08 July 2011

Terus Melaju, Meski Pernah Ditipu

Ada sebuah rumah di daerah Warung Buncit, tak jauh dari Rumah Sakit Jakarta Medical Centre, Jakarta Selatan. Ia terletak di sebuah gang yang jalannya menurun, dengan lebar yang hanya pas untuk dilalui sebuah mobil. Dari rumah itu, dan beberapa rumah lain di sekelilingnya, bisnis konveksi dijalankan. Pemilik rumah itu adalah pria berusia 41 tahun. Saat saya temui, ia tengah duduk di lantai ruang tamu rumahnya. Di sofa dan lantai tergeletak ratusan baju anak-anak yang ia produksi. Sebagian sudah dikemas dalam plastik. Empat potong per plastiknya. Per potong ia lepas ke toko langganannya dengan harga Rp.40 ribu.

Pria bernama Abdul Kadir ini menjalankan bisnis yang dirintis oleh ayahnya, Almarhum Haji Muhayat, sebelum Abdul dilahirkan. Bisnis kos-kosan ia rintis sekitar empat tahun lalu guna menambah pedapatan. Lima kamar kos yang ia sewakan itu letaknya berpunggung-punggungan dengan rumahnya. Sejak Desember 2010 lalu, saya menghuni salah satu kamar itu.

Kami duduk berbincang sambil duduk di lantai, sembari ia mengecek dan memasukkan empat pasang baju dan celana, bersama dengan sabuk berukuran 70 atau 80 centimeter, ke dalam tiap kemasan plastik. Ia menyuguhkan segelas kopi hitam pekat buat saya.

Dua meter dari tempat kami mengobrol, seorang pekerja berusia sekitar 20 tahun tengah menempelkan kancing ke ratusan baju yang ada di situ. Tangan kanannya menggenggam alat berbentuk huruf L, yang terhubung dengan listrik. Dari alat itu cairan lilin panas disemprotkan ke tengah kancing. Tiga kancing untuk tiap baju, dan dua kancing untuk celana. Jadi, kancing itu tidak dijahit, melainkan direkatkan dengan lem yang dihasilkan dari lilin panas.

Pria muda itu adalah satu dari sekitar 15 karyawan Abdul dalam menjalankan bisnis rumahan ini. Kalau sedang banyak permintaan, bisa 30 hingga 40 karyawan yang ia pekerjakan. Ada yang bertugas menjahit. Ada yang mengobras. Ada yang mengurusi pola. Juga ada tiga orang gadis yang menangani urusan finishing. Mereka ia rekrut dari daerah-daerah di Jawa Barat seperti Sukabumi, Cianjur, Bandung dan Bogor. Beberapa karyawannya berasal dari kota di Jawa Tengah seperti Wonosobo. Mereka bekerja enam hari dalam seminggu. Senin hingga Sabtu. Jam 12 siang hingga jam 12 tengah malam, diiringi musik yang cukup nyaring terdengar.

Dalam sehari semalam, Abdul rata-rata bisa menghasilkan 300 potong baju anak-anak. Perhitungannya, kalau dari 15 orang pekerja, masing-masing bisa menghasilkan 20 potong, maka 300 potong pakaian anak siap ia kumpulkan.

Sekali dalam sepekan, Abdul mengirimkan baju-baju itu ke seorang rekan bisnisnya yang berjualan di Pasar Mester Jatinegara, Jakarta Timur. Ia juga memiliki rekan kerja yang ia sebut “Loper” di Bandung, Jawa Barat.

“Jadi, ngambil barang, tar dia yang nyebar gitu. Seminggu sekali dia ngambil ke mari. Tar dia punya anak buah, dia sebar ke toko-toko di Bandung.”

Anak ketujuh dari 11 bersaudara tersebut tampak tekun menjalani bisnis konveksi ini, meski mengaku tidak mendapat wasiat khusus dari mendiang ayahnya. Perjalanan yang ia tempuh tak selalu mulus. Ia bahkan pernah ditipu orang.

“Ya itu, waktu giro jebol. Nah tuh orang kabur. Hahahaha. Ada orang Makassar, orang Palembang. Orang-orang daerah gitu dah,” kata Abdul mengisahkan kisah tragis pada tahun 1998 itu sembari tertawa lebar.

Sejauh yang saya kenal, ia termasuk tipe orang yang easy going. Ceria. Doyan tertawa lebar. Di Facebook pun ia suka bikin status yang kocak. Ia mengaku enggan menulis status Facebook yang berat-berat. Sesekali, ia pun menanggapi dengan kocak status Facebook saya.

Peristiwa penipuan itu terjadi sekitar tahun 1998. Duit ratusan juta yang ia investasikan, melayang terbang bersama seorang pebisnis konveksi dari Makassar, Sulawesi Selatan. Ia mengaku, itu terjadi karena tidak ada surat perjanjian atau apapun yang secara hukum mengikat.

“Ya sistemnya kepercayaan sih ya?” tambah Abdul.

Cerita itu setali tiga uang dengan dua penipuan lain, yang ia alami saat berbisnis dengan dua orang berbeda dari Palembang, Sumatera Selatan.

Abdul hanya menjawab enteng, ketika saya tanyakan harapan atau cita-citanya. “Nggak muluk-muluk cita-cita saya sih. Mbantu pemerintah aja, buat lapangan kerja. Gitu aja deh,” kata Abdul dengan logat Betawi yang kental.

Ia tampak rileks menjalani hari-harinya. Meski tentu bukan perkara mudah menjalankan bisnis di era ketika modal usaha tak bisa mudah diraih di negeri ini.

Seorang ilmuwan asal Peru Hernando de Soto pernah menulis dalam buku Mystery of Capital, bahwa ia percaya betul pada peran kapital sebagai penggerak ekonomi. Dalam buku itu, ia mengutip Adam Smith dan Karl Marx, yang sama- sama percaya bahwa kapital merupakan mesin penggerak ekonomi yang paling penting.

Abdul Kadir telah berhasil menggerakkan ekonomi dalam porsi yang ia mampu. Dan, seandainya Hernando de Sotto ada bersama kami malam itu, ia pasti mengacungkan dua jempolnya untuk Abdul Kadir.

No comments:

Fransiskus Pascaries