26 May 2008
In Memoriam Oey Hay Djoen (18 April 1929 - 18 Mei 2008): Siapa Mau Jadi Penerjemah ?
"Ibarat kerikil yang dilempar dalam air. Jika kita genggam kerikil dan melemparnya ke air, maka permukaan air akan kacau. Tapi jika kita melempar satu kerikil ke tengah air, maka riaknya akan terus bergelombang ke tepian" (Njoto)
Perpustakaan Nasional, Salemba, Jakarta Pusat, 25 Maret. Saya tiba di gedung yang terletak di sisi utara perempatan Pramuka-Matraman-Salemba. Saya datang guna menghadiri peluncuran dan bedah buku terbitan Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra, Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto karya John Roosa, seorang profesor sejarah dari University of British Columbia, yang juga adalah penulis buku Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'État in Indonesia (University of Wisconsin Press, 2006). Telah banyak orang tiba di aula gedung itu. Saya menuju ke meja penerima tamu, untuk menandatangani daftar hadir, dan menerima satu kotak berisi makanan ringan dan air mineral. Melangkah masuk ke arah kiri, mata saya langsung tertumbuk ke arah pria sepuh yang tengah duduk di atas kursi roda. Bukan pria yang asing di mata saya. Ia tak lain adalah Oey Hay Djoen. Spontan saya menyapanya, dan ia balas dengan jabatan erat a la 'anak muda'. Saya menanyakan kabarnya, yang ia jawab "baik...baik". Ia pun menanyakan kabarku, dan kujawab dengan kalimat serupa. Tak kulihat istrinya, Jane Luyke, yang selalu setia berada di sampingnya. Mungkin, sedang berada di bagian lain ruangan itu. Ternyata, jabatan erat dari Oey siang itu adalah jabatan erat kami yang terakhir. Sepuluh hari sebelumnya, 15/3, bersama Hera dan Awi, saya turut menghadiri peluncuran buku tentang perjuangan perempuan Malaya melawan kolonialisme, Hidup Bagaikan Mengalirnya Sungai karya Agnes Kho, yang juga diterjemahkan oleh almarhum Oey.
Saat bertemu untuk terakhir kalinya di Perpusnas itu, saya tak tahu persis apa ia benar-benar masih mengingatku dengan baik. Memang, saya pernah sedikit nekat, mendatanginya rumahnya di Cibubur, September 2006 silam. Awalnya, sekitar di awal September itu seorang sahabat, Arifadi Budiarjo, mengajakku untuk datang pada peluncuran buku Kapital yang Oom Oey - begitu Oey biasa disapa - terjemahkan, di kediaman pematung kesohor Dolorosa Sinaga di seberang Carefour Tamini Square. Ia tampil sebagai pembicara bersama John Roosa. Jujur, saya tidak menguasai sama sekali topik bahasan di malam itu. Keterbatasan pengetahuan memaksa saya untuk hanya menjadi 'pendengar yang baik'. Namun, ada satu sosok yang begitu menyita perhatianku malam itu, Oey Hay Djoen. Di mata saya, ia bukan orang sembarangan. Bagaimana tidak, di usia saat itu, 77 tahun, ia mampu menerjemahkan buku kesohor karya Karl Marx setebal 929 halaman itu. Itu baru jilid pertama, sedangkan jilid keduanya berketebalan 580, dan jilid ketiga berketebalan lebih fantastis lagi, 1100 halaman !
Kekaguman, keheranan, dan keterkejutanku bertambah saat ia memberiku tiga lembar kertas berisi daftar karya pemikir-pemikir barat yang telah ia terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Di kertas yang hingga kini masih saya simpan itu, tercantum 28 buku yang telah purna ia terjemahkan. Di luar 28 buku itu, ada empat buku yang saat saya temui tengah ia garap, yaitu: Kapital Vol III, Conditions of the Working Class in England karya F.Engels setebal 400 halaman, serta dua buku lain karya Karl Marx yaitu Civil War in France, serta Class Struggles in France. Ada daftar lain, yaitu "program berikutnya", yang memuat Grundrisse (Marx), History and Class Consciousness (Georg Lukacs), Theories of Surplus Value (Marx), dan Limits of Capital (Harvey). Jika buku Agnes Kho itu ditambahkan, berarti sudah 30 lebih buku yang ia terjemahkan. Di bagian terbawah, tertera dua baris kalimat: "Nama penerjemah: SAMANDJAJA = IRA IRAMANTO = OEY HAY DJOEN". Maklum, ia digolongkan oleh kalangan militer sebagai "orang berbahaya" sehingga dengan sejumlah cara, Oey harus menyamarkan dirinya untuk tetap bisa berkarya.
