Beberapa bulan belakangan ini, perhatian bapak dan ibu saya tersedot ke sekurangnya dua kasus: kriminalisasi dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi -Bibit S Rianto dan Chandra Hamzah- serta perseteruan antara Prita Mulyasari dan RS Omni International, Tangerang. Mereka selalu geram, setiap kali mendengar dan melihat melalui situs berita atau televisi, pemberitaan demi pemberitaan seputar dua kasus ini. Di masa pensiunnya, bapak selalu mengisi waktunya untuk memantau situs-situs berita dan televisi untuk mengikuti perkembangan kasus ini, jam demi jam. Sementara ibu saya kerap beranjak dari dapur dan meracik bumbu dapur di depan televisi di ruang tengah, saking tak ingin melewatkan momen-momen terkuaknya kebobrokan aparat hukum di negeri ini. Diputarnya rekaman bukti 'perselingkuhan' antara Anggodo-Anggoro dengan para penegak hukum, dalam persidangan uji materil di Mahkamah Konstitusi menjadi menu yang tak ingin mereka lewatkan.
Betapa tidak, dua kasus ini suatu tontonan yang (cukup) langka di republik ini. Buntutnya, masyarakat secara terang-terangan menunjukkan ketidakpercayaan mereka pada lembaga-lembaga peradilan. Sepertinya, tidak ada satupun penghalang yang mengurungkan niat masyarakat untuk menyuarakan rasa muak, jenuh, amarah pada aparat penegak hukum, yang ironisnya justru tidak pernah membuat hukum berdiri tegak. Tak berlebihan tentu, apa yang disampaikan Soetandyo Wignyosoebroto , bahwa “kepada yang lemah, hukum berlaku sangat keras. Sedangkan kepada yang kuat, hukum menjadi sangat lembek.”
Masyarakat dari beragam strata sosial di republik ini seperti sudah satu suara, bahwa ketidakadilan di republik ini sudah mencapai titik yang sangat mengkhawatirkan. Tidak hanya kalangan terdidik seperti mahasiswa dan aktivis LSM, sudah amat paham bahwa perlawanan harus dilakukan, dengan cara apapun yang mungkin, sejauh tidak destruktif.
Penyair Adhie M Massardi dalam sajak bertajuk Negeri Para Bedebah meyakini, ada bermacam cara untuk melawan. Katanya dalam sajak itu, “Maka bila negerimu dikuasai para bedebah, Usirlah mereka dengan revolusi Bila tak mampu dengan revolusi, Dengan demonstrasi Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi .” Dan para tukang becak, pemulung, dan kalangan akar rumput lain, melakukan perlawanan dengan cara mereka masing-masing. Mereka mengumpulkan koin untuk Prita Mulyasari. Mereka melakukan itu dengan motif “senasib sepenanggungan”. Kalau di masa kampanye pemilu mereka umumnya menjadi sasaran 'serangan fajar' para politisi, tapi kali ini dengan penuh kesadaran mereka justru mengumpulkan koin demi koin yang biasa mereka belikan sandang-pangan-papan untuk Prita.
Seorang pemulung bernama Mundala (65) bahkan mengumpulkan uang receh, yang ia kumpulkan bersama rekan-rekannya di komunitas pemulung Srengseng Sawah, Jakarta. Dengan penuh kesadaran ia berkata, "“Orang pakai e-mail, kenapa mesti dicecar? Tapi kalau kasus Century, enak-enak saja,” ujarnya. Kasus Century yang awalnya hanya masuk ke alam sadar kalangan elit (intelektual - pebisnis), ternyata sudah sedemikian melekat di benak rakyat jelata seperti Mundala. Meski tak mengenal Prita secara langsung, Mundala mengaku, ia mewakili rekan-rekannya menyumbang karena panggilan hati. Sebagai sesama orang kecil, mereka melihat kurangnya keadilan bagi masyarakat kecil.
Chico Mendes
Kisah perlawanan rakyat jelata melawan rezim lalim ini bukan hanya ada di Indonesia. Akhir tahun 1988, petani karet di Brasil melakukan perlawanan yang begitu solid melawan rezim diktatorial, meski untuk itu nyawa seorang Chico Mendes harus menjadi tumbal. Ia harus meregang nyawa, karena menjadi motor gerakan perlawanan para petani karet di hutan Amazon. Beberapa hari sebelum ia tewas di ujung bedil, ia melontarkan satu perkataan yang dikenang banyak orang hingga kini: ”Awalnya saya kira perjuangan saya hanya untuk menyelamatkan pohon karet. Kemudian saya mengira saya berjuang untuk menyelamatkan hutan hujan Amazon. Kini, saya sadar saya berjuang bagi kemanusiaan.”
