06 October 2013

Mahkamah Konstitusi

Banyak orang di republik ini tersentak ketika Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap lalu digelandang dari rumahnya ke gedung Komisi Pemberantasan Korupsi. Banyak pula orang marah, sedih, serta kecewa karena berita ini. Sampai-sampai ada wacana dari sejumlah politisi, tokoh nasional dan warga sipil untuk membubarkan lembaga ini, atau sekurangnya mengurangi kewenangan luar biasa yang dimiliki MK.

Tapi semudah dan sesederhana itukah untuk membubarkan atau mengurangi peran MK? Tulisan ini sedikit mau mengetengahkan sejarah dan pentingnya peran MK di sebuah negara. Tak hanya di Indonesia tapi juga di negara lain di dunia.

Tahun 2006 sebagai kontributor Majalah Hidup saya mewawancarai Benny K Harman, yang saat itu adalah anggota DPR RI dari Fraksi Partai Demokrat. Sebelumnya, pada 20 Mei 2006 Benny mempertahankan disertasi setebal 500 halaman berjudul ”Perkembangan Pemikiran Mengenai Perlunya Pengujian UU Terhadap UUD Dalam Sejarah Ketatanegaraan Indonesia (1945-2004)” di depan tim penguji Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Benny menempuh program doktor di UI sejak 2001. Pembimbing sekaligus Ketua Pengujinya adalah Prof Dr Jimly Asshiddiqie SH, Ketua Mahkamah Konstitusi RI yang pertama.

Naskah saya terbit pada edisi No. 30, tanggal 23 Juli 2006 dalam rubrik Eksponen.

Menurut Benny, ada dua hal penting yang mendorongnya menulis disertasi dengan topik ini. Pertama, berkaitan dengan posisi konstitusi dalam sebuah negara yang menganut paham demokrasi. Kedua, berkaitan dengan bagaimana menjaga dan melindungi konstitusi.

”Dalam paham negara demokrasi, konstitusi adalah norma hukum paling tinggi. Kalau dia merupakan norma hukum paling tinggi, maka segala kebijakan pemerintah, semua penyelenggaraan kekuasaan negara harus tunduk pada konstitusi,” ujar mantan wartawan bidang hukum dan politik Harian Umum Media Indonesia ini.

Yamin vs Soepomo Dalam ringkasan disertasi setebal 129 halaman Benny menjelaskan, Muhammad Yamin adalah orang pertama yang mencetuskan pemikiran tentang perlunya kekuasaan kehakiman untuk memiliki kewenangan menguji UU terhadap konstitusi atau UUD. Hal itu mengemuka dalam sidang pleno Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) atau Dokuritsu Zyunbi Tjoosakai pada 15 Juli 1945.

Yamin mengusulkan itu karena ingin menjadikan Indonesia sebagai negara kedaulatan rakyat, negara demokrasi yang mengacu pada konstitusi. Bukan negara demokrasi berdasarkan majority system, melainkan negara demokrasi yang berbasis konstitusi.

Dalam penilaian Soepomo, paham yang diusulkan Yamin mengenai pengujian UU itu adalah paham liberal yang merupakan ’anak kandung’ dari sistem demokrasi liberal. Sementara Soepomo menghendaki sebuah negara integralistik yang khas Indonesia. ”Pemikiran Yamin itu ditolak oleh Soepomo yang menginginkan negara integralistik,”jelas Benni.

Yamin berpendapat, negara khas Indonesia memang mengakui kedaulatan rakyat. Tetapi, kedaulatan rakyat itu diserahkan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melalui Pemilu, lalu MPR menyerahkan kembali kepada Presiden sebagai Mandataris.

Benny juga membandingkan pengujian UU terhadap UUD di Indonesia dengan beberapa negara di dunia, terutama Jerman yang telah belajar dari sejarah bangsanya. Di Negeri Bavaria itu, demikian Benny, pengujian dilakukan oleh sebuah lembaga semacam Mahkamah Konstitusi (MK). Tahun 1945, ketika Adolf Hitler masih berkuasa, pengadilan telah dijadikan alat oleh rezim yang berkuasa untuk menindas hak-hak asasi rakyat Jerman pada waktu itu.

”Hampir semua negara yang waktu itu mengalami transisi, dari rezim otoriter menuju demokrasi, memiliki MK sebagai salah satu institusi yang bertugas menjaga agar proses transisi itu berjalan on the right track,” Benny menambahkan.

Benny juga mengutip pandangan Sutan Syahrir 60 tahun silam. Waktu itu Syahrir menandaskan bahwa usaha untuk mengontrol UU jangan diserahkan ke pengadilan, yang sudah lama bekerja untuk rezim yang represif. Portugal (1986), Spanyol (1978) membentuk MK setelah melepaskan diri dari rezim otoriter. Pasca keruntuhan komunisme, muncul gelombang baru yang menuntut tegaknya konstitusionalisme di negara-negara lain di Eropa bagian timur dan tengah, dengan turut membentuk MK guna menguji tindakan pemerintah dan peraturan perundang-undangan terhadap UUD. Di benua itu, Luxemburg menjadi negara terakhir yang membentuk MK tahun 1998, meninggalkan Inggris dan Belanda. Sementara di Asia, Korea Selatan sudah memiliki lembaga semacam MK tahun 1988, disusul Thailand satu dekade kemudian. Indonesia menjadi negara terbaru (sampai tahun 2006 ketika wawancara ini saya lakukan) di kawasan Asia yang mendirikan MK yang ia juluki sebagai the guardian of the constitution.

MK memang tengah dihantam badai. Tapi membubarkannya tentu tak lantas menyelesaikan masalah. MK, dengan segala macam cara yang mungkin, harus kita topang.

No comments:

Fransiskus Pascaries