22 April 2013
Media Massa dan Pembodohan Massal
20 April 2013
Wakil Rakyat, Beda Era Beda Motif
Sejak beberapa tahun belakangan, kalangan artis, atlet yang sudah mandul prestasi, ikut-ikutan terjun ke dunia itu. Mirisnya, bahkan seorang anak presiden yang baru-baru ini mundur dari Senayan, tanpa malu menyatakan niat untuk kembali maju dalam pertarungan perebutan kursi 2014.
Eddy Baskoro Yudhoyoo alias Ibas kembali menarik perhatian publik. Setelah terpergok wartawan hanya mengisi absen tanpa masuk ruang rapat, ia mengajukan pengunduran diri dari DPR. Dalihnya: konsentrasi di partai. Tapi tak lama berselang, sejumlah petinggi Partai Demokrat menyatakan ia akan maju kembali untuk memperebutkan suara dari Dapil Jawa Timur VII. Ia akan ‘diperalat’ Partai Demokrat untuk mengeruk suara di Kabupaten Pacitan, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Magetan, dan Kabupaten Ngawi. Setelah meninggalkan parlemen, yang artinya ia khianat atas mandat para pemilihnya, tanpa malu Partai Demokrat terang-terangan akan mengajukan dirinya untuk pemilu 2014.
"Mas Ibas sudah jelas jadi vote getter yang terbesar di daerahnya. Kalau dia maju akan mempermudah mekanisme sistem seperti ini untuk Demokrat mendapat suara terbanyak," begitu kata Ketua DPP Partai Demokrat Gede Pasek Suardika.
“Maju caleg untuk menyerap suara,” ujar anggota Dewan Pembina PD Ahmad Mubarok.
Menurut dia, jika nanti terpilih, Ibas akan langsung mundur. Perolehan suara Ibas nanti diberikan kepada caleg urutan selanjutnya. “Dia potensial menarik suara. Dia pada (Pemilu) 2009 suaranya tertinggi se-Indonesia,” imbuhnya. Entah apa yang ada di pikiran para petinggi Demokrat itu. Suara para pemilih dianggap sebagai angin lalu. Setiap lembar suara itu tak ubahnya sebuah pesan: “tolong perjuangkan nasib kami lewat Dewan.”
Itu cerita Ibas. Satu yang menarik saya temui dari ungkapan salah satu politisi muda Partai Demokrasi Indonesi Perjuangan (PDIP) Maruarar Sirait. Dalam sebuah acara, ia menceritakan bagaimana ia maju sebagai wakil rakyat di DPR RI, karena sanggup meraih simpati publik dari daerah pemilihan Subang, Majalengka, dan Sumedang yang 95 persen beragama Islam, dan tentu saja bersuku Sunda.
“Kalau orang Medan maju dari Medan, orang Papua maju dari Papu, saya rasa ini bukan Indonesia yang kita mau,” tegasnya.
***
Ingatan saya melayang kembali ke sebuah obrolan dengan salah satu petinggi Partai Komunis Indonesia. Oey Hay Djoen namanya. Tahun 2006 saya pernah menyambanginya di rumahnya yang sejuk di Cibubur, Jakarta Timur.
Oey yang dulu juga pegiat Lekra itu menyambut dengan ramah kedatangan saya. Keletihan yang terlihat di wajahnya seolah ia ingin sembunyikan dari saya. Bagaimana tidak letih? Saban hari ia berkutat dengan penerjemahan buku-buku asing bertema filsafat dan sejenisnya.
Salah satu pegiat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang lalu menjadi elit Partai Komunis Indonesia, almarhum Oey Hay Djoen pernah bercerita, bagaimana tahun 1954 ia didatangi beberapa petinggi PKI untuk menjadi calon anggota DPR dan Konstituante dalam Pemilu 1955. Saat itu Oey bekerja sebagai Sekretaris Organisasi Perusahaan Sejenis. Ia menjadi Sekretaris Gabungan Perusahaan-Perusahaan Rokok tingkat nasional.
“Mereka minta apakah aku bersedia dicalonkan oleh PKI untuk masuk ke DPR dan Konstituante pada waktu itu,” kata Oey.
Ia sontak bingung, dan menganggap ajakan itu penting. Karena, pada waktu itu ia sama sekali bukan anggota partai palu arit itu. PKI meminta orang seperti Oey ini membuat program partai untuk pengusaha nasional, seniman, agar bisa memperjuangkannya di parlemen.
Tapi era sudah berganti. Menjadi anggota dewan sekarang, tak ubahnya profesi ‘basah’. Profesi itu bisa menghantarkan seseorang memasuki kelas sosial ekonomi yang lebih tinggi. Hakikat mereka sebagai wakil rakyat seperti dilantunkan Iwan Fals dalam lagunya sungguh makin jauh panggang dari api. Simak saja liriknya, “Wakil rakyat seharusnya merakyat...”
