Suatu ketika telepon di salah satu komunitas Salesian Timor-Timur (sekarang Timor Leste) berdering. Seseorang di ujung telepon mengabarkan bahwa Mgr Carlos Filipe Ximenes Belo SDB menjadi penerima Nobel Perdamaian tahun 1996 bersama Jose Ramos Horta. Bruder yang menerima telepon lantas mengabarkan hal itu kepada sang Uskup yang sedang memimpin misa lewat secarik kertas. Beberapa detik membaca, Uskup Belo melanjutkan perayaan ekaristi setelah meletakkan secarik kertas itu. Dari wajahnya nyaris tak ada perubahan ekspresi. Datar. Dingin.
Kisah singkat itu diungkap oleh Kepala Paroki St.Yohanes Bosco Sunter Pastor Noel Villafuerte SDB dalam perayaan ekaristi yang dipimpin oleh Uskup Emeritus Carlos Filipe Ximenes Belo SDB sebagai konselebran utama, didampingi Pastor Noel Villafuerte SDB, Benedictus Sunarjoko Pranoto SDB, Pastor Petrus Pehan Tukan SDB, dan Pastor Yosep Suban Ola SDB. Misa itu diadakan untuk memperingati Hari Semua Orang Kudus, 1/11 lalu.
Lama tak terdengar kabarnya, mantan Uskup Titular Lorium Dili Mgr Carlos Filipe Ximenes Belo SDB, muncul di Gereja St Yohanes Bosco Sunter, Jakarta Utara. Peraih Nobel Perdamaian 1996 (bersama Ramos Horta) ini memimpin Ekaristi konselebrasi bersama Kepala Paroki Yohanes Bosco Sunter Pastor Noel Villafuerte SDB, Pastor Benedictus Sunarjoko Pranoto SDB, Pastor Petrus Pehan Tukan SDB, dan Pastor Yosep Suban Ola SDB. Misa itu diadakan untuk memperingati Hari Semua Orang Kudus, 1/11.
Kedatangan Uskup Belo – demikian kalangan pers biasa menyebutnya – ke Indonesia, adalah kelanjutan dari lawatannya di Timor Leste. Kelahiran Wailacama, Baucau, 3 Februari 1948 yang kini bermukim di Portugal ini diundang Pemerintah Timor Leste menjadi pembicara dalam seminar yang diselenggarakan Ministerio de Justiçia (Kementerian Kehakiman) di Dili, 21/10.
Uskup yang sempat berkarya sebagai misionaris di Mozambik ini selama sepekan berada di Timor Leste. Di tanah kelahirannya ini, ia menjalankan misi perdamaian dengan mengadakan sejumlah pertemuan dengan tokoh berpengaruh di negara itu. Ia menemui Presiden Xanana Gusmao, Perdana Menteri Ramos Horta, beberapa menteri, dan pimpinan partai oposisi. Tak ketinggalan, pimpinan angkatan bersenjata dan polisi nasional, juga komandan tentara pemberontak Alfredo Reinado yang masih berada di hutan di Distrik Suai, Pantai Selatan Timor Leste.
Sungguh. Pertemuan saya dengan Uskup Belo kali ini sangat emosional. Ingatan saya melayang ke tanggal 12 Desember 1992, saat saya menerima Sakramen Krisma darinya, di Gereja Sagrado Coração de Jesus, Venilale, Baucau, Timor Leste. Kedatangan Uskup Belo ke Jakarta kali ini, sungguh tak terduga. Sebelumnya, seorang teman berbaik hati mengabarkan saya via pesan pendek perihal kedatangan Uskup Belo. Tanpa pikir panjang jarak Cibitung-Sunter saya tempuh dengan sepeda motor dalam waktu lebih kurang dua jam, demi mengikuti misa kudus itu. Seusai misa, saya meminta seorang frater salesian, yang tak lain dulu adalah teman satu angkatan di Seminari Venilale, Florentino Gil SDB untuk meminta jadwal wawancara saya dengan Uskup Belo, keesokan harinya (kalau saya tidak salah ingat) di Wisma Salesian Don Bosco, Sunter. Saya khawatir, Uskup Belo tidak bisa mengenali saya dengan baik.
