29 January 2008

Jenderal Besar Itu Telah Pergi

Gandaria, Jakarta Selatan sekitar pukul 13.30, Minggu 27/1. Tangan saya tengah memijit-mijit stick Playstation 2, bertarung sepakbola dengan Daniel Awigra di kosnya di bilangan Gandaria, Jakarta Selatan. Satu meter di belakang saya, di atas sebuah meja kecil, ponselnya bergetar. "Kamu sudah tahu kabar terbaru ?" kata orang di seberang sana, yang ternyata adalah Daryadi, Kepala Biro Jakarta Riau Mandiri, atasannya.


Awi menjawab, "Ya, Soeharto kritis kan ?".

"Udah meninggal di RSPP! " ujar Daryadi.

Segera kami mematikan player PS 2 itu dan beralih ke sejumlah stasiun televisi yang tengah menayangkan secara langsung kondisi mantan penguasa Orde Baru itu, yang nafas dan denyutnya telah berhenti pukul 13.10. Usai sudah 87 tahun perjalanan hidup cah ndeso yang akhirnya berhasil menaklukkan tidak hanya Jakarta, tetapi Indonesia ! Bahkan ia pernah menjadi salah satu kepala negara yang paling disegani di kancah internasional, sekurangnya Asia Tenggara. Tidak cuma satu atau dua tahun, namun 32 tahun !

Setelah mencatat informasi-informasi penting ini dan itu dari layar televisi, Awi pun bersiap untuk melaksanakan tugas -tepatnya panggilan- jurnalistiknya. Semula, saya berniat untuk segera pulang ke rumah saya di Cibitung. Namun, setelah menimbang-nimbang bahwa ini adalah momentum bersejarah saya memutuskan untuk ikut bersamanya ke Rumah Sakit Pertamina (RSPP) Jakarta Selatan, tempat tokoh yang dijuluki 'Bapak Pembangunan' itu berbaring sejak 4 Januari lalu.

Sekitar pukul 14.00, dengan sepeda motornya, kami tiba di RSPP. Sebelumnya, kami menyusuri eks lokasi Pasar Barito yang belum lama ini digusur oleh Pemprov DKI Jakarta. Berbelok di sebelah Gereja St.Yohanes Pemandi Blok B, kami menyusuri Jalan Mahakam, Warung Apresiasi Bulungan, hingga tiba di RSPP.

Masuk dari gerbang timur RSPP, sembari menunjukkan kartu pers pada petugas keamanan, kami pun masuk ke lahan parkir tak jauh dari Instalasi Gawat Darurat RS langganan Soeharto itu. Ratusan orang, terutama wartawan, tengah berkerumun di depan pintu keluar IGD. Puluhan petugas keamanan, yang pelan tapi pasti terus didatangkan untuk berjaga-jaga.

Menggotong wartawan

Sebuah mobil jenazah bergerak mundur dan menempatkan 'pantatnya' tiga meter dari pintu keluar IGD. Para juru kamera dan fotografer mulai berancang-ancang. Mereka masing-masing mulai mencari lokasi strategis, untuk bisa membidikkan lensa mereka dengan nyaman dan mendapat hasil yang seeksklusif mungkin.

Sekitar pukul 14.35, setelah terjadi proses dorong-mendorong antara puluhan wartawan, anggota Kopassus, polisi, dan warga sipil, mobil jenazah yang membawa Soeharto ke Jalan Cendana pun bergerak perlahan. Kekacauan tak terelakkan. Di antara kilauan blitz puluhan kamera, aksi dorong-mendorong itu membuat seorang petugas keamanan harus mendaratkan bogem mentahnya ke dada seorang wartawan. Saya mengetahui itu dari Awi, yang kebetulan berada di samping korban dan ikut menggotongnya ke ruang IGD untuk mendapat perawatan.

Lebih kurang pukul 14.54, kami menuju tempat parkir yang terletak sekitar 100 meter dari IGD. Di tengah hiruk-pikuk warga dan aparat keamanan, di depan tiang yang benderanya telah diturunkan setengah, motor kami berlalu dari RSPP melewati sisi utara Kejaksaan Agung, yang tak pernah mampu menyeret Soeharto ke pengadilan. Kami pun lalu menyisir Jalan Sisimangaraja, Depdiknas, Senayan, dan seterusnya untuk menuju Cendana.

Lima belas menit berlalu dari pukul 15.00, kami tiba di Jalan Teuku Umar. Kondisi jalan sudah ramai dengan motor dan kendaraan yang lalu lalang. Kebingungan mencari tempat parkir, membuat kami harus memarkir motor di Jalan Suwiryo sebelah timur. Kami pun melewati bundaran air mancur antara Jalan Teuku Umar dan Jalan Suwiryo, lalu berjalan menuju rumah Soeharto dan keluarga sekitar 300 meter dari situ.

