03 July 2009

Tiga Jenderal itu Bertarung

Sepuluh tahun (1988-1998) adalah waktu yang lebih dari cukup buat saya untuk mengetahui bagaimana militer Indonesia melakukan kekejaman, penistaan dan politik adu domba di antar warga Timor Leste sendiri. Selama masa jajak pendapat 1999 kebetulan saya berlibur ke Kefamenanu, ibukota dari Kabupaten Timor Tengah Utara, yang berbatasan dengan Kabupaten (sekrang distrik) Ambeno, Timor Leste. Maklum, orangtua saya dipindahtugaskan dari Dili ke Ambeno, Februari 1999. Ambeno sendiri bisa ditempuh dengan sepeda motor dalam waktu sekitar satu jam perjalanan dari Kefamenanu.

Saya waktu itu berada di sana selama lebih kurang dua minggu, di bulan September 1999. Kefamenanu itu kota kecil yang sepi. Selepas magrib, situasinya tak ubahnya kota mati. Satu hal yang membuatku risih dan kesal adalah tingkah polah dari personil paramiliter yang disponsori tentara Indonesia. Jelas Wiranto tidak mungkin lepas tangan, karena waktu itu dia adalah Panglima ABRI. Pernahkah teman-teman membayngkan, untuk duduk bersebelahan di angkot dengan orang yang membawa senapan dan senjata rakitan dengan bau minuman yang menyengat dari mulutnya? Itulah yang terjadi selama saya berada di Kefamenanu lebih kurang dua minggu. Di Timor Leste, sekurangnya ada dua kelompok paramiliter yang 'disuapi' oleh tentara Indonesia: Sakunar (dlm bahasa Tetun, artinya kalajengking) dan Aitarak (dlm bahasa Tetun, artinya duri). Mereka ini rata-rata pemuda-pemuda jobless dari kampung yang direkrut untuk mengabdi pada kepentingan tentara! Saya teringat dengan wawancara saya untuk Majalah HIDUP dengan Uskup Belo di Sunter sekitar Juni 2007. Waktu itu, ia bilang: "Anak-anak muda itu dengan mudahnya menerima bayaran orang-orang tertentu – entah siapa – untuk merusak ini dan itu." Dalam bahasa Tetun, mereka itu disebut "Mauhu". Dalam bahasa Indonesia, ya "mata-mata" atau "pengkhiant". Tulisan hasil wawancara saya dengan Uskup Belo sudah diterbitkan Majalah HIDUP dan juga saya rilis unedited version –nya di Facebook ini. Lagi-lagi, kita harus berterimakasih pada Mark Zuckerberg untuk inovasi briliannya ini.

Beberapa tidur malam saya di Kefamenanu sungguh tidak nyaman. Beberapa kali terdengar bunyi tembakan dan suara orang berlarian, berkejaran, dan sesekali berteriak. Tetapi, entah kenapa tidak ada korban luka atau meninggal di sana waktu itu, setahu saya. Entahlah.

Di hari pelaksanaan pencoblosan (atau pencontrengan?) jajak pendapat kebetulan bapak saya bertugas di salah satu tempat pemungutan suara di Ambeno. Demi tanggungjawab profesi ia bertahan di sana, saat semua bawahannya di Departemen Agama Kabupaten Ambeno telah mengungsi ke daerah-daerah terdekat dari Timor Leste: Nusa Tenggara TImur, bahkan ke Pulau Jawa, dan daerah-daerah lain di Indonesia. Situasi di hari itu, relatif aman. Tetapi, beberapa hari setelah itu, Ambeno dibumihanguskan !!! Nyaris tak ada rumah di sisi kanan-kiri jalan yang lolos dari api. Ratusan ternak (di)lepas(kan) begitu saja dari kandangnya. Efeknya jelas: harga daging sapi, babi, kerbau menjadi anjlok. Saya tidak tahu persis harganya turun dari berapa ke berapa, tapi menurut ibu saya, anjloknya drastis!. Hampir setiap hari saya makan daging itu selama di Kefa. Satu harga yang anjlok ikan laut. Tetapi, karena konon (saya hanya mendengar, tidak menyaksikan sendiri) banyak orang yang dibunuh paramiliter, dan mayat mereka dibuang ke pantai dan laut Ambeno, bisa dibilang tidak ada orang yang mau membeli ikan laut hasil tangkapan para nelayan.

Tiga jenderal di masa orde baru bertarung memperebutkan kursi presiden dan wakil presiden di tahun ini. Apa kita akan memilih mereka? Apa pula arti dari semua tulisan ini? Silahkan pembaca membuat kesimpulan masing-masing. Tulisan ini menggunakan asas "do not tell, but show". Saya hanya memaparkan apa yang saya lihat, apa yang saya rasakan, selama sekitar dua minggu berada di Kefamenanu. Masih ada waktu beberapa hari untuk menentukan pilihan: memilih salah satu dari mereka? Atau memilih untuk tidak memilih.

Membayangkan wajah tiga capres dan cawapres itu, tidak bisa tidak, pikiran saya langsung mengarah pada mereka yang menjadi korban penculikan, perkosaan di negeri ini 11 tahun silam. Entah trauma berlebih atau apa, saya sedikit alergi dengan seragam loreng. Saya pernah menentang habis-habisan adik laki-laki saya yang berniat menjadi tentara. Alhamdulilah, ia gagal dalam tes fisik. Dalam hati, saya menyanyikan dengan lirih, lagu Imagine dari almarhum John Lennon:

Imagine there's no heaven
It's easy if you try
No hell below us
Above us only sky
Imagine all the people
Living for today...

Imagine there's no countries
It isn't hard to do
Nothing to kill or die for
And no religion too
Imagine all the people
Living life in peace...

You may say I'm a dreamer
But I'm not the only one
I hope someday you'll join us
And the world will be as one

Imagine no possessions
I wonder if you can
No need for greed or hunger
A brotherhood of man
Imagine all the people
Sharing all the world...

You may say I'm a dreamer
But I'm not the only one
I hope someday you'll join us
And the world will live as one



No comments:

Fransiskus Pascaries