01 July 2009

Kesehatan, Beban atau Tanggungjawab?

Kasus Prita Mulyasari versus RS Omni Internasional yang begitu menyedot perhatian jutaan pasang mata dan telinga, memberi kita gambaran betapa layanan kesehatan di negeri kita tercinta ini, tak ubahnya komoditas yang diperjualbelikan. Mustahil untuk membantah statement Kartono Mohammad (Kompas 26/5/2009) bahwa, “Jika dikatakan pelayanan kesehatan di Indonesia liberal, pasti muncul penyanggahan dari para penyedia layanan kesehatan dan departemen kesehatan. Namun, dalam kenyataan, pelayanan kesehatan kita memang amat liberal, bahkan lebih liberal dibandingkan pelayanan di AS yang dikatakan biang liberalisme.” Lagi pula, mengapa kita selalu menengok ke negeri Paman Sam? Padahal, inspirasi dan pengalaman juga bisa kita timba dari Amerika Latin, misalnya, yang notabene bukan negara yang “kaya-kaya amat” seperti Amerika Serikat.


Dari hari ke hari, kita semakin diyakinkan bahwa neoliberalisme sudah sedemikian lekat dalam segala sisi kehidupan kita, termasuk kesehatan. Tetapi, pada kenyataannya, sekurangnya akhir-akhir ini, kata “neoliberalisme” itu sendiri lebih sering dijadikan komoditas politik ketimbang dipahami secara ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Ketiga capres-cawapres yang tengah bersaing, merasa ini isu 'seksi' untuk menghantam rival. Isu ini dianggap lebih 'seksi' ketimbang isu-isu pelanggaran Hak Asasi Manusia seperti kasus Munir, penculikan mahasiswa, Lumpur Sidoarjo, dan sebagainya. Saya pernah bertanya kepada seorang wartawan, kenapa isu neoliberal ini kerap dikedepankan ketimbang isu-isu HAM. Melalui pesan singkat, teman saya yang bekerja sebagai wartawan sebuah media online, mengaku kesulitan untuk menggali isu tersebut karena parpol pendukung koalisi salah satu pasangan capres-cawapres kerap mengelak, saat ditanya soal keberlanjutan Pansus Orang Hilang di DPR.

Tak banyak gunanya bagi kita untuk terus-menerus mendengarkan perdebatan, mengenai “capres A menganut paham neoliberalisme”, atau “cawapres B adalah antek asing penganut neoliberalisme”. Semua ungkapan itu, meski tidak selalu salah, tetap saja tak ubahnya pepesan kosong. Semua jargon itu juga tidak lahir dari sebuah pemahaman yang komprehensif. Saya juga tidak berpretensi untuk membahas soal neoliberalisme secara ontologis, epistemologis, dan aksiologis lewat tulisan ini.

Belajar dari Kuba
Kiranya isu neoliberalisme dalam dunia kesehatan relevan untuk kita singgung, sehubungan dengan kasus Prita versus Rumah Sakit Omni Internasional. Tetapi, di sini kita tidak akan membahas soal teori A atau teori B. Di sini kita berbicara perihal hak warga negara yang diabaikan oleh pemerintah yang tidak bisa menjadi “wasit yang tegas” dalam mengatur bidang kesehatan di negeri ini. Pemerintah lebih memilih untuk melakukan komersialisasi di banyak sektor, termasuk kesehatan.

Di Kuba, sebuah negeri mungil di selatan Amerika Serikat yang tidak lebih luas dari Pulau Jawa, kesehatan sudah menjadi perhatian sejak Fidel Castro menggulingkan rezim Fulgencio Batista setengah abad lalu. Kesehatan, selain pendidikan, menjadi sektor yang diberi prioritas tertinggi sepanjang pemerintahan Fidel Castro, bahkan hingga saat ini
Saking majunya pendidikan kedokteran di Kuba, puluhan negara di dunia seperti Indonesia dan Timor Leste mengirimkan mahasiswanya untuk belajar di sejumlah perguruan tinggi di sana. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, hingga negara-negara dunia ketiga dan miskin di Amerika Latin, Afrika, dan Asia mengirimkan ribuan mahasiswa mereka ke Kuba.
Sektor kesehatan mendapat perhatian khusus dari pemerintah Kuba, tidak dengan jargon-jargon para petingginya. Sejumlah langkah konkrit telah mereka rintis perlahan namun pasti, sejak gerakan revolusioner Fidel Castro bersama 82 orang tentara -termasuk sang dokter pejuang, Ernesto “El Che” Guevarra- di tahun 1959. Negeri itu tidak hanya mendidik ribuan mahasiswa kedokteran dari berbagai negara. Kuba juga mengirimkan ribuan dokternya untuk terjun ke sejumlah negara di dunia yang dilanda peperangan dan atau bencana alam. Kita juga tentu masih ingat ketika Juni hingga Agustus 2006 pemerintah Kuba mengirimkan satu tim berkekuatan 135 dokter dan paramedis, untuk membantu korban gempa di Jateng dan DIY.

