29 September 2014
Setelah Sepuluh Tahun
Buat sebagian orang, kalau tulisannya dimuat di media massa tentu adalah hal biasa saja. Tapi bagi saya, apa yang saya alami pada 25 September 2004, sungguh menggembirakan. Naskah saya dimuat di Harian Kompas Edisi Jawa Tengah - DIY. Tulisan itu berjudul Pilkada Langsung: Peluang dan Tantangan.
Malam sebelumnya, saya menginap di sekretariat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia di Kayuputih, Purwokerto Timur. Seperti biasa, ada loper koran yang mengantarkan harian Kompas tiap pagi. Hari itu saya menunggu dengan harap-harap cemas, setelah tanggal 23 September 2004 saya mengirimkan naskah untuk rubrik Akademia itu. Hampir tiap pekan saya mengirim naskah untuk rubrik itu, dan tak pernah dimuat. Sampai akhirnya 25 September penantian saya itu berujung.
Tulisan saya menyoroti secara khusus peluang dan tantangan yang harus dihadapi kalau opsi pilkada langsung diambil. Saya tulis dalam artikel itu, Pilkada langsung akan membuka peluang untuk “mengurangi praktek politik uang dan korupsi yang sudah begitu subur di banyak DPRD. Begitu banyak praktek korupsi yang melibatkan pihak eksekutif dan legislatif di daerah, seperti dalam pembacaan laporan pertanggungjawaban bupati/walikota, lobi-lobi antar anggota dewan untuk menggolkan calon bupati/walikota dari partai tertentu, atau korupsi bupati/walikota dengan DPRD dalam proyek-proyek di daerah.”
Dalam tulisan itu, saya juga menegaskan bahwa praktek-praktek itu tentu tidak bisa ditolerir. Pilkada secara langsung akan dipantau oleh masyarakat sehingga dapat mengikis sedikit demi sedikit praktek money politics.
Peluang kedua jika pilkada langsung dapat segera dilaksanakan, adalah semakin terbukanya kemungkinan rakyat untuk dapat menyatakan secara langsung kehendak politiknya. Hal itu akan berimbas pada rasa memiliki warga pada daerahnya, sehingga bupati/walikota yang terpilih secara langsung dapat didukung sekaligus dikontrol oleh masyarakat setempat sebagai konstituennya.
Selain peluang, ada juga beberapa tantangan yang harus diwaspadai. Pertama adalah, kemungkinan akan semakin menguatnya semangat kedaerahan yang jika tidak dipahami secara komprehensif dapat terjerumus ke dalam fanatisme yang sangat sempit. Hanya menghendaki putra daerah setempat sebagai pemegang kekuasaan tanpa mempertimbangkan aspek kompetensi adalah salah satu contohnya. Ancaman kedua, adalah peluang akan meruncingnya konflik antara DPRD dan kepala daerah yang bersangkutan. DPRD dan kepala daerah memiliki legitimasi yang sama-sama kuat karena dipilih secara langsung oleh rakyat, sehingga kepala daerah tidak dapat dijatuhkan oleh DPRD seperti sering terjadi selama ini. Sekitar sepuluh tahun kemudian, kita melihat bagaimana dinamika ini terjadi di DKI Jakarta bukan?
Ancaman selanjutnya, adalah terbukanya kemungkinan konflik horizontal antar pendukung calon kepala daerah.Jika ini tidak diwaspadai, masyarakat tidak dapat secara bersama-sama menikmati hasil dari proses demokratisasi di daerahnya, tetapi justru akan menuai perpecahan di daerah sehingga pada akhirnya stabilitas masyarakat jugalah yang akan terganggu.
Seusai wisuda tanggal 9 Oktober 2004, saya mengajak beberapa teman untuk makan siang untuk syukuran kecil-kecilan. Kami makan di sebuah warung makan di daerah Grendeng, Purwokerto Utara. Seluruh honor saya di Kompas Jateng DIY itu ludes. Tapi saya senang dan sama sekali takmenyesal. Tapi, tepat sepuluh tahun setelah naskah saya dimuat, para wakilrakyat merampas kembali kedaulatan yang sudah dengan susah payah diperjuangkan. Bertahun-tahun. Itulah yang sudah selayaknya saya, atau kita sesalkan bersama.
Kita nantikan episode selanjutnya di Mahkamah Konstitusi!
Sumber foto: http://beritadaerah.co.id/2013/10/23/pilkada-deli-serdang-di-desa-tanjung-gusta-sumut/
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
makasih infonya
Post a Comment