26 May 2008

Mengabdi Tanpa Sorotan


Untuk mendapatkan nuansa serta suasana bersahaja di Sekolah Melania itu, tidak perlu bantuan Doraemon untuk meneriakkan, “Mesin Pemutar Waktu”. Kalender telah berganti 81 kali, kebersahajaan masih saja mewarnai setiap karya pelayanan YMJ di bidang pendidikan, kesehatan, serta Panti Wredha.

Selasa, 20/5 di Cibitung. Hari yang cukup emosional buat saya. Pukul 04.30 saya bangun tanpa harus menunggu ibuku menggedor pintu kamar, sebagaimana biasanya. Bergegas kubuka pintu kamar dan meraih handuk biru tebal yang menggantung di tali jemuran di sisi belakang rumahku. Segera kumandi di pagi yang tak terlalu dingin itu. Dalam waktu satu jam saya berpakaian, menyantap sarapan, dan tiba di Stasiun (tepatnya, perhentian) Kereta Api Cibitung, tapi ternyata saya tak mampu mengejar kereta yang telah bergerak perlahan tapi pasti. Terpaksa, saya harus menggunakan jasa supir bus untuk mengantar ke Gedung Aneka Bhakti I, Departemen Sosial RI, yang letaknya bersebelahan di Salemba, kurang 500 meter dari SMA 68 dan RS Carolus yang tersohor itu.
Bukan tanpa alasan, saya begitu excited dan agak emosional pagi itu. Hari ini adalah resepsi peringatan 50 tahun Yayasan Melania Jakarta (YMJ). Kusebut emosional karena hasil kerja kerasku dalam mewawancarai sejumlah orang sejak November 2006 akhirnya berbuah. Bagaimana rasa “buah” itu, persoalan lain. Malam sebelumnya, hatiku tak tenang karena sang desainer yang berurusan dengan pihak percetakan buku itu mengabarkan via SMS bahwa baru antara pukul 20-21 tanggal 19/5 malam, buku akan tiba di kantor YMJ di Rawasari. Saya membatin, semoga tak ada sesuatu menimba mobil pengangkut, yang bisa menghalangi tibanya buku itu. Keesokan paginya, Joseph dan Manto, dua karyawan YMJ yang selalu dengan ramah menyapa saya menceritakan mereka harus lembur menunggu buku yang tiba sekitar 30 menit sebelum tanggal 19/2 berakhir, alias 23.30. Namun, alhamdulilah, buku yang diberi judul Karya Cinta: Lima Puluh Tahun Peziarahan Melania Jakarta itu tiba dengan selamat di Jakarta, dan bisa dibagikan secara simbolis kepada beberapa ‘orang penting’ di acara syukuran di Depsos itu.
Keterlibatanku dengan para Melanian itu berawal ketika Romo Greg Soetomo SJ (Pemimpin Redaksi Majalah HIDUP) sekitar bulan November 2006 menawariku untuk membantu A.Sandiwan Suharto (Pemimpin Perusahaan Majalah HIDUP) dalam penulisan buku Melania. Dalam hitungan detik, tawaran Romo Greg via pesan pendek itu segera kubalas dengan “Ya”. Tanpa basa-basi, tanpa berpikir berapa honor yang bakal kutangguk dari situ. Motifku hanya satu, mencari pengalaman menulis buku. Itulah mengapa, buku ini sedikit punya makna emosional, karena ... maklum, pertama nih booo...
Ibarat proses memasak, dalam proyek ini saya bertugas untuk “berbelanja”. Saya mewawancara para pengurus dan mantan pengurus yayasan, sejumlah pribadi yang bekerja di unit-unit layanan, serta sejumlah pemangku kepentingan lainnya. Setelah “berbelanja” saya menyerahkan hasil pekerjaanku pada sang “chef” , Sandiwan Suharto, untuk dimasak. Bersyukur, saya diberinya kepercayaan untuk turut “meramu” sejumlah bahan yang telah saya “beli”. Setelah saya “masak”, akan diberi penyedap dan sebagainya oleh bos-ku itu.