Ratusan orang ternyata telah berada di sana. Puluhan wartawan telah berada dalam posisinya masing-masing guna mendapatkan sudut pandang yang pas ke dalam rumah Soeharto, maupun ke sisi jalan ketika ada pejabat yang hilir-mudik keluar masuk. Seorang kameramen -entah dari stasiun teve mana- nekat memanjat pohon setinggi sekitar empat meter untuk mendapat gambar ekslusif. Bagaimana tidak, dari pohon itu ia bisa membidikkan kameranya ke sisi dalam pekarangan rumah Soeharto, tamu yang keluar dan masuk, dan sebagainya. Ketika ada satu wartawan foto yang ikut-ikutan memanjat pohon lain, orang di sekitar pun segera menyorakki seraya tertawa lebar.

Sepertinya aparat segera belajar dari pengalaman di RSPP tadi. Pagar betis diperkuat. Puluhan personil Kopassus bersenjata laras panjang segera membentuk barikade yang menghalangi masyarat dan wartawan untuk melintasi jalan. Pukul 16.10, mantan Gubernur DKI Jakarta yang baru 'turun tahkta,' Sutiyoso, datang disusul sejumlah pejabat dan mantan pejabat negara. Sekitar lima menit kemudian, rombongan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan sejumlah menteri pun tiba di rumah duka. Suara sirene motor patroli Polisi Militer meraung-raung menembus kerumunan.

Mereka berdoa di dalam rumah duka selama lebih kurang 30 menit. Presiden SBY segera menaikki mobil kepresidenan dari dalam rumah, sedangkan beberapa menteri yang mendampinginya bergegas menuju sejumlah mobil yang akan beriringan dengan mobil Presiden SBY.

Lima menit menjelang pukul lima sore, tenda mulai didatangkan entah dari mana ke dalam rumah Soeharto. Saya dan Awi berjalan perlahan mencari air minum. Tepat di sisi selatan mulut Jalan Cendana kami membeli dua botol air mineral. Tenggorokan kami -yang sempat dibasahi air putih di rumah seberang kediaman Soeharto- kembali terbasahi.

Awi kemudian mencatat apa-apa saja yang telah ia temui dalam liputan kali ini. Kami pun lalu bergerak ke Cikini untuk mencari warnet, agar ia bisa mengirimkan segera berita terkini ke Kantor Riau Mandiri di Riau sana.

Bahasa Langit

Percaya atau tidak, suka atau tidak, bangsa ini ditinggal pergi salah satu pemimpin besar, yang dibenci sekaligus dicintai rakyatnya. Trilogi pembangunan (stabilitas, pemerataan, dan pertumbuhan) yang ia jadikan pegangan selama memerintah menjadi pisau bermata dua. Tetapi, banyak pakar yang bisa memberi analisis akan hal itu di banyak media, bukan di blog ini.

Di pelataran parkir RSPP, beberapa saat setelah iring-iringan mobil jenazah meninggalkan RSPP, Dwi Anggia dari SCTV mewawancarai seorang ibu separuh baya yang dengan mata berkaca-kaca mengaku telah kehilangan tokoh yang disebut Bapak Pembangunan itu. Komentar khas kaum ibu di Indonesia, bahwa di masa Soeharto harga-harga kebutuhan pokok begitu terjangkau, tidak seperti sekarang.

Tetapi, kita yang (mau) belajar sejarah bangsa ini juga tidak bisa menutup mata terhadap kelaliman yang dilakukan Soeharto selama 32 tahun. Coba tanyakan pada orang Aceh, Timor-Timur (sekarang Timor Leste), Irian Jaya (sekarang Papua), korban kekerasan sepanjang tahun 1965, tragedi Tanjung Priok, dan lainnya: apa pandangan mereka tentang Soeharto ? Dialah yang dituding paling bertanggungjawab atas hilangnya ratusan ribu hingga jutaan anak bangsa, karena pertikaian politik. Hingga peredaran darah di tubuh Soeharto terhenti, tak satu pun presiden -Habibie, Gus Dur, Megawati, dan sekarang SBY- yang bisa mendudukkan Soeharto di kursi pengadilan.

Nafas dan denyut nadi Si Jenderal itu telah terhenti untuk selamanya. Sang Jenderal pergi tanpa pernah menduduki kursi pengadilan seperti sejumlah mantan presiden di luar negeri. Bangsa ini gagal menunjukkan bahwa hukum adalah untuk semua warga negara. Gagal membuktikan bahwa dalil 'semua warga negara setara di hadapan hukum' itu benar adanya. Padahal, betapa sering kita mendengar pejabat yang dengan berbusa-busa selalu berbasa-basi dan berkata, "Kita serahkan saja pada aparat hukum. Negara kita kan negara hukum."