Saya ingin mengutip pidato Walikota New York Michael Bloomberg. “Political controversies come and go, but our values and our traditions endure.” Itu ia ucapkan menanggapi penolakan sebagian besar warganya atas pendirian masjid dan Islamic Cultural Centre kurang lebih satu blok dari tempat kejadian hancurnya WTC New York.
Begitulah (calon) anggota legislatif dari masa ke masa. Beda era, beda pula motifnya.
SBY, Twitter, dan Paradoks Komunikasi
Kancah twitter Indonesia memang sedang heboh, setelah orang yang nangkring di tampuk kekuasaan tertinggi di negri ini, ikut-ikutan berkicau di sana. Saban hari, situs berita mengulasnya. Ruang siar di radio-radio tanah air juga tak ketinggalan mengulasnya. Seperti dikutip banyak media, ada yang berkomentar nyinyir seperti, “Mending ngurus negara aja deh. Daripada twitteran mulu.” Tak sedikit yang minta difolbek, alias follow back.
Sebagai salah satu ikon populer di internet, twitter sungguh sarat dengan paradoks. Barangkali anda pernah mendengar ungkapan bahwa internet ini mendekatkan yang jauh sekaligus menjauhkan yang dekat. Sudah pemandangan yang jamak kalau kita naik bus kota, ada orang yang cengar-cengir sendiri sambil mengelus-elus ponselnya. Tapi di saat yang bersamaan, kita mengabaikan penumpang lain yang barangkali membutuhkan tempat duduk. Atau mungkin kita tak sadar, tangan jahil copet tengah beraksi.
Rupanya, presiden yang namanya Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY juga terjangkit ‘endemi’ ini. Polahnya betul-betul paradoksal. Perhatikan cuitan pertamanya 13 April lalu: “Halo Indonesia. Saya bergabung ke dunia twitter untuk ikut berbagi sapa, pandangan dan inspirasi. Salam kenal. *SBY* ” Bapak dari Pacitan itu merasa yakin, bergabungnya ia ke twiter land bisa mendekatkan dirinya dengan masyarakat. Ia tak sadar, bahwa komunikasi via dunia maya hanyalah pelengkap dari komunikasi tradisional: tatap muka.
Tapi faktanya apa? Kegiatan blusukan yang ia lakukan hanya berusia jagung. Kesan seremonial nan kaku lebih kuat terasa, ketimbang suasana penuh kehangatan.
Kalau kita tengok ke belakang, di masanya dulu, para pegiat Lembaga Kebudayaan Rakyat alias Lekra sudah menjalankan itu dengan istilah turba alias turun ke bawah. Bukan secara sporadis. Bukan untuk semata pencitraan (walau harus kita sadari, tanpa pencitraan politik tak akan pernah ada) yang kadang memualkan. Ya, memualkan karena lebih mengedepankan polesan menor ketimbang substansi. Pada masanya, Lekra melakukannya secara sistematis. Seniman-seniman berbulan-bulan hidup di tengah masyarakat agar dapat menghasilkan karya seni yang betul-betul mengangkat denyut nadi kaum tertindas.
Kembali ke soal SBY dan mainan baru twitternya. Salah satu tujuan dari dibuatnya akun twitter itu adalah untuk mendekatkan diri dengan rakyat dan mendengar aspirasi secara langsung. Akun Twitter Presiden akan dikelola oleh tim. Namun, Presiden bisa nge-tweet sendiri jika ada informasi penting yang ingin disampaikan kepada publik. Itu saya kutip dari Kompas.com.
Saya barangkali hanya satu dari sekian banyak orang yang bertanya-tanya, kenapa (baru) di ujung masa pemerintahannya SBY nongol di twitter. Kalau mau mendekatkan diri, kenapa baru sekarang? Lagipula, apa iya selama ini SBY dan jajarannya kekurangan media untuk berkomunikasi dengan rakyat? Seharusnya, bapak mertua Anisa Pohan ini tak usah was-was, karena apapun yang ia lakukan pasti akan jadi bahan liputan. Cucunya lahir diliput. Ia terserang flu diliput. Pamer hobi memasak diliput. Semua bisa diliput tanpa ia harus repot-repot mengerahkan media. Ia tak seperti seorang teman saya yang selalu cemberut, kalau acara yang ia gelar hanya diliput segelintir wartawan.
Anehnya lagi, kalau SBY benar mau menangkap aspirasi masyarakat, kenapa ia sangat selektif dalam mem-follow akun twitter orang lain? Para wartawan kepresidenanpun harus diundi untuk dapat ‘keberuntungan’ di-follow menantu Sarwo Edhie Wibowo ini. Apakah dengan mem-follow para artis ia merasa bisa menangkap aspirasi masyarakat?
Paradoks itu benar-benar terasa baunya.