18 January 2008

Kedelai, Minyak Tanah, Soeharto dan SBY (Lamunan Awal Tahun)

“Mulai besok kayaknya kita nggak makan tempe lagi. Nggak tahu sampai kapan,” kata ibu saya, Kamis 17/1/2008. Saat itu saya tengah mencomot sepotong tempe dari piring lauk di meja makan rumah saya. Bibir saya tak bisa berkata. Tak tahu harus bagaimana. Marah ? Harus marah pada siapa?

Kata-kata ibu saya makin menyadarkan, bahwa kondisi ini bukan main-main. Apalagi sebelumnya, saya membaca di Kompas Rabu,16/1, bahwa ini salah satu sejarah baru 'pertempean' di negeri ini. "Zaman perang, zaman Bung Karno, zaman geger G30S, zaman Pak Harto, enggak pernah tempe sampai hilang seperti sekarang," kata Mu’min, pemilik Warung Nasi Ojo Lali, yang berlokasi di Jalan Melati, Kelurahan Cengkareng Barat, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat.

Di Suara Merdeka online tanggal 29/8/2007 kita juga bisa melihat bahwa legalitas produk-produk Genetically Modified Organism (GMO) dari pemerintah Indonesia masih menuai pro dan kontra. Namun tanpa disadari masyarakat Indonesia telah mengkonsumsi kedelai dan jagung transgenik impor dari Amerika Serikat.

“Lebih dari 50 persen komoditas kedelai dan jagung yang diekspor Amerika Serikat ke Indonesia merupakan hasil transgenik atau GMO,” ungkap Ketua Panitia Workshop on Current Status of Biosafety of Genetic Engineering Products Dr Suharsono pada 28-30 Agustus di Ruang Sidang Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi Kampus Institut Pertanian Bogor Dramaga.

Berita senada juga saya simak beberapa hari lalu di Liputan 6 Siang. Bahkan, dikabarkan bahwa tidak jelas kapan hal itu akan berakhir. Karena, AS kini telah menggunakan kedelai sebagai bahan dalam membuat bahan bakar alternatif bio fuel. Entahlah, saya tak terlalu paham perkara-perkara itu.

Sudah sekitar 10 hari media massa secara kontinyu memberitakan tengah sakitnya sang Jenderal Besar Soeharto. Mantan penguasa orde baru itu harus terbaring lemah di Rumah Sakit Pusat Pertamina, Jakarta Selatan karena komplikasi berbagai penyakit. Sabtu, 12/1 lalu, seusai kursus bahasa Spanyol di Aula Cervantes, Universitas Trisakti Jakarta, saya menemani teman saya Daniel Awigra yang meliput isu besar itu. Dengan motor barunya, kami meluncur dari Grogol menuju RSPP.

Puluhan wartawan telah berhari-hari nongkrong di sana. Beberapa tamu ’penting’ membesuk Soeharto siang hingga sore itu. Sebut saja Pollycarpus Budihari Priyanto, yang tengah diusut kembali terkait kasus terbunuhnya aktivis HAM Munir. Ada juga beberapa pejabat lain, yang tak saya ingat jelas.

Berhari-hari ini, media selalu mengangkat polemik mengenai perlu tidaknya memaafkan Soeharto. Apa yang ditulis Baskara T Wardaya di Kompas Kamis, 17/1 rasanya tak berlebihan. Simak saja:

“...Jangan-jangan yang takut pada proses hukum dan pengadilan atas Pak Harto itu bukan Pak Harto sendiri, tetapi para kroninya. Para kroni itu takut, jika sampai Pak Harto diadili, merekalah yang akan kena. Mereka takut ketahuan bahwa selama ini telah menggunakan kuasa dan pengaruh Pak Harto demi kepentingan sendiri. Itu sebabnya orang-orang itu bersikeras agar Pak Harto jangan sampai diadili. Semua itu dilakukan bukan demi Pak Harto, tetapi demi diri sendiri,” tulis Baskara. Entah bagaimana perasaan para kroni Soeharto saat membaca tulisan itu. Upss, tapi apakah mereka peduli ?

Apa yang sedang terjadi dengan bangsa ini ? Kedelai mahal. Harga minyak tanah dan gas elpiji terus naik. Soeharto harus diampuni ? Politik menjelang Pemilu 2009 ? Kenapa Gus Dur, dan Presiden Soekarno yang sakit tak pernah mendapat perlakuan serupa ? Kenapa SBY -yang pernah jadi orang dekat Soeharto- (terkesan) takut dan ragu? Entahlah. Tetapi, saya yakin jauh di lubuk hati 200 juta rakyat Indonesia tahu jawabannya.

Semoga ini menjadi catatan bagi anak-cucu saya berpuluh tahun ke depan... karena, historia vitae magistra est, sejarah adalah guru kehidupan.

Lamunan awal tahun 2008

1 comment:

Anonymous said...

bicara soal kedelai, apa yang terjadi hari ini menunjukkan bagaimana lambannya kerja pemerintah. harga kedelai yang melonjak lebih dari seratus persen tidak terjadi secara tiba-tiba. Kenaikan harga kedelai di pasar internasional yang dipicu oleh berkurangnya pasokan kedelai dari Amerika akibat dialihkannya 15 persen lahan kedelai mereka untuk ditanami jagung sebagai bahan energi alternatif sudah berlangsung sekitar enam bulan terakhir. Dengan fakta bahwa hampir 3/4 kebutuhan kedelai bergantung pada impor, seharusnya pemerintah sudah melakukan antisipasi jauh-jauh hari. Tapi upaya mencari jalan keluar baru dilakukan setelah sekitar 5.000 pengusaha tahu tempe berunjuk rasa di depan istana negara!

menurutku yang lebih penting lagi sebenarnya adalah memutus ketergantungan pasokan pangan dari luar. Aku bersepakat dengan HS Dillon yang mengkritik pemerintah karena menyerahkan pasokan pangan utamanya pada mekanisme pasar. Dan sayangnya kebijakan yang diambil pemerintah baru-baru ini seperti penghapusan bea masuk impor kedelai menjadi 0 persen belum benar-benar menyentuh persoalan mendasar tersebut.

Di sisi lain, sejak 1990-an Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Cibinong sebenarnya telah menemukan teknik memproduksi kedelai plus dengan produktivitas tinggi dan tak memerlukan pemupukan secara optimal (coba lihat Republika 18 Januari 2008). Jadi persoalan kualitas kedelai dalam negeri yang selama ini dikeluhkan kalah mutunya dibanding produk sejenis dari Amerika sebenarnya bukan persoalan yang tak dapat diatasi. Nah, disini (lagi-lagi) pemerintah sudah seharusnya mengambil peran. sialnya pemerintah belum punya good will kesana.

Fransiskus Pascaries