk makan mereka," lanjut Oey. Keterampilan demi keterampilan yang Oey dan kawan-kawan ajarkan terbukti mampu mendekatkan mereka dengan penduduk Buru waktu itu. Ia menceritakan, bagaimana ia mengajari penduduk setempat untuk memetik cabai. Oey bercerita, bahwa sebelum ia ajari, para petani cabai tidak memetik bahan baku sambal itu, melainkan mencabut pohon beserta seluruh akar-akarnya. Setelah Oey ajari, para penduduk bisa memetik cabai berkali-kali dalam setahun.
Demikian juga halnya dalam pembuatan minyak kayu putih. Sebelum ia berinteraksi dengan penduduk setempat dan mengajari mereka, dalam semalam hanya mampu dihasilkan sebotol minyak kayu putih. Setelah Oey 'turun tangan', mereka mampu menghasilkan tiga hingga empat botol ! Dalam hal penanaman padi pun setali tiga uang. Di surat-surat kabar tahun 1970-an kita bisa temukan bahwa mendadak Indonesia Timur, Maluku, menjadi lumbung padi. Darimana ? Dari Pulau Buru. Seperti sekarang juga. Waktu Pulau Buru ditinggalkan oleh para tapol tahun 1979, ribuan ternak telah mereka piara. Ribuan hektar sudah kami jadikan sawah. "Itu semua dimanfaatkan oleh militer, dijadikan daerah trasmigrasi dsb," kata Oey. Begitu dekatnya para tapol 'berideologi' (begitu Oey mengidentifikasi dirinya dan teman-temannya yang 'licin' itu) dengan penduduk setempat, sehingga sejumlah anak kecil ketika ditanya, "Ale, besok mau jadi apa?" Mereka hampir bisa dipastikan akan menjawab, "Jadi tapol !". Oey menceritakan itu pada saya sembari terbahak.
Bukan Selebriti
Penerjemah bernafas panjang itu telah tiada. Perjalanan hidupnya yang sarat dengan tekanan, hantaman dari kalangan militer, telah terhenti. Saya bertanya-tanya dalam hati, siapa kira-kira yang akan menekuni penerjemahan teks-teks "berat" di masa-masa mendatang ini. Butuh lebih dari sekadar kemampuan berbahasa asing. Diperlukan lebih dari sekadar kecerdasan untuk mempu membaca belasan ribu halaman karya filsafat, sejarah, ekonomi politik, dan gerakan sosial. Di atas itu semua, diperlukan cinta yang mendalam. Dalam pertemuanku dengan almarhum pada September 2006 itu, diceritakan bahwa sekitar tahun 1986 silam, ia didatangi sejumlah anak muda yang, menurut Oey, kemampuan berbahasa Inggrisnya "jongkok". Spontan Oey bertanya, "Apa yang bisa aku bantu ?" Di hadapan mereka saat itu tergeletak sebuah buku High Waves of Emancipation karya W.Wertheim, ilmuwan yang pernah menjadi momok bagi rezim Orde Baru. Buku itu ia terjemahkan secara 'mencicil' untuk lalu ia beri pada para mahasiswa aktivis itu, sampai buku setebal 670 halaman itu ia selesaikan. Peristiwa itu coba saya rekonstruksi dalam alam pikirku. Hanya cinta yang bisa mendorong Oey melakukan hal itu. Bisa dipastikan, ia melakukan itu tanpa mendapat bayaran.
Oey terbukti telah memainkan peranannya bagi umat manusia, sekurangnya bagi sejumlah aktivis muda di negeri ini, negeri yang para penguasanya pernah membuang Oey ke Pulau Buru. Tetapi, mungkin karena ia digolongkan "berbahaya", tidak cukup banyak media yang mengangkat peran yang telah dimainkan Oey. Bahkan, sejauh yang saya tahu, media besar Kompas atau TEMPO sama sekali tak menurunkan tulisan obituari saat ia wafat. Mungkin juga, Oey sendiri enggan untuk menjadi "ilmuwan selebriti" yang begitu kerap menjadi "banci tampil" alias haus publikasi, dengan mengisi halaman dan reportase media massa.
