Ruangan di Airman Planet, Hotel Sultan itu saya sambangi. Bukan untuk kongkow-kongkow bareng teman-teman se-'gank', atau ngedate bareng cewek pujaan. Di hari pertama bulan Agustus 2009 itu, saya datang ke tempat itu untuk acara kopi darat kompasiana. Seorang purnawirawan marsekal, dengan lebih dari delapan ribu jam terbang, berpengalaman sekian tahun sebagai pilot pesawat kepresidenan, menorehkan prestasi membanggakan, menuliskan gagasan-gagasanya di blog kompasiana.com. Di bulan kemerdekaan ini, ia meluncurkan sebuah buku yang berisi sebagian tulisannya di blog itu, Cat Rambut Orang Yahudi. Ia adalah Chappy Hakim. Dari kokpit pesawat ia beranjak ke jagat maya dengan menjadi blogger. Tak heran, Museum Rekor Indonesia (MURI) mencatat Chappy Hakim sebagai “Bintang empat pertama (marsekal/jenderal) yang tulisan-tulisannya di blog (Kompasiana) diterbitkan menjadi buku”.
Si anak zaman
Banyak orang bilang, setiap zaman punya 'anaknya' masing-masing. Setiap generasi memiliki cara dan gaya masing-masing dalam mengungkapkan pemikiran, perasaan, atau apapun yang ada dalam hati dan pikirannya. Bangsa kita ini pernah memiliki seorang pejuang -mesti (sempat) ditepikan dari panggung sejarah- bernama Tan Malaka, yang terkenal tekun dalam menulis artikel, esai, bahkan naskah drama. Naskah dramanya, Merdeka 100%, bahkan sudah diterbitkan oleh Penerbit Marjin Kiri, dalam sebuah buku berwarna sampul merah darah. Soe Hok Gie, juga setali tiga uang. Sejumlah naskahnya sudah dibukukan. Sebut saja, Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan (hasil skripsi S-1-nya), Di Bawah Lentera Merah (hasil skripsi sarjana muda-nya), dan tentu saja Catatan Seorang Demonstran. Bahkan tahun 2005 Miles Production meluncurkan film Gie, yang sedikit banyak semakin mengangkat sosok ini ke dalam ruang publik.
Sekitar 40 tahun setelah Soe Hok Gie menulis CHSD di tahun 1960-an, lebih setengah abad tahun setelah Tan Malaka menuliskan pamflet-pamfletnya, di hari pertama bulan Agustus itu, Chappy Hakim bersama Penerbit Kompas menerbitkan kumpulan tulisan Sang Marsekal, hasil ngeblog kakek dari seorang cucu ini. Saya percaya, tulisan-tulisan CH sekian tahun ke depan, akan menjadi 'harta karun' yang amat berharga bagi bangsa ini. Ditulis oleh seorang dari kalangan militer, yang umumnya (terkesan) kaku, dengan bahasa yang lumayan renyah, buku Cat Rambut Orang Yahudi (CROY) sama sekali tidak terkesan 'seadanya'. Beginilah seharusnya sebuah buku atau tulisan dikemas di era moderen ini. Substansi tidak selayaknya menghamba pada tampilan. Sebaliknya, tampilan juga tidak selayaknya dikorbankan demi menarik pembaca, dengan mengabaikan substansi.
Pertemuan kompasianers Sabtu 1 Agustus 2009 lalu, membuat saya kembali tergairahkan untuk menulis. Saya harus mengangkat topi pada Chappy Hakim (CH). Di masa purnabaktinya, ia masih produktif merangkai kata menjadi kalimat, menata kalimat menjadi sejumlah paragraf, dan kemudian menjadikan paragraf demi paragraf itu tulisan yang bisa mengajak kita untuk berpikir, membuka wawasan, dan tidak jarang tergelitik bahkan tersentil. Bahkan, dua tulisan CH sudah menjadi buah bibir dan perdebatan di portal kompasiana, CROY (diposting 10 November 2008) dan Mengapa Orang Yahudi Banyak yang Pintar ?(diposting 5 Februari 2009). Satu hal yang (barangkali) tidak pernah diduga oleh penulisnya sendiri.
