Sore itu, di hari Minggu terakhir di bulan Maret 2010, sosok mungil anggun nan cantik duduk tepat di sebelah kiriku. Setelah sekitar dua jam bercengkerama dan melahap sajian di Restoran Solaria, di lantai enam Blok M Plaza, kami bergeser beberapa meter ke bioskop Twenty One, untuk memelototi film berdurasi 161 menit, yang berjudul My Name Is Khan. Sungguh tak menyesal menonton film itu. Kenapa? Saya tentu punya alasan.
Akting aktor senior Bollywood Sha Rukh Khan, yang berperan sebagai Rizwan Khan, sungguh nyaris sempurna. Ia tampil tanpa harus terkesan melecehkan penderita keterbelakangan mental, yang kerap ditampilkan secara serampangan bin ngawur oleh banyak sineas di republik ini.
Film itu bercerita tentang seorang dari sebuah wilayah bernama Borivali di Mumbai, pesisir barat India. Ya, si Rizwan Khan itu. Sedari kecil, penderita sindrom Asperger ini sudah terkenal cerdas, baik dalam berbahasa Inggris, selain juga memiliki daya ingat di atas rata-rata. Namun, ia selalu ketakutan saat melihat warna kuning, membenci suara keras, takut berhadapan dengan orang dan lingkungan baru, selalu mengulang perkataan lawan bicaranya, tanpa pernah menatap mata lawan bicaranya, atau bahkan sekadar berjabatan tangan.
Di usia dewasa, Rizwan beranjak ke kota San Fransisco di negeri Paman Sam, untuk tinggal bersama adik semata wayangnya yang telah menikah. Beberapa waktu menetap di sana, ia bekerja sebagai sales produk kosmetik. Profesi itulah yang kemudian mempertemukannya dengan seorang pekerja salon yang kemudian ia peristri, Mandira (seorang wanita Hindu yang diperankan oleh aktris kondang India, Kajol). Kenekatannya menikahi perempuan Hindu membuatnya harus dimusuhi oleh adik kandungnya sendiri.
Titik sentral yang coba dibidik film ini adalah usaha seorang Rizwan Khan, yang ingin melawan stigmatisasi pada kalangan Islam, pasca-tragedi 9/11. Kita tahu, sepasang menara kembar World Trade Centre harus runtuh karena sebuah pesawat menghantamnya tanpa ampun dan membuat begitu banyak orang meregang nyawa. Sentimen-sentimen menyesatkan khas pemerintahan Presiden George W Bush banyak menyeruak, apalagi setelah sang presiden langsung mengeluarkan pernyataan yang dicatat dunia, “Dunia sekarang hanya terbagi menjadi dua: bersama AS atau melawan AS.” Beberapa adegan di film itu menggambarkan dengan cukup baik, bagaimana sentimen anti-muslim, anti-Arab, atau hal-hal yang sedikit ‘menyerempet’ dan bisa diasosiasikan dengannya.
Keteguhan hati seorang penderita sindrom Asperger yang diperankan Shah Rukh Khan sungguh tergambar dalam beberapa momen. Sekurangnya ada dua gambaran yang masih menempel di kepala saya. Pertama, keputusannya untuk menikahi seorang wanita Hindu, meski ditentang keras saudara kandungnya sendiri. Adegan itu sontak membawa ingatan saya pada sebuah kisah di tahun 1948. Saat itu seorang Mohandas Karamchand Gandhi (yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Mahatma Gandhi) dibunuh oleh seorang Hindu radikal di India. Pria kurus itu tewas karena dianggap terlalu memihak kalangan muslim.
Alasan kedua, Khan bersikeras untuk bertemu langsung dengan Presiden AS untuk menggumamkan satu kalimat yang menjadi kalimat kunci dalam film itu: My Name is Khan, and I’m not a terrorist. Dalam kesempatan pertama, ia gagal meneriakkan kalimat itu, karena terlanjur diterjang pasukan pengamanan dari sang presiden yang secara samar (tetapi cukup jelas) dipersonifikasikan sebagai Presiden George W Bush. Di kesempatan kedua, keberuntungan sepertinya tak beranjak darinya. Ia berhasil mengatakan kalimat itu langsung di depan sang Presiden, yang secara samar (diperankan oleh aktor Afro- American, entah siapa) digambarkan sebagai Presiden Barrack Obama. Entahlah, apa film ini dibuat khusus sebagai white campaign untuk Presiden Obama.
Bukan tanpa alasan, Khan berikhtiar untuk mengucapkan kalimat itu langsung di depan muka Presiden AS. Hal itu ia lakukan sebagai janji kepada sang istri tercintanya, Mandira, yang begitu geram setelah anaknya dari suami pertamanya, Sameer, harus tewas, karena Sam harus menyandang atribut Khan di belakang namanya. Naluri seorang ibu yang kehilangan anak semata wayangnya, membuat Mandira dengan penuh emosi menuding Khan – lah yang menyebabkan anaknya tewas. “Jika aku tidak menikah denganmu –seorang muslim– anakku tidak akan mati!” Bahkan, ia mengatakan sesuatu secara emosional (yang kemudian ia sesali): “I should never have married a Muslim man.”
Keteguhan hati seorang Khan itu, sekurang-kurangnya dalam permenungan saya, mengajarkan bahwa ‘aksi tanpa refleksi adalah aktivisme yang berbahaya’, seperti halnya ‘refleksi tanpa aksi tak ubahnya wishfull thinking’ atau (maaf) beronani pikiran. Sabda dari filsuf pendidikan Brasil Paolo Freire ini, lantas berkelebat sekilas dan menempel di dinding otak saya. Tampilnya sosok Khan seolah hendak menyindir sebagian kalangan pejabat dan tokoh agama, yang kerap bermanis muka tampil di media, sambil berkoar tentang pluralisme, toleransi dan sederet kata manis lainnya, tanpa pernah berbuat sesuatu yang konkrit untuk menyemai benih-benih multikulturalisme di masyarakat.
Film itu usai setelah 161 menit mengajak penontonnya terbahak, termenung untuk beberapa saat merefleksikan adegan demi adegan, bahkan mungkin ada beberapa yang terisak menangis. Tidak ada adegan-adegan lebay alias berlebihan yang ditampilkan, seperti tari menari di taman yang begitu jamak kita temukan beberapa tahun silam di layar kaca.
Dalam film itu Khan juga digambarkan telah dengan teguh hati melawan stigmatisasi. Ia senang untuk mengucapkan kalimat “My Name is Khan, and I’m not a terrorist”. Dengan kelembutan hatinya, Khan terjun menolong korban bencana badai di Wilhelmina, Georgia, yang notabene adalah kawasan mayoritas Kristen kulit hitam. Adegan di gereja, saat Khan menyanyikan lagu berbahasa India, sambil diiringi nyanyian dengan bahasa Inggris sungguh mampu menggambarkan bahwa perbedaan agama, suku bangsa dan ras tak bisa dijadikan alasan untuk saling membenci.
Sajian sinema sore itu akhirnya usai. Saya pun menggengam tangan gadis cantik di sebelah kiri saya itu, untuk bergegas pulang. Gadis cantik, film yang menggugah nurani untuk sedikit berefleksi di kota metropolitan yang kerap memenjarakan kita dalam rutinitas. Sungguh, sepotong petang yang nyaris sempurna.
Blok M Plaza, 28 Maret 2010.