Hari Pahlawan. Hari ini kita kembali mengenang jasa-jasa para pahlawan kita. Di antara sekian banyak nama pahlawan, sosok satu ini sungguh malang. Meski sudah dianugerahi gelar pahlawan kemerdekaan nasional oleh Presiden Soekarno sejak 28 Maret 1963, penghargaan padanya terbilang sangat minim. Jangankan memiliki ‘rumah’ di Taman Makam Pahlawan. Keberadaan makamnya di Desa Selopanggung pun belum bisa dipastikan, meski beberapa pekan lalu pembongkaran makamnya sudah digelar. Selama puluhan tahun, namanya tersingkir dari buku-buku sejarah. Begitu banyak generasi muda (juga generasi tua?) yang tak mengenal nama ini. Tetapi, tak bisa dipungkiri, ia, Ibrahim Datuk Tan Malaka, tetaplah pahlawan, dengan atau tanpa Keputusan Presiden.
Majalah Tempo Edisi Khusus Hari Kemerdekaan tahun 2008 itu akhirnya bisa berada dalam genggaman sekitar dua bulan lalu. Saya sempat memburunya ke sejumlah tempat, tapi nihil. Perburuan itu berakhir, ketika akhirnya seorang teman, yang tahu saya pernah memburu majalah itu, dan gagal, berbaik hati untuk membelikan majalah itu di penjual majalah bekas di salah satu sudut Jakarta. Satu nama yang menjadi alasan saya untuk mendapatkan majalah itu: Tan Malaka! Bukan yang lain!
Kenapa “Che” ?
Sosok Tan Malaka, yang di bulan Oktober 1932 pernah menaklukkan dua polisi Hongkong yang akan menangkapnya di Kowloon dengan jurus-jurus Kungfu, mulai memadati ruang otak saya beberapa tahun belakangan ini. Nama itu sepertinya pernah singgah barang sejenak dua jenak di otak saya ketika SMA, meski hanya sepintas lalu. Tan Malaka, yang total sudah menjelajah di 11 negara di dua benua (setara dengan dua kali keliling bumi). Jarak 89 ribu kilometer yang ditempuhnya itu dua kali lebih jauh dibandingkan jarak yang ditempuh superhero Amerika Latin, Ernesto “Che” Guevarra. Tapi, sepertinya lebih banyak dari kita yang mengenakan baju bergambar “Che”, daripada baju bergambar Tan. Meski belum tentu orang yang mengenakan baju dengan gambar pria gondrong bernama “Che” itu paham siapa sebenarnya "Che".
Tan mulai menjadi ‘prioritas’ ketika saya berkenalan dengan mantan petinggi Kompas, Pak Swantoro, yang pertama kali saya temui pada 13 Mei 2007 untuk keperluan wawancara Majalah Hidup. Pak Swan akhirnya tak bersedia saya wawancara karena ini dan itu. Tetapi satu yang membuat saya senang, ia bersedia melayani saya untuk berbincang ngalor-ngidul tentang banyak topik selama tak kurang dari tiga jam di ruang baca, yang berada di lantai dua rumahnya di Kompleks PWI, Cipinang, Jakarta Timur. Sepulang dari pertemuan pertama itu saya mendapat hadiah dari Pak Swan: buku berjudul Dari Buku ke Buku, Sambung Menyambung Menjadi Satu dan dua buku lain. Di buku itulah saya mulai berkenalan dengan sosok Tan Malaka. Terima kasih untuk Pak Swan, karena sudah memberi saya jalan untuk mengenal orang yang sudah bertahun-tahun ditepikan dari panggung sejarah republik ini. Padahal, Muhammad Yamin menjulukinya sebagai Bapak Republik Indonesia, sedangkan Presiden Soekarno menyebutnya sebagai “seorang yang mahir dalam revolusi.”
Tapi, ironisnya, seperti diteliti dan dicatat oleh sejarawan Harry A Poeze, hidup Tan Malaka harus berakhir di ujung bedil serdadu republik yang sangat ia cintai, Republik Indonesia. Menurut Poeze, Tan meregang nyawa setelah peluru menembus raganya di Dusun Selopanggung, Semen, Kediri, 21 Februari 1949. Tan ditembak atas perintah Letda Soekotjo dari Batalion Sikatan bagian Divisi IV Jawa Timur. Soekotjo ini mengakhiri karir militernya dengan pangkat jenderal bintang satu, dan pernah beberapa tahun menjadi Wali Kota Surabaya. Peluru itu mengakhiri hidup Tan, orang pertama (bukan Soekarno, bukan Hatta, bukan Syahrir) yang mengusung ide republik, dalam bukunya Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) tahun 1924.
Inspirasi untuk Indonesia Raya
Kita hampir selalu menyebut Soekarno, Mohammad Hatta, dan sejumlah tokoh lain saat membahas sejarah Indonesia, terutama dalam kaitannya dengan perjuangan merebut kemerdekaan dari imperialisme asing. Selama puluhan tahun nama Tan Malaka tak pernah mengisi lembaran buku-buku sejarah perjuangan bangsa merebut kemerdekaan. Di era Soeharto, murid SD hingga mahasiswa di perguruan tinggi selalu dijauhkan dari tokoh ini. Di era pasca-ordebaru pun, belum banyak buku pelajaran di sekolah (dan perguruan tinggi?) yang memberi tempat pada nama Tan Malaka. Meski kita juga tak bisa menutup mata, bahwa di era keterbukaan informasi ini, buku-buku, majalah, dan kajian mengenai Tan Malaka bisa jauh lebih mudah kita dapatkan.