Oom Oey, beristirahatlah dalam damai ! Kami, generasi sekarang ini, berutang padamu. Berutang janji, untuk melanjutkan perjuanganmu. Berjuang melawan kebodohan, melawan tirani a la neo-imperialisme di negeri yang 100 tahun lalu mencanangkan Kebangkitan Nasional-nya. Tulisan ini saya buat dua hari setelah pada tengah malam 24/5 pemerintah menaikkan harga BBM hingga 29 persen. Melihat kondisi Indonesia saat ini, bisa jadi, Oey menangis di 'sana'.
Mengabdi Tanpa Sorotan
Untuk mendapatkan nuansa serta suasana bersahaja di Sekolah Melania itu, tidak perlu bantuan Doraemon untuk meneriakkan, “Mesin Pemutar Waktu”. Kalender telah berganti 81 kali, kebersahajaan masih saja mewarnai setiap karya pelayanan YMJ di bidang pendidikan, kesehatan, serta Panti Wredha.
Selasa, 20/5 di Cibitung. Hari yang cukup emosional buat saya. Pukul 04.30 saya bangun tanpa harus menunggu ibuku menggedor pintu kamar, sebagaimana biasanya. Bergegas kubuka pintu kamar dan meraih handuk biru tebal yang menggantung di tali jemuran di sisi belakang rumahku. Segera kumandi di pagi yang tak terlalu dingin itu. Dalam waktu satu jam saya berpakaian, menyantap sarapan, dan tiba di Stasiun (tepatnya, perhentian) Kereta Api Cibitung, tapi ternyata saya tak mampu mengejar kereta yang telah bergerak perlahan tapi pasti. Terpaksa, saya harus menggunakan jasa supir bus untuk mengantar ke Gedung Aneka Bhakti I, Departemen Sosial RI, yang letaknya bersebelahan di Salemba, kurang 500 meter dari SMA 68 dan RS Carolus yang tersohor itu.
Bukan tanpa alasan, saya begitu excited dan agak emosional pagi itu. Hari ini adalah resepsi peringatan 50 tahun Yayasan Melania Jakarta (YMJ). Kusebut emosional karena hasil kerja kerasku dalam mewawancarai sejumlah orang sejak November 2006 akhirnya berbuah. Bagaimana rasa “buah” itu, persoalan lain. Malam sebelumnya, hatiku tak tenang karena sang desainer yang berurusan dengan pihak percetakan buku itu mengabarkan via SMS bahwa baru antara pukul 20-21 tanggal 19/5 malam, buku akan tiba di kantor YMJ di Rawasari. Saya membatin, semoga tak ada sesuatu menimba mobil pengangkut, yang bisa menghalangi tibanya buku itu. Keesokan paginya, Joseph dan Manto, dua karyawan YMJ yang selalu dengan ramah menyapa saya menceritakan mereka harus lembur menunggu buku yang tiba sekitar 30 menit sebelum tanggal 19/2 berakhir, alias 23.30. Namun, alhamdulilah, buku yang diberi judul Karya Cinta: Lima Puluh Tahun Peziarahan Melania Jakarta itu tiba dengan selamat di Jakarta, dan bisa dibagikan secara simbolis kepada beberapa ‘orang penting’ di acara syukuran di Depsos itu.
Keterlibatanku dengan para Melanian itu berawal ketika Romo Greg Soetomo SJ (Pemimpin Redaksi Majalah HIDUP) sekitar bulan November 2006 menawariku untuk membantu A.Sandiwan Suharto (Pemimpin Perusahaan Majalah HIDUP) dalam penulisan buku Melania. Dalam hitungan detik, tawaran Romo Greg via pesan pendek itu segera kubalas dengan “Ya”. Tanpa basa-basi, tanpa berpikir berapa honor yang bakal kutangguk dari situ. Motifku hanya satu, mencari pengalaman menulis buku. Itulah mengapa, buku ini sedikit punya makna emosional, karena ... maklum, pertama nih booo...
