20 April 2013

Wakil Rakyat, Beda Era Beda Motif

Parpol sedang disibukkan dengan urusan Daftar Calon Sementara anggota legislatif untuk Pemilu 2014. Beragam polah para politisi itu. Ada Yenny Wahid yang dilamar Partai Persatuan Pembangunan, setelah menolak bergabung dengan Partai Demokrat. Ada Bang Haji Rhoma Irama dan anaknya Ridho yang juga akan mencoba peruntungan di partai itu. Ada juga kakak beradik Ananda Mikola dan Moreno Suprapto yang maju lewat Gerindra. Hmmmmm....

Sejak beberapa tahun belakangan, kalangan artis, atlet yang sudah mandul prestasi, ikut-ikutan terjun ke dunia itu. Mirisnya, bahkan seorang anak presiden yang baru-baru ini mundur dari Senayan, tanpa malu menyatakan niat untuk kembali maju dalam pertarungan perebutan kursi 2014.

Eddy Baskoro Yudhoyoo alias Ibas kembali menarik perhatian publik. Setelah terpergok wartawan hanya mengisi absen tanpa masuk ruang rapat, ia mengajukan pengunduran diri dari DPR. Dalihnya: konsentrasi di partai. Tapi tak lama berselang, sejumlah petinggi Partai Demokrat menyatakan ia akan maju kembali untuk memperebutkan suara dari Dapil Jawa Timur VII. Ia akan ‘diperalat’ Partai Demokrat untuk mengeruk suara di Kabupaten Pacitan, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Magetan, dan Kabupaten Ngawi. Setelah meninggalkan parlemen, yang artinya ia khianat atas mandat para pemilihnya, tanpa malu Partai Demokrat terang-terangan akan mengajukan dirinya untuk pemilu 2014.

"Mas Ibas sudah jelas jadi vote getter yang terbesar di daerahnya. Kalau dia maju akan mempermudah mekanisme sistem seperti ini untuk Demokrat mendapat suara terbanyak," begitu kata Ketua DPP Partai Demokrat Gede Pasek Suardika.

“Maju caleg untuk menyerap suara,” ujar anggota Dewan Pembina PD Ahmad Mubarok.

Menurut dia, jika nanti terpilih, Ibas akan langsung mundur. Perolehan suara Ibas nanti diberikan kepada caleg urutan selanjutnya. “Dia potensial menarik suara. Dia pada (Pemilu) 2009 suaranya tertinggi se-Indonesia,” imbuhnya. Entah apa yang ada di pikiran para petinggi Demokrat itu. Suara para pemilih dianggap sebagai angin lalu. Setiap lembar suara itu tak ubahnya sebuah pesan: “tolong perjuangkan nasib kami lewat Dewan.”

Itu cerita Ibas. Satu yang menarik saya temui dari ungkapan salah satu politisi muda Partai Demokrasi Indonesi Perjuangan (PDIP) Maruarar Sirait. Dalam sebuah acara, ia menceritakan bagaimana ia maju sebagai wakil rakyat di DPR RI, karena sanggup meraih simpati publik dari daerah pemilihan Subang, Majalengka, dan Sumedang yang 95 persen beragama Islam, dan tentu saja bersuku Sunda.

“Kalau orang Medan maju dari Medan, orang Papua maju dari Papu, saya rasa ini bukan Indonesia yang kita mau,” tegasnya.

***

Ingatan saya melayang kembali ke sebuah obrolan dengan salah satu petinggi Partai Komunis Indonesia. Oey Hay Djoen namanya. Tahun 2006 saya pernah menyambanginya di rumahnya yang sejuk di Cibubur, Jakarta Timur.

Oey yang dulu juga pegiat Lekra itu menyambut dengan ramah kedatangan saya. Keletihan yang terlihat di wajahnya seolah ia ingin sembunyikan dari saya. Bagaimana tidak letih? Saban hari ia berkutat dengan penerjemahan buku-buku asing bertema filsafat dan sejenisnya.

Salah satu pegiat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang lalu menjadi elit Partai Komunis Indonesia, almarhum Oey Hay Djoen pernah bercerita, bagaimana tahun 1954 ia didatangi beberapa petinggi PKI untuk menjadi calon anggota DPR dan Konstituante dalam Pemilu 1955. Saat itu Oey bekerja sebagai Sekretaris Organisasi Perusahaan Sejenis. Ia menjadi Sekretaris Gabungan Perusahaan-Perusahaan Rokok tingkat nasional.

“Mereka minta apakah aku bersedia dicalonkan oleh PKI untuk masuk ke DPR dan Konstituante pada waktu itu,” kata Oey.

Ia sontak bingung, dan menganggap ajakan itu penting. Karena, pada waktu itu ia sama sekali bukan anggota partai palu arit itu. PKI meminta orang seperti Oey ini membuat program partai untuk pengusaha nasional, seniman, agar bisa memperjuangkannya di parlemen.

Tapi era sudah berganti. Menjadi anggota dewan sekarang, tak ubahnya profesi ‘basah’. Profesi itu bisa menghantarkan seseorang memasuki kelas sosial ekonomi yang lebih tinggi. Hakikat mereka sebagai wakil rakyat seperti dilantunkan Iwan Fals dalam lagunya sungguh makin jauh panggang dari api. Simak saja liriknya, “Wakil rakyat seharusnya merakyat...”

Saya ingin mengutip pidato Walikota New York Michael Bloomberg. “Political controversies come and go, but our values and our traditions endure.” Itu ia ucapkan menanggapi penolakan sebagian besar warganya atas pendirian masjid dan Islamic Cultural Centre kurang lebih satu blok dari tempat kejadian hancurnya WTC New York.

Begitulah (calon) anggota legislatif dari masa ke masa. Beda era, beda pula motifnya.

No comments:

Fransiskus Pascaries