Tak perlu Doraemon
Membuka buku Kenangan 50 Tahun Karya Melania di Jakarta yang dicetak tahun 1977, tak ubahnya mereka-reka kembali kepingan-kepingan peristiwa cikal-bakal karya YMJ. Sejumlah foto hitam putih menampilkan murid-murid beserta guru di masa-masa itu. Tertulis pula di situ, tanggal 12 Mei 1927, Perkumpulan Sosial St.Melania Cabang Batavia (Jakarta) memulai usahanya yang pertama, dengan membuka Sekolah Melania pertama khusus puteri, di daerah Weltevreden (Standaardschool, Kebon Jeruk). Bangunannya masih terbuat dari gedek (anyaman bambu) dan berada di tengah-tengah kampung. Di bangunan nan sederhana itulah 40 murid dan seorang guru berada.
Di tahun 1927 itu pula, Yayasan Melania didirikan oleh ibu-ibu Belanda bersama dengan ibu-ibu alumni Normaalschool (SGB) Mendut Jawa Tengah. Hal itu ditandai dengan membuka Volkschool (SD kelas 1 hingga 3) pertama di Kebun Jeruk Mangga Besar disusul Voekschool yang kedua di Kramat tahun 1933 kemudian dipindah ke Salemba.
Pada masa pendudukan Jepang, kegiatan sekolah ini dikelola oleh Keuskupan Agung Jakarta/Strada. Dan pada tahun 1958 kembali dikelola oleh ibu-ibu pengurus Melania. Ciri khas yang masih dipertahankan hingga kini adalah, semua pengurus di YMJ adalah Wanita-Awam-Katolik. Kaum adam "hanya" dilibatkan di posisi-posisi lain di luar yayasan.
Pada tahun 17 Mei 1958, YMJ resmi mendapatkan status badan hukum sipil Indonesia sebagai kelanjutan dari "Het Melania Werk voor Java" atau Karya Santa Melania untuk Jawa, yang pada 1928 didirikan di Yogyakarta oleh ibu-ibu Katolik lulusan sekolah Mendut. Sejatinya, sudah sejak 1921 ibu-ibu Katolik berkebangsaan Belanda merintis karya itu dengan tujuan untuk meningkatkan derajat dan kemampuan perempuan pribumi dalam mempersiapkan diri berumah tangga.
Untuk mendapatkan nuansa serta suasana bersahaja di Sekolah Melania itu, tidak perlu bantuan Doraemon untuk meneriakkan, “Mesin Pemutar Waktu”. Kalender telah berganti 81 kali, kebersahajaan masih saja mewarnai setiap karya pelayanan YMJ di bidang pendidikan, kesehatan, serta Panti Wredha.
Tengoklah TK-SD-SMP Melania yang berada tak jauh dari Jembatan Serong, Rawasari, Jakarta Pusat. Sangat kontras, jika kita membandingkannya dengan Kolese Kanisius di Menteng, yang juga didirikan pada 1927 oleh para Yesuit. Atau dengan sekolah-sekolah yang dikelola para biarawati Ursulin di Jakarta, dan berbagai kota lain. Jika di sekolah yang disebut pertama, halaman mereka melulu diisi oleh belasan motor, bandingkan dengan Kolese Kanisius di Menteng yang setiap hari selalu “memajang” belasan mobil milik orangtua murid, tamu dan atau guru. Yah, sudah bukan rahasia lagi kalau Kolese Kanisius sudah menghasilkan sejumlah ‘orang’ di republik ini. Sebut saja: Akbar Tanjung, Fauzi Bowo, Rhenald Kasali, Sarwono Kusumaatmadja, Wimar Witoelar, dan sederet nama beken lain. Artinya, hanya murid dari kalangan A (kelas 1) yang bisa mendapat kursi di sekolah yang bermarkas di Menteng Raya itu. Diferensiasi diangkat di sini semata untuk memotret sekilas profil dua institusi pendidikan Katolik yang berusia “sebaya”, namun “berbeda wajah”.
Lebih miris lagi, YMJ pada 1998 terpaksa harus menutup SMA Santa Melania di Rawasari yang telah berjalan delapan tahun. Pada tahun itu, jumlah murid yang terdaftar tak memenuhi syarat yang ditentukan pemerintah, kurang 16 orang per kelas. Setelah semua murid kelas 3 lulus, murid kelas 1 dan kelas 2 dipindahkan ke sekolah lain. “Dengan berat hati, sekolah pun ditutup,” kata Theresia Sri Lestari Sadiman, Ketua Bidang Pendidikan YMJ saat itu. Setali tiga uang, dengan Sekolah Rawasari, kesederhanaan juga masih menjadi warna mencolok di Sekolah Mangga Besar, TK-SD-SMP. Bisakah kita membayangkan, bagaimana perasaan para pengurus YMJ saat memutuskan itu. Pastilah sangat emosional: sedih, malu, merasa bersalah, dan entah apa lagi.