Sementara dari negerinya pesebakbola Lionel Messi, Argentina, kita bisa melihat bagaimana para perempuan yang mayoritas adalah ibu rumah tangga melakukan perlawanan tanpa henti terhadap rezim militer, yang menghilangkan 30 ribu sanak saudara mereka. Mereka dihilangkan karena dituduh subversif, dan berhaluan kiri.
Sejak April tahun 1977 sekali dalam sepekan mereka (para ibu itu dimulai dengan 14 perempuan, 13 orang di antara mereka adalah ibu) berkumpul di Plaza de Mayo -yang terletak berhadap-hadapan dengan Istana Presiden Casa Rosada- untuk menuntut penuntasan kasus penghilangan paksa itu. Dan setelah bertahun-tahun berjuang, akhirnya Presiden Raul Alfonsin, yang dipilih secara demokratis setelah junta militer berakhir, membentuk Komisi Nasional untuk Orang-orang yang Dihilangkan, sepanjang junta militer di bawah Presiden Jenderal Jorge Rafael Videla Redondo tujuh tahun berkuasa. Selama tujuh tahun itu, tak kurang sembilan ribu orang dihilangkan. Di laporan yang sama dikatakan, pada masa presiden sebelumnya, Isabel Peron, 600 orang hilang dan 458 orang dibunuh.
Gerakan ini pula yang mengilhami Gerakan Kamisan yang rutin melakukan aksi bisu di depan Istana Negara setiap hari Kamis. Akankah rutinitas ini akan berujung pada dibukanya kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia, tentu kita harus menunggu, entah sampai kapan.
Masyarakat sepertinya juga sudah bisa memilah, isu mana yang sudah layak dan sepantasnya mereka perjuangkan kebenarannya, dan kasus mana yang hanya mencari-cari sensasi. Ingat kasus Manohara? Lihatlah, ada berapa pasang mata di republik ini yang memperhatikan kasus yang melibatkan putra mahkota Kerajaan Kelantan, Malaysia itu? Bandingkan dengan kasus kriminalisasi Bibit-Candra, apalagi Prita Mulyasari. Meski tidak bisa disangkal, media menjadi faktor penting dalam dua kasus ini, kesadaran masyarakat lintas strata untuk melawan dengan berbagai cara (dukungan via FaceBook, pengumpulan koin, ikut unjuk rasa, dsb) sungguh terasa sebagai manifestasi perlawanan yang membanggakan. Mereka yang tidak bisa keluar dari kantor untuk
berunjukrasa, bisa memberi dukungan via FaceBook.
Sebagai bangsa, kita sudah mengalami episode-episode hitam yang berlumuran darah. Sebut saja kekerasan 1965-1966, tragedi Tanjung Priok, kekerasan sebelum dan sesudah Soeharto terguling dari puncak kekuasaan, dan sejumlah tragedi berdarah lainnya. Penguasa kerap menggunakan praktik-praktik yang 'itu-itu saja': penyusupan, adu domba, hasut-menghasut, pengalihan isu publik, dsb. Tapi, gerakan mendukung Prita dan melawan kriminalisasi pimpinan KPK, memperlihatkan masyarakat bergerak atas kesadaran senasib-sepenanggungan. Sejumlah penelitian menunjukkan, bahwa aksi kekerasan sepanjang 1965-1966 yang dilakukan masyarakat pada sesamanya, tak mungkin terjadi tanpa adanya sponsor, pengkondisian, atau bahkan intimidasi dari rezim yang lalim.
Patut kita tunggu, seperti apa 'metode' perlawanan yang akan ditunjukkan masyarakat Indonesia pada rezim otoriter yang berwajah (sok) manis ini di tahun 2010. Kalangan terdidik di negeri ini memang bukan mayoritas. Dalam gerakan sosial mereka 'hanya' pemrakarsa, bukan satu-satunya penentu. Namun, ketika ada semakin banyak orang seperti Mundala di negeri ini, kita layak berharap bahwa kesewenang-wenangan para penguasa bisa kita hadapi. Bukan dengan senjata. Bukan dengan batu. Bukan kekerasan. Tapi dengan cara-cara yang lebih beradab.
Ibarat paduan suara, saya yakin tulisan saya ini hanya satu suara di antara jutaan suara lain, di nada dasar yang sama. Nada dasar yang menyanyikan sebuah lagu melawan ketidakadilan, melawan kelaliman, yang dilakukan justru oleh para penyelenggara negara, yang beberapa bulan silam mendapat mandat lewat pemilu. Namun, justru di situlah pentingnya. Artinya, kesadaran akan ketidakadilan sudah merasuk ke dalam diri kita masing-masing.
Akankah perlawanan ini berlanjut di tahun 2010?
antara Cibitung dan Cikarang, di ujung tahun 2009
No comments:
Post a Comment