Sungguh ironis. Seorang yang tercatat menjadi pelopor ide Republik Indonesia ini justru tersapu dari panggung sejarah bangsa yang begitu ia cintai. Padahal, buku Naar de Republiek dan juga Massa Act (1926) menjadi ‘bensin ideologis’ bagi Soekarno dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia. Saat memimpin Klub Debat di Bandung semasa mahasiswa, Soekarno menjadikan Massa Actie sebagai sumber inspirasi. Dan, yang juga perlu dicatat, salah satu tuduhan yang memberatkan Soekarno saat harus diadili di Landraat Bandung tahun 1931 adalah: menyimpan buku terlarang berjudul Massa Actie ! Buku ini akhirnya juga turut mengilhami pledoi Soekarno yang kondang itu, Indonesia Menggugat.
Tak hanya Soekarno. Saat menciptakan lagu Indonesia Raya WR Supratman juga ‘dirasuki’ spirit Massa Actie goresan tangan Tan Malaka itu. Ke dalam syair lagu itu ia memasukkan kalimat “Indonesia tanah tumpah darahku” setelah membaca bab terakhir dari Massa Actie, yang bertajuk “Khayal Seorang Revolusioner.” Di situ Tan Malaka menulis, “Di muka barisan laskar, itulah tempatmu berdiri… Kewajiban seorang yang tahu kewajiban putra tumpah darahnya.”
Saya ingin sedikit berandai-andai. Meski saya sadar, mungkin saya juga bisa dicap lebay alias berlebihan. Apa yang ada di pikiran Tan Malaka ‘di sana’ sekarang? Ya, sekarang. Saat bangsa ini tak kunjung merdeka 100 persen. Mungkin ia akan bersedih dan murka. Barangkali, ia akan menggalang massa (seperti yang pernah ia lakukan saat menggalang massa dalam rapat besar di Lapangan Ikada, dua hari setelah proklamasi 1945) untuk melakukan perlawanan. Yang pasti, ia akan marah, sangat marah bahkan, karena melihat betapa republik yang ia cintai ini dengan begitu mudahnya dikangkangi oleh kepentingan imperialis asing. Bahkan, sejumlah petinggi di sini seperti ‘mempersilahkan’ kekuatan imperialis itu masuk, agar mereka ikut ‘kecipratan’ rezeki. Hasilnya, kekayaan alam kita banyak dikeruk. Melambungnya harga minyak dunia, misalnya, justru tak pernah dinikmati manfaatnya oleh sebanyak-banyaknya kalangan masyarakat. Hanya mudaratnya saja yang hadir di sini. Sejak Presiden Soekarno disingkirkan oleh kekuatan barat, di saat itulah Indonesia menjadi negeri yang siap sedia ‘menjamu para penjarah’.
Tan, yang oleh mantan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono dinilai sebagai satu-satunya pimpinan teladan yang benar-benar konsekuen di Indonesia, juga pasti marah seandainya melihat sendiri bagaimana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dikeroyok ‘buaya’ dan ‘godzilla’. Dulu Tan dan pejuang lain melawan imperialisme asing (yang menggunakan kekuatan dalam negeri untuk membunuh Tan), tapi kini imperialisme dilakukan oleh orang-orang Indonesia sendiri yang disponsori pihak asing. Kemerdekaan seratus persen yang dulu ia teriakkan bersama Jenderal Soedirman sampai kini belum juga mewujud. Bahkan, kemunduran demi kemunduran semakin terlihat jelas: korupsi merajalela, aparat hukum ‘berselingkuh’ dengan para cukong dan kriminal yang berperkara, dan sejumlah contoh lain.
Tan pun, dalam mewujudkan sikap Merdeka 100%, pernah bersitegang dengan Soekarno selaku presiden, yang hanya berbasa-basi menolak Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Desember 1949. Belanda tahu benar bahwa Soekarno hanya berpura-pura, karena faktanya utang Hindia Belanda sebesar 4,3 miliar gulden yang dibebankan kepada RIS tetap dipatuhi oleh Republik. Itulah sebabnya, baru pada 17 Agustus 2005 ada perwakilan Belanda yang turut hadir dalam peringatan kemerdekaan RI di Istana Negara. Terang saja, karena utang Hindia Belanda sudah lunas dibayar.
Bagian refrain dari lagu d’Masiv berjudul Diam Tanpa Kata bisa menjadi cermin dari apa yang ada di benak Tan Malaka lebih dari sepuluh windu lalu. Simak saja,
Kau takkan pernah sadari / betapa ku mencintaimu / kau yang selalu aku banggakan // Kau takkan pernah mengerti / betapaku menyayangimu/ kau yang selalu aku inginkan //
Selama ini, kita mungkin tak pernah menyadari, betapa Tan mencintai Indonesia. Indonesia yang selalu ia banggakan. Betapa ia ingin agar negeri ini Merdeka 100 persen!
Atau, jangan-jangan d’Masiv terinspirasi oleh Tan Malaka saat menciptakan lagu Diam Tanpa Kata. Ah, lebay deh...
Sumber bacaan:
1) Majalah TEMPO Edisi Khusus Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2008
2) P. Swantoro, Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu (Jakarta, Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) bekerjasama dengan Rumah Budaya TEMBI, 2002)
3) Harry A. Poeze, Memuliakan, Mengutuk, dan Mengangkat Kembali Pahlawan Nasional: Kasus Tan Malaka, dalam Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (editor), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia-KITLV-Pustaka Larasan, 2008)
1 comment:
Diam tanpa kata :). Cerita tan malaka ini bisa sedikit memberi gambaran lagi tentang siapa itu Tan Malaka:). Semangat!!!
Post a Comment