05 April 2011

Memahami Rekonsiliasi: Pengalaman Indonesia, Jerman, dan Timor Leste

Seusai jam kantor Selasa, 25 Januari 2011 lalu saya meluncur ke Goethe Haus, Menteng, Jakarta Pusat, untuk menyaksikan pemutaran film dokumenter. Ada dua film yang diputar malam itu. Pertama, sebuah film dokumenter berdurasi 85 menit produksi tahun 2005 besutan Malte Ludin berjudul Zwei Oder Drei Dinge, Die Ich Von Ihm Weiβ (Dua atau Tiga Hal yang Kutahu tentang Dia) dan film kedua berjudul Mass Grave yang digarap Lexy Rambadeta. Film kedua yang berdurasi 26 menit dan diproduksi tahun 2001 itu sudah beberapa kali saya tonton, sedang film karya Malte Ludin baru saya saksikan sekali itu.



Film pertama mengangkat usaha Jerman dalam mengunyah buah-buah rekonsiliasi, setelah negeri itu sempat hancur lebur secara fisik dan mental akibat perang dunia kedua. Malte mengangkat kisah sang ayah, Hanns Ludin, yang menjadi penjahat perang Nazi, di masa jayanya Adolf Hitler. Sementara film kedua mengangkat acara penggalian kuburan massal 26 orang tersangka komunis yang menjadi dibantai tahun 1965.

Di film pertama saya lihat, bagaimana Jerman bisa menjadi contoh yang baik, bahwa bangsa Bavaria itu mampu menggulirkan sebuah proses rekonsiliasi, tidak dengan menutup-nutupinya. Syaiful, salah satu narasumber dalam diskusi setelah pemutaran film malam itu menambahkan, ada banyak hal lain yang menakutkan dari perang dunia kedua. Rangkaian persidangan dilakukan dari 20 November 1945 sampai 1 Oktober 1946., di gedung Pengadilan Nürnberg (Nuremberg Palace of Justice) Jerman. Konon itu adalah Pengadilan HAM pertama itu dunia.

“Tapi ternyata, pengadilan itu tidak begitu saja menyelesaikan masalah. Pasca PD II Jerman belum sempat menata diri, terbelah menjadi Timur-Barat. Infrastrutkur terbentuk dengan Marshal Plan, tapi integrasi sosial tidak sempat dilaukukan dengan sistematis. Salah satu titik apinya adalah Jerbar-Jertim,” kata Syaiful.

Saya lantas teringat pada kata-kata sejarawan Hilmar Farid yang berpandangan bahwa sebaiknya kita jangan takut pada sejarah.[1] Dalam film Zwei Oder itu Jerman berusaha untuk bangkit dari keterpurukan masa lalunya dan menjadi bangsa yang besar, termasuk dalam hal bidang teknologi, otomotif, olahraga, dan sebagainya. Merek mobil Opel Blazer, nama atlet seperti Boris Becker, Steffi Graf, atau para pesepakbolanya yang tiga kali menjadi jawara Piala Dunia, lahir dari sebuah negara yang dulu pernah hancur lebur karena perang.

Pengalaman Timor Leste
Oke, kalau kita mengambil contoh Jerman akan dengan mudah orang mencibir tulisan ini dan berkata, “Ya jelas saja, mereka kan udah berpuluh tahun jadi bangsa besar.” Tetapi, dari sebuah negara yang baru berusia 11 tahun, Timor Leste, tentu kita juga bisa menarik pelajaran serupa.

Kita tentu tahu, Timor Leste pernah menjalani masa penjajahan dari Portugal, sebelum mengalami masa pendudukan Indonesia antara tahun 1975 hingga 1999. Portugal masuk ke wilayah itu, untuk mencari kayu cendana pada tahun 1500-an, sebelum Gereja Katolik mendirikan sebuah gereja di Lifau, Oekusi, pada tahun 1590. Portugal menduduki wilayah itu setelah memenangkan peperangan melawan Belanda, dan akhirnya pada tahun 1709 pemerintahan administratif Portugal beralih ke Dili. Setelah tahun 1850-an, Portugal memperluas wilayah kekuasaan administrasi ke seluruh tempat di Timor Leste.[2] Negeri ini juga pernah mengalami penjajahan Jepang antara tahun 1942-1945.[3]

