31 December 2010

Catatan Seorang Penerjemah

Dua bulan sudah saya tinggalkan profesi itu. Setelah sebelas bulan menjadi ‘penyambung lidah’ alias penerjemah bahasa Spanyol di sebuah perusahaan asal Peru, saya banting setir, ke dunia yang baru sama sekali, yaitu Corporate Social Responsibility (CSR). Tetapi, bukan itu yang akan saya angkat di sini. Melainkan, betapa penerjemah adalah profesi yang tak cuma memerlukan keahlian berbahasa: memilih diksi, kata kerja, dsb. Lebih dari itu, sekurangnya berdasarkan pengalaman subyektif saya, profesi ini juga kerap membuat saya harus ‘menguras emosi’.

Itu bukan pertama kalinya saya menjadi penerjemah. Ketika gempa mengguncang Jateng dan DIY di penghujung Mei 2006, bersama sejumlah teman alumni dan siswa Kolese Kanisius Jakarta saya berkesempatan untuk menjadi penerjemah di sebuah rumah sakit lapangan. Di RS Lapangan yang dikelola pemerintah Kuba di daerah Prambanan itu, saya membantu sekitar 3-4 hari saja. Sementara 3-4 hari sebelumnya saya dan sejumlah rekan membangun sebuah posko kemanusiaan di Wedi, Klaten, yang juga porak poranda dihantam gempa berkekuatan 5,9 skala richter. Untuk pekerjaan itu, karena memang saya melabelkan diri sebagai relawan, dan tidak menerima bayaran sesenpun.

Sekitar 20 tahun sebelumnya, saya juga sudah menjadi penerjemah amatiran untuk orang tua saya di Timor Leste, yang dulu masih menjadi provinsi bontot di republik ini. Kok bisa? Ya, saya menjadi penerjemah untuk urusan sewa menyewa rumah di Baucau, salah satu kabupaten di provinsi itu dulu. Jadi, ceritanya sang empunya rumah, yang biasa kami sapa Avó (Portugis/Tetun: Nenek/Kakek) sama sekali tak bisa berbahasa Indonesia. Sementara orang tua saya sama sekali tak bisa bercuap-cuap dalam bahasa sang Avó, bahasa Tetun. Jadilah saya penerjemah amatiran itu. Saya juga ‘nggak jago-jago amat’ saat itu karena baru menapaki tahun pertama dari sepuluh tahun pengembaraan saya di sana. Tetapi, saya juga heran, kok bisa. Hehe. Ya sekurangnya pasif. Masih tertanam kuat di batok kepala saya ini, bagaimana Avó memperlakukan keluarga kami seperti anak dan cucunya. Ia tak pernah alpa memaksa kami untuk makan di rumahnya. Kami tak pernah berani menolak, karena setelah penolakan pertama kami padanya, ia marah besar karena menganggap kami tak menghargai tawarannya. Akhirnya, saya dan keluarga tak pernah menolak tawaran Si Avó. Meski perut telah terisi sebelumnya, beberapa sendok nasi dan lauk yang suguhkan harus kami lesakkan ke dalam perut, agar senyum bisa tetap mengembang di wajahnya yang telah keriput itu.

Dalam batas tertentu, belakangan saya mempersonfikasikan diri saya pada tokoh dalam cerpen karya Jhumpa Lahiri Interpreter of Maladies, Mr Kaspia. Ia adalah seorang supir yang melayani para turis di kawasan Konarak, India. Di luar jam kerjanya sebagai pengemudi taksi, Kaspia bekerja sebagai penerjemah bahasa Gujarat – Inggris dan sebaliknya bagi dokter di sebuah klinik. Ia menerjemahkan berbagai keluhan yang diderita para pasien. Sebuah pekerjaan yang dimaknai Kaspia sebagai penafsir kepedihan.*)

Hal itu juga menyeret memori saya ke tahun 2006, saat saya menjadi relawan di Jogja. Seorang ibu, saya duga berusia sekitar 35 tahun, harus diangkat rahimnya. Di suatu sore di RS Lapangan Kuba di kawasan Prambanan itu, seorang dokter perempuan, saya tak ingat namanya, bertanya dengan bahasa Inggris pada saya, ibu ini harus dioperasi keesokan paginya, jadi ia harus puasa malam itu. Sang dokter minta saya untuk mengingatkan bahwa dengan operasi ini, si ibu tidak akan bisa hamil lagi. Pernyataan itu diulang sang dokter tiga kali, dan sang ibu sepertinya sudah pasrah dengan nasibnya itu. Miris rasanya hati saya saat itu. Terlebih ketika keesokan harinya saya berpapasan dan berbagi senyum dengannya, beberapa saat sebelum ia melangkah ke ruang operasi.