Ibarat proses memasak, dalam proyek ini saya bertugas untuk “berbelanja”. Saya mewawancara para pengurus dan mantan pengurus yayasan, sejumlah pribadi yang bekerja di unit-unit layanan, serta sejumlah pemangku kepentingan lainnya. Setelah “berbelanja” saya menyerahkan hasil pekerjaanku pada sang “chef” , Sandiwan Suharto, untuk dimasak. Bersyukur, saya diberinya kepercayaan untuk turut “meramu” sejumlah bahan yang telah saya “beli”. Setelah saya “masak”, akan diberi penyedap dan sebagainya oleh bos-ku itu.
Tak perlu Doraemon
Membuka buku Kenangan 50 Tahun Karya Melania di Jakarta yang dicetak tahun 1977, tak ubahnya mereka-reka kembali kepingan-kepingan peristiwa cikal-bakal karya YMJ. Sejumlah foto hitam putih menampilkan murid-murid beserta guru di masa-masa itu. Tertulis pula di situ, tanggal 12 Mei 1927, Perkumpulan Sosial St.Melania Cabang Batavia (Jakarta) memulai usahanya yang pertama, dengan membuka Sekolah Melania pertama khusus puteri, di daerah Weltevreden (Standaardschool, Kebon Jeruk). Bangunannya masih terbuat dari gedek (anyaman bambu) dan berada di tengah-tengah kampung. Di bangunan nan sederhana itulah 40 murid dan seorang guru berada.
Di tahun 1927 itu pula, Yayasan Melania didirikan oleh ibu-ibu Belanda bersama dengan ibu-ibu alumni Normaalschool (SGB) Mendut Jawa Tengah. Hal itu ditandai dengan membuka Volkschool (SD kelas 1 hingga 3) pertama di Kebun Jeruk Mangga Besar disusul Voekschool yang kedua di Kramat tahun 1933 kemudian dipindah ke Salemba.
Pada masa pendudukan Jepang, kegiatan sekolah ini dikelola oleh Keuskupan Agung Jakarta/Strada. Dan pada tahun 1958 kembali dikelola oleh ibu-ibu pengurus Melania. Ciri khas yang masih dipertahankan hingga kini adalah, semua pengurus di YMJ adalah Wanita-Awam-Katolik. Kaum adam "hanya" dilibatkan di posisi-posisi lain di luar yayasan.
Pada tahun 17 Mei 1958, YMJ resmi mendapatkan status badan hukum sipil Indonesia sebagai kelanjutan dari "Het Melania Werk voor Java" atau Karya Santa Melania untuk Jawa, yang pada 1928 didirikan di Yogyakarta oleh ibu-ibu Katolik lulusan sekolah Mendut. Sejatinya, sudah sejak 1921 ibu-ibu Katolik berkebangsaan Belanda merintis karya itu dengan tujuan untuk meningkatkan derajat dan kemampuan perempuan pribumi dalam mempersiapkan diri berumah tangga.
Untuk mendapatkan nuansa serta suasana bersahaja di Sekolah Melania itu, tidak perlu bantuan Doraemon untuk meneriakkan, “Mesin Pemutar Waktu”. Kalender telah berganti 81 kali, kebersahajaan masih saja mewarnai setiap karya pelayanan YMJ di bidang pendidikan, kesehatan, serta Panti Wredha.
Tengoklah TK-SD-SMP Melania yang berada tak jauh dari Jembatan Serong, Rawasari, Jakarta Pusat. Sangat kontras, jika kita membandingkannya dengan Kolese Kanisius di Menteng, yang juga didirikan pada 1927 oleh para Yesuit. Atau dengan sekolah-sekolah yang dikelola para biarawati Ursulin di Jakarta, dan berbagai kota lain. Jika di sekolah yang disebut pertama, halaman mereka melulu diisi oleh belasan motor, bandingkan dengan Kolese Kanisius di Menteng yang setiap hari selalu “memajang” belasan mobil milik orangtua murid, tamu dan atau guru. Yah, sudah bukan rahasia lagi kalau Kolese Kanisius sudah menghasilkan sejumlah ‘orang’ di republik ini. Sebut saja: Akbar Tanjung, Fauzi Bowo, Rhenald Kasali, Sarwono Kusumaatmadja, Wimar Witoelar, dan sederet nama beken lain. Artinya, hanya murid dari kalangan A (kelas 1) yang bisa mendapat kursi di sekolah yang bermarkas di Menteng Raya itu. Diferensiasi diangkat di sini semata untuk memotret sekilas profil dua institusi pendidikan Katolik yang berusia “sebaya”, namun “berbeda wajah”.