Seusai acara bedah buku Kapital September 2006 itu, saya nekat mendekati almarhum dan sang istri. Saya bersama beberapa teman seperti Dian, dan juga Alex dan adiknya, Jerry, memperkenalkan diri pada almarhum. Segera saya bertanya apa saya boleh datang menemuinya. Jawaban spontan segera terlontar dari bibirnya, "Oya, silahkan. Tapi, telpon dulu sehari sebelumnya ya..." Saya senang bukan kepalang. Kebetulan, saat itu saya dan beberapa teman termasuk Arifadi, Dian, Anita, dan Alex tengah menyiapkan sebuah jurnal online yang di edisi perdananya mengangkat persoalan Peristiwa 1965. Oey langsung kubidik untuk jadi narasumber. Dan begitulah ceritanya. Singkat kata, tanggal 6 September saya bersama Alex dan Jerry bertandang ke rumahnya. Namun, karena Oey tidak punya cukup banyak waktu untuk bercerita tentang pengalamannya, kami sepakat untuk menunda wawancara hingga keesokan harinya. Saya datang sendiri dua hari sesudahnya. Dari pukul 11.15 hingga 14.15 kami berbincang di ruang tamu rumahnya. Obrolan tak berhenti ketika harus beranjak ke meja makan. Kesanku, ia sangat menghargai orangmuda yang datang untuk menemuinya. Jadilah sebuah transkrip sepanjang 14 halaman A4 yang berisi pengalamannya dipilih menjadi anggota Konstituante/DPR, diisolir oleh militer ke Pulau Buru, dan sejumlah hal lain mengenai orang muda, dan sebagainya.
Kabar kepergian Oey dari dunia fana ini kuterima dari Arifadi melalui pesan singkat pada Minggu 18 Mei sekitar pukul 10.30 saat saya berada di Kebon Jeruk. Oey meninggal di RS Carolus beberapa menit awal dini hari Minggu itu. Sekitar pukul 15.30 bersama Yohanes Prayogo (sahabatku yang juga wartawan Mingguan HIDUP) dan Arifadi meluncur ke Cibubur. Setelah mengarungi jalan raya Jakarta yang cukup lancar sore itu, kami tiba di kediaman putri dari Oey Hay Djoen, Mado, tempat jenazah disemayamkan, yang berada satu kompleks dengan rumah almarhum. Sejumlah aktivis yang juga orang-orang terdekat almarhum seperti Hilmar Farid, Agung Putri, John Roosa, dan sebagainya telah berada di tempat itu. Segera kami bertiga masuk ke dalam rumah yang berada di kompleks yang juga didiami sejumlah jenderal TNI itu. Kami menyalami istri almarhum Jane Luyke, yang pernah saya wawancara untuk HIDUP pada September 2006 untuk Sajian Utama tentang peristiwa 1965 itu. Di ruangan tengah rumah Mado, saya juga melihat Rieke Diah Pitaloka yang matanya tampak sembab. Sepertinya, ia cukup banyak menangis. Saya tak tahu pasti apa dan bagaimana hubungannya dengan keluarga almarhum.
Bernafas panjang
Sebuah pepatah usang berbunyi Gajah Mati Meninggalkan Gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia Mati meninggalkan nama. Jika kalimat itu disematkan pada almarhum Oey, tentu kita bisa membuat daftar apa saja yang telah ia "tinggalkan" bagi Indonesia, negeri yang sangat ia cintai. Sebanyak 30 lebih buku telah ia terjemahkan, sejumlah cerpen, esai dan sebagainya telah ia hasilkan sejak tahun 1950-an. Saya membayangkan, bagaimana Oey di masa kondisi tubuh yang tentu tak lagi "sehat setiap saat" masih mampu menerjemahkan belasan ribu halaman karya filsafat, sejarah, ekonomi politik, dan gerakan sosial. Sejarawan Hilmar Farid di mailing list Jambore_Kebudayaan 22 Mei 2008 menulis: "Justru dalam sepuluh terakhir, ketika kesehatannya mulai menurun, ia (Oey) mencurahkan sebagian besar waktunya untuk menerjemahkan belasan ribu halaman karya filsafat, sejarah, ekonomi politik dan gerakan sosial. Hampir seluruhnya adalah karya-karya klasik dari Marx dan Engels, ditambah beberapa buku kunci dari Rosa Luxemburg dan G.V. Plekhanov." Saya sungguh malu pada diriku sendiri yang masih kesulitan untuk sekadar membuat dua-tiga tulisan untuk blog-ku sendiri. Saya baru berusia 28 tahun, sedangkan Oey lahir di Malang, 18 April 1929 . Artinya, ia berusia 51 tahun lebih tua dariku, walau tanggal kelahiran kami cukup berdekatan, 11 hari. Betapa panjang napas yang ia punyai untuk mengerjakan itu semua. Ia juga cukup kerap menghadiri seminar ini dan itu.