Mungkin itu kiranya yang membuat langit di Jakarta -sekurangnya Bulungan, Radio Dalam, dan Gandaria- tampak pucat dan memilih untuk cemberut di hari Minggu sore itu. Gumpalan awan, meski tak terlihat begitu gelap, enggan menunjukan kecerahannya. Ia tampak kompak dengan sang mentari yang biasanya begitu galak memanaskan Jakarta. Kiranya langit bukan bersedih karena Soeharto berlalu dari dunia ini. Langit bermuram durja, karena bangsa ini tak pernah bisa memberikan keadilan, tidak hanya bagi para korban kekerasan tersebut di atas, melainkan juga bagi Soeharto sendiri. Tak berlebihan kiranya, apa yang ditulis Baskara T Wardaya di Kompas 17/1 bahwa Soeharto bukan seorang pengecut. Yang pantas dituduh sebagai pengecut adalah orang-orang dekatnya yang bakal ikut terseret, jika Soeharto duduk di hadapan meja hijau.

Ada pepatah latin yang berbunyi de mortuis nihil nisi bene, yang lebih kurang berarti 'tentang orang yang sudah meninggal, tak ada dikatakan kecuali yang baik'. Entah siapa yang pertama kali mengucapkan kalimat itu, dan diucapkan dalam konteks apa. Tetapi, seperti kita bisa simak di media, ketika Soeharto meninggal, bahkan ketika ia masih menderita sakit, wacana untuk mikul duwur mendem jero (pepatah Jawa yang juga bisa diartikan sebagai: 'ingat yang baik-baik saja') selalu didengungkan para Soehartois.

Kita tidak perlu sewot karena Soeharto mendapat perawatan kesehatan kelas satu. Itu adalah tanggungjawab negara, sekaligus hak setiap mantan presiden yang dilindungi Undang-Undang negeri ini. Meminjam istilah Budiarto Shambazy saat diwawancara Meuthia Hafid di Metro TV 28/1, itu semua adalah wajar adanya. Tetapi, sebagaimana kita bisa lihat di beberapa media akhir-akhir ini, ketika Soekarno tahun 1970 sakit dan akhirnya meninggal, ia tak pernah mendapatkan perawatan serupa, itu yang tak wajar. Saat itu Soekarno hanya mendapat perawatan dar dokter biasa (ada yang menyebut dokter hewan), yang tidak pernah stand-by menungguinya. Ia bahkan dipersulit untuk bersua dengan anak-anak dan istri-istrinya. Entah bagaimana pemerintah akan memperlakukan Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY, jika mereka meninggal suatu saat.

Kita juga tak perlu memprotes, jika ada jutaan ibu rumah tangga di republik ini yang menangis setelah mengetahui Soeharto meninggal. Mereka adalah orang-orang biasa yang di masa orde baru tak pernah kesulitan mendapatkan minyak tanah, beras, dan sembako dalam harga murah. Toh, terbukti hingga saat ini kita seperti bangsa yang kehilangan orientasi pembangunan. Minyak tanah mahal dan langka, gas sering ditimbun para spekulan sehingga harganya terus naik, dan sebagainya. Bahkan, akhir-akhir ini kita semua tahu harga kedelai melonjak tak terkendali, sehingga banyak pengusaha tahu dan tempe yang sekarat tak berdaya.

Saya teringat dengan apa yang ditulis Ahmad Wahib dalam buku hariannya. Pada 1 Desember 1969 ia menulis " .... aku bukan Wahib. Aku adalah me-Wahib. Aku mencari dan terus mencari, menuju dan menjadi Wahib. Ya, aku bukan aku. Aku adalah meng-aku, yang terus menerus berproses menjadi aku. Aku adalah aku pada saat sakratul maut". Kiranya, itu juga bisa menjadi catatan kita atas diri Soeharto. Ibarat neraca keuangan dalam perusahaan, ia sudah tutup buku. Laba atau rugi telah diketahui.

Air hujan pun tertumpah dengan derasnya dari langit saat kuberada dalam bis Agra Mas yang membawa saya dari UKI. Hujan mulai melebat diringi petir sejak kami melalui tol Bekasi Barat. Saya pun harus berteduh sekitar 15 menit di sekitar lampu merah tol Cibitung, sebelum melanjutkan perjalanan ke rumahku.

Ternyata, saat manusia terlalu banyak berbasa-basi hingga mulutnya berbusa, sang langit punya bahasanya sendiri...

No comments:

Fransiskus Pascaries