Dalam blognya, dr.Samsuridjal Djauzi mengatakan, salah satu faktor yang diperhitungkan dalam peningkatan taraf kesehatan warga Kuba adalah layanan kesehatan keluarga. Pemerintah Kuba menyediakan layanan itu di pemukiman penduduk di rumah susun di kampung-kampung. Dokter dan perawat ditugaskan untuk melayani tetangga kanan dan kiri mereka, karena rumah mereka berada tidak jauh dari poliklinik keluarga di kampung-kampung itu. Para dokter dan perawat itu bahkan secara rutin mengunjungi rumah atau kamar rumah susun yang dihuni warga, untuk mengawasi kebersihan lingkungannya. Dan, satu hal yang harus dicatat: semua itu didapatkan secara gratis!

Tidak seperti puskesmas di Indonesia, puskesmas (health centre) di Kuba dijadikan rujukan layanan klinik dokter keluarga. Semua puskesmas di sana menyediakan layanan rawat inap yang lengkap, rawat jalan yang didukung dokter-dokter spesialis, dan menyediakan layanan gawat darurat dan rehabilitasi medis untuk masyarakat setempat. Saya membayangkan, pasti tidak pernah ada warga Kuba yang keburu meninggal dunia dalam perjalanan karena terjebak kemacetan seperti di Jakarta. Angka kematian bayi di Kuba pun sangat rendah: 5,8 bayi per 1000 kelahiran (bandingkan dengan Indonesia yang masih 30 bayi per 1000 kelahiran). Angka kematian ibu 31 ibu per 100.000 kelahiran (Indonesia 300/100.000). Angka kematian bayi di Kuba juga lebih baik dari negara yang sudah maju seperti Amerika Serikat. Dan, yang juga perlu dicatat, setiap tahun ribuan pasien datang ke Kuba untuk mendapat layanan kesehatan berkualitas. Jumlah pasien yang cukup besar datang dari Venezuela, karena Kuba dan negeri Hugo Chaves itu menjalin kerjasama pertukaran minyak dengan layanan kesehatan. Artinya, layanan kesehatan di Kuba juga bisa menjadi sumber pemasukan devisa, ketika embargo ekonomi yang mengisolir Kuba belum dicabut oleh Amerika Serikat.


Komoditas Politik Praktis

Tentu saja, tidak bisa dinafikkan bahwa kesehatan bisa, sudah dan akan terus menjadi isu politik praktis. Di setiap pemilu, pilkada, dan bahkan pemilihan presiden ada saja kandidat yang menjadikan kesehatan sebagai isu kampanye. Tetapi, ternyata kita lebih sering -untuk tidak mengatakan selalu- 'gigit jari' tatkala sang kandidat sudah menduduki empuknya kursi kekuasaan. Kali ini, kita juga melihat ketiga capres dan cawapres memanfaatkan momen ini untuk membela Prita Mulyasari, yang tengah berkonfrontasi dengan RS Omni Internasional. Bahkan, ada wacana untuk meninjau kembali keberadaan rumah sakit mewah itu. Banyak pihak mendadak menjadi pahlawan kesiangan dalam kasus ini. Tetapi, apalah artinya menyelesaikan satu kasus seperti ini, kalau perbaikan sistem kesehatan tidak pernah dilakukan? Akan ada korban-korban lain seperti Prita yang akan dikriminalisasi. Bahkan, pasti sudah banyak dari kita yang mengalami kasus serupa, namun tidak mencuat ke permukaan.

Sebagai penutup, kita mungkin perlu mempertanyakan dua hal. Pertama, apakah kesehatan lebih menjadi beban pemerintah? Bisakah hal ini dipandang sebagai tanggungjawab pemerintah pada warga negaranya? Kedua, di musim kampanye presiden sekarang ini semua hal bisa dikomodifikasi untuk menarik simpati publik. Namun, apakah presiden RI periode 2009-2014 bisa mewujudkan kesehatan murah dan berkualitas untuk rakyatnya? Kita tunggu.



Photo caption:
Anggota tim kesehatan Kuba yang melayani masyarakat di Kecamatan Prambanan, Klaten, Jawa Tengah, ketika gempa mengguncang Jateng-DIY Juni-Agustus 2006.

Photo by Kartini Hardjosuwignjo, yang saat itu juga menjadi salah satu relawan penerjemah di posko kesehatan Prambanan.

No comments:

Fransiskus Pascaries