Pada tahun 2005 Timor Leste mencetak sejarah, setelah Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi (CAVR) yang dibentuk di sana menghasilkan sebuah laporan setebal kira-kira 2500 halaman dengan judul yang hanya terdiri dari satu kata, Chega! Dalam Kata Pengantar laporan yang tersedia dalam bahasa Portugis, Indonesia, Inggris, dan sebagian dalam bahasa Tetum itu, Aniceto Guterres Lopez selaku Ketua CAVR menegaskan,

“ … bangsa kita memilih pertanggungjawaban untuk pelanggaran hak asasi manusia masa lalu, menyelenggarakannya secara menyeluruh untuk kejahatan berat dan kurang berat—tak seperti sebagian negara yang keluar dari konflik dan memusatkan perhatian hanya pada satu atau dua masalah, serta memperlihatkan betapa orang- orang dan masyarakat mengalami kerusakan luar biasa apabila kekuasaan digunakan dengan impunitas.”[4]

Mengapresiasi apa yang diangkat dalam film malam itu, Putu Oka, yang antara tahun 1966 hingga 1976 dipenjarakan di rumah tahanan Salemba dan Tangerang tanpa proses peradilan, mengatakan, “Jerman lebih cepat dan cerdas. Artinya berani melihat dirinya. Berani melihat sejarahnya secara objektif, karena mereka lebih rasional.”

Persoalan yang ada di Indonesia adalah, kita sering mendengar ajakan pejabat tinggi di negeri ini untuk lebih memikirkan masa depan, memendam apa yang sudah terjadi di masa lampau. Selain itu, banyak pula kalangan militer yang ‘berlumuran darah’ ingin menjadikan kesalahan mereka di Timor Leste sebagai urusan bangsa. Sejarawan Hilmar Farid menilai,

“Sikap ini saya kira sama bejatnya dengan mengkonversi utang pribadi para konglomerat menjadi utang publik yang kemudian harus dibayar oleh rakyat. Seperti halnya dalam urusan utang, banyak elite politik menggunakan jargon ‘harga diri bangsa’ atau patriotisme kosong untuk membela kepentingan mereka yang sangat sempit.”[5]

Ketua CAVR Aniceto Guterres juga mengatakan, bahwa lembaga yang ia ketuai itu diwajibkan untuk mengarahkan perhatian pada masa lalu demi kepentingan masa depan—masa depan Timor-Leste dan masa depan sistem internasional yang, sebagaimana diperlihatkan oleh Laporan itu, juga harus banyak belajar dari pengalaman Timor-Leste.[6]

Pesan dari Syaiful, sekiranya patut kita garisbawahi, “kalau memang negara belum sanggup, masih absen dalam upaya rekonsiliasi, saya pikir cara-cara kutlural: film, diskusi, (penerbitan) buku masih akan lebih efektif dalam rangka merawat ingatan. Mungkin butuh waktu yang lebih panjang. Tidak harus kita menunggu pemerintah.”

Bangsa yang berjiwa besar, tentu akan memandang penting pengungkapan sejarah. Supaya hal-hal buruk yang terjadi di masa lalu itu tidak terulang. Kasus Aceh, Papua, DI TII terulang karena kita tidak memiliki referensi sejarah, bahwa yang salah harus dihukum.

Jadi, masih takut pada sejarah?

[1] Wawancara Faisol Riza dengan Hilmar Farid di Edisi 558 | 20 Nov 2006 bisa dilihat juga di http://www.perspektifbaru.com/wawancara/558

[2] Film Dalan Ba Dame, produksi Comissão de Acolhimento, Verdade e Reconciliação de Timor Leste (CAVR - Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi) tahun 2005

[3] Ibid

[4] Chega! adalah laporan resmi yang diterbitkan CAVR dan berisi dokumentasi pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama tahun 1975-1999. Chega! sendiri adalah kata dalam bahasa Portugis yang berarti “jangan lagi, stop, cukup”. CAVR mulai digagas pada tahun 2000 dan ditulis sesuai dengan Regulasi UNTAET No. 10/2001. Edisi bahasa Indonesia diterbitkan pertama kali oleh Kepustakaan Populer Gramedia pada Agustus 2010.

[5] Hilmar Farid, Keadilan Bagi Timor Leste Prasyarat Demokrasi Indonesia. Artikel ini disampaikan dalam peluncuran buku Chega! di Perpustakaan Nasional, Jakarta, 7 Oktober 2010. Naskah juga bisa dibaca di www.sejarahsosial.org.

[6] Chega!

No comments:

Fransiskus Pascaries