Di hari wawancara, saya terlebih dulu menikmati "Merenda" di Wisma itu. Jangan bayangkan "merenda" dengan kegiatan menenun atau sejenisnya. “Merenda” lahir dari kosakata Portugis, yang kira-kira berarti snack. Aktivitas itu menjadi tradisi di semua rumah Salesian di seluruh dunia, sebelum memulai aktivitas olahraga di setiap sore. Saat "merenda" satu meja dengan sang Uskup, kami sedikit bernostalgia dengan kenangan selama saya di Timor Leste. Ia menanyakan kabar Bapak saya, karena beberapa kali Bapak saya (yang kebetulan bekerja di Bimas Katolik, Kanwil Departemen Agama Provinsi Timor-Timur) berurusan kerja dengannya.
”Semua itu saya lakukan untuk mendengar harapan-harapan mereka,” katanya saat ditemui di Wisma Salesian Sunter, beberapa jam sebelum merayakan Misa bersama komunitas Timor Leste di Jakarta. Itu ia katakan untuk menjelaskan ‘posisi’nya dalam proses mediasi ini. Setelah tokoh-tokoh di Timor Leste ia temui, ia berkesimpulan semua tokoh dan pimpinan organisasi di Timor Leste menginginkan adanya dialog yang dilakukan secara terbuka di antara mereka. Pihak-pihak itu menginginkan ada pihak yang bisa menjadi mediator. Dan, menurutnya, mediator itu harus netral.
Ia menambahkan, ada kelompok dan pribadi yang mengusulkan hierarki Gereja menjadi mediator. Dalam hal ini Uskup Baucau Bacilio do Nascimento dan Uskup Dili Alberto Ricardo. Pihak-pihak yang bertikai di Timor Leste berharap, kedua uskup itu bisa mengambil inisiatif mempertemukan tokoh-tokoh yang berseberangan. ”Saya bersedia mendorong dari belakang supaya dialog ini cepat dilakukan. Agar mereka bisa memperbaiki situasi dan membantu para pengungsi kembali ke daerahnya masing-masing,” imbuhnya.
Kaum muda
Di Negeri Matahari Terbit (Lorosae, dalam bahasa Tetun berarti matahari terbit), peran Gereja Katolik sudah terasa sejak masa kolonial, pendudukan Indonesia, dan saat ini. Uskup Belo mengaku terkesan dengan apa yang sudah dan masih dilakukan jajaran Gereja Katolik di sana. ”Selain karena karya pastoral dan evangelisasinya, saya juga memuji para pastor dan suster yang telah ikut membantu saudara-saudara kami yang selama enam bulan ini berada di kamp-kamp pengungsi,” katanya.
Ia berharap Gereja Katolik di sana bisa lebih giat memberikan ajaran nilai-nilai moral dan etika kepada kaum muda dan awam untuk memahami ajaran Kristus, yaitu saling mencintai, saling menghormati, dan terutama saling memaafkan. Ketiga hal itulah yang menurut Uskup Belo penting karena masih ada kekerasan di sana-sini.
Sejak dulu hingga saat ini, ia menaruh perhatian mendalam pada generasi muda Timor Leste. Setelah kemerdekaan diraih, mereka hidup dalam krisis. Sebagian dari orang muda tetap menempuh pendidikan di sekolah-sekolah dan universitas. Ada sebagian lagi yang tidak mau bekerja. ”Mereka itulah yang dipakai pihak-pihak tertentu, saya tidak tahu siapa. Tapi, kelompok-kelompok itulah yang muncul untuk melempar batu, membakar, melukai sesama yang lain, dan juga membunuh,” ungkapnya prihatin.
Menurutnya, hal itu adalah sesuatu yang sangat penting bagi pemerintah, Gereja, dan masyarakat sipil untuk diselesaikan. Perlu ada alternatif-alternatif bagi kaum muda agar dapat keluar dari situasi ini. Ia berpandangan, selain pembinaan dari segi moral, penyediaan lapangan kerja adalah hal yang perlu dikedepankan. ”Kalau tidak ada lapangan kerja, mereka akan berada di pinggir jalan, di bawah pohon sepanjang hari, sepanjang malam, tidak berbuat apa-apa selain kekerasan,” kisahnya lirih.
Dalam kunjungan empat hari di Jakarta, ia menemui Pimpinan Provinsial Salesian Indonesia-Timor Leste Pastor Andres Calleja SDB guna melaporkan lawatannya selama sepuluh hari di sana. Ia pun menemui Uskup Agung Jakarta Julius Kardinal Darmaatmadja SJ, Pastor Markus Wanandi SJ yang pernah bertugas di Timor Leste. Juga ahli sejarah Pastor Adolf Heuken SJ sehubungan dengan buku sejarah Gereja Katolik di Timor Leste yang sedang digarapnya.