Di milis itu, Hilmar Farid juga menuliskan bagaimana ia terkesan dengan persahabatan Oey yang tulus. Hilmar Farid menulis:
"Ia selalu sedia menerima kawan yang kehabisan tenaga dan semangat menghadapi tumpukan masalah. 'Kita tidak mungkin melakukan semua hal. Kemampuan kita ada batasnya. Yang penting adalah bagaimana mengorganisasi kekuatan kita yang terbatas ini.'Sering ia menyitir ucapan Njoto, sahabat dan gurunya, 'ibarat kerikil yang dilempar dalam air. Jika kita genggam kerikil dan melemparnya ke air, maka permukaan air akan kacau. Tapi jika kita melempar satu kerikil ke tengah air, maka riaknya akan terus bergelombang ke tepian.' "
Di blog ini, 23 Juli 2007, juga sudah ku-posting sebuah tulisan berjudul Oey Hay Djoen: Spirit Seorang Penerjemah. Saya menampilkan dalam tulisan itu, mengapa Oey memilih untuk menerjemahkan karya-karya Marx dan Engels. Ia ingin agar kita menggunakan metode berpikir yang dipakai Marx dan Engels, "Critical,"katanya. Ia berpandangan, Marxisme tidak menciptakan teori. Seluruh tulisan Marx adalah suatu polemik terhadap semua ilmu yang sudah ada. Jadi, ilmunya benar, tidak benar, itu yang harus dikrtisi. Marx dan Engels tidak menciptakan ilmu seperti tetes kebenaran dari langit. "Semua itu kan polemik: tesis, antitesis, sintesis. Metode berpikir inilah yang benar-benar aku gandrung supaya kita semua punyai. Jauhilah epigonisme segala macam itu. Cuma menerima, mengambil, mencangkok
dari segala sesuatu lainnya yang sudah mati itu. Ilmu harus berkembang terus," ungkapnya.
Ingin Jadi Tapol !
Peristiwa 1965 turut menyeret Oey ke Tefaat (tempat pemanfaatan) Pulau Buru, Maluku. Oey, yang diasingkan ke Pulau Buru sejak 1969, menceritakan bagaimana penduduk di Pulau Buru 'diracuni' dengan pandangan bahwa para tapol, termasuk Oey, adalah para pembunuh yang harus dihindari. Awalnya, 'pencucian otak' itu berhasil. Namun, selang 2-3 tahun ia dan beberapa rekannya berhasil menjalin kontak dengan penduduk Pulau Buru. Ia mengajari penduduk untuk bercocok tanam, membuat minyak kayu putih, bersawah, dan beberapa keterampilan lain. Kepadanya, secara sembunyi-sembunyi tentu saja, para penduduk memberikan sebuah radio transistor. Sejumlah tapol dipergoki oleh para tentara, dan langsung dihukum siksa dan sebagainya. Namun, kelincahan Oey dan beberapa rekannya berhasil mengelabui para tentara itu. "Akhirnya, kami bisa membuat suasana begitu rupa, sehingga bukan kami yang (datang) ke rakyat, tapi rakyat yang datang. Mereka pergi ke ladang-ladang kami, kami ajari mereka bagaimana bertani, bercocok tanam. Kami lebih pada melayani mereka," ia berkisah.
Menurut cerita Oey, penduduk asli di sana masih primitif. Hidupnya hanya dari mukul sagu, bikin tepung sagu. Seminggu, misalnya, atau untuk beberapa lama, mereka menganggur tidak bekerja. Paling-paling, mereka nawuh ikan di rawa-rawa. "Bukan dengan memancing. Ikannya kan bersembunyi di bawah. Itu dikeringkan, untuk makan mereka," lanjut Oey. Keterampilan demi keterampilan yang Oey dan kawan-kawan ajarkan terbukti mampu mendekatkan mereka dengan penduduk Buru waktu itu. Ia menceritakan, bagaimana ia mengajari penduduk setempat untuk memetik cabai. Oey bercerita, bahwa sebelum ia ajari, para petani cabai tidak memetik bahan baku sambal itu, melainkan mencabut pohon beserta seluruh akar-akarnya. Setelah Oey ajari, para penduduk bisa memetik cabai berkali-kali dalam setahun.