Beda era
Hari demi hari, saya meyakini bahwa menulis sejarah tidak melulu urusan para sejarawan. Setiap saat kita bisa menulis sejarah. Apa yang dilakukan kompasianers pun tak ubahnya adalah menulis sejarah. Bayangkan, taruhlah 20 tahun lagi, kita akan kembali membaca tulisan CH, dan kompasianers yang lain sambil mengingat-ingat dan membaca setiap postingan. Kita patut bersyukur, bisa menikmati satu hal yang tidak pernah dinikmati atau sekadar dibayangkan oleh Soe Hok Gie, Tan Malaka, Pramoedya Ananta Toer, Bung Karno, Bung Hatta, dan sejumlah tokoh-tokoh besar lain. Mereka menulis di atas kertas lusuh. Mereka menggoreskan tinta mereka dengan penuh ketekunan. Tidak jarang pula, mereka menuliskan gagasan mereka di tengah tekanan. Bahkan, ketika tulisan itu telah selesai mereka harus menyelundupkan naskah mereka, dari tangan orang-orang dekat mereka, agar tulisan itu bisa disebarluaskan. Bagaimana tidak, saya pernah mewawancarai imam Katolik, Pastor Stanislaus Sutopranoto Pr. Ia berkisah tentang suatu kejadian yang cukup membuat detak jantungnya berdegup kencang, saat tahun 1972 menyelundupkan transkrip Bumi Manusia dari Pulau Buru, karya Pramoedya Ananta Toer.
CH, Tan Malaka, Soe Hok Gie hidup di era berbeda. Sebelum dibukukan, tulisan-tulisan CH menjumpai pembacanya di dunia maya. Sementara, Tan Malaka, Soe Hok Gie menyebarkan naskah-naskah mereka lewat pamflet dan media massa di eranya. CH meluncurkan bukunya di sebuah cafe yang berada di sebuah hotel berbintang lima, tidak seperti Tan Malaka dan Soe Hok Gie. Begitulah. Tidak ada yang salah tentu. Mereka hidup di era yang berbeda.
Di halaman 180 buku CROY, dalam artikel berjudul Obama Meninggalkan NASA? CH menuliskan moto dari badan ruang angkasa milik pemerintah Amerika Serikat: For The Benefit of All. Saya percaya CH sudah memberikan apa yang dia bisa berikan untuk bangsa ini. Baik sebagai prajurit, komandan, penerbang, dan kini sebagai blogger. Tentu, bukan untuk dirinya, melainkan, for the benefit of all, dan dari kokpit ke blog.
Saya belajar dari Anda, Marsekal !
Photo by Edy Taslim
28 August 2009
Chappy Hakim, Dari Kokpit ke Blog
Label:
blogger,
Chappy Hakim,
kompasiana,
peluncuran buku
07 August 2009
Mengisi Lembaran Kelimapuluhenam
Hari ini setahun yang lalu di sebuah rumah di Tomang, Jakarta Barat. Sebotol anggur ‘diserbu’ oleh lima orang pria, yang sudah sekian jam mengadakan rapat. Sekitar pukul 12 tengah malam, lima gelas berisi anggur itu pun beradu. Bukan untuk bermabuk ria. Melainkan untuk berucap syukur, karena salah seorang di antara lima pria itu berhari jadi. Ia adalah Romo Johannes Hariyanto SJ, yang hari ini kembali merayakan hari kelahirannya, di tengah-tengah para Komjakers, yang “lagi lucu-lucunya”. Bukan hanya para fasilitator, seperti di hari jadinya tahun lalu
Tahun lalu, seingat saya, selain Romo Hari –begitu ia biasa disapa- ada Daniel Awigra, Felix Iwan Wijayanto, Lexy Rambadeta, dan saya sendiri yang berkumpul untuk rapat fasilitator Komjak. Selepas jam 12 malam, sekali lagi seingat saya, kami mengucapkan selamat, dan merayakan momen itu dengan sebotol anggur penghangat. Di rapat kali itulah, nama Kampus Orangmuda Jakarta (KOMJAK) tercetus. Dan, tahun ini, Romo Hari kembali mengenang peristiwa kelahirannya itu.
Pendampingan orangmuda sepertinya memang sudah menjadi jalan hidup Romo Hari, sejak ia masih menjalani pendidikan sebagai frater teologan di Kolese Santo Ignatius (Kolsani) Yogyakarta di awal tahun 1980-an. Suatu masa, di mana sebagian besar dari fasilitator dan komjakers, termasuk saya, masih harus belajar berjalan, atau bahkan belum ‘dirilis’ ke dunia ini. Dalam situasi yang berbeda, segenap proses pembelajaran yang coba diterapkan di Komjak ini, tak lain adalah buah-buah pembelajaran yang telah ia jalani lebih dari dua dasawarsa silam. Di suatu masa, ketika ia pun kerap mengalami kebingungan, kegundahan, kegelisahan, sebagai orangmuda.