Sebelumnya, ia juga berkunjung ke Denpasar (28/10) untuk bertemu dengan sejumlah mahasiswa Timor Leste sekaligus merayakan Misa bersama mereka di Gereja St Fransiskus Xaverius, Denpasar.
Kini ia mengaku kesehatannya berangsur membaik. Namun, para dokter sebuah RS di Coimbra, Portugal selalu mendampinginya. ”Menurut mereka, saya harus tetap di sana supaya mereka bisa mengikuti perkembangan,” ujar pria yang ditahbiskan menjadi imam tahun 1980 ini.
Setelah kemerdekaan Timor Timur, Mei 2002, tekanan dari berbagai peristiwa perlahan mulai memukul kesehatannya. Paus Yohanes Paulus II menerima pengunduran dirinya sebagai Uskup Dili, 26 November 2002.
Penugasan baru
Setelah mengundurkan diri, Uskup Belo pergi ke Portugal untuk menjalani perawatan kesehatan. Awal 2004, ia menerima panggilan berulang-ulang untuk kembali ke Timor Timur dan mencalonkan diri menjadi presiden. Namun, Mei 2004, ia mengatakan kepada televisi pemerintah Portugal, RTP, ia tidak akan membiarkan namanya dicalonkan. ”Saya telah memutuskan untuk menyerahkan politik kepada para politikus,” katanya.
Sebulan kemudian, 7 Juni 2004, Pascuál Chavez, Pemimpin Serikat Salesian, mengumumkan dari Roma bahwa Uskup Belo akan mendapat penugasan baru. Dalam persetujuan dengan Takhta Suci, ia akan pergi ke Mozambik, tepatnya di Diosis Maputo, sebagai misionaris dan akan tinggal di negara itu sebagai anggota Serikat Salesian. ”Di sebuah paroki Salesian saya membantu pastor paroki mengadakan Misa, memimpin retret, dan mengadakan pertemuan dengan kaum muda,” tuturnya.
Sesudah berangkat ke Mozambik permulaan tahun 2003, ia beranjak ke Portugal untuk berobat karena harus menjalani beberapa kali operasi prostat. ”Hampir satu tahun saya berada di novisiat Portugal. Saya merasa lebih baik saya berkarya sebagai seorang misioner yang tidak punya tugas apa-apa,” ujarnya.
Sejak remaja, Belo memang memimpikan menjadi misionaris. Selama 19 tahun pelayanannya sebagai Uskup Dili (1983-2002), salah satu pokok yang paling sering ia bicarakan adalah tentang misi dan pentingnya menjadi misionaris. ”Hari ini waktunya telah tiba untuk menjalankan apa yang saya katakan kepada orang-orang Kristen di Timor Timur,” tutur monsinyur yang kini menetap di Lisboa, Portugal untuk waktu yang belum ditentukan ini.
Biodata
Carlos Filipe Ximenes Belo SDB
Tempat, tanggal lahir: Wailacama, Baucau, 3 Februari 1948
Orangtua: Domingo Vas Filipe - Ermelinda Baptista Filipe
Perjalanan karya:
1968: Menyelesaikan studi di Seminari Dare, Timor Leste.
1969 – 1981: Studi Filsafat dan Teologi di Italia dan Portugal.
26 Juli 1980: Tahbisan Imamat di Lisboa, Portugal.
1981: Kembali ke Timor Leste sebagai Direktur Kolese Salesian, Fatumaka, Baucau.
1983: Ditunjuk Administrator Apostolik Diosis Dili, menjadi pemimpin Gereja Timor Timur dan bertanggung jawab secara langsung kepada Paus.
19 Juni 1988: Ditahbiskan menjadi Uskup di Lorium, Italia.
1996: Bersama José Ramos-Horta menerima hadiah Nobel Perdamaian atas ”Kerja keras mereka menuju solusi damai atas konflik di Timor Leste.”
2002: Mengundurkan diri dari jabatan Uskup Dili.
Dimuat di Majalah HIDUP edisi No. 49 Tanggal 03 Desember 2006 dalam rubrik Eksponen.
Tulisan ini tidak persis seperti yang dimuat, karena saya menambahkan beberapa poin yang 'disunat' redaksi.
1 comment:
Salam dari alumni (antigos alunos) Dom Bosco Fatumaca..
"Viva Dom Bosco"
Post a Comment