Demikian juga halnya dalam pembuatan minyak kayu putih. Sebelum ia berinteraksi dengan penduduk setempat dan mengajari mereka, dalam semalam hanya mampu dihasilkan sebotol minyak kayu putih. Setelah Oey 'turun tangan', mereka mampu menghasilkan tiga hingga empat botol ! Dalam hal penanaman padi pun setali tiga uang. Di surat-surat kabar tahun 1970-an kita bisa temukan bahwa mendadak Indonesia Timur, Maluku, menjadi lumbung padi. Darimana ? Dari Pulau Buru. Seperti sekarang juga. Waktu Pulau Buru ditinggalkan oleh para tapol tahun 1979, ribuan ternak telah mereka piara. Ribuan hektar sudah kami jadikan sawah. "Itu semua dimanfaatkan oleh militer, dijadikan daerah trasmigrasi dsb," kata Oey. Begitu dekatnya para tapol 'berideologi' (begitu Oey mengidentifikasi dirinya dan teman-temannya yang 'licin' itu) dengan penduduk setempat, sehingga sejumlah anak kecil ketika ditanya, "Ale, besok mau jadi apa?" Mereka hampir bisa dipastikan akan menjawab, "Jadi tapol !". Oey menceritakan itu pada saya sembari terbahak.
Bukan Selebriti
Penerjemah bernafas panjang itu telah tiada. Perjalanan hidupnya yang sarat dengan tekanan, hantaman dari kalangan militer, telah terhenti. Saya bertanya-tanya dalam hati, siapa kira-kira yang akan menekuni penerjemahan teks-teks "berat" di masa-masa mendatang ini. Butuh lebih dari sekadar kemampuan berbahasa asing. Diperlukan lebih dari sekadar kecerdasan untuk mempu membaca belasan ribu halaman karya filsafat, sejarah, ekonomi politik, dan gerakan sosial. Di atas itu semua, diperlukan cinta yang mendalam. Dalam pertemuanku dengan almarhum pada September 2006 itu, diceritakan bahwa sekitar tahun 1986 silam, ia didatangi sejumlah anak muda yang, menurut Oey, kemampuan berbahasa Inggrisnya "jongkok". Spontan Oey bertanya, "Apa yang bisa aku bantu ?" Di hadapan mereka saat itu tergeletak sebuah buku High Waves of Emancipation karya W.Wertheim, ilmuwan yang pernah menjadi momok bagi rezim Orde Baru. Buku itu ia terjemahkan secara 'mencicil' untuk lalu ia beri pada para mahasiswa aktivis itu, sampai buku setebal 670 halaman itu ia selesaikan. Peristiwa itu coba saya rekonstruksi dalam alam pikirku. Hanya cinta yang bisa mendorong Oey melakukan hal itu. Bisa dipastikan, ia melakukan itu tanpa mendapat bayaran.
Oey terbukti telah memainkan peranannya bagi umat manusia, sekurangnya bagi sejumlah aktivis muda di negeri ini, negeri yang para penguasanya pernah membuang Oey ke Pulau Buru. Tetapi, mungkin karena ia digolongkan "berbahaya", tidak cukup banyak media yang mengangkat peran yang telah dimainkan Oey. Bahkan, sejauh yang saya tahu, media besar Kompas atau TEMPO sama sekali tak menurunkan tulisan obituari saat ia wafat. Mungkin juga, Oey sendiri enggan untuk menjadi "ilmuwan selebriti" yang begitu kerap menjadi "banci tampil" alias haus publikasi, dengan mengisi halaman dan reportase media massa.
Oom Oey, beristirahatlah dalam damai ! Kami, generasi sekarang ini, berutang padamu. Berutang janji, untuk melanjutkan perjuanganmu. Berjuang melawan kebodohan, melawan tirani a la neo-imperialisme di negeri yang 100 tahun lalu mencanangkan Kebangkitan Nasional-nya. Tulisan ini saya buat dua hari setelah pada tengah malam 24/5 pemerintah menaikkan harga BBM hingga 29 persen. Melihat kondisi Indonesia saat ini, bisa jadi, Oey menangis di 'sana'.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
Sayang,,saya blm mengenal Oey yang dikagumi sang penulis..
Enak sekali ceritanya, mirip gaya menulis Pantau.
Tulisan ini bisa membuatku jatuh cinta. Karena ia menggugah. Jadi ingat kata kata Mas Aries, "buatlah tulisan yang bisa menggugah." 10 April lalu, sy membaca tulisan Khaeruddin (Kompas) ttg kisah Sahat Manurung, seorang yg tinggal di perbukitan Danau Toba, yang akan menggunakan hak pilihnya saat pemilu 9 April lalu. Sangat menyentuh, hingga hampir menangis aku membacanya.
Post a Comment