Lebih miris lagi, YMJ pada 1998 terpaksa harus menutup SMA Santa Melania di Rawasari yang telah berjalan delapan tahun. Pada tahun itu, jumlah murid yang terdaftar tak memenuhi syarat yang ditentukan pemerintah, kurang 16 orang per kelas. Setelah semua murid kelas 3 lulus, murid kelas 1 dan kelas 2 dipindahkan ke sekolah lain. “Dengan berat hati, sekolah pun ditutup,” kata Theresia Sri Lestari Sadiman, Ketua Bidang Pendidikan YMJ saat itu. Setali tiga uang, dengan Sekolah Rawasari, kesederhanaan juga masih menjadi warna mencolok di Sekolah Mangga Besar, TK-SD-SMP. Bisakah kita membayangkan, bagaimana perasaan para pengurus YMJ saat memutuskan itu. Pastilah sangat emosional: sedih, malu, merasa bersalah, dan entah apa lagi.
Bukan Selebriti
“Melania ? Apaan, tuh ?” Hampir setiap orang menanyakan pertanyaan ‘singkat tapi dalam’ itu, setiap kali saya bercerita bahwa saya tengah menulis buku sejarah YMJ. Tak terlalu mengherankan, karena saya sendiri mungkin tak akan pernah tahu ada YMJ, sekiranya tak terlibat dalam penulisan buku itu.
Bagiku, hal itu merefleksikan satu hal bahwa kita kerap membelalakkan mata saat melihat sesuatu yang dibangun dengan penuh kemewahan, fasilitas yang first class, dikelola oleh para pejabat, selebriti, atau tokoh masyarakat. Media cenderung untuk mengedepankan ‘who’ ketimbang ‘what’ untuk hal-hal di ranah publik. Singkatnya, “Siapa yang menggarap ?”, lebih dianggap penting, ketimbang “Apa yang digarap ?”.
Konservatisme versus Progresivitas
Saya sungguh mengacungkan dua jempol pada para srikandi yang bersedia meluangkan waktu tanpa dibayar di YMJ, selama bertahun-tahun. Kalender sudah berganti 81 kali, ‘cuaca’ dan ‘musim’ sosial politik, sosial ekonomi, sosial budaya, berulang kali berubah, sejak para mephreuw merintis karya mulia ini. Namun, YMJ masih tetap berdiri dengan segala keterbatasannya.
Peran sekurangnya tiga Uskup Agung Jakarta, Mgr. Adrianus Djajasepoetra SJ, Mgr.Leo Soekoto SJ, dan Yulius Kardinal Darmaatmadja SJ, benar-benar menjadi warna bagi Melania. Tantangannya, para melanian harus menghidupi tegangan antara konservatisme dan progresivitas. Mempertahankan nilai-nilai inti adalah wajib hukumnya. Sementara kita juga harus menatap maju menghadapi tantangan zaman yang tak akan pernah mudah.
Melanian, terima kasih. Dari mereka saya belajar tentang kesederhanaan. Dari mereka saya menimba spirit man/woman for others. Di tengah dunia yang sangat narsistik, Melania tetap tampil low profile. Saya percaya, dan semoga memang demikian, jika ada orang yang mau mengabdikan dirinya tanpa sorotan media massa, sesungguhnya itulah makna pengabdian yang hakiki. Bandingkan dengan para politisi yang kerap kehausan publikasi setiap kali memberi sumbangan bagi rakyat kecil. Bandingkan dengan sejumlah tokoh yang tengah bersiap menyongsong perhelatan politik 2009 atau 2004 lalu. Saya hanya bisa bilang, caaapeee deh...
Subscribe to:
Posts (Atom)