20 April 2013

SBY, Twitter, dan Paradoks Komunikasi

Di tengah kemacetan Jakarta, biasanya saya selalu dihibur oleh penyiar-penyiar nan kocak di 101 Jak FM. Sudah beberapa hari ini banyolan di radio itu –barangkali juga di radio lain– mengambil tema Presiden SBY dan akun twitternya yang baru. Sepulang kantor sambil sesekali mengutuk kemacetan karena banjir, saya mendengar SBY baru saja mem-follow beberapa artis seperti Gading Marten, Julia Estelle, Addi MS, Masayu Anastasia. Sebelumnya ia juga sudah follow akun twitter Boediono sang wapres, dan anggota keluarga Cikeas.

Kancah twitter Indonesia memang sedang heboh, setelah orang yang nangkring di tampuk kekuasaan tertinggi di negri ini, ikut-ikutan berkicau di sana. Saban hari, situs berita mengulasnya. Ruang siar di radio-radio tanah air juga tak ketinggalan mengulasnya. Seperti dikutip banyak media, ada yang berkomentar nyinyir seperti, “Mending ngurus negara aja deh. Daripada twitteran mulu.” Tak sedikit yang minta difolbek, alias follow back.

Sebagai salah satu ikon populer di internet, twitter sungguh sarat dengan paradoks. Barangkali anda pernah mendengar ungkapan bahwa internet ini mendekatkan yang jauh sekaligus menjauhkan yang dekat. Sudah pemandangan yang jamak kalau kita naik bus kota, ada orang yang cengar-cengir sendiri sambil mengelus-elus ponselnya. Tapi di saat yang bersamaan, kita mengabaikan penumpang lain yang barangkali membutuhkan tempat duduk. Atau mungkin kita tak sadar, tangan jahil copet tengah beraksi.

Rupanya, presiden yang namanya Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY juga terjangkit ‘endemi’ ini. Polahnya betul-betul paradoksal. Perhatikan cuitan pertamanya 13 April lalu: “Halo Indonesia. Saya bergabung ke dunia twitter untuk ikut berbagi sapa, pandangan dan inspirasi. Salam kenal. *SBY* ” Bapak dari Pacitan itu merasa yakin, bergabungnya ia ke twiter land bisa mendekatkan dirinya dengan masyarakat. Ia tak sadar, bahwa komunikasi via dunia maya hanyalah pelengkap dari komunikasi tradisional: tatap muka.

Tapi faktanya apa? Kegiatan blusukan yang ia lakukan hanya berusia jagung. Kesan seremonial nan kaku lebih kuat terasa, ketimbang suasana penuh kehangatan.

Kalau kita tengok ke belakang, di masanya dulu, para pegiat Lembaga Kebudayaan Rakyat alias Lekra sudah menjalankan itu dengan istilah turba alias turun ke bawah. Bukan secara sporadis. Bukan untuk semata pencitraan (walau harus kita sadari, tanpa pencitraan politik tak akan pernah ada) yang kadang memualkan. Ya, memualkan karena lebih mengedepankan polesan menor ketimbang substansi. Pada masanya, Lekra melakukannya secara sistematis. Seniman-seniman berbulan-bulan hidup di tengah masyarakat agar dapat menghasilkan karya seni yang betul-betul mengangkat denyut nadi kaum tertindas.

Kembali ke soal SBY dan mainan baru twitternya. Salah satu tujuan dari dibuatnya akun twitter itu adalah untuk mendekatkan diri dengan rakyat dan mendengar aspirasi secara langsung. Akun Twitter Presiden akan dikelola oleh tim. Namun, Presiden bisa nge-tweet sendiri jika ada informasi penting yang ingin disampaikan kepada publik. Itu saya kutip dari Kompas.com.

Saya barangkali hanya satu dari sekian banyak orang yang bertanya-tanya, kenapa (baru) di ujung masa pemerintahannya SBY nongol di twitter. Kalau mau mendekatkan diri, kenapa baru sekarang? Lagipula, apa iya selama ini SBY dan jajarannya kekurangan media untuk berkomunikasi dengan rakyat? Seharusnya, bapak mertua Anisa Pohan ini tak usah was-was, karena apapun yang ia lakukan pasti akan jadi bahan liputan. Cucunya lahir diliput. Ia terserang flu diliput. Pamer hobi memasak diliput. Semua bisa diliput tanpa ia harus repot-repot mengerahkan media. Ia tak seperti seorang teman saya yang selalu cemberut, kalau acara yang ia gelar hanya diliput segelintir wartawan.

Anehnya lagi, kalau SBY benar mau menangkap aspirasi masyarakat, kenapa ia sangat selektif dalam mem-follow akun twitter orang lain? Para wartawan kepresidenanpun harus diundi untuk dapat ‘keberuntungan’ di-follow menantu Sarwo Edhie Wibowo ini. Apakah dengan mem-follow para artis ia merasa bisa menangkap aspirasi masyarakat?

Paradoks itu benar-benar terasa baunya.

No comments:

Fransiskus Pascaries