Saya tak pernah bercita-cita menjadi penerjemah, meski saya selalu tertarik untuk belajar bahasa sejak SMP hingga perguruan tinggi. Kalau untuk urusan ilmu alam saya selalu ‘sempoyongan dan tak bergairah’, tetapi entah kenapa, soal bahasa saya seperti tak pernah kehabisan hasrat untuk belajar.

Menjadi penerjemah ternyata tak melulu soal kata, diksi, penggunaan tenses, atau segala tetek bengek teknis perbahasaan lainnya. Pengalaman menjadi penerjemah bahasa Spanyol di sebuah perusahaan minuman asal Peru mengajarkan, bahwa seorang penerjemah bisa menjadi penentu kondusif tidaknya suatu relasi. Suatu ketika bos saya yang asli Peru memerintahkan sesuatu kepada sejumlah teknisi di pabrik. Ia merasa tidak puas dengan kata-katanya dan melontarkan sederet ‘kata mutiara’ (baca: makian) di depan orang-orang itu. Saat orang-orang itu menanyakan artinya pada saya, tentu saya kaget. Karena, apa jadinya kalau saya harus menerjemahkannya secara verbatim, dalam bahasa Jawa, plek seperti aslinya. Akhirnya saya memilih mengatakan, “Ga, katanya dia pusing.”

Oya, anda ingat sosok botak yang hampir selalu menemani Presiden Soeharto menemani tamu asing dulu? Sampai sekarang saya tak tahu siapa namanya. Tetapi, lewat tayangan televisi, rasanya kita cukup familiar dengan sosok yang nyaris tak berambut itu. Saya kerap membayangkan, bagaimana ia harus menerjemahkan setiap kata yang keluar dari mulut sang Jenderal bengis itu kepada sang lawan bicara, dan sebaliknya. Saya acapkali bertanya dalam hati, sudah berapa ratus kali ia menemani Soeharto bertemu puluhan kepala negara dan kepala pemerintahan. Sudah berapa banyak rahasia yang masuk lewat telinganya dan lalu ia transfer ke telinga Soeharto. Saya berkhayal, kalau-kalau saja saya punya kesempatan untuk berbincang dengannya, mungkin menarik.
===
*) Sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Penafsir Kepedihan oleh Akubaca tahun 2003. Keresahan dan keterombang-ambingan Jhumpa Lahiri pada persoalan identitas menjadi mata air inspirasi untuk sembilan cerpennya dalam antologi Interpreters of Maladies, 2000. Buku pertamanya ini kemudian mengantarnya menjadi peraih penghargaan Pulitzer 2000, Pemenang PEN /Hemingway Award, dan pemenang New Yorker Prize untuk karya pertama terbaik. (Ruang Baca TEMPO Edisi 30 April 2006).
Di beberapa sumber lain, seperti situs www.bukukita.com, disebutkan nama tokohnya adalah Mr.Kapas, bukan Mr. Kaspia.


2 comments:

achmad said...

keren ris tulisannya. ngalir kayak air. dan pelan2 menghanyutkan ingatan ke masa2 kita 'terdampar' di tempat yang sama. e.he.he.h.e

o ya, nama penerjemah pak harto itu kalau ga salah alm. ramadhan kh. beliau adalah bapak dari gilang ramadhan yang drummer keren itu. ramadhan kh, dibalik kekakuan seremonialnya itu adalah seorang sastrawan juga lho..

Fransiskus Pascaries said...

gw malah ga puas dg tulisan ini...
tapi soal kita 'terdampar', hehehe...emang tulisan inilah refleksinya. kl gw ga 'sensor' wah, banyak yg bisa kebakaran jenggot nih. hehehe

Fransiskus Pascaries