Bukan Selebriti
“Melania ? Apaan, tuh ?” Hampir setiap orang menanyakan pertanyaan ‘singkat tapi dalam’ itu, setiap kali saya bercerita bahwa saya tengah menulis buku sejarah YMJ. Tak terlalu mengherankan, karena saya sendiri mungkin tak akan pernah tahu ada YMJ, sekiranya tak terlibat dalam penulisan buku itu.
Bagiku, hal itu merefleksikan satu hal bahwa kita kerap membelalakkan mata saat melihat sesuatu yang dibangun dengan penuh kemewahan, fasilitas yang first class, dikelola oleh para pejabat, selebriti, atau tokoh masyarakat. Media cenderung untuk mengedepankan ‘who’ ketimbang ‘what’ untuk hal-hal di ranah publik. Singkatnya, “Siapa yang menggarap ?”, lebih dianggap penting, ketimbang “Apa yang digarap ?”.

Konservatisme versus Progresivitas
Saya sungguh mengacungkan dua jempol pada para srikandi yang bersedia meluangkan waktu tanpa dibayar di YMJ, selama bertahun-tahun. Kalender sudah berganti 81 kali, ‘cuaca’ dan ‘musim’ sosial politik, sosial ekonomi, sosial budaya, berulang kali berubah, sejak para mephreuw merintis karya mulia ini. Namun, YMJ masih tetap berdiri dengan segala keterbatasannya.
Peran sekurangnya tiga Uskup Agung Jakarta, Mgr. Adrianus Djajasepoetra SJ, Mgr.Leo Soekoto SJ, dan Yulius Kardinal Darmaatmadja SJ, benar-benar menjadi warna bagi Melania. Tantangannya, para melanian harus menghidupi tegangan antara konservatisme dan progresivitas. Mempertahankan nilai-nilai inti adalah wajib hukumnya. Sementara kita juga harus menatap maju menghadapi tantangan zaman yang tak akan pernah mudah.
Melanian, terima kasih. Dari mereka saya belajar tentang kesederhanaan. Dari mereka saya menimba spirit man/woman for others. Di tengah dunia yang sangat narsistik, Melania tetap tampil low profile. Saya percaya, dan semoga memang demikian, jika ada orang yang mau mengabdikan dirinya tanpa sorotan media massa, sesungguhnya itulah makna pengabdian yang hakiki. Bandingkan dengan para politisi yang kerap kehausan publikasi setiap kali memberi sumbangan bagi rakyat kecil. Bandingkan dengan sejumlah tokoh yang tengah bersiap menyongsong perhelatan politik 2009 atau 2004 lalu. Saya hanya bisa bilang, caaapeee deh...


No comments:

Fransiskus Pascaries