Waktu itu saya sudah terdaftar di Seminari Don Filipe Rinaldi di Venilale. Sebuah kota kecamatan di Kabupaten Baucau (selain Baucau Kota, Vemasse, Quelicai,Baguia dan Laga) yang terletak sekitar 30 km arah selatan (lihat peta).
Kejadian itu terjadi bulan Oktober 1992, beberapa bulan setelah saya diterima di seminari. Bapak saya saat itu sedang menjalani tugas kantor di Dili, yang berjarak sekitar 130 km arah barat Baucau. Jadi, di rumah hanya ada ibu saya, tiga adik perempuan saya (Siska 11 tahun, Maria 9 tahun dan Yuli 7 tahun) serta adik bungsu saya, Arief, 4 tahun.
Entah sejak kapan, setiap bulan Oktober diadakan pameran pembangunan selama lima hari di Baucau. Dan, penutupannya diadakan setiap tanggal 5 Oktober, tepat pada hari ABRI. Mengapa seperti itu, saya pun tak tahu persis. Setiap instansi pemerintah maupun swasta yang ada di kota (terbesar) kedua setelah Dili itu membuka satu stand yang bisa digunakan untuk memamerkan produk-produknya, kegiatan-kegiatannya. Tak ketinggalan juga, beberapa panggung hiburan dan sejumlah permainan untuk menarik pengunjung, tersedia di beberapa stand.
Kejadian menegangkan itu, terjadi, kalau tidak salah, di hari terakhir: 5 Oktober 1992. Ibu saya, dan juga keempat adik saya berangkat ke lokasi bersama tetangga kami. Ketika sedang bercanda ria, sambil menikmati makanan ringan seadanya, tiba-tiba dari bangunan yang agak tinggi terdengar bunyi letusan senjata api.
Daarr .... daarrr ..... darrr....
Ibu dan keempat adik saya, seperti juga pengunjung pameran yang lain spontan berteriak histeris. Mereka berlari tak karuan ke sana-ke mari. Entah bagaimana ceritanya, mereka tiba di sebuah pos tentara yang tengah berjaga. Konon, tembakan terjadi karena terjadi perebutan senjata antara gerilyawan pejuang kemerdekaan, yang sering disebut tentara sebagai Gerakan Pengacau Keamanan (GPK).
"Bu, sini aja bu...," kata seorang tentara di situ.
Spontan ibu saya menggandeng keempat anaknya yang tengah menangis dicekam ketakutan, masuk ke ruangan itu. Tetapi, sekian detik berdiri di situ, ada orang yang berteriak, "Bu, jangan di situ. Bisa jadi sasaran tembak !!! "
Ibu saya bertambah panik, juga keempat anaknya. Terlebih sewaktu di ruangan itu ia melihat seorang tentara membuka sebuah kotak amunisi dan mengokang senapan berlaras panjang di depan matanya.
Krek....krekkk....krekkk....krekkk...
Tentara itu menyiapkan senapan laras panjangnya. Tanpa basa-basi, segera ibu saya menarik keempat anaknya ke luar. Segera ia bergabung dengan beberapa tetangga kami untuk mencari tumpangan menuju ke rumah. Setelah mencari ke kiri-kanan, mereka menemukan sebuah mobil bak terbuka milik PLN melintas. Mereka segera naik ke atas mobil itu sambil setengah tiarap, untuk menghindari peluru nyasar yang bisa datang sewaktu-waktu.
Melintasi jalan aspal menanjak, mobil PLN itu meraung-raung melaju dengan kecepatan cukup tinggi. Sepanjang jalan yang gelap itu, beberapa kali masih terdengar bunyi tembakan dan dentuman granat. Sepertinya ada aksi kejar-mengejar dan baku tembak antara pihak keamanan dan pihak yang disebut GPK, atau Gerakan Pengacau Keamanan itu .
Akhirnya, ibu dan keempat adik saya tiba dengan selamat di rumah setelah harus menumpang kendaraan dengan bertiarap atau merunduk. Begitu juga beberapa tetangga saya. Mereka segera mematikan semua alat penerangan di rumah, dan beranjak ke tempat tidur masing-masing.
Rentetan tembakan masih terdengar hingga beberapa jam. Malam itu pun mereka lalui dengan kecemasan ...
No comments:
Post a Comment