Ia mengaku, proses pembelajaran di Komjak ini tidak murni lahir dari pemikirannya. “Bukan made in saya,” begitu ia mengistilahkan. Semua yang ia jalani terkait pendampingan kaum marjinal di Yogyakarta, dan juga yang coba diterapkan di Komjak sekarang ini, tak lain adalah bentuk adaptasi dari kuliah-kuliah teologi saat itu. Untuk semua itu, ia mengaku harus berterima kasih pada almarhum Romo Tom Jacobs SJ dan Romo Bernard Kieser SJ, dua seniornya di Serikat Jesus. “Dua orang itulah yang katakanlah menjadi sumber inspirasi saya,” kata Romo kepada saya dan Awi dalam sebuah obrolan di 23 Juni 2009 malam, di Wisma Agustinus, Tomang, Jakarta Barat.
Bola itu pun ditendang
Pertemuannya dengan Awi dalam sebuah acara di sebuah hotel di Jakarta 15 Februari 2008, menjadi sebuah titik berangkat. Awi, yang bersama jaringan masyarakat sipil saat itu tengah mengadvokasi kasus Ahmadiyah, lantas ia ‘todong’, untuk membuat sebuah kaderisasi untuk orangmuda Katolik. Awi yang terkadang sulit direm ketika sedang berkata-kata, sontak tergagap. Saat kekagetan dan keheranan Awi belum beringsut, Romo Hari malah menambahkan, “Kamu nggak usah mikir duitnya!” Romo Hari pun lantas pulang begitu saja, seolah tanpa rasa bersalah sedikitpun. Sebelumnya, Awi juga sudah tersentak saat Romo Hari berkata, target dari kaderisasi ini adalah “masuk parlemen!!!” Awi bertanya-tanya dalam hatinya, apa maksud dari semua ini? Jadilah tanggal 15 Februari 2008 itu, hari yang mengelisahkan untuk Awi. Bola itu pun mulai ditendang, dalam bahasa Romo Hari. Bola itu ditendang, tanpa Romo Hari bertanya terlebih dulu, “Awi, kamu sibuk apa sekarang?”
Komjak (sepertinya) adalah (salah) satu yang sudah menjadi keprihatinan dan kepedulian Romo Hari dua dasawarsa lalu. Tentu bukan Komjak dalam arti seperti sekarang ini, melainkan kaderisasi orangmuda Katolik yang serius. Pertemuannya dengan Awi, perkenalannya dengan Felix beberapa tahun lalu, perjumpaannya dengan semua fasilitator lain, dan berlanjut ke para Komjakers, seakan menjadi jawaban Tuhan atas keprihatinan dan kepeduliannya selama ini. Awi, biasanya mengistilahkan ini dengan “persentuhan”, yang dibaca secara terpisah” persen(an) dari Tuhan. Romo Hari menganggap, pertemuannya dengan Awi Februari tahun lalu itu adalah providentia Dei alias penyelenggaraan ilahi. “Karena, dalam hidup sesuatu yang sifatnya aksenden, sesuatu yang terputus, lepas-lepas, seolah-olah, bisa saja dilihat terkait satu sama lain,” ujarnya.
Pendidikan Ignasian a la Jesuit ia jalani. Sehingga tak heran, setiap proses pembelajaran yang coba diterapkan di Komjak ini diilhami oleh spirit sang prajurit (St.Ignatius Loyola, sebelum mendirikan Serikat Jesus adalah seorang prajurit). “Saya sendiri merasa, nggak perlu malu untuk mengatakan itu. Karena, ada pepatah Latin nemo dat quod non habet (orang tidak bisa memberi dari sesuatu yang tidak dimiliki),” katanya. Pengalamannya selama menjadi frater teologan dua dasawarsa silam di kota gudeg, Yogyakarta, coba dijalaninya dengan sejumlah adapatasi, agar bisa dijalankan dalam konteks yang berbeda secara sosial budaya, sosial ekonomi, dan entah apa lagi, di kota metropolis, Jakarta.
Sisi lain
Saya baru tahu, dan mungkin juga tak banyak orang tahu, bahwa Romo Hari bisa mengendarai sepeda motor. Di sela-sela kegiatan pelatihan public speaking Komjak di Wisma Training Pondok Labu, Jakarta Selatan, 21 Juni 2009 lalu, Felix tercekat. Bagaimana tidak, Romo Hari ingin meminjam motornya, untuk membeli beberapa keperluan bersama Victoria Sendy, “Menteri Keuangan” Komjak, yang bertubuh mungil itu, di Indomaret, sekitar 500 meter dari Wisma Training. “Bukan hanya Komjaker dan fasilitator. Mungkin dunia juga baru terbuka matanya, akan fakta bahwa Romo Hari bisa naek motor,” kata Felix dalam perbincangan melalui Yahoo Messenger siang ini. Sejumlah fasilitator yang ada di sana was-was, lantaran kondisi motor Felix, yang tidak terlalu mudah untuk dikendarai. Saya sendiri pernah membawa motor itu, dan merasakan deg-degan, karena stang motor itu sungguh tidak mudah dikendarai, kecuali oleh pemiliknya sendiri, yang tetap saja berani membawanya dengan kecepatan cukup tinggi.
Oya, di pelatihan public speaking itu, Romo Hari berlaku iseng. Saat seorang Komjaker tengah unjuk kebolehan dalam simulasi orasi dengan penuh semangat, tiba-tiba Romo Hari melempari sang orator dan “massa” dengan puluhan permen. Sekumpulan “massa” itu pun kontan bubar, dan lebih memilih untuk memunguti permen demi permen, ketimbang menyimak omongan sang orator. Belakangan, ia menjelaskan bahwa hal itu ada bagian simulasi dari “operasi kontra demo” yang ia refleksikan dari teori intelijen, bahwa baik orator maupun massa harus sama-sama menjaga konsentrasi. “Pas latihan orasi, itu oratornya semangat, massa juga. Oleh Romo Hari mereka dilempari permen, ‘massa’ bubar, sang oratorpun kehilangan konsentrasi,” ujar Felix.
Romo Hari, selamat memasuki lembar kelimapuluhenam dalam hidup ini. Selamat melanjutkan karya keselamatan di lembar yang masih baru ini. Lima puluh lima lembar yang lalu, sudah diisi dengan berbagai sukacita dan sukaduka. Keberhasilan, kegagalan, kegembiraan, kesedihan sudah membuncah di sana-sini. Kiranya, itu semualah yang membentuk Romo sampai saat ini.
Tak ada kado untuk diberi. Saya hanya memiliki kisah ini untuk dibagi. Dibagi, dengan harapan bisa menjadi bahan untuk direnungkan. Tidak hanya untuk Romo, melainkan juga untuk teman-teman lainnya di Komjak.
Tuhan memberkati kita semua… Amin
Suatu pagi 6 Agustus 2009, di Tirtayasa VII No.1, Kebayoran Baru.
Tahun lalu, seingat saya, selain Romo Hari –begitu ia biasa disapa- ada Daniel Awigra, Felix Iwan Wijayanto, Lexy Rambadeta, dan saya sendiri yang berkumpul untuk rapat fasilitator Komjak. Selepas jam 12 malam, sekali lagi seingat saya, kami mengucapkan selamat, dan merayakan momen itu dengan sebotol anggur penghangat. Di rapat kali itulah, nama Kampus Orangmuda Jakarta (KOMJAK) tercetus. Dan, tahun ini, Romo Hari kembali mengenang peristiwa kelahirannya itu.
Pendampingan orangmuda sepertinya memang sudah menjadi jalan hidup Romo Hari, sejak ia masih menjalani pendidikan sebagai frater teologan di Kolese Santo Ignatius (Kolsani) Yogyakarta di awal tahun 1980-an. Suatu masa, di mana sebagian besar dari fasilitator dan komjakers, termasuk saya, masih harus belajar berjalan, atau bahkan belum ‘dirilis’ ke dunia ini. Dalam situasi yang berbeda, segenap proses pembelajaran yang coba diterapkan di Komjak ini, tak lain adalah buah-buah pembelajaran yang telah ia jalani lebih dari dua dasawarsa silam. Di suatu masa, ketika ia pun kerap mengalami kebingungan, kegundahan, kegelisahan, sebagai orangmuda.
Ia mengaku, proses pembelajaran di Komjak ini tidak murni lahir dari pemikirannya. “Bukan made in saya,” begitu ia mengistilahkan. Semua yang ia jalani terkait pendampingan kaum marjinal di Yogyakarta, dan juga yang coba diterapkan di Komjak sekarang ini, tak lain adalah bentuk adaptasi dari kuliah-kuliah teologi saat itu. Untuk semua itu, ia mengaku harus berterima kasih pada almarhum Romo Tom Jacobs SJ dan Romo Bernard Kieser SJ, dua seniornya di Serikat Jesus. “Dua orang itulah yang katakanlah menjadi sumber inspirasi saya,” kata Romo kepada saya dan Awi dalam sebuah obrolan di 23 Juni 2009 malam, di Wisma Agustinus, Tomang, Jakarta Barat.
Bola itu pun ditendang
Pertemuannya dengan Awi dalam sebuah acara di sebuah hotel di Jakarta 15 Februari 2008, menjadi sebuah titik berangkat. Awi, yang bersama jaringan masyarakat sipil saat itu tengah mengadvokasi kasus Ahmadiyah, lantas ia ‘todong’, untuk membuat sebuah kaderisasi untuk orangmuda Katolik. Awi yang terkadang sulit direm ketika sedang berkata-kata, sontak tergagap. Saat kekagetan dan keheranan Awi belum beringsut, Romo Hari malah menambahkan, “Kamu nggak usah mikir duitnya!” Romo Hari pun lantas pulang begitu saja, seolah tanpa rasa bersalah sedikitpun. Sebelumnya, Awi juga sudah tersentak saat Romo Hari berkata, target dari kaderisasi ini adalah “masuk parlemen!!!” Awi bertanya-tanya dalam hatinya, apa maksud dari semua ini? Jadilah tanggal 15 Februari 2008 itu, hari yang mengelisahkan untuk Awi. Bola itu pun mulai ditendang, dalam bahasa Romo Hari. Bola itu ditendang, tanpa Romo Hari bertanya terlebih dulu, “Awi, kamu sibuk apa sekarang?”
Komjak (sepertinya) adalah (salah) satu yang sudah menjadi keprihatinan dan kepedulian Romo Hari dua dasawarsa lalu. Tentu bukan Komjak dalam arti seperti sekarang ini, melainkan kaderisasi orangmuda Katolik yang serius. Pertemuannya dengan Awi, perkenalannya dengan Felix beberapa tahun lalu, perjumpaannya dengan semua fasilitator lain, dan berlanjut ke para Komjakers, seakan menjadi jawaban Tuhan atas keprihatinan dan kepeduliannya selama ini. Awi, biasanya mengistilahkan ini dengan “persentuhan”, yang dibaca secara terpisah” persen(an) dari Tuhan. Romo Hari menganggap, pertemuannya dengan Awi Februari tahun lalu itu adalah providentia Dei alias penyelenggaraan ilahi. “Karena, dalam hidup sesuatu yang sifatnya aksenden, sesuatu yang terputus, lepas-lepas, seolah-olah, bisa saja dilihat terkait satu sama lain,” ujarnya.
Pendidikan Ignasian a la Jesuit ia jalani. Sehingga tak heran, setiap proses pembelajaran yang coba diterapkan di Komjak ini diilhami oleh spirit sang prajurit (St.Ignatius Loyola, sebelum mendirikan Serikat Jesus adalah seorang prajurit). “Saya sendiri merasa, nggak perlu malu untuk mengatakan itu. Karena, ada pepatah Latin nemo dat quod non habet (orang tidak bisa memberi dari sesuatu yang tidak dimiliki),” katanya. Pengalamannya selama menjadi frater teologan dua dasawarsa silam di kota gudeg, Yogyakarta, coba dijalaninya dengan sejumlah adapatasi, agar bisa dijalankan dalam konteks yang berbeda secara sosial budaya, sosial ekonomi, dan entah apa lagi, di kota metropolis, Jakarta.
Sisi lain
Saya baru tahu, dan mungkin juga tak banyak orang tahu, bahwa Romo Hari bisa mengendarai sepeda motor. Di sela-sela kegiatan pelatihan public speaking Komjak di Wisma Training Pondok Labu, Jakarta Selatan, 21 Juni 2009 lalu, Felix tercekat. Bagaimana tidak, Romo Hari ingin meminjam motornya, untuk membeli beberapa keperluan bersama Victoria Sendy, “Menteri Keuangan” Komjak, yang bertubuh mungil itu, di Indomaret, sekitar 500 meter dari Wisma Training. “Bukan hanya Komjaker dan fasilitator. Mungkin dunia juga baru terbuka matanya, akan fakta bahwa Romo Hari bisa naek motor,” kata Felix dalam perbincangan melalui Yahoo Messenger siang ini. Sejumlah fasilitator yang ada di sana was-was, lantaran kondisi motor Felix, yang tidak terlalu mudah untuk dikendarai. Saya sendiri pernah membawa motor itu, dan merasakan deg-degan, karena stang motor itu sungguh tidak mudah dikendarai, kecuali oleh pemiliknya sendiri, yang tetap saja berani membawanya dengan kecepatan cukup tinggi.
Oya, di pelatihan public speaking itu, Romo Hari berlaku iseng. Saat seorang Komjaker tengah unjuk kebolehan dalam simulasi orasi dengan penuh semangat, tiba-tiba Romo Hari melempari sang orator dan “massa” dengan puluhan permen. Sekumpulan “massa” itu pun kontan bubar, dan lebih memilih untuk memunguti permen demi permen, ketimbang menyimak omongan sang orator. Belakangan, ia menjelaskan bahwa hal itu ada bagian simulasi dari “operasi kontra demo” yang ia refleksikan dari teori intelijen, bahwa baik orator maupun massa harus sama-sama menjaga konsentrasi. “Pas latihan orasi, itu oratornya semangat, massa juga. Oleh Romo Hari mereka dilempari permen, ‘massa’ bubar, sang oratorpun kehilangan konsentrasi,” ujar Felix.
Romo Hari, selamat memasuki lembar kelimapuluhenam dalam hidup ini. Selamat melanjutkan karya keselamatan di lembar yang masih baru ini. Lima puluh lima lembar yang lalu, sudah diisi dengan berbagai sukacita dan sukaduka. Keberhasilan, kegagalan, kegembiraan, kesedihan sudah membuncah di sana-sini. Kiranya, itu semualah yang membentuk Romo sampai saat ini.
Tak ada kado untuk diberi. Saya hanya memiliki kisah ini untuk dibagi. Dibagi, dengan harapan bisa menjadi bahan untuk direnungkan. Tidak hanya untuk Romo, melainkan juga untuk teman-teman lainnya di Komjak.
Tuhan memberkati kita semua… Amin
Suatu pagi 6 Agustus 2009, di Tirtayasa VII No.1, Kebayoran Baru.
05 August 2009
Tak Ada Si Doel di Ragunan
Arak-arakan itu benar-benar mengganggu lalu-lintas. Menurut Traffic Management Centre (TMC) Ditlantas Polda Metro Jaya, ada sekitar 15 ribu anggota dan simpatisan FBR diperkirakan yang terjun dalam arak-arakan itu. Mereka datang dengan menggunakan sepeda motor dan Metro Mini. Kemacetan terparah terjadi, ketika bus Transjakarta harus mengalah, demi gerombolan massa FBR yang memenuhi semua sisi jalan. Bahkan, mereka tidak segan-segan menggunakan sisi jalan untuk kendaraan dari arah Ragunan. Beginikah cara mereka menunjukkan eksistensi?
Sepasang kaki ini terasa pegal. Bagaimana tidak, dari halte busway Kuningan Timur –tidak jauh dari Hotel Gran Melia– saya harus berdiri sampai pemberhentian akhir di Kebon Binatang Ragunan. Jarak belasan kilometer itu harus saya tempuh selama lebih kurang 60 menit. Dari Halte Mampang, bus yang saya tumpangi berangkat pukul 11.18, dan turun sebelum Halte Ragunan jam 12.14. Meski itu pertama kalinya saya naik bus Transjakarta jurusan Halimun-Ragunan, saya berani bertaruh paling lama jarak itu bisa ditempuh dalam waktu lebih cepat. Bagaimana tidak, ratusan pengguna jalan –sekurangnya dari Kuningan– harus mengalah pada arak-arakan anggota dan simpatisan Forum Betawi Rempug (FBR) yang menuju ke Kebun Binatang Ragunan. Mereka menuju ke sana, untuk menghadiri Milad ke-8 FBR, sekaligus peringatan 100 hari wafatnya KH Fadloli El Muhir, pendiri FBR. Arak-arakan itu benar-benar mengganggu lalu-lintas. Menurut Traffic Management Centre (TMC) Ditlantas Polda Metro Jaya, ada sekitar 15 ribu anggota dan simpatisan FBR diperkirakan yang terjun dalam arak-arakan itu. Mereka datang dengan menggunakan sepeda motor dan Metro Mini. Kemacetan terparah terjadi, ketika bus Transjakarta harus mengalah, demi gerombolan massa FBR yang memenuhi semua sisi jalan. Bahkan, mereka tidak segan-segan menggunakan sisi jalan untuk kendaraan dari arah Ragunan. Beginikah cara mereka menunjukkan eksistensi?
Di Minggu 2 Agustus lalu itu, berkali-kali, ponsel saya bergetar. Artinya, berkali-kali pula saya harus merogoh saku celana untuk membaca dan mengirim pesan pendek dari beberapa teman, di antara himpitan para penumpang bus transjakarta yang lain. Dua dari delapan teman yang rencananya akan bersenang-senang di Kebon Binatang Ragunan telah tiba di sana. Saya membalas pesan-pesan pendek mereka seraya menggerutu. Menggerutu, karena rencana untuk tiba di Ragunan sekitar jam 11 siang harus tertunda, lantaran pawai kendaraan FBR itu.
Ngomong-ngomong soal orang Betawi, saya tidak bisa memalingkan pikiran saya dari sosok Si Doel, yang sempat kondang diperankan aktor Rano Karno di layar kaca. Sosok Si Doel yang diperankan Rano sungguh santun. Ia sungguh menghargai tetangga dan kerabatnya. Tentu, saya tidak perlu panjang lebar menceritakan bagaimana keluarga Si Doel menjalin relasi dengan Mas Karyo, Pak Bendot, dan tokoh-tokoh lain dalam sinetron itu. Meski digambarkan sebagai sosok yang santun, Si Doel juga bisa bersikap tegas. Silahkan mengingat-ingat lagi sinetron itu.
Tetapi, apa lacur. Kemarin saya justru menyaksikan dengan sepasang mata sendiri, sekitar 15 ribu orang yang mengaku orang Betawi, namun melakukan hal yang bertolak belakang dengan apa yang coba diperankan oleh Rano Karno, yang sekarang jadi Wakil Bupati Tangerang itu, di sinetron. Tentu kita tahu, ini bukan pertama kalinya FBR melakukan aksi seperti ini. Mereka juga bukan satu-satunya ormas di republik ini, khususnya di Jakarta, yang doyan unjuk kekuatan massa dengan cara seperti ini.
Di sepanjang jalan, terutama selepas perempatan Departemen Pertanian, terlihat jelas betapa massa FBR ini betul-betul melumpuhkan lalu-lintas. Satu badan jalan ternyata tidak cukup untuk mereka. Mereka akhirnya juga harus memaksa pengguna kendaraan dari arah Ragunan mengalah, dan memberikan jalan itu untuk mereka. Sejumlah kendaraan pribadi dan angkutan umum harus menyingkir, demi massa FBR itu. Dan kami, penumpang Bus Transjakarta juga harus mengalah, dengan turun sekitar 100 meter menjelang halte terakhir, Ragunan.
Bang Doel, di mana engkau berada hari Minggu lalu? Mengapa kau tak ada di Ragunan?
Dalam hati, saya teringat kembali syair lagu ini…
Anak betawi, ketinggalan zaman..katenye!
Anak betawi, gak berbudaye...katenye!
Aduh, sialan!! Nih si Doel anak betawi asli.
Kerjaannye sembahyang mengaji
Tapi jangan bikin die...sakit hati..
Bikin perih sekali..hey!! orang bisa mati...
Sepasang kaki ini terasa pegal. Bagaimana tidak, dari halte busway Kuningan Timur –tidak jauh dari Hotel Gran Melia– saya harus berdiri sampai pemberhentian akhir di Kebon Binatang Ragunan. Jarak belasan kilometer itu harus saya tempuh selama lebih kurang 60 menit. Dari Halte Mampang, bus yang saya tumpangi berangkat pukul 11.18, dan turun sebelum Halte Ragunan jam 12.14. Meski itu pertama kalinya saya naik bus Transjakarta jurusan Halimun-Ragunan, saya berani bertaruh paling lama jarak itu bisa ditempuh dalam waktu lebih cepat. Bagaimana tidak, ratusan pengguna jalan –sekurangnya dari Kuningan– harus mengalah pada arak-arakan anggota dan simpatisan Forum Betawi Rempug (FBR) yang menuju ke Kebun Binatang Ragunan. Mereka menuju ke sana, untuk menghadiri Milad ke-8 FBR, sekaligus peringatan 100 hari wafatnya KH Fadloli El Muhir, pendiri FBR. Arak-arakan itu benar-benar mengganggu lalu-lintas. Menurut Traffic Management Centre (TMC) Ditlantas Polda Metro Jaya, ada sekitar 15 ribu anggota dan simpatisan FBR diperkirakan yang terjun dalam arak-arakan itu. Mereka datang dengan menggunakan sepeda motor dan Metro Mini. Kemacetan terparah terjadi, ketika bus Transjakarta harus mengalah, demi gerombolan massa FBR yang memenuhi semua sisi jalan. Bahkan, mereka tidak segan-segan menggunakan sisi jalan untuk kendaraan dari arah Ragunan. Beginikah cara mereka menunjukkan eksistensi?
Di Minggu 2 Agustus lalu itu, berkali-kali, ponsel saya bergetar. Artinya, berkali-kali pula saya harus merogoh saku celana untuk membaca dan mengirim pesan pendek dari beberapa teman, di antara himpitan para penumpang bus transjakarta yang lain. Dua dari delapan teman yang rencananya akan bersenang-senang di Kebon Binatang Ragunan telah tiba di sana. Saya membalas pesan-pesan pendek mereka seraya menggerutu. Menggerutu, karena rencana untuk tiba di Ragunan sekitar jam 11 siang harus tertunda, lantaran pawai kendaraan FBR itu.
Ngomong-ngomong soal orang Betawi, saya tidak bisa memalingkan pikiran saya dari sosok Si Doel, yang sempat kondang diperankan aktor Rano Karno di layar kaca. Sosok Si Doel yang diperankan Rano sungguh santun. Ia sungguh menghargai tetangga dan kerabatnya. Tentu, saya tidak perlu panjang lebar menceritakan bagaimana keluarga Si Doel menjalin relasi dengan Mas Karyo, Pak Bendot, dan tokoh-tokoh lain dalam sinetron itu. Meski digambarkan sebagai sosok yang santun, Si Doel juga bisa bersikap tegas. Silahkan mengingat-ingat lagi sinetron itu.
Tetapi, apa lacur. Kemarin saya justru menyaksikan dengan sepasang mata sendiri, sekitar 15 ribu orang yang mengaku orang Betawi, namun melakukan hal yang bertolak belakang dengan apa yang coba diperankan oleh Rano Karno, yang sekarang jadi Wakil Bupati Tangerang itu, di sinetron. Tentu kita tahu, ini bukan pertama kalinya FBR melakukan aksi seperti ini. Mereka juga bukan satu-satunya ormas di republik ini, khususnya di Jakarta, yang doyan unjuk kekuatan massa dengan cara seperti ini.
Di sepanjang jalan, terutama selepas perempatan Departemen Pertanian, terlihat jelas betapa massa FBR ini betul-betul melumpuhkan lalu-lintas. Satu badan jalan ternyata tidak cukup untuk mereka. Mereka akhirnya juga harus memaksa pengguna kendaraan dari arah Ragunan mengalah, dan memberikan jalan itu untuk mereka. Sejumlah kendaraan pribadi dan angkutan umum harus menyingkir, demi massa FBR itu. Dan kami, penumpang Bus Transjakarta juga harus mengalah, dengan turun sekitar 100 meter menjelang halte terakhir, Ragunan.
Bang Doel, di mana engkau berada hari Minggu lalu? Mengapa kau tak ada di Ragunan?
Dalam hati, saya teringat kembali syair lagu ini…
Anak betawi, ketinggalan zaman..katenye!
Anak betawi, gak berbudaye...katenye!
Aduh, sialan!! Nih si Doel anak betawi asli.
Kerjaannye sembahyang mengaji
Tapi jangan bikin die...sakit hati..
Bikin perih sekali..hey!! orang bisa mati...
Subscribe to